Rabu, 13 Januari 2010

Rohana Koedoes : "Tegar dan Inspiratif"

Oleh : Muhammad Ilham

Dua orang wanita Minangkabau pada masa rezim Sukarno yang berani menentang "kemapanan" putra sang-Fajar ini. Pertama Rohana Kudus dan yang kedua Rahmah el-Yunusiyah. Rohana Kudus, saudari dari Sutan Syahrir menentang keinginan beberapa "petualang politik" di MPRS agar mentahbiskan Sukarno menjadi Presiden se-Umur Hidup. Sebagai jurnalis, Rohana Kudus mentransformasikan pemikirannya ini dalam "kata-kata". Sementara, Rahmah e-Yunusiyah, memanfaatkan "hak eksklusifnya" sebagai anggota MPRS menentang Sukarno. Sejarah kemudian mencatat bahwa Rahmah dikenal sebagai salah seorang perempuan yang membuat repot Soekarno. Sikap keras kepala dan penentangannya pada Presiden RI yang pertama itu, yang membuat Rahmah berseberangan dengan Soekarno. Rahmah menganggap Soekarno telah melenceng dari demokrasi terpimpinnya dan kedekatannya dengan kaum komunis.

Konsekuensinya, Rahmah dikucilkan. Sekali pun Rahmah adalah anggota MPRS dari Sumatra Bagian Tenagh, ia memilih bergerilya di hutan ketimbang harus ikut dengan kemauan pemerintah pusat. Rahmah mengalami masa-masa sulit di dalam hutan Sumatra, provinsi Jambi pada tahun 1950-an itu. Namun ia teguh pada pendirian, menentang komunis di bumi Minang. Tidak banyak generasi masa kini yang kenal siapa Rahmah el Yunusiyah. Namun, jika membayangkan seberapa jauh gema kekuatannya, bisa dibayangkan ia bukan perempuan sembarangan. Perempuan yang lahir di Padang Panjang, 20 Desember 1900 dari pasangan ulama Minangkabau Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafiah ini adalah perintis sekolah pesantren putri Diniyyah Putri di Padang Panjang, Sumatra Barat pada 1920. Inilah pesantren putri yang menjadi cikal bakal pendidikan Islam modern di awal abad 19. Dengan konsep pendidikan berasrama, Rahmah mendidik murid-murid perempuannya pendidikan umum dan agama. Tidak kurang 20 ribu alumni telah dihasilkan pondok pesantren ini. Muridnya pun merentang dari berbagai kalangan dan bangsa. Rasuna Said, salah seorang pahlawan nasional dan penggerak kaum perempuan, adalah salah satunya. Tokoh-tokoh besar lain yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren ini adalah Datin Aisyah Gani, bekas menteri di masa pemerintahan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohammad. Nama besar pesantren ini membuat banyak murid dari negara tetangga ikut menimba ilmu di sini. Selain Malaysia, murid-murid lainnya juga berasal dari Brunei dan Singapura.

Rahmah dengan konsep sekolah khusus wanita, tidak saja mengajari cara belajar, membaca, atau menulis, juga pelajaran bahasa Belanda, gimnastik, menenun, menyulam, menjahit serta kebidanan. Pelajaran retorika atau berpidato di atas mimbar juga diajarkan, sehingga Diniyyah Puteri digelari tempat ayam betina diajar berkokok. Tapi Rahmah tidak patah semangat. Baginya, langkah untuk memajukan perempuan, meski itu berbasis agama sekalipun, pasti menghadapi tentangan dan celaan. Rahmah sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Ia hanya disekolahkan hingga kelas tiga di sekolah formal. Ia kemudian menimba ilmu umum dan agama secara otodidak dan berguru pada kakaknya, seorang ulama terkenal, Zainuddin Labay.

Dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Buya Hamka sempat menyinggung kiprah Rahmah di dunia pendidikan dan pembaharu Islam di Minangkabau. Hamka menyebut Rahmah ikut memajukan kaum perempuan dan mementahkan anggapan bahwa Islam tidak menyokong pemberdayaan perempuan. Kiprah Rahmah juga diakui hingga ke Timur Tengah sana. Dalam sejarah Universitas Al Azhar, baru Rahmah seoranglah ulama perempuan yang diberi gelar Syeikhah. Dalam sejumlah esainya, Azyumardi Azra mengatakan perkembangan Islam modern dan pergerakan Muslimah di Tanah Air tidak bisa dilepaskan dari nama Rahmah sebagai perintis.

Sejak kecil Rahmah memang dikenal keras hati dan berpikiran maju. Jika ada yang tidak disukainya, dengan berani ia mengatakan tidak. Ketika merintis sekolah ini di awal usia 20-an, Rahmah tidak segan-segan berjualan kue untuk menambah biaya pendirian sekolah. Seraya membangun sekolah, ia terus bergerak menentang kolonial Belanda di Sumatra Barat. Tidak heran jika petinggi Belanda di Padang Panjang dan Bukittinggi sangat membenci Rahmah. Ia bahkan pernah dijadikan tahanan rumah oleh komandan tentara Belanda karena aktif menggerakkan para pemuda Sumatra Barat. Ketika konfrontasi dengan Malaysia, murid-murid Rahmah yang bersuamikan para pejabat Malaysia ikut berperan mendinginkan panasnya api konfrontasi. Ketika Gubernur pertama Sumatra Barat, Harun Zein, berkunjung ke Malaysia dalam rangkaian diplomasi perdananya, nama Rahmah disebut-sebut dalam berbagai pertemuan. Karena terpesona oleh pola pendidikan yang diterapkan Rahmah pula, Rektor Al Azhar Syekh Abdurrahman Taj, yang berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1961, kemudian terinspirasi untuk membangun Fakultas Khusus Perempuan di Mesir. Sikap keras Rahmah itu bertahan hingga masa tuanya. Ia tidak pernah mau berkompromi dengan pemerintah pusat, jika itu dinilainya menzalimi masyarakat daerah. Sebagaimana ulama-ulama teguh pendirian lainnya di masa perjuangan, Rahmah memilih berseberangan dengan pemerintah.

Rohana Koedoes : Si "Sunting Melayu"

Oleh : Muhammad Ilham

Kecuali nama sepotong jalan kecil teduh di Padang dan usaha keripik balado yang produknya kerap dibawa keluar kota sebagai oleh-oleh, tidak banyak yang tahu tentang Roehana Koeddoes. Tidak banyak pula yang tahu, ketika Raden Ajeng Kartini, menulis berlembar-lembar suratRoehana School. Nama Roehana memang tidak begitu dikenal di tengah hiruk-pikuk perayaan emansipasi kaum perempuan. Tidak banyak pula dokumentasi yang mencatat kiprahnya sepanjang lebih dari 80 tahun masa hidupnya. Dalam catatan sejarah pers Indonesia, Roehana Koeddoes disebut sebagai wartawati Sumatra Barat pertama, yang menerbitkan koran perempuan Soenting Melajoe pada 1912. Buku Roehana Koeddoes, Perempuan Sumatera Barat, karya Fitriyanti yang terbit pada 2001, mengungkap bahwa Roehana sudah melahirkan dua karya besar yang melampaui jamannya.

Pertama kegigihannya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Minangkabau di awal abad 19 dengan membangun sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia dan Roehana School dan kedua terbitnya surat kabar yang ia bangun dan pimpin sendiri. Dalam buku Tanah Air Bahasa terbitan 2007, yang menghimpun tokoh dan kejadian penting dalam 100 tahun, Roehana disebut sebagai tokoh yang berhasil menyuarakan perubahan bagi perempuan. Roehana percaya surat kabar adalah alat yang ampuh untuk menyebarkan gagasan yang bisa mempengaruhi pikiran perempuan. Lahir di Kotogadang, kampung sunyi di Sumatra Barat, pada 20 Desember 1884, Siti Roehana adalah anak perempuan tertua Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, seorang jaksa yang acap berpindah-pindah kota. Meski hidup sederhana, keluarga Roehana terpandang dan terpelajar. Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia, adalah saudara Roehana satu ayah. Ayahnya menikah dengan ibu Sjahrir setelah Kiam -ibu Roehana-- meninggal. keluhan dari kamar pingitannya di Jepara, Jawa Tengah, kepada teman-temannya di Belanda, Roehana Koeddoes sudah mendirikan sekolah perempuan bernama
Dengan Haji Agus Salim, Roehana juga bertalian darah. Kakek Roehana dan Agus Salim bersaudara kandung. Roehana anak kesayangan Rasjad. Tidak heran jika di tengah keluarganya, Roehana dipanggil dengan sapaan "Roehana anak ayah."

Sejak kecil, Roehana yang disapa dengan panggilan "One" oleh ayah dan adik-adiknya, gemar membaca buku dan koran, juga menulis, di samping kepandaian putri lainnya seperti menyulam terawang khas Koto Gadang. Meski tidak bersekolah-- karena anak perempuan Minangkabau di masa itu umumnya tidak dikirim ke sekolah formal-- Roehana cepat sekali menyerap berbagai ilmu. Buku-buku mahal, yang dipesankan sang ayah jauh-jauh dari Singapura dilahapnya dengan cepat. Sejak kecil, kemampuan memimpin Roehana sudah tampak. Ia menjadi guru kecil bagi teman-temannya. Padahal, ketika itu, Roehana baru berusia 8 tahun. Di usia itu, ia sudah mahir menulis dalam bahasa Melayu, Arab, dan Arab Melayu. Kegiatan ini rupanya berlanjut hingga dewasa. Di usia 24 tahun, ketika menikah dengan keponakan ayahnya, Abdoel Koeddoes, yang aktivis dan notaris yang gemar menulis kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda di koran-koran lokal, niat untuk memajukan kaum perempuan kian kencang.
Beruntung Roehana mendapat dukungan suami yang berpikiran maju dan tidak segan mendukung cita-citanya. Ketika mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia untuk mendidik perempuan agar mahir baca-tulis, menjahit, menyulam, pengetahuan akhlak agama, dan pengetahuan umum lainnya pada 1911, sang suami juga menyokongnya.

Ketika ia mengeluhkan soal tidak adanya koran khusus untuk perempuan di Minangkabau, suaminya bahkan menggerakkannya untuk membangun sendiri koran perempuan itu. Bagi Roehana, membaca koran ibarat meminum air laut. Makin banyak diminum, makin haus. Roehana kemudian berkirim surat pada Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi surat kabar Oetoesan Melajoe, yang acap dibacanya. Sutan Maharadja adalah penghulu adat yang berkiblat ke barat. Pikirannya maju dan sangat menentang penjajahan. Ia juga sangat memperhatikan emansipasi perempuan. Anaknya Zubaidah Ratna Djuwita acap membantu sang ayah di koran, yang berkantor di Padang ini.
Surat Roehana pada Sutan Maharadja itu berisi permohonan agar ia bersedia mendanai berdirinya koran pertama untuk perempuan di Minangkabau. Datuk sangat terkesan membaca surat Roehana. Ia datang ke Koto Gadang untuk menemui Roehana.

Dari pembicaraan dengan Roehana, Datuk bersedia menerbitkan sebuah koran perempuan, yang diberi nama Soenting Melajoe.
Sunting artinya perempuan. Niatnya, koran ini diperuntukkan bagi perempuan di merata tanah Melayu. Di suratkabar ini, Roehana jadi pemimpin redaksi. Ia dibantu Ratna Djuwita. Untungnya, Roehana tidak perlu pindah ke Padang, cukup mengirim tulisannya dari Koto Gadang. Soenting Melajoe memang bukan surat kabar perempuan pertama di Tanah Air. Pada 1903, Tirto Adhi Soerjo sudah membikin koran Poetri Hindia. Ia menempatkan istrinya untuk membantu. Tapi peran Roehana jadi penting karena dialah perempuan Indonesia pertama yang memprakarsai berdirinya sebuah koran perempuan dan menjadi pemimpin redaksi. Dalam suratkabar itu, Roehana menyoroti kehidupan perempuan dari kelas ekonomi menengah dan bawah. Dalam tulisannya, Roehana mengimbau agar perempuan tidak mau lagi jadi pemanis dalam rumah tangga. Ia juga tidak segan-segan mengkritik poligami. Dalam satu tulisan, Roehana menyeru agar poligami dihentikan karena merugikan perempuan dan keluarga. Sudah jamak, jika ada perempuan yang terlalu maju untuk jamannya, jika ada perempuan yang berhasil, makin besar tantangannya. Aktivitas Roehana tidak lepas dari gunjingan dan tuduhan. Mulai dari penggelapan uang hingga tuduhan berselingkuh dengan pejabat kolonial Belanda. Maklumlah, ketika itu tenun terawang bikinan sekolah Roehana laku di kalangan petinggi Belanda. Tidak tahan dengan kondisi ini, Roehana pindah dari kampungnya menuju Bukittinggi.

Di sana ia mendirikan Roehana School. Hingga usia tua, Roehana tinggal berpindah-pindah mengikuti anak tunggalnya Djasma Juni. Meski sudah sepuh, Roehana tetap mengikuti perkembangan pers. Dua tahun setelah ia meninggal pada 17 Agustus 1972, Roehana mendapat penghargaan dari Pemerintah Daerah Sumatra Barat sebagai wartawati pertama. Pada 1987, ia mendapat gelar penghargaan perintis pers oleh Dewan Pertimbangan Persatuan Wartawan Indonesia. Hingga kini, namanya belum juga diakui sebagai pahlawan nasional. Roehana Koeddoes, dengan segudang jasanya itu, hanya dikenal sedikit orang lewat sepotong jalan kecil teduh di Padang.

Sumber Utama : korantempo.com/html/April 2007

Radikalisme Ulama Paderi

Oleh : Rusydi Ramli & Muhammad Ilham

Sejak akhir abad ke sembilan belas, daerah Agam telah memulai usaha gerakan kembali kembali ke syari’at yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo agaknya menjadi tempat yang cocok bagi Haji Miskin dalam menyalurkan ide-ide pembaharuannya. Pelindung Haji Miskin di sini adalah rekan seperguruannya, yakni Tuanku Nan Renceh. Kedua toko Padri ini adalah murid Tuanku Nan Tuo dan keduanya juga ikut terlibat dalam gerkan pembaharuan awal yang dipelopori oleh gurunya pada akhir abad ke delapan belas. Bagi Tuanku Nan Renceh pertemuan dengan Haji Miskin menjadi pemicu keinginannya untuk kembali melakukan gerakan ke syari’at setalah vakum cukup lama. Kekecewaan Tuanku Nan Renceh atas sikap lunak gurunya dalam melancarkan gerakan kembali kepada syari’at menjadi faktor utama mudahnya Haji Miskin mendapat dukungan dan simpati dari tokoh yang dikenal sangat garang ini. Sebelum bertemu dengan Haji Miskin, gerakan pembaharuan Tuanku Nan Renceh masih belum mempunyai tujuan dan wujud yang jelas.

Maka ketika Haji Miskin menyampaikan ide-ide pembaharuannya, Tuanku Nan Renceh segera menyatakan dukungannya. Tujuan perjuangannya pun lebih jelas dan tampak lebih radikal. Setelah mendapat petunjuk dan nasehat dari Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh semakin yakin bahwa usaha pembaharuannya akan mendapat dukungan dari elit-elit agama lainnya di Agam. Bahkan, Tuanku Nan Renceh juga berambisi untuk meluaskan gerakannya hingga ke seluruh wilayah di Pulau Sumatera.
Pertemuan kedua tokoh ini pada gilirannya menjadi ide-ide pembaharuan kaum Padri dapat dijalankan secara intensif. Akan tetapi dalam perkembangannya, yang paling menonjol adalah Tuanku Nan Renceh yang memulai pekerjaan dari daerah Agam. Sementara ini, Haji Miskin, meskipun tidak mendapat kesempatan untuk berperan lebih jauh ia selalu berusaha untuk memainkan peranan yang tersedia baginya. Dalam hal ini ia lebih berperan sebagai juru dakwah yang mengajak orang-orang untuk menerima ajaran-ajaran Padri. Tuanku Nan Renceh memulai usahanya dengan melobi ulama-ulama yang mempunyai pengaruh besar untuk mendukung gerakannya. Dalam waktu yang tidak lama, tujuh Tuanku dari Candung, Sungai Puar, dan Banuhampu menyatakan dukungannya. Untuk mengorganisir gerakan mereka, Tuanku Nan Renceh membentuk persekutuan dengan Tuanku-Tuanku tersebut.

Persekutuan inilah yang dalam sejarah Minankabau dikenal sebagai Harimau Nan Salapan, mereka itu adalah: Tuanku Lubuk Aur (Candung), Tuanku Berapi di Bukit (Candung), Tuanku Galong (Sungai Puar), Tuanku Padang Laweh (Banuhampu), Tuanku Banesa (Agam), Tuanku Kapau (Agam), dan Tuanku Nan Renceh sendiri (Kamang). Keberadaan Harimau Salapan pada gilirannya menjadi ide-ide pembaharuan kaum Padri dapat dijalankan secara intensif. Sebelum memulai gerakannya, Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan mendatangi Tuanku Nan Tuo untuk memohon restu dari ulama kharismatik ini. Dihadapan guru yang telah membawanya untuk mengenal Islam lebih mendalam lagi, Tuanku Nan Renceh menjabarkan ide-ide pembaharuannya yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis dan menentang segala praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran Islam. Cara-cara yang akan dipakai untuk mencapai tujuan itu, yakni tindakan kekerasan bagi yang menentang, juga dipaparkan secara panjang lebar. Tanpa diduga ternyata pertemuan elit-elit agama itu justru menimbulkan perdebatan yang sengit. Tuanku Nan Tuo yang merupakan guru dari beberapa anggota Harimau Nan Salapan pada dasarnya menyetujui ide-ide pembaharuan Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan tetapi menolak keras cara-cara kekerasan dalam pelaksanaannya. Bagi Tuanku Nan Tuo, dakwah yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan selain tidak bijaksana juga bertentangan dengan ajaran Islam. Tuanku Nan Tuo mengajukan argumentasi bahwa ”....Nabi berjiwa suka damai dan suka mengampuni, yang menekankan bahwa orang patut dihukum mati adalah orang yang dengan sadar mengingkari Islam, dan bahwa desa yang mempunyai seorang mu’min (orang beriman) pun tidak boleh diserang". Oleh karenanya Tuanku Nan Tuo tidak bersedia untuk bergabung dengan mantan muridnya itu. Akan tetapi Tuanku Nan Renceh tetap pada pendiriannya. Bagi Kaum Padri, membunuh orang yang tidak mematuhi aturan-aturan agama bukanlah perbuatan dosa.

Menyadari bahwa sulit untuk mendapat restu dari ulama besar Agam itu, Haji Miskin mengajak Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan pergi ke Koto Laweh untuk menemui Tuanku Mansiangan. Kepada ulama ini kelompok Harimau Nan Salapan memintanya sebagai pelindung dan pemimpin gerakan. Ulama yang terkenal karena pengetahuannya yang luas dan cukup berpengaruh di Koto Laweh ini menyatakan kesediaannya. Kesediaan Tuanku Mansiangan bersedia untuk bergabung dengan kaum Padri agaknya lebih didasarkan atas pertimbangan bahwa ia telah mengenal secara baik Haji Miskin dan pernah menjadi pelindungnya sehingga ia tidak merasa asing dengan ide-ide pembaharuan Islam yang diusung Kaum Paderi. Kecuali itu, Tuanku Mansiangan adalah orang yang gila hormat, sementara popularitasnya tidak seluas Tuanku Nan Tuo yang juga adalah murid dari ayahnya. Popularitasnya hanya sebatas Koto Laweh, sedangkan Tuanku Nan Tuo tidak hanya di seluruh Agam tetapi juga ke wilayah lain di luar Agam. Keputusannya untuk bergabung dan menjadi pemimpin Kaum Padri diharapkan dapat mendongkrak popularitas dan dapat menaikkan gengsinya di kapangan ulama khususnya di Agam. Sebagai tanda terima kasih atas kesediaannya bergabung dengan Kaum Padri, Tuanku Nan Renceh memberinya gelar Imam Besar. Meskipun pimpinan kaum Padri berada di tangan Tuanku Mansiangan namun aktor sesungguhnya adalah Tuanku Nan Renceh. Orang yang disebut kemudian inilah yang lebih menonjol dalam menentukan arah perjalanan gerakan Kaum Padri.

Dalam suatu pertemuan dengan masyarakat di Kamang Tuanku Nan Renceh menagajak masyarakat untuk ikut mendukung gerakan pembaharuannya. Kepada masyarakat diperintahkan untuk menjalankan syari’at Islam dan sholah 5 waktu harus dijalankan. Makan sirih, merokok, minum minuman keras, dan madat diharamkan. Kepada kaum laki-laki dianjurkan untuk memakai pakaian putih dan memelihara jenggot. Memakai pakaian dari sutera dan perhiasan emas hanya dibolehkan kepada kaum perempuan. Kaum ibu juga diharuskan memakai cadar. Bagi yang bersalah atau melanggar sebuah dari aturan-aturan tersebut akan dikenakan hukuman mati dan harta bendanya dirampas. Keseriusan Tuanku Nan Renceh memberikan hukuman mati bagi yang melanggar aturan-aturan yang dibuatnya dicontohkan dengan membunuh bibinya lantaran adik kandung ibunya itu kedapatan sedang mengunyah sirih.

Peristiwa pembunuhan tersebut ternyata mengundang banyak ulama dari berbagai tempat untuk menggabungkan diri dengan Tuanku Nan Renceh. Tindakan kekerasan Tuanku Nan Renceh dianggap sebagai wujud dari keseriusan dalam menjalankan syari’at Islam. Siapapun yang bersalah harus dihukum meski itu keluarga sendiri. Dukungan terhadap Kaum Padri juga semakin luas. Pada saat inilah kaum Padari mulai berusaha merombak masyarakat Padang darat, sementara Tuanku Nan Renceh memperoleh dukungan masyarakat yang makin besar sehingga tampaklah saat yang baik bagi dia untuk melanjutkan pelaksanaan maksudnya. Desanya sendiri sudah diletakkannya di bawah kekuasaan alim ulama. Dalam hitungan hari banyak nagari-nagari yang mengakui kekuasaan Kaum Padri dan mengikuti ajaran-ajarannya. Seluruh kekuatan wilayah Agam menjadi daerah kekuasaan Padri. Kaum Paderi muncul sebagai kekuatan politik baru di pedalaman Minangkabau. Keberhasilan kaum Paderi menguasai wilayah Agam merupakan point history dimulainya penyusunan pemerintahan nagari yang bercorak agama (nagari a-la Paderi/pemerintahan a-la Paderi) dan menitikberatkan pada ajaran Islam sebagaimana yang dipahami oleh kaum Paderi. Pada setiap nagari yang telah dikuasai oleh kaum Paderi, diangkat dua orang ulama sebagai pimpinan (kepala) dengan panggilan Tuanku Imam (Imam) dan Tuanku Qadhi (Qadhi). Bila dihubungkan dengan berbagai teori politik maupun teori sosiologi, terlihat secara gamblang bahwa pemegang otoritas agama, pada umumnya tidak bisa melepaskan diri mereka dengan politik.

Dalam kasus gerakan Paderi, keterpinggiran pengaruh dalam realitas sosial membuat kalangan agamawan merasa tidak bisa berimprovisasi secara luas dalam realitas sosial. Maka jalan yang paling baik adalah merebut atau menciptakan sistem otoritas politik sendiri. Kasus Gerakan Wahabi di tanah Hejaz juga bisa dilihat dari perspektif ini. Walaupun, untuk kasus Paderi, kalangan elit agama ini hanya ingin mengembalikan posisi dan peran sosial mereka dalam entitas sosial masyarakat Minangkabau yang sejajar dengan elit adat. Namun dalam sistem kepemimpinan, kesejajaran dalam struktur kepemimpinan tersebut sangat sulit terwujud, pasti ada yang berada dalam posisi hegemoni. Dalam kasus kaum Paderi ini, elit agama yang selama ini terpinggirkan, ingin mengembalikan peranannya sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang agama, sejajar dengan kekuasaan penghulu sebagai pemegang pucuk pemerintahan nagari. Namun bila kita lihat secara teoritik, dalam sejarah pemikiran intelektual Minangkabau, pemegang otoritas agama sejak Islam sudah eksis di Minangkabau, tidak pernah lepas dari elit agama, dan tidak pernah diambil alih oleh elit adat misalnya, karena elit adat merasa tidak memiliki otoritas dan kapabilitas keilmuan. Akan tetapi reduksi pengaruh bisa terjadi. Setiap elit memiliki domain keilmuan atau otoritas sendiri, akan tetapi otoritas pengaruh bisa melintasi domain otoritas lain. Misalnya, elit adat yang memiliki otoritas dalam bidang adat dan elit agama dalam bidang agama. Itu domain mereka masing-masing.

Tapi bisa saja terjadi, elit adat tidak saja memiliki pengaruh dalam domain mereka masing-masing, namun pengaruh mereka bisa saja hingga ke domain elit lain, bahkan terkadang pengaruh mereka itu jauh lebih besar dibandingkan pemegang otoritas keilmuan dalam domain bersangkutan. Hal inilah yang terjadi sebelum gerakan Paderi muncul. Masing-masing elit memiliki domain sendiri-sendiri. Akan tetapi, dalam seluruh aspek kehidupan, justru domain elit adat jauh lebih besar. Bahkan dalam domain agama yang seharusnya pengaruh elit agama jauh lebih besar, bisa direduksi oleh elit adat. Kaum Paderi menyadari hal ini. Menguasai masyarakat bukanlah menguasai wilayah, akan tetapi yang paling penting adalah menguasai pengaruh. Peran mereka sebagai elit agama yang selama ini tereduksi oleh elit adat ingin mereka kembalikan. Dan mereka juga ingin membentuk sistem kepemimpinan a-la mereka sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa mereka ingin mereproduksi kondisi sosial yang lama, ingin mereduksi pengaruh elit adat.

Dengan membentuk tata nilai yang termanifestasi dalam tata politik yang dibentuk a-la Paderi maka kaum Paderi akan memiliki fleksibelitas dan keleluasaan dalam menjalankan misi dan motivasi dari gerakan mereka sendiri. Dalam arti kata, tata nilai yang dibentuk atau dicita-citakan hanya akan berjalan secara efektif bila tata politik dibentuk atau direbut. Tata politik berkorelasi dengan pengaruh (minimal pengaruh legal-formal). Jadi, merubah masyarakat akan efektif dan memiliki daya pressure and endorse apabila kekuasaan (bahkan lebih efektif bila kekuasaan yang hegemonik) dipegang. Selanjutnya nilai-nilai akan dibentuk sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi anutan si pemegang kekuasaan. Dalam konteks inilah, diasumsikan gerakan Paderi menyusun atau membuat pola kepemimpinan sendiri yang berbasiskan agama (Islam).

Tata nilai yang terbentuk tersebut, secara teoritis, akan didukung secara maksimal oleh pembuat dan individu yang simpati serta memiliki kepentingan dengan tata nilai tersebut. Namun, akan diterima secara minimal bahkan ditentang secara maksimal oleh kelompok yang merasa dirugikan akan kehadiran tata nilai baru tersebut. Daya tolak ini bisa saja disebabkan oleh dua hal, yaitu karena kehadiran tata nilai baru tersebut mereduksi tata nilai yang mereka miliki selama ini dan ini berkorelasi dengan eksistensi serta harga diri mereka. Kemudian kehadiran tata nilai baru itu akan ditolak apabila membuat mereka tidak bisa lagi menjalankan aktifitas sesuai dengan nilai yang selama ini mereka anut atau diperbolehkan oleh tata nilai dimana mereka hidup dan beraktifitas.

Rakyat awam yang selama ini mendapat kebebasan dalam bertindak dan beraktifitas sesuai dengan kehendak hati mereka masing-masing, karena kehadiran tata nilai baru yang berpotensi mengekang ”kondisi aman dan nyaman” yang selama ini telah mereka rasakan, tidak dapat menerima aturan-aturan yang telah ditetapkan (baca: dipaksakan) oleh kaum Paderi. Terjadi reaksi, atau dalam bahasa sosiologisnya, resistensi sosial. Dalam keadaan seperti ini, maka elit-elit adat akan menjadi tempat yang paling tepat untuk berlindung bagi rakyat awam. Dalam teori kepemimpinan politik dikatakan bahwa suatu kelompok sosial yang (merasa) dikalahkan akan berafiliasi kepada kelompok sosial yang mereka yakini juga dikalahkan, walaupun pra-kondisi sebelumnya, kelompok sosial tersebut awalnya bertentangan dengan kelompok sosial tempat mereka berafiliasi itu.

Sebagai orang yang memiliki otoritas tertinggi dalam nagari dan pemimpin suku dalam kaum, tentu saja elit-elit adat tidak menginginkan kondisi yang demikian tersebut. Ditambah lagi dengan kehadiran tata kepemimpinan (Imam dan Qadhi) yang diperkenalkan oleh kaum Paderi tentu elit-elit adat merasa akan tereduksi pengaruh mereka yang selama ini dominan bahkan hegemonik. Sebagai petinggi adat yang bertugas memelihara anak kemenakan serta seluruh warga sukunya tidak akan membiarkan anak kemenakan serta seluruh warga sukunya menjadi korban kekerasan kaum Paderi. Untuk itu, para penghulu sepakat untuk mempertahankan hegemoni mereka, mempertahankan kekuasaan mereka yang telah ”direbut” oleh kaum Paderi. Akhirnya mereka mencari momentum untuk ”meledakkan” kemarahan mereka terhadap kaum Paderi.

Setelah berhasil menanamkan pengaruh mereka di daerah Agam, dan meletakkan tata pemerintahan a-la Paderi (memfungsikan secara maksimal peran Imam dan Qadhi), maka usaha kaum Paderi berikutnya adalah mengikis habis feodalisme yang dipersonifikasikan pada pengaruh Kerajaan Pagaruyung yang mereka anggap memiliki potensi besar dalam menghalangi pembaharuan Islam yang mereka lakukan. Penyerangan-penyerangan terhadap beberapa nagari-pun mulai dilakukan. Pendekatan anarkis-radikal-destruktif dianggap pola terbaik dan efektif yang harus dilakukan. Maka banyak kalangan adat yang menyerahkan diri atau melarikan diri ke daerah-daerah lain. Bahkan Tuanku Nan Tuo, ”sang guru ideologis” yang selama ini cenderung persuasif, tidak luput dari penyerangan ”murid-murid ideologisnya”. Surau tempat ia mengajar dibakar. Balairung-balairung adat pun banyak yang menjadi puing-puing. Dibakar oleh kaum Paderi. Dalam setiap penalukkan, kaum Paderi otomatis meletakkan dasar kepemimpinan a-la mereka, disamping tentunya pendekatan Islam yang primordial kepada masyarakat.

Beberapa pimpinan kaum Paderi, seperti Haji Sumanik juga bergerak radikal di wilayahnya, Tanah Datar. Akan tetapi, di daerah pusat kerajaan Minangkabau ini, Haji Sumanik tidak mendapat hasil yang maksimal, bahkan bisa dikatakan gagal. Hal ini dikarenakan, kalangan adat (dalam hal ini penghulu) bersatu menghambat pengaruh yang disebarkan Haji Sumanik. Di daerah kultural Minangkabau ini, penghulu yang primus interpares tersebut, masih memiliki pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat. Keberhasilan kaum Paderi menanamkan pengaruh mereka di daerah-daerah Agam, telah menyadarkan kaum adat di Tanah Datar bahwa kaum Paderi pada prinsipnya berambisi untuk merebut kekuasaan dari penghulu. Karena kondisi sosial yang berbeda dengan daerah-daerah di Agam, maka akhirnya Haji Sumanik terpaksa hijrah ke daerah Lintau.

Sementara itu, di daerah-daerah lain seperti di Lintau, Tuanku Pasaman mampu mensosialisasikan misi gerakan Paderi kepada masyarakat. Penerimaan masyarakat cukup baik, karena fokus Tuanku Pasaman hanya kepada perbaikan moralitas masyarakat dan pola sosialisasinya lebih persuasif, bukan radikal-destruktif sebagaimana yang terjadi di daerah Agam. Atas inisiatif beliau pulalah akhirnya pada tahun 1815, diadakan perundingan antara kaum Paderi dengan keluarga dan pembesar-pembesar kerajaan Minangkabau. Dalam perundingan tersebut, terjadi perbedaan pendapat yang pada akhirnya terjadi perkelahian antara keluarga dan pembesar kerajaan Minangkabau dengan tokoh-tokoh Paderi. Seluruh keluarga dan pembesar kerajaan Minangkabau tewas, kecuali raja beserta cucunya yang dapat meloloskan diri ke Kuantan di Lubuk jambi. Peristiwa ini mengakhiri kekuasaan raja alam Minangkabau. Sentral politik-kultural Minangkabau diruntuhkan oleh kaum Paderi. Nagari-nagari lain secara berangsur-angsur banyak yang menyerahkan diri. Beberapa penghulu yang tidak mau tunduk dengan kaum Paderi, banyak yang lari ke Batipuh, sebuah nagari yang tidak mau tunduk dengan kaum Paderi. Meskipun kaum Paderi berhasil menyingkirkan kekuasaan Minangkabau, mereka tidak segera mengambil alih sentral kekuasaan kultural tersebut. Tampak disini, keinginan kaum Paderi pada prinsipnya adalah ingin menaikkan daya tawar politik mereka di tengah-tengah masyarakat dan tidak murni meraih kekuasaan an-sich.

Praktis di Minangkabau pada waktu ini, otoritas hegemonik berada di tangan elit agama (baca: kaum Paderi). Elit adat yang selama ini merasa bahwa otoritas sosial berada di tangan mereka, merasa tidak senang dengan kondisi ini. Apalagi setelah kejatuhan kerajaan alam Minangkabau, sebuah institusi supra yang secara kultural melindungi eksistensi mereka. Akhirnya, ”matahari” lain dari kalangan out-group mereka datangkan, kolonial Belanda. Mereka meminta bantuan kepada Belanda untuk memulihkan kembali kekuasaan mereka yang dirampas oleh Paderi. Permintaan tersebut langsung diterima oleh De Puy dan kemudian melanjutkan atau merekomendasikannya ke Batavia. Permintaan pertama ditolak karena mengingat jumlah kekuatan militer Belanda di Minangkabau tidak begitu besar. Kemudian, pada tahun 1821, dibuatlah perjanjian antara kaum adat dengan Belanda. Dari pihak Belanda ditandatangani oleh De Puy, sementara di pihak adat ditandatangani oleh Sutan Bagagarsyah, Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam serta berbagai penghulu dari berbagai daerah di Luhak Tanah Datar.

Permohonan bantuan ini nampaknya dilakukan secara total. Hal ini terlihat dari siapa-siapa saja yang ikut dalam rombongan penandatangan perjanjian tersebut. Menurut data sejarah, rombongan secara keseluruhan berjumlah 20 orang yang mengatasnamakan 103 penghulu di Luhak Tanah Datar, diluar keluarga dan kerabat kerajaan Alam Minangkabau. Pemerintah Hindia Belanda yang waktu itu baru saja menerima sebagian kecil wilayah pantai barat Sumatera dari pemerintah sementara Inggris dengan segera menyetujui permintaan bantuan tersebut. Apalagi rombongan tersebut menjanjikan imbalan kepada Belanda. Perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian 10 Februari 1821 tersebut kemudian dikukuhkan. Beberapa point-point penting dari perjanjian tersebut antara lain : (1). Kepala-kepala pemerintahan (penghulu) dari kerajaan Minangkabau, secara formal dan mutlak menyerahkan Pagaruyung, Sungai Tarab dan Saruaso begitu juga daerah-daerah sekeliling Kerajaan Minangkabau kepada pemerintah Hindia Belanda. (2). Penghulu-penghulu tersebut berjanji untuk patuh dan tidak menentang perintah apapun dari Belanda. (3). Dalam rangka menguasai daerah-daerah yang telah diserahkan kepada Belanda, untuk melindungi rakyat dari kaum Paderi, untuk menghancurkan kaum Paderi dan menciptakan perdamaian di Minangkabau, pemerintah Hindia Belanda menyediakan satuan tentara sebanyak 100 orang dan dua pucuk meriam. (4). Para penghulu diharuskan menyediakan kuli-kuli dalam jumlah yang dibutuhkan dan mengurus makanan tentara sebaik-baiknya. (5). Adat dan kebiasaan lama dan hubungan penghulu dengan penduduk akan dipertahankan dan tidak akan dilanggar selama tidak bertentangan dengan pasal-pasal dalam perjanjian.

Selanjutnya, kaum Paderi berhadapan vis a vis melawan Belanda. Perang Paderi pun mulai dicatat dalam sejarah. Gerakan ini kemudian pada tahun 1838 dikalahkan oleh Belanda. Sementara itu, tujuan penghulu meminta bantuan kepada Belanda agar posisi mereka sebagai elit adat dan mengembalikan pengaruh mereka kembali yang telah diambil oleh elit agama, justru kontraproduktif akibat Perjanjian yang telah mereka tanda tangani dengan Belanda. Mereka menjadi ”lebur” dalam mesin kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dan semakin aktif dalam menyukseskan eksploitasi ekonomi Belanda. Akibatnya, kekalahan Paderi tidak serta merta menghilangkan pengaruh mereka. Justru yang terjadi adalah kemenangan elit adat membuat mereka tercatat dalam sejarah sebagai ”penjilat” dan merendahkan martabat orang Minangkabau. Politik balas dendam elit adat terhadap bekas pengikut kaum Paderi justru membuat banyak kalangan masyarakat Minangkabau merasa muak dengan tingkah polah mereka, apalagi pemerintah Belanda tidak berupaya menjauhkan diri dari elit agama, bahkan mereka berusaha untuk selalu mendekatinya.


Syair Sunur : "Kerinduan Seorang Ulama Minangkabau "

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Syair Sunur (SSn) adalah sebuah naskah Melayu-Minangkabau klasik yang belum banyak dikenal oleh filolog Indonesia, khususnya yang berasal dari Sumatra Barat. Ini misalnya dapat dikesan dari pembicaraan Hasanuddin WS tentang filologi Minangkabau dalam buletin kebudayaan Suratkabar (Edisi 03/April 2002:12-13), yang tidak menyebut SSn dalam daftar judul-judul naskah Minang yang disenaraikannya. Leni Nora dari Fakultas Sastra Universitas Andalas pernah membicarakan SSn berdasarkan satu fotokopi salinan tercetaknya yang tersimpan di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang (lihat Leni Nora: “Syair Sunur: Transliterasi dan Tinjauan Isi” [Skripsi Fak. Sastra Universitas Andalas, 2000). Kajian yang cukup komprehensif mengenai SSn sudah saya lakukan untuk meraih gelar MA di Universitas Leiden (2002). Penelitian itu menelusuri salinan-salainan SSn yang masih ada sampai sekarang (manuskrip/tulisan tangan maupun tercetak), konteks sosial, dan pengarangnya. Tesis itu telah terbit dalam bentuk buku, berjudul: Syair Sunur: Teks dan Konteks ‘Otobiografi‘ Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19 (Padang: YDIKM & Yayasan Citra Budaya, 2004; lihat: www.ranah-minang.com).

Khusus mengenai pengarang SSn, sudah saya bahas dalam sebuah paper berjudul “Shaikh Daud of Sunur: Conflict between Reformists and The Shattâriyyah Sûfî Order in Rantau Pariaman in the First Half of the Nineteenth Century,” Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 3 (2001):57-124.SSn dikarang oleh Syekh Daud, seorang ulama yang berasal dari Sunur, sebuah desa pantai yang terletak antara Ulakan dan Pariaman, Sumatra Barat. Beliau lahir di Koto Gadis (satu dari 15 jorong dalam nagari Sunur) kira-kira antara tahun 1785 dan 1790 dan wafat di Singkil, pantai barat Aceh, sekitar tahun 1855. Kenapa dia mengarang SSn? Kita dapat mengetahuinya berkat informasi dari seorang indo asal Padang yang bernama Arnold Snackey (ca.1850-1896) yang di akhir abad ke-19 menulis satu buku kecil mengenai SSn berjudul: Sair Soenoer, Ditoeroenkan dari ABC Melajoe-Arab (Betawi: Albrecht & Co.,1888). Bedasarkan informasi Snackey yang diperkaya dengan sumber-sumber eksternal, maka saya dapat merekonstruksi kisah hidup Syekh Daud sebagai berikut.

Di tahun-tahun awal gerakan Paderi di Padangsche Bovenlanden (dicetuskan tahun 1803), seorang santri dari pantai barat—Daud anak Syekh Badaruddin dari Sunur—pergi belajar agama ke sebuah surau terkenal di darek, kemungkinan ke Cangking. Agak aneh bahwa sang ayah tidak menyekolahkan anaknya ke Ulakan yang dekat dengan kampungnya. Mungkin otak Syekh Badaruddin, sang ayah, punya bibit pikiran reformis. Di awal tahun 1830-an Daud muda sudah khatam Qur‘an dan tamat kaji. Ia yang sudah mendapat pencerahan pikiran dan terpengaruh oleh ide kaum Paderi kembali ke kampungnya di Sunur yang waktu itu masih kuat diselimuti oleh tradisi tarekat Syattariyah Ulakan yang ortodoks. Ulama muda yang bersemangat itu langsung mengadakan pembaruan dan pemurnian agama di kampungnya, memberantas bid‘ah dan sinkretisme yang selama ini dipraktekkan oleh ‘Agama Ulakan‘. Dengan kata lain: Daud ingin mengembangkan ajaran Paderi (paham Wahabi) di Sunur. Ia segera mendapat pengikut dan kini bergelar syekh. Tapi tak sedikit pula yang menentangnya.

Tindakan Syekh Daud itu tentu saja ibarat kambing yang berlagak jago di sarang macan. Kaum adat di kampungnya, khususnya para datuk (yang waktu itu suka berbini banyak) merasa terancam oleh aktivitas Syekh Daud. Demikian juga halnya kaum ulama ortodoks yang berkiblat ke Ulakan. Salah seorang yang menentang dengan keras ide dan aktivitas Syekh Daud di Sunur adalah Tuanku Syekh Lubuk Ipuh, seorang ulama kharismatik dari desa tetangganya, Lubuk Ipuh (sekarang masuk wilayah Kurai Taji). Ulama ini adalah seorang pendukung fanatik Ordo Ulakan (sampai sekarang penduduk Lubuk Ipuh di bawah pimpinan Ungku Kali, keturunan Tuanku Syekh Lubuk Ipuh, masih tetap berkiblat ke Ulakan dan dikenal sebagai ‘orang puasa kemudian‘). Keduanya lalu berdebat di depan publik di Sunur, yang menurut Snackey terjadi sebelum tahun 1838. Syekh Daud kalah dalam perdebatan itu. Ternyata Tuanku Lubuk Ipuh lebih tinggi ilmunya. Syekh Daud malu hati, tak tahan tinggal di kampungnya, dan akhirnya ‘melarikan diri‘ ke Mekah untuk memperdalam ilmu. Ia tinggal beberapa tahun di Mekah dan disana Syekh Daud menulis satu syair yang berjudul Syair Rukun Haji (SRH) yang menggambarkan prosesi ibadah haji, pemandangan di kota Mekah dan Madinah, dan gerakan pembaruan Islam yang sedang terjadi di Semenanjung Arabia. Tidak lama kemudian naskah SRH sampai ke pantai barat Sumatra, mungkin dibawa oleh jemaah haji Melayu/Minangkabau yang pulang dari Mekah. Nama Syekh Daud jadi harum karenanya. Merasa sudah terkenal ia kembali ke Pariaman. Tapi rupanya di Sunur Tuanku Lubuk Ipuh masih berkuasa dan malah, hebatnya, berhasil mengawini Umi Salamah, anak perempuan tunggal ‘sibiran tulang‘ Syekh Daud.

Syekh Daud jadi semakin benci kepada adat Minangkabau dan kaum ortodoks Ulakan. Ia semakin dipermalukan oleh Tuanku Lubuk Ipuh yang berhasil mengawini anaknya. Untuk kedua kalinya Syekh Daud ingin pergi ke Mekah. Tapi sayang, baru sampai di Trumon—sebuah kerajaan kecil di pantai barat Aceh yang kaya karena perdagangan lada—ia jatuh sakit dan kehabisan uang. Akhirnya Syekh Daud menetap di Trumon. Disana ia menikah lagi dengan seorang wanita kerabat Raja Bujang, penguasa Trumon (1814-1835). Dari perkawinan itu ia beroleh beberapa orang anak, seorang di antaranya kemudian menjadi ulama terkenal pula, bernama Syekh Muhammad Adam. Syekh Daud juga menjadi guru agama Nyak Bata, putra mahkota Trumon. Nyak Bata adalah anak Raja Bujang dari salah seorang istrinya, seorang wanita indo yang oleh rakyat Trumon dipanggil ‘Si Nona‘. Ayah ‘Si Nona‘ adalah seorang lelaki Aceh dan ibunya seorang wanita kulit putih bernama Kaatje Stoolte, anak seorang dokter Eropa di Padang. Kaatje bule dan si bujang Aceh itu bertemu di Padang dan kemudian saling jatuh cinta. Ketika bajak laut Le Même asal Perancis menyerang Padang di tahun 1793 pasangan yang dimabuk cinta itu melarikan diri dari kota itu dan akhirnya terdampar di Trumon.

Walaupun dekat dengan keluarga istana Trumon, rupanya Syekh Daud menderita batin di rantau yang jauh itu. Ia rindu pulang ke Sunur. Kemudian ia menulis satu syair untuk mengungkapkan kerinduannya itu. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Syair Sunur. Di dalam SSn Syekh Daud mengekpresikan kerinduannya kepada kampung halamannya, rasa nelangsa jiwa seorang perantau Minangkabau, dan rasa kangennya kepada anak kandungnya, Umi Salamah, yang ditinggalkannya di Sunur. Tak ada petunjuk tekstual kapan SSn ditulis oleh Syekh Daud, tapi diperkirakan lebih awal dari tahun 1850. Syair itu kemudian dikirimkannya ke Sunur, membuat orang disana merasa sedih setelah membacanya. Pada suatu hari di tahun 1855 orang Sunur yang merasa kasihan kepada pemimpinnya yang ‘terbuang‘ itu berlayar ke Trumon dengan 6 buah kolek (biduk) untuk menjemput Syekh Daud. Menurut Snackey lagi, mereka membawa satu syair balasan dari Umi Salamah untuk ayahnya (sayang tidak satupun salinan syair itu ditemukan sekarang). Berdasarkan cerita Muhammad Saleh Datuk Orang Kaya Besar, seorang Pedagang besar Pariaman yang menulis biografinya, Riwayat Hidup dan Perasaian Saya (huruf Jawi, 1914 [cet.ke-2. 1965, huruf Latin]), diperkirakan jarak Sunur [Pariaman]–Trumon one way dapat ditempuh kolek atau sekunar selama 7-10 hari, tergantung angin dan cuaca di laut (pada masa itu kapal api/kapal asap belum ada). Para penjemput itu berhasil bertemu dengan Syekh Daud dan mereka membawa ulama yang kesepian itu pulang ke Sunur. Akan tetapi sesampai di lepas pantai Singkil, tidak begitu jauh di selatan Trumon, Syekh Daud menghembuskan nafas terakhirnya. Keenam kolek itu menepi ke pantai untuk menguburkan jasadnya. Sang wanderer itu ternyata tak pernah sempat melihat kampung halamannya lagi.

Pada tahun 1858 Syekh Muhammad Adam, anak Syekh Daud di Trumon, pergi ke Sunur untuk meneruskan ‘perjuangan‘ ayahnya (mungkin juga untuk melihat saudara seayahnya: Umi Salamah). Sesampai di Minangkabau ia bergabung dengan beberapa tokoh tarekat Naqsyabandiyah di darek, meneruskan gerakan pembaharuan melawan kaum ortodoks (Snackey 1888:14). Sebagaimana sikap ayahnya, Syekh Muhammad Adam juga lebih dekat dengan para ulama reformis di darek daripada ulama-ulama Ordo Ulakan. Sebelum kembali ke Sunur, bersama-sama dengan Syekh Ahmad bin Jalaluddin atau Tuanku Syekh Cangking , salah seorang bekas murid ayahnya, dan ulama-ulama dari Pasir, Silungkang, Bonjol, dan tempat-tempat lainnya di darek, Syekh Muhammad Adam pergi menemui Tuanku Syekh Muhammad Tahir Barulak di Padang Ganting untuk menyusun perjuangan bersama melawan kaum ortodoks. Snackey mengatakan Syekh Muhammad Adam semula menetap di Cangking tapi kemudian kembali ke Sunur setelah Syekh Ahmad bin Jalaluddin (Tuanku Syekh Cangking) wafat. Syekh Muhammad Adam akhirnya berhasil mengubah pendirian agama Tuanku Lubuk Ipuh. Tuanku itu dan istrinya, Umi Salamah, akhirnya menerima ajaran baru (pindah dari Mazhab Syafi‘i ke Mazhab Hanafi). Konon kabarnya Syekh Muhammad Adam juga telah menulis satu syair yang menceritakan hal ihwal kaumnya (masyarakat) Sunur. Tapi sekarang tidak ada bukti dan informasi mengenai syair tersebut. Umi Salamah meninggal tahun 1876 di Sunur. SSn (dan SRH) adalah dua teks Melayu-Minangkabau klasik yang sarat dengan informasi historis, tapi sayang belum banyak disentuh oleh peneliti kita. Kisah Syekh Daud menunjukkan penetrasi gerakan Paderi yang gagal menembus benteng kokoh tarekat Syattariyah Ulakan. Memang sampai berakhirnya riwayat Paderi (1838), Pariaman tetap menjadi benteng kuat Ordo Ulakan, yang telah menjadi enclave dalam kepungan ephoria pembaharuan agama yang sudah menjalari bagian tengah pulau Sumatra.

(c) Suryadi, ditulis ulang dari artikel di www.melayuonline.com/html

Jejak Historis Pola Pemerintahan Politik Ulama Paderi

Oleh : Rusydi Ramli & Muhammad Ilham

Penelitian yang dilakukan di daerah Luhak Agam (sebagai minor spacial). Daerah ini merupakan basis dari Gerakan Paderi. Dari konteks sosiologis, pada umumnya daerah basis akan merupakan daerah yang paling pertama merasakan sosialisasi nilai-nilai, dan daerah basis ini juga biasanya yang pertama sekali merasakan implikasi dari sosialisasi dan aplikasi nilai-nilai tersebut. Value of Originality from Origynal Society, kata B.O.J. Schrieke. Secara sederhana, ungkapan Schrieke ini bisa kita pahami bahwa untuk melacak substansi sebuah ide atau nilai, carilah pada masyarakat tempat ide itu lahir dan tumbuh-berkembang. Begitu juga dengan dinamika dari ide tersebut. Luhak Agam merupakan basis gerakan Paderi. Sebagaimana yang telah dideskripsikan dalam Bab terdahulu, di daerah inilah, figur-figur sentral gerakan Paderi berproses, di daerah ini pulalah para figur-figur tersebut membuat pilot project, nagari percontohan – tata nilai percontohan – tata kepemimpinan percontohan a-la Paderi yang kemudian mereka transfer dan aplikasikan kepada nagari-nagari lain dengan berbagai cara (baik persuasif maupun radikal-destruktif-anarkis).

Di daerah ini pula, para figur Paderi mendapat “tempat yang nyaman” – meminjam istilah Taufik Abdullah – untuk berproses. Luhak Agam dalam tataran adat lebih dikenal dan lebih dekat pada kelarasan Bodi Caniago, sebuah sistem yang egaliter dan tidak mengenal sistem kepemimpinan hirarkis, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Konsekuensi dari dekatnya sistem adat Bodi Caniago pada masyarakat Luhak Agam, sehingga dalam struktur kepemimpinan kultural tidak dikenal adanya Datuk Pucuk. Datuk Pucuk adalah sebuah posisi hirarkis yang menempatkan satu orang penghulu sebagai pimpinan yang dipersonifikansikan dengan ”pucuk” yang terletak di atas. Di daerah pesisir Minangkabau, konsep Datuk Pucuk tidak dikenal, walaupun dalam prakteknya ada Penghulu yang ”dituakan” yang biasanya dipanggil dengan ”Rang Tuo Rajo”. Di Luhak Agam, para penghulu mempunyai kedudukan yang sama. Bila dihubungkan fakta-fakta sosiologis antara karakteristik gerakan Paderi dengan karakteristik sistem adat yang dipakai, terdapat korelasi fakta sosial yang matching. Gerakan Paderi adalah gerakan puritan yang substansinya terletak pada prinsip-prinsip kesamaan hak dan egaliterianisme ide gerakannya. Sementara kelarasan (sistem adat) Bodi Caniago juga menempatkan prinsip-prinsip dasar egaliterianisme.

Walaupun belum ada studi yang cukup mendalam mengenai korelasi dua fakta sosial tersebut, namun bisa diasumsikan ada hubungan logis antara gerakan Paderi dengan Bodi Caniago. Daerah-daerah yang mayoritas menganut sistem adat Bodi Caniago, diasumsikan memiliki ”daya tahan” untuk menerima ide-ide Paderi dan memeliharanya dibandingkan daerah-daerah yang menganut sistem adat Koto Piliang. Walaupun sebenarnya tidak bisa dipungkiri bahwa dalam tatanan nilai yang ditawarkan oleh Paderi, terdapat juga struktur sosial yang bernuansa hirarkis, namun secara substantif, gerakan Paderi adalah gerakan pemurnian ajaran Islam yang menganggap sistem sosial yang ditawarkan Rasulullah SAW dan kaum Wahabi adalah sistem yang sangat ideal untuk dipraktekkan. Sistem sosial yang ditawarkan (setidaknya menurut perspektif kaum Wahabi dan gerakan Paderi) adalah sistem sosial yang tidak ”eksploitatif-hirarkis” tapi egaliter-demokratis sebagaimana yang menjadi ”ruh” Bodi Caniago.

Di daerah Luhak Agam yang mayoritas menganut sistem adat Bodi Caniago tersebut, keberadaan Urang Ampek Jinih dan Jiniah Nan Ampek tetap ada, tapi sebutan atau jabatannya agak berbeda dengan panggilan dalam sistem adat Koto Piliang. Sesuai dengan mamang adat ”adat salingka nagari” masing-masing nagari tampaknya sepakat menggunakan istilah Urang Ampek Jinih tapi berbeda dalam susunan dan sebutan perangkat, misalnya pada nagari Kamang (baik daerah Kamang Mudiak maupun Kamang Hilia, dan diasumsikan juga sama untuk daerah sekitarnya) Urang Ampek Jinih itu adalah Penghulu, Tuanku, Manti dan Dubalang. Sedangkan pada Nagari Candung Koto Laweh, tidak mengenal istilah Manti dan Dubalang, tapi perangkat penghulu adalah Juaro dan Urang Mudo. Sedang Jiniah Nan Ampek adalah Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal.

Kepemimpinan agama yang secara melembaga (instututionalized) terlihat pada Jiniah Nan Ampek. Pertanyaan penelitian tentang fungsi kepemimpinan agama sebagaimana yang dibentuk oleh Paderi apakah masih berfungsi sebagai mana pada masa Padri dan bagaimana eksistensinya, masih terlihat di daerah-daerah seperti Candung Koto Laweh dan Kamang (walaupun dalam prakteknya ada perbedaan-perbedaan, tapi secara substantif pengaruh Paderi tersebut masih terlihat). Dari beberapa daerah yang dijadikan objek penelitian, terdapat daerah yang memiliki konsistensi historis terhadap sistem kepemimpinan yang dibentuk oleh kaum Paderi, ada beberapa daerah yang ”berimprovisasi” dan beradaptasi dengan perkembangan waktu, namun secra substantif tentang memakai semangat dan nilai-nilai atau sistem kepemimpinan yang diterapkan kaum Paderi tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dobbin, kaum Paderi pada setiap desa yang didudukinya mewajibkan mengangkat seorang Qadhi yang berfungsi berdampingan dengan Dewan Desa (Penghulu). Kontribusinya tidak begitu signifikan dalam bidang permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan, apalagi dalam bidang politik. Kontribusinya akan signifikan ketika berhubungan dengan sosial keagamaan seperti upacara-upacara keagamaan (seperti ritual-ritual life cyrcle) maka dia-lah yang menjadi hakim agungnnya. Nagari juga wajib mengangkat seorang imam yang bertugas menguraikan secara rinci ayat-ayat al-Quran dan melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Kaum Paderi, menerapkan sistem kepemimpinan a-la mereka dengan menempatkan Qadhi dan Imam dalam posisi yang setara dengan penghulu secara intens dan telah menjadi pilot project pada masa itu yaitu daerah Kamang dan Ampek Angkek, dua daerah yang termasuk basis paling utama gerakan Paderi.

Di nagari Kamang Mudiak, Qadhi dan Imam (Jinih Nan Ampek) difungsikan pada mesjid-mesjid yang disebut kemudian disebut sidang. Qadhi sebagi ketua (pimpinan) dari Jiniah Nan Ampek (Imam, Khatib dan Bilal) yang bertindak sebagai hakim dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut agama (Islam). Sebelum ada Petugas Pencatat Nikah yang ditinjuk oleh negara (baca: Pemerintah) yang biasa dikenal dengan P3NTR (sekarang Penghulu) maka Qadhi-lah yang melaksanakankan akad nikah. Bahkan Qadhi bisa bertindak sebagai Wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. Di daerah ini, Q adhi dan perangkatnya hanya berada pada tingkat sidang (masjid) atau jorong, tidak pada tingkat nagari. Sistem rekruitmen Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal sidang/masjid melalaui proses pemilihan dan diangkat oleh masyarakat dari yang biasanya diambil dari Jinih Nan Ampek pada suku-suku. Karena pada setiap suku ada jabatan Jinih Nan Ampek yang melekat pada Urang Ampek Jinih. Menurut Hamka, apabila penghulu-nya bergelar Datuk Marajo, maka Qadhinya bergelar Qadhi (Kali) Marajo dan Imam Marajo dan seterusnya.

Di daerah Magek, Kamang Hilia dan Kamang Mudiak, Angku atau Tuanku Qadi dan perangkatnya yang bertugas pada sidang (masjid) dipilih oleh masyarakat dengan memperhatikan illmu keagamaan sesuai bidangnya dan ketokohannya pada masyarakat. Kapabilitas dan kualitas menjadi seorang Qadhi begitu ”ideal” sekali, maka tidaklah mengherankan apabila pada masa-masa sebelum rezim Orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tersebut bahkan juga terlihat secara nyata pada masa akhir penjajahan Belanda, peranan Angku Kali (Qadhi) sangat kuat sekali dan disegani oleh masyarakat. Seorang Qadhi dipilih memang karena ia layak dianggap masyarakat sebagai Qadhi, baik dari segi ilmu maupun moralitasnya. Penilaian masyarakatlah yang menjadi patokan paling utama, bukan penilaian pemerintah ataupun struktur-jentera adat yang ada. Seorang Qadhi diangkat karena memang masyarakat menganggap beliau layak dalam pandangan dan pemahaman masyarakat, untuk menjadi Qadhi. Hal ini ditambah dengan keluasan wilayah ”peran”nya. Sebuah peran yang dianggap urgen oleh masyarakat. Sekarang peran ini agak berkurang disebabkan adanya Petugas pencatat Nikah dari pemerintah.

Dalam perspektif teori Struktural Fungsional pada Bab sebelumnya terlihat secara gamblang bahwa menghilangkan apresiasi masyarakat atau apresiasi komunitas sosial dimana ia berkiprah bisa dilakukan dengan jalan mendisfungsikan perannya atau terjadinya perubahan suatu struktur sehingga mempengaruhi struktur yang lain. Peran dan fungsi Qadhi yang begitu signifikan dan apresiasi masyarakat yang sangat tinggi membuat Qadhi bisa memerankan fungsinya sebagai salah satu jentera Urang Ampek Jinih secara maksimal. Suaranya didengar, pendapatnya dipertimbangkan. Pribadinya dihormati, posisinya dianggap sebagai sebuah posisi yang hanya bisa diperoleh oleh orang-orang yang memiliki kualitas keilmuan dan kualitas moral tinggi. Dalam pembagian tugas, Penghulu menyelasaiakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan adat sedangkan Qadhi dan perangkatnya bertugas dalam masalah agama. Ada job description yang jelas, adat adalah domain penghulu, sementara agama adalah domain Qadhi. Sebagai contoh kalau terjadi sumbang salah dalam nagari, maka yang memiliki kapabilitas dalam menyelesaikannya adalah Qadhi dan perangkatnya yang diawali dari suku. Artinya, terdapat ”alur-birokrasi” penyelesaian kasus. Berawal dari internal suku. Sekiranya Jinih Nan Ampek tidak bisa menyelesaikannya baru, dibawah pada Ninik Mamak pada tingkat Taboh dan kemudian baru pada tingkat Nagari. Menurut Dt. Mareko biasanya masalah ini hanya sampai pada tingkat Jinih Nan Ampek. Biasanya penyelesaian permasalahan sumbang salah dalam sidang tersebut juga melibatkan penghulu kaum/suku atau Taboh. Karena melibatkan penghulu kaum tersebut, maka di daerah Kamang Magek tersebut, boleh dikatakan jarang sekali kasus-kasus sumbang salah sampai kepada nagari.

Masjid sebagai simbol syarat bernagari (Babalai bamusajid, balanbuah batapian) yang sekaligus sebagai sentra kegiatan agama berada dibawah penguasaan Qadhi dan perangkatnya. Sekalipun pada masa pemerintahan desa terbentuk adanya penguus Masjid tapi Qadhi yang termasuk dalam kepantian masjid tetap sebagai pengendali dari kegiatan masjid, seangkan pengurus lebih mengaah pada pembangunan phisik. Jabatan Qadhi juga terdapat dalam sidang Dewan Penghulu pada nagari Kamang Mudiak tapi tidak pada nagari kamang Hilia. Qadhi pada sidang Dewan Penghulu tidak terkait dengan Qadhi pada sidang Masjid (Jenih nan ampek). tapi Qadhi yang diangkaat dalam sidang dewan penghulu dari kalangan penghulu itu sendiri. Adapun tugasnya untuk memonitor, menyumpah dan mamagang keputusan dari hasil sidang penghulu. Qadhi dalam rapat (sidang) ini dipilih dari kalangan Penghulu dan diangkat oleh sidang penghulu dan masa jabatannya hanya selama sidang/rapat atau bersifat insidentil-kasuistik, akan tetapi tetap mempertimbangkan kapabilitas keilmuan moralitas. Biasa dan bisa saja, seorang penghulu memiliki kapabilitas keilmuan agama (Islam) yang mumpuni dan dipandang padil menurut pandangan para penghulau sehingga dalam beberapa sidang atau rapat, seorang Qadhi langsung dipilih pada waktu sidang sedang atau telah selesai berlangsung.

Sebagaimana peneliti saksikan dalam sidang perkara antar kaum dalam sebuah suku di jorong Pauh nagari Kamang Mudiak, dimana terpilih Amiruddin Dt Mareko sebagai Qadhi. Beliaulah yang menyumpah kedua belah kaum yang bertikai mengenai harta dengan meletakkan keris di atas Cerano yang diserahkan oleh kaum yang akan disidangkan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka (kedua belah pihak) siap untuk disumpah yang dilakukan penyumpahannya oleh Qadhi menurut agama dan adat dihadapan sidang. Antara lain sebagai sangsi bila berbohong dan melanggar sumapah dikatakan ”Ka ateh indak bapucuk, kabawah indak bauerek, ditangah-tangah diliriak kumbang”.

Setelah sang Qadhi menyelesaikan tugasnya (yang sangat tergantung pada materi rapat) maka posisi Qadhi lepas dengan sendirinya, dan kembali lagi kepada posisi Penghulu. Qadhi sidang ini ada pada setiap sidang terutama pada sidang perkara persengketaan, baik pada tingkat suku, Toboh maupun pada tingkat Nagari. Menurut Amruddin Dt. Mareko, biasanya yang terpilih menjadi Angku Kali (Qadhi) pada sidang penghulu adalah penghulu yang dianggap mempunyai ilmu agama, mempunyai latar belakang pendidikan agama dan dianggap lebih paham tentang hukum syarak. Dalam konteks ini, bisa dipahami bahwa secara substantif, Jabatan Kali/Qadhi yang bersifat insedentil ini merupakan kelanjutan (continuity) dari ide Paderi yang mengangkat Imam dan Qadhi pada setiap nagari yang kemudian disebut dengan Imam dan Qadhi nagari. Pada masa ini tidak ada lagi jabatan Imam dan Qadhi Nagari yang ada adalah Qadhi dan Imam pada sidang (masjid), disamping jabatan yang eksklusif-gemmeinschaaft.

Secara tradisional Penghulu berfungsi sebagai pimpinan kaumnya dan sekaligus pimpinan pemerintahan dari nagari (Dewan Kerapatan Adat). Pada awal gerakannya, Paderi berusaha untuk menggantikan kepemimpinan penghulu dengan kepemimpinan agama terutama pada daerah-daerah basis perjuangannya. Kemudian struktur kepemimpinan tersebut mengalami perubahan, yakni masa Paderi periode ke-dua, masa Belanda awal melalui Perjanjian Plakat Panjang-nya, dan kemudian dengan adanya Ordonansi 27 Septeber 1918, dilanjutkan perobahan pada awal kemerdekaan dan setelah PRRI pada akhir tahun 1960-an serta pada masa Orde baru (l976) dengan menggantikan Pemerintahan Nagari dengan Desa melalui Undang-Undang Nomr 5 tahun 1976 Tentang Pemerintahan Desa. Maka difungsikannya Qadhi yang bersifat insidental tersebut pada sidang-sidang Dewan Penghulu sebagai hasil perobahan atau dalam istilah Mochtar Naim sebagai ”metamorfosis” kultural.

Menurut Dt Singgo Gayua, sebelum PRRI jabatan Qadhi adalah sebuah jabatan yang sangat berpengaruh dalam nagari, karena yang diangkat menjadi Qadhi itu adalah orang yang betul mampuni, capable dalam bidang agama baik dari segi ilmu amupun amalannya, sejalan antara Ilmu dengan martabat. Sekalipun Angku Kali/ Qadhi tugasnya hanya pada sidang/masjid tapi dalam nagari ”katonya didanga”. Qadhi tempat membicarakan seluruh hal, tempat berkeluh kesah, tempat mencari solusi dan tempat dimana persoalan-persoalan kemasyarakatan ”bermuara”. Tapi pasca PRRI, terjadi pergeseran, reduksi atau perubahan fungsi dan peran dimana Angku Kali/Qadhi hanya berfungsi di masjid saja. Nagari Candung Koto Laweh yang masuk kawasan Ampek Angkek Candung yang menurut Keebet von Benda-Beckmen adalah nagari yang memiliki tatanan sosial politik yang luar biasa rumit. Sistem pembagian wilayah dihubungkan dengan keberadaan masjid-masjid ( sidang), bertahan sebagai kombinasi pemerintahan dengan pemuka Islam dan pemangku adat, yang apakah ia digunakan sebagai pemerintahan murni teokratis selama pemerintahan Paderi.

Berbeda dengan Kamang dimana struktur adat dan pembahagian pemangku adat lebih jelas, rigid dan tertata dengan baik. Nagari Candung disebut dengan Candung 7 (tujuh) suku 12 (dua belas) hindu. Dikatakan Candung 7 (tujuh) suku disebabkan tujuh suku inilah yang secara historis membuka untuk pertama sekali menjadi daerah pemukiman. Dari pemukiman yang terbentuk ini kemudian muncul 3 (tiga) Koto yang bergabung dengn daerah asli dengan mengadakan perobahan terhadap sistim 7 (tujuh) suku menjadi 12 (dua belas) hindu yang terdiri dari 4 (empat) hindu dari masing-masing koto. Pada awal nagari ini didirikan terdapat 60 buah gadang yang masing-masing hindu terdiri dari 5 (lima) buah gadang dan setiap buah gadang dipimpin oleh seorang penghulu. Sekarang di Candung Koto Laweh terdapat 9 (sembikan) nama suku.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa di Candung Koto Laweh terdiri dari suku (suku pusako) dan hindu. Kemudian secara hirarkis-vertikal, setelah suku dan hindu, terdapat buah gadang dan dibawah buah gadang ini dinamakan dengan kaum. Suku dibentuk sesuai dengan prinsip leluhur bersama dari garis ibu dan ia dikenal melalui nama-nama puak (Koto, Caniago, Sikumbang dan lain-lain). Hindu atau hindu adat yang dulu disebut suku adat terbentuk sesuai dengan prinsip-prinsip adat dalam pengertian susunan politis yang tidak didasarkan pada leluhur garis ibu bersama. Hindu adat dinamakan berdasarkan atau menurut kelompok suku pusako yang dominan, atau menurut jumlah komponen kelompok-kelompok suku pusako. Hindu dipimpin oleh penghulu hindu dan dibantu oleh juaro yang berfungsi sebagai manti (menteri ) yang juga dibantu oeh Urang Mudo yang mendekati fungsi Dubalang atau pembantu Manti. Buah gadang merupakan sebuah kelompok keturunan dari garis ibu, terdiri dari hanya orang-orang dari satu nenek moyang menurut garis ibu. Mereka adalah orang yang sasako, sapusako dan saharato. Buah gadang kemudian bercabang lagi kedalam sub-kelompok formal yaitu kaum. Kaum dipimpin oleh mamak kaum atau masing-masing buah gadang tersebut bisa terdiri dari satu kaum atau lebih malah ada yang mencapai 13 (tiga belas) kaum. Salah satu perbedaan antara kaum adalah pada harta yan disebut harato lah babagi. Penghulu buah gadang bisa dibantu oleh penghulu Panungkek atau penghulu pembantu.

Di Candung Koto Laweh, pimpinan agama dipegang oleh Tuanku (Urang Ampek Jinih) yang terdiri dari Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal. Tuanku berkedudukan pada Sidang. Sebagaimana dikatakan oleh Benda-Bekcman, bahwa sistem pembagian wilayah dihubungkan dengan keberadaan masjid yang disebut dengan Sidang. Terdapat 4 (empat) buah Sidang, yakni Sidang Bingkudu, Sidang Tigo Alua, Sidang Sabuah Balai dan Sidang Panji. Masing-masing Sidang mempunyai persamaan dan perbedaan. Pada prinsipnya, Sidang terdiri dari Jinih Nan Ampek + Panghulu Nan Batigo + Ninik Nan Salapan. Untuk sidang 3 (tiga) sidang diluar Sidang Bingkudu yaitu sidang Tigo Alua, sidang Sabuah Balai dan Sidang Panji, angota-anggota sidangnya termasuk Penghulu sidang, akan tetapi penghulu sidang tersebut tidak bergelar Datuk yang ditunjuk secara bersama-sama secara aklamasi. Untuk kasus, Sidang Bingkudu tidak ada penghulu Sidang. Sidang langsung dipimpin oleh Qadhi.

Sidang terdiri dari beberapa Umpuak kecuali Sidang 3 Alua yang terdiri dari tiga suku. Umpuak adalah sekelompok orang yang mendiami daerah yang sama yang terdiri dari beberapa suku atau buah gadang. Umpuak dipimpin oleh Angku/ Tuanku Umpuak dan dibantu oleh niniak mamak nan salapan. Sidang terpusat pada masjid-masjid tertua. Umpuak lebh identik dengan Jorong yang merupakan bahagian terbawah dari pemerintahan nagari, karena Umpuak secara teritorial berada pada Jorong. Umpuak dipimpin oleh Tuangku Umpuak sedangkan Jorong dipimpin oleh kepala Jorong. Yang dipilih menjadi Tuanku Umpuak adalah orang yang mempunyai pengetahuan Agama dan atau terlebih dahulu diberi bekal pengatahuan agama. Fungsi Sidang adalah pelaksana masalah agama diantaranya masalah Nikah Talak dan Rujuk serta masalah Buek (aturan yang dibuat pada umpuak atau padang) dan sidang bertindak sebagai eksekutor dari aturan tersebut. Mekanisme kerja Buek Perbuatan adalah Buek dilakukan pada Umpuk atau suku (Sidang 3 Alua). Sedangkan Perbuatan dilakukan pada Sidang (eksekutor). Aturan-aturan tersebut bukan hanya mengenai masalah agama saja, akan tetapi juga mengenai masalah kampung atau nagari (masalah sosial kemasyarakatan) seperti masalah gotong royong dan sejenisnya.

Menurut Syekh H. Amran A. Shamad, salah seorang elit agama Candung Koto Laweh, masyarakat tidak akan turun dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan kalau keputusan dan pemberitahuannya tidak melalui Sidang. Bahkan pada tingkat yang lebih birokratis, sampai saat sekarang ini, akad nikah tidak akan bisa berlangsung dalam nagari kalau bukan yang melaksanakannya Qadhi Sidang, sedangkan P3NTR hanya berfungsi sebagai pencatat atau pelaksana yang sifatnya administratif. Perbedaan yang cukup mencolok dalam ”memerankan fungsi” Qadhi antara sidang Bingkudu dengan tiga sidang lainnya, memperlihatkan pegaruh Paderi justru lebih kentara di daerah Bingkudu ini. Secara historis, bisa diasumsikan bahwa daerah Bingkudu merupakan daerah yang lebih dahulu di”Paderi”kan dan/atau daerah Bingkudu merupakan daerah ”paling ujung” dari wilayah nagari Candung Koto Laweh, sehingga secara sosiologis memiliki daya ”proteksi kultural” yang jauh lebih kaku dan teguh dibandingkan daerah-daerah lain di Candung Koto Laweh yang secara geografis lebih dekat dengan pusat transportasi dan diasumsikan memiliki tingkat mobilitas sosial yang sangat tinggi. Mobilitas sosial yang tinggi berkorelasi dengan kecenderungan improvisasi yang tinggi pula dalam menerima perubahan-perubahan ataupun adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang datang.

Ketua sidang adalah Qadhi dengan perangkatnya (Imam, Khatib dan Bilal) sbagai angota tetap, kemudian Angku nan batujuh sebagai anggota yakni Tuanku (Angku) dari tujuh Umpuak yang ada di Bigkudu. Masa jabatan Angku Umpuak ini tidak terbatas (seumur hidup) yakni selagi dipercaya oleh masyarakat. Jelas terlihat Sidang Buek Perbuatan ini terdiri dari pimpinan agama. Dalam rentang waktu keberadaan tatanan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Paderi, terlihat secara nyata, bahwa di daerah Kamang dan Candung Koto Laweh, substansi sistem pemerintahan (dengan peran Qadhi dan Imam yang cukup berperan dan berfungsi) berjalan sebagaimana dahulunya. Walaupun ada beberapa proses adaptasi dan inovasi. Sedangkan untuk daerah Candung Kota Laweh, fungsi Qadhi maupun sidang sangat signifikan sekali. Berbagai perubahan historis dengan segala kebijakan-kebijakan politis yang berpotensi besar mereduksi peran Qadhi tersebut, justru hal ini tidak terjadi terutama ada Sidang Bingkudu. Qadhi dan Sidang merupakan jentera sosial yang penting. Anggapan selama ini yang menganggap beberapa kebijakan politik pemerintah bisa mereduksi peran jentera kepemimpinan adat Minangkabau (khususnya kepemimpinan a-la Paderi yang dipersonifikasikan dengan Imam dan Qadhi), untuk kasus Candung Kota Laweh tidak berubah secara radikal. Substansi maupun prakteknya masih tetap berlaku sebagaimana yang berlaku pada masa-masa sebelumnya, terutama di daerah-daerah basis gerakan Paderi.

Rasionalisasi Penelitian

Oleh : Muhammad Ilham

Tradisi penulisan, penyalinan dan persebaran naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia memiliki keterkaitan dan berkorelasi dengan proses Islamisasi yang terjadi (Uka Tjandrasasmita, 1999:201). Umumnya naskah-naskah tersebut ditulis untuk kepentingan transmisi pengetahuan keIslaman yang terjadi di pelbagai institusi keagamaan, seperti pesantren, surau, dayah, rangkang dan lain-lain (Hasan Muarrif Ambary, 1995: 166). Dalam kalangan masyarakat Minangkabau, tradisi penulisan dan persebaran naskah-naskah keagamaan ini dapat dipastikan dilakukan secara terus menerus (kontiniu), seiring dengan terus berlangsungnya perkembangan dan persebaran Islam. Mayoritas para ahli sejarah atau sejarawan sepakat bahwa Islam di wilayah nusantara, berkembang sejak awalnya dengan corak atau style tasauf (Azyumardi Azra, 1996; Hamka, 1983; Hasan Muarrif Ambary, 1995; Dennys Lombard, 1999), maka naskah-naskah keagamaan yang muncul-pun mayoritas memuat pembahasan-pembahasan mengenai tasauf, baik yang ditulis oleh para penganut tareqat Syattariyah maupun Naqsyabandiyah, dengan segala devian tareqatnya. Seperti yang terjadi di wilayah lain di dunia Melayu-Indonesia, tradisi pernaskahan dikalangan masyarakat Minangkabau mengandung sebuah ”kearifan lokal” (local-wisdom) yang sedemikian kaya dan telah menarik perhatian banyak orang untuk melihat serta mengetahui nilai-nilai kebudayaan Minangkabau yang terkandung didalamnya (Oman Fathurrahman, 2000: 34). Kearifan lokal dalam hal ini tentu saja mencakup hal yang sangat luas, yang terkandung dalam naskah-naskah yang ditulis seperti tradisi keber-agama-an, keragaman pemahaman dan berbagai pilihan solusi dalam upaya pemecahan masalah-masalah kultural dan lain-lain, baik yang bersifat teks maupun konteksnya.

Di daerah Minangkabau, baik dalam konteks kultural maupun geografis, tradisi penulisan dan kemudian persebaran naskah-naskah keagamaan ini dapat dipastikan terjadi secara terus menerus, seiring dengan terus berlangsungnya perkembangan dan persebaran ajaran Islam. Karena Islam sejak awalnya berkembang dengan corak atau pendekatan tasauf, maka naskah-naskah keagamaan yang muncul-pun mayoritas mengandung pembahasan tentang tasauf, baik yang diamalkan oleh penganut tareqat Syattariyah maupun Naqsyabandiyah. Uniknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Zurniati (2005: 9-11), di Minangkabau perkembangan dan persebaran Islam yang bercorak tareqat ini terjadi secara sistematis melalui surau-surau. Jadi tidaklah mengherankan apabila pembahasan mengenai sejarah Islam di Minangkabau, surau menempati posisi yang signifikan, termasuk didalamnya ketika membahas tradisi penulisan dan penyalinan naskah-naskah Islam. Dalam bahasa Oman Fathurrahman (2000: 36), surau-surau di Minangkabau dapat dianggap sebagai ”skriptorium” naskah, tempat dimana aktifitas penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaan berlangsung. Hal ini justru menguntungkan dalam proses penyelidikan, karena pola persebaran naskah-naskah keagamaan melalui surau-surau di Minangkabau ini membuat keberadaan naskah-naskah tersebut mudah ditelusuri, karena mayoritas surau-surau tersebut hingga saat sekarang masih banyak dijumpai. Kendatipun kondisi dan fungsinya tidak seperti pada awal perkembangannya sebagai centre of excellence keilmuan Islam.

Berbeda dengan apa yang terjadi di wilayah lain di Indonesia, tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan di Minangkabau ini tampaknya masih berlangsung hingga saat sekarang, walaupun dengan intensitas yang berbeda. Sejumlah naskah-naskah Syattariyah periode akhir abad ke-20 Masehi yang dijumpai, merupakan salah satu betapa tradisi tersebut masih terus berlangsung seiring dengan masih mengakar dan terus berkembangnya Islam tareqat, khususnya tareqat Syattariyah dan Naqsyabandiyah di Minangkabau ini.

Mempertimbangkan persebaran-persebaran tareqat-tareqat Syattariyah dan Naqsyabandiah di Minangkabau yang demikian intensif, serta memperhatikan fungsi naskah-naskah keagamaan sebagai media untuk mentransmisikan berbagai ajaran tareqat tersebut, dan juga berdasarkan kepada beberapa beberapa asumsi dasar dari para peneliti-peneliti terdahulu yang cukup intens mengkaji permasalahan naskah-naskah Islam Minangkabau, maka bisa diasumsikan bahwa naskah-naskah keagamaan (Islam) di Minangkabau ini terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk melakukan proses inventarisasi dan identifikasi naskah-naskah ini, bahkan bila memungkinkan, dilanjutkan dengan proses penelaahan akademik terhadap makna kontent teks dalam upaya pengayaan epistimologi keilmuan pernaskahan. Masalah-masalah yang menjadi objek dasar dan ingin diteliti dalam penelitian ini, berkaitan dengan berbagai aspek yang menyangkut dengan naskah yang dipilih sebagai objek penelitian. Secara global, penelitian ini akan berikhtiar untuk melakukan inventarisasi dan identifikasi naskah-naskah Islam Minangkabau. Inventarisasi dan Identifikasi tersebut kemudian selanjutnya akan dilakukan beberapa kegiatan-kegiatan penyelidikan lainnya, yaitu : Deskripsi naskah yang didalamnya include mulai dari kondisi fizik, karakteristik dan konten-nya. Kemudian, Sejarah penulisan naskah dan ruang lingkup kajian pembahasan naskah tersebut. Selanjutnya, Relevansi pembahasan naskah dengan perkembangan studi keIslaman kontemporer, dan Nilai-nilai yang bisa diambil dari konten naskah dalam hal kaitannya dengan kebutuhan kekinian.

Dalam konteks Sumatera Barat, perkembangan dan persebaran Islam yang bercorak tareqat-tasauf ini secara sistematis melalui surau-surau. Tidaklah mengherankan kemudian, jika sejauh menyangkut telaah atas berbagai hal yang berkaitan dengan Islam periode awal di Sumatera Barat, peran surau sangatlah signifikan (Azyumardi Azra, 1988 dan 2003), termasuk ketika masuk dalam pembahasan tentang tradisi penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaannya. Pada dasarnya, pola persebaran naskah-naskah keagamaan melalui surau-surau di Sumatera Barat ini pada gilirannya sangat mempermudah upaya penelusuran keberadaan naskah-naskah tersebut, karena surau-surau itu sendiri hingga sekarang masih banyak dijumpai. Akan tetapi dalam kenyataannya, upaya untuk mengetahui keberadaan naskah-naskah keagamaan tersebut, apalagi membaca dan memahami secara akademik-epistimologis dan memanfaatkannya, seringkali menemui hambatan, baik naskah-naskahnya yang dikeramatkan hingga tidak boleh diakses oleh sembarang orang maupun karena naskah-naskah tersebut telah rusak dimakan oleh usia. Tentu saja, upaya identifikasi dan inventarisasi atas naskah-naskah tersebut telah pernah dilakukan, terutama naskah-naskah Islam Minangkabau yang berada di luar negeri, lebih khususnya lagi di Belanda. Sejumlah katalog yang pernah ditulis, kendati tidak semuanya dikhususkan pada naskah-naskah keagamaan Islam saja, melainkan juga naskah-naskah lainnya seperti sastra dan lain-lain. Naskah-naskah yang pernah diteliti seperti yang dilakukan oleh van Ronkel (1921) yang mencatat tidak kurang daripada 257 naskah dengan judul tersimpan di Perpustakaan Universiti Leiden (Chambert-Loir & Oman Fathurrahman, 1999: 173-176). Disamping itu, ada juga penelitian yang dilakukan oleh Teuku Iskandar (1999) yang juga mencantumkan kembali naskah-naskah Minangkabau yang pernah dicatat oleh van Ronkel diatas dengan beberapa tambahan koleksi baru.

Sementara itu, naskah-naskah yang ada di Minangkabau yang pernah diteliti oleh beberapa peneliti diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Ali Hj. Wan Mamat (1995) yang melakukan pendokumentasian naskah-naskah Melayu di Sumatera Selatan dan Jawa Barat yang juga menyebut beberapa naskah Melayu di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang. Sedangkan Wibisono dkk. (1989) menyelidiki tentang naskah-naskah keagamaan Islam Minangkabau di beberapa masjid dalam perspektif arkeologis. Disamping itu, beberapa orang peneliti daripada Fakulasi Adab IAIN Imam Bonjol Padang (Rusdi Ramli dkk., 1997) dan dari Universitas Andalas Padang (Muhammad Yusuf dkk., 2001) memberikan informasi tambahan keberadaan naskah-naskah keagamaan secara ”grand tour”, walaupun tidak semua naskah boleh teridentifikasi. Menurut Ramli dkk. serta Yusuf dkk., ada beberapa daerah di Minangkabau yang merupakan ”enclave” naskah-naskah Islam Minangkabau diantaranya Kampung Lubuk Gunung Gadut 50 Kota, Taram 50 Kota, Batipuh Padang Panjang, Bingkudu IV Angkat Canduang, Tiaka Payakumbuh, Kuranji Padang, Pariangan Batusangkar, Pauh IX Padang, dan Kurai XIII Bukittinggi. Umumnya naskah-naskah tersebut berada ditangan personal. Sedangkan surau-surau yang masih menyimpan naskah-naskah Islam Minangkabau tersebut diantaranya surau Bintungan Tinggi nan Sabaris Pariaman, surau Tigo Jorong nagari Kudu Gantiang Barat kec. V Koto Kampuang Dalam Pariaman, surau Tandikek Pariaman, surau Padang Japang kenagarian VII Koto Tagalo kec. Guguak 50 Kota, surau Balingka kec. IV Koto Agam serta surau Batang Kabuang dan Surau Paseban di Koto Tangah Padang.

Diasumsikan masih banyak lagi naskah-naskah yang bertebaran di berbagai daerah baik yang bersifat person maupun institusi-surau. Apalagi bila diperhatikan bahwa persebaran naskah-naskah tersebut baru fokus pada beberapa daerah saja seperti sekitar daerah Kabupaten 50 Kota/Payakumbuh, Padang Pariaman, Kota Padang, Batusangkar dan Tanah Datar. Sementara itu, daerah-daerah lain masih belum teridentifikasi naskah-naskah Islam Minangkabau ini.

Proposal Penelitian Inventarisasi Naskah Klasik (Islam) Minangkabau

Oleh : Muhammad Ilham

Ulama dikenal sebagai pemimpin umat Islam bukan saja dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang sosial kemasyarakatan. Secara normatif, ulama dianggap sebagai pewaris nabi, kehadiran seorang ulama tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan konsep komunitas Islam atau apa yang biasa disebut ummah, yaitu komunitas kaum beriman yang diikat oleh kesamaan pandangan tentang kesucian, moral dan spritual. Sebagai ikatan kaum beriman, ummah dapat pula dianggap sebagai komunitas-kognitif, dimana keyakinan transedental dan pengetahuan individu mendapatkan konfirmasi sosial. Oleh sebab itu, ulama tidak hanya bisa dilihat dari segi apa yang dikerjakannya dan karakteristik pribadi, tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah sejauh mana ummah (minimal komunitasnya) memberikan pengakuan kepadanya – atau dalam bahasa sosiologisnya : bagaimana komunitas social-nya memberikan justifikasi sosial (termasuk dalam bidang-bidang lain.

Dalam menegakkan eksistensi dan meneruskan cita-cita ummah, seorang ulama dapat dianggap sebagai "perumus realitas" (definer of reality) tentang apakah yang riil dan bukan serta yang esensial dan aksidental serta sebagai penerus pengetahuan, terutama tentang apa yang dirumuskan oleh teks-teks suci. Dalam konteks ini, eksistensi dan tugas ulama sangat penting dan berat. Sebab dalam melakukan fungsinya, ia harus selalu berhadapan dengan masalah waktu yang selalu beralih dan tempat yang berbeda. Hal ini menuntut kemampuan ulama untuk menjadikan agar simbol dan idiom agama menemukan relevansinya dalam ruang sosial (social sphere) yang berlainan dan dimensi waktu (time dimention) yang beralih, agar ulama mampu menjaga dan mengayomi serta diakui eksistensi mereka oleh komunitas Islam dimana mereka berada.

Sebagai pemimpin komunitas Islam, ulama mempunyai tanggung jawab dalam merumuskan nilai-nilai dasar Islam itu ke dalam realitas sosial ummatnya, sehingga ummat dapat di bimbing dan diarahkan sesuai dengan ajaran Islam. Semua ini memperlihatkan bahwa ulama merupakan bagian dari kelompok sosial yang memiliki peranan besar dan signifikan dalam mempengaruhi arah dan perkembangan suatu masyarakat. Sejarah telah membuktikan, khususnya sejarah sosial politik Indonesia, bahwa kalangan ulama merupakan kelompok sosial yang memiliki potensi kepemimpinan yang besar sebagai perumus realitas dan penentu arah perkembangan suatu kelompok sosial.

Kepemimpinan ulama itu berubah dan berkembang sejalan dengan perkembangan atau dinamika peran yang terjadi dalam masyarakat. Secara sosiologis-antropologis, perkembangan atau dinamika peran tersebut terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern atau dari masyarakat mekanik kepada masyarakat organik. Secara otomatis, fungsi dan peranan ulama sebagai salah satu pemimpin masyarakat Islam dengan sendirinya juga ikut berubah bila masyarakat Islam tersebut berubah kepada arah masyarakat modern. Beberapa kajian terdahulu yang pernah dilakukan oleh beberapa pakar memperlihatkan terjadinya perubahan-perubahan peran yang dialami oleh ulama sekarang dengan ulama masa dahulu. Pada masa lalu, ulama tidak hanya dianggap sebagai pemimpin agama saja tetapi juga memiliki peran diluar pemimpin agama bagi masyarakat, khususnya dalam urusan duniawi. Ulama sering ikut menangani permasalahan-permasalahan dalam bidang pertanian, perdagangan, kesehatan dan ketertiban masyarakat, seperti mengobati orang sakit, sebagai penasehat kejiwaan dan menjaga keamanan.

Minangkabau sebagai salah satu sub-etnik dalam stratum etnik makro melayu Nusantara, dikenal sebagai komunitas sosial yang dalam proses pembentukan identitas kultural dan sosial politik mereka, sangat dipengaruhi oleh kalangan ulama. Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Suku bangsa ini, mempunyai alur sejarah penyebaran penduduk yang unik dan dijelaskan “agak” mistik atau penuh dengan cerita “carito” yang dituangkan dalam “kitab” yang diberi dengan “tambo”. Dalam sistem kepemimpinan dikenal dengan tripartit kekuasaan yang satu sama lain terintegrasi dalam musyawarah dan mufaka, tripartit terdiri dari ulama, umara dan cerdik pandai. Islam – apalagi setelah di-justifikasi secara cultural, dianggap sebagai sesuatu yang include-tak terpisahkan dari adat itu sendiri. Ini termanifestasi dalam dictum “sakti” adat Minangkabau yaitu Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Trimingham dan Taufik Abdullah melihat bahwa penyebaran Islam di dalam masyarakat manapun, termasuk di Nusantra melalui tiga tahapan penyebaran agama Islam, yaitu :

1. Tahap Pertama
Oleh Trimingham tahap pertama di namakannya dengan tahap kangah, sedangkan Taufik Abdullah dinamakan adanya varian Pasai. Pada tahap pertama ini, Islam baru diperkenalkan dengan dasar-dasar Islam, yang terangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Dalam tahap ini, dimonasi perkenalan ajaran Islam adalah masalah hukuman dan balasan Tuhan terhdap perbuatan yang dilakukan manusia. Kiyai atau ulama dan Tuanku lebih intens memperkenalkan hukum ibadah terhadap pengikutnya. Oleh sebab itu pada tahap awal ini, tariqat berkembang dan menjadi trend eksklusif bagi penganutnya. Sementara itu, kajian terhadap yang lain dalam artian kajian-kajian penjabaran Islam sebagai ajaran yang holistik belum begitu menjadi perhatian, termasuk dalam pendidikan. Misalnya, dalam catatan Deliar Noer dikemukakan sebelum terjadinya pembaruan di Minangkabau, banyak ulama-ulama surau terfokus pada kajian-kajian klasik dan hafalan-hafalan, seperti menghafal sifat dua puluh dengan lantunan nyanyian sehingga enak didengar.

Pada tahap ini pula, pergumulan pengamalan Islam dan adat kebiasaan pengikut Islam belum tegas dipisahkan, sehingga pada pengamalan masih dibayang-bayangi oleh sinkritisme. Kondisi ini, terjadi dimungkinkan karena Islam datang tidak secara meliterisme yang tegas, tetapi Islam datang dengan lunak dan jinak. Di samping itu pada masa awal itu, literasi Islam lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan magis, Islam seperti ini Menurut Gellner, lebih populer disebut dengan folk Islam atau low Islam atau populer Islam. Jika dalam dokrin Islam skriptual ditekankan pentingnya literasi dalam folk Islam dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan magis dari pada kepentingan ke ilmuan. Singkatnya folk Islam lebih menekankan magis dari pada Ilmu; ekstasi daripada pengalaman ketentuan-ketentuan hukum Islam. Institusi terpenting folk Islam adalah perikatan-perikan longgar-tetapi eksklusif yang berpusat dari seorang individu yang nyaris dipandang suci, sehingga sering menciptakan kultus indvidu. Kondisi fiolk Islam ini, menyebabkan ulama, kiyai atau Tuanku sering memainkan banyak peran, selain sebagai dikenal tokoh agama ia juga diyakini sebagai tabib, peramal dan seterusnya, sehingga pengikutnya meyakini literasi yang dikuasai oleh ulama dapat dipergukana sebagai kekuatan magis. Maka ulama sering didatangi pengikutnya tidak saja berkaitan dengan masalah ke Islam-an tetapi juga menyangkut, kemagisan yang dimiliki oleh ulama tersebut. Dengan keserbabisaan ulama ini, maka ulama atau kiyai itu dikultuskan, bahkan ada yang menyebut nabi. Di Minangakabu kultus itu pun juga ada, seperti kultus terhadap aliran tariqat. Seorang ulama, mempunyai otoritas terhadap suatu tariqat, misalnya ulama Ulakan, yang dipelopori oleh Burhanuddin biasanya dikultuskan oleh pengikutnya sebagai orang “suci” dalam tariqat tersebut, dan ia bisa dimintai petunjuk dalam masalah apa saja.

Secara garis besar, ada dua pendapat yang bisa dipegang tentang kapan masuknya Islam ke Minangkabau, pertama pendapat Hamka yang menyatakan Islam telah masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7 Masehi. Pendapat Hamka ini, bisa dikuatkan melalui sejarah perdagangan orang Arab ke berbagai belahan dunia. Khusus, masalah masuknya Islam awal ke Minangkabau, sebagaimana diceritakan dalam catatan sejarah klasik Mubalighul Islam disebutkan pada dasarnya Islam telah masuk ke Minangkabau pada tahun 580 H. Masuknya Islam ini diawali dari sejarah terdamparnya saudagar Arab di perairan Minangkabau, yang kemudian menemukan perkempungan penduduk. Sudagar itu bernama Saidi Abdullah. Mereka diterima oleh penduduk dan sebagai anggota masyarakat. Melalui Saidi Abdullah ini pula Islam diperkenalkan kepada keluarga yang menerimanya. Kemudian kawin dengan putri kepala Dusun yang konon kepala dusun tersebut berasal dari keturuna raja Pagaruyung. Dusun yang dihuni dan sekaligus sebagai tempat penyebaran Islam itu adalah kampung durian yang terletak dipinggir kota Padang Sebelah Timur. Namun, setelah Saidi Abdullah meninggal, maka terjadi kekosongan-kekosongan penyebaran Islam, bahkan masyarakat kembali kepada agama lamanya. Sementara itu ada yang menyebutkan pada abad ke-13 Masehi seiring dengan penguniversalan masuknya Islam di Nusantara ditandainya dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Namun, dalam perkembangan Islam di Minangkabau, selanjutnya ditandai dengan diperintahnya kerajaan Pagaruyung oleh Raja Sultan Alif yang beragama Islam pada abad 16-M.

Beberapa kajian sejarah masuknya Islam atau periode awal Islam di Minangkabau, umumnya lebih terfokus pada peran Burhanuddin, setelah ia kembali menuntut ilmu bersama seorang guru di Aceh yang bernama Al-Kalani Amin bin Abd Rauf Singkil Al-Jawi bin Al-Fansyuri. Kehadiran Burhanuddin, pada masa awal ini disebut-sebut sebagai peletak dasar Islam di Minangkabau, namun jika menilik pada alur sejarah, sebelum itu Islam sudah hadir di Minangkabau tetapi akibat tidak adanya survivalisme maka agama Islam dalam pengamalan masyarakat Minangkabau mengalami pasang surut. Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke Islam. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya sangat fanatik terhadap ajaran gurunya.

Pada masa ini, surau sangat identik dengan ulama. Ulama melangsungkan pendidikan dan membentuk jemaah di surau. Bentuk pendidikan yang dilangsungkan sederhana. Namun, dalam catatan sejarah pendidikan di Minangkabau, pendidikan surau belum terlihat dikalsifikasikan seperti halnya perkembangan pondok pesantren di Jawa. Di Jawa kata Soedjoko Prasodjo, ada lima pola pesantren mulai dari sederhana sampai pada yang modern. Lima pola itu adalah :

1. Pola I yaitu pesantren terdiri hanya dari masjid dan rumah kiyai.
2. Pola II terdiri dari masjid, rumah kiyai dan pondok.
3. Pola III, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan madrasah.
4. Pola IV, yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan.
5. Pola V yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrsah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.

Pendidikan surau Burhanuddin sama dengan pola surau besar (masjid-pondok), rumah kiyai dan surau kecil (tempat keterampilan dan penginapan). Surau besar, bisanya surau tempat berlangsungnya pendidikan secara bersama, ulama mengajar disini, ia sekaligus menjadi pemilik surau. Sedangkan surau kecil yakni, tempat tinggal santri. Di surau kecil ini berlangsung juga pendidikan, dimana murid yang senior mengajarkan murid yunior atas persetujuan ulama (guru). Di surau kecil ini santri tingal sehari-hari dan di surau kecil ini pula murid melakukan berbagai aktivitas untuk mematangkan dirinya.

2. Tahap Kedua
Dalam tahap penyebaran Islam kedua oleh Trimingham dinamakan dengan tahap tariqah. Dalam perpektif Trimingham, pada fase ini berkembang aliran-aliran mistis dan diiringi dengan munculnya pendidikan sufi. Di sini literasi masih banyak dipergunakan dalam kepentingan mistik, ketimbang kepentingan keilmuan. Namun, dalam fase ini sudah mulai muncul kelompok konservatif dari generasi pertama. Kelompok konsevatif tidak siap menerima fenomena keberagamaan yang sinkretisme. Bagi mereka agama dipahami sesuai dengan informasi literasi, mungkin gerakan pembaruan dan pemurinian Islam yang dilakukan oleh Wahabi, bisa diletakkan dalam konteks ini.

Peran ulama, terpecah menjadi dua, yakni ulama yang beraliran folk Islam dan ulama konservatif. Ulama konsevatif di Minangkabau disebut ulama pembaharu. Ulama konservatif lahir, setelah terjadinya kontak Minangkabau dengan Mekkah, hal ini terjadi sekitar tahun 1784 - 1803 atau disebut juga dengan Gerakan Kebangkitan Islam pertama di Minangkabau. Kontak ke Islaman ini terus terjadi, apalagi setelah adanya pengaruh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy (1863-1915) terhadap generasi muda Minangkabau untuk menuntut ilmu di Mekkah. Pada masa ini, di dunia Islam terjadi gerakan pembahruan Islam yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1792). Gerakan ini, lebih kental disebut dengan gerakan pemurnian Islam, di kalangan umat Islam Minangkabau kelompok pemurnian dikenal dengan ulama konservatif Hariamau Nan Salapan Kelompok ini melihat, bahwa Islam di kalangan masyarakat Minangkabau masih bercampur aduk antara adat kebiasaan yang sinkretisme dengan ajaran Islam, oleh sebab itu diperlukan pemurnian ajaran Islam, yang disebut dengan puritan. Gerakan puritan, secara langsung atau tidak langsung menjadi cikal bakal pergerakan nasionalis.

Diberbagai daerah penyebaran Islam, pada umumnya ada tokoh sentral yang mempengaruhi diterimanya Islam sebagai agama oleh masyarakat. Tokoh sentral ini, sangat penting artinya. Ia adalah figur yang dikultuskan sebagai agent of knowledge. Dalam masa pembaruan-pemurnian Islam di Minangkabau, agaknya tokoh kunci ini tidak terlepas peranannya. Pada proses penyebaran Islam ke dua ini, lebih disebut dengan proses puritanisasi. Puritanisasi ini dalam catatan sejarah Minangkabau, menjadi bakal gerakan nasionalisme yang tergabung dalam gerakan Paderi. Kelompok puritan di mulai semenjak kepulangan tiga Haji ke ranah Minang. Diantaranya Haji Miskin, ia pergi ke Mekkah dengan teman-temannya, ketika itu berlangsung gerakan pemurnian. Gerakan ini menjadi inspirasi pergerakan, sehingga kepulangannya di ranah Minang bergema gerakan pemurnian Islam. Semula, gerakan yang dilakukan oleh Haji Miskin ini tidak bisa diterima oleh masyarakat, karena gerakannya terkesan keras dan sering berbenturan dengan masyarakat, bahkan ia pernah membakar pasar yang sering dijadikan gelanggang judi, tuak dan adu jago. Di samping itu, kekerasan Haji Miskin, sering dihadang oleh kubu-kubu yang tidak senang dengan cara yang frontal, misalnya Haji Miskin dan pengikut pernah terlibat perkelahian dengan kelompok yang yang tidak sealiran dengannya. Dalam perkelahian ini, kelompoknya kalah dan Haji Miskin melarikan diri ke Bukit Kamang.

Walaupun puritanisasi sering gagal dan sering tidak diterima oleh masyarakat, namun pergerakan ini tidak pernah berhenti. Haji Miskin dalam pelariannya, menemukan seorang teman yang selairan dengannya (yang menerima gerakan pemurinian) yakni Tuanku Nan Renceh. Kabolarasi dua tokoh ini, nampaknya pemurnian Islam di Minangkabau semakin militan. Tuanku Nan Renceh tidak sabar untuk menegakan syariat Islam dengan mencontoh tatanan Wahabi, dalam kotbahnya selalu menyerukan jihad yang terintegral. Bahkan dikabarkan, Tuanku Nan Renceh memulai jihadnya ini dengan membunuh kakak perempuan ibunya, gara-gara mengkonsumsi tembakau, karena dalam perspektif Islam mengisap tembakau tidak cocok dengan syariat. Kemudian, gerakan militannya menjalar menembus pembasmian parktik-praktik jahiliyah lainnya yang masih mengkontaminasi masyarakat.

Gerakan-gerakan puritanisasi ini, kelihatannya secara bertahap mulai bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau. Terutama, ditandai dengan berkembangnya wilayah-wilayah dakwah dari kelompok puritan dan juga ditopang oleh kinerja Harimau Nan Salapan. Gerakan puritanisasi juga mulai merambah menjadi gerakan perjuangan, melawan strategi penjajahan Belanda, maka kemudian terbentuklah gerakan Paderi, yang secara terorganisir-sistematik (setidaknya untuk zaman ini) terlihat ketika Tuanku Imam Bonjol berjuang dalam menentang penjajahan Belanda. Menurut Schrike seperti dikutip Taufik Abdullah menyatakan bahwa gerakan Paderi ini merupakan revolusi pemimpin agama yang kecewa di dalam masyarakat yang tidak memberinya tempat dalam hirarki sosial. Revolusi ini, tidak sia-sia. Selanjutnya dikatakan Taufik Abdullah semakin mengokohkan Islam di Minangkabau, bahkan mencoba menstrukturisasi kepimpinan dalam Islam dengan formulasi islamisasi.

Dalam istilah Greetz, revolusi itu sebutnya sebagai revolusi skriptualisme. Menurut Geerz, kaum revolusiner skriptualisme ini di nusantra menjadi cikal bakal pergerakan perjuangan untuk kemederdekaan bangsa. Inilah yang terpenting dalam gerakan keagamaan sebelum kemerdekaan, di Indonesia. Bahwa kemerdekaan sangat besar dipengaruhi oleh move achievment kaum skriptualisme. Peran ulama, mempunyai doble legal, yakni sebagai ulama yang menyempurnakan pemahaman dan penyebaran ajaran agama di tengah umatnya, yang kedua ulama mengambil peran sebagai kelompok integritas kebangsaan. Mungkin inilah makna jihad yang dimaksud oleh Tuanku Nan Renceh, ketika hendak melakukan puritanisasi di Minangkabau – Jihad hati dan jihad lidah dan tangan yang terangkum dalam gerakan perang suci.

Dalam beberapa penelitian keagamaan yang diadakan sosiolog, tercermin bahwa salah satu tuga utama agama adalah memodifikasi sikap modernis terhadap umatnya. Modern bukan diartikan sebagai “komponen Barat” tetapi lebih dimaknai sebagai setting keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Misalnya Max Weber, Robert N. Bellah, Karen Amstrong dan Clifford Geertz, melihat agama sebagai inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya(semuanya terangkum dalam koloborasi makna modernisasi). Durkheim juga mengungkapkan agama itu sui generis, oleh Richardson disebutnya sebagai felt whole – “perasaan kemenyeluruhan” yang dibangun oleh agama, sehingga agama hadir dalam konteks apa pun. Dan itu dijadikan sebagai inspirator oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban.

Weber melihat, modernisasi ekonomi lahir dari etika protestan. Bellah juga menemukan, kemajuan politik, budaya di jepang tidak dapat dilepaskan dari sprit Tokugawa. Di Nusantara kata Geertz agama telah memberikan move perjuangan untuk menuju kemerdekaan. Ini merupakan fakta sosial yang telah dijenearal dalam teori ilmuan. Namun, yang terpenting di sini adalah aktor atau “penabuh” inspirator agama itu, inilah yang dinamakan dengan missionaris atau ulama dalam kancah keislaman. Dalam masyarakat Kristen misalnya, Calvin bisa dikatakan sebagai agent atau aktor yang sangat berjasa dalam memoderniskan pengikut agama tersebut. Menurut Calvin, umat kristen harus mengungkapkan keimanan mereka dengan cara ambil bagian dalam kehidupan sosial dan politik, bukannya dengan cara menyepi di biara. Al kitab bukanlah berisi sekedar informasi tersurat tentang geografi atau kosmologi, Al kitab berusaha memberikan kebenaran hakiki dalam bahasa yang bisa dipahami nalar manusia yang terbatas.

Fenomena itu, memberikan isyarat umat agama sering terjebak kedalam kontek pemahaman literasi yang picik, oleh sebab itu para agamawan atau ulama haru memodernisasi pemahaman kedalam konteks yang sui generis, sehingga agama tidak terasing di tengah perubahan masyarakatnya. Akibat pemahaman literasi yang sempit itulah, barangkali para pengikut Marx mendefenisikan agama ke dalam defenisi yang diskursus domana agama dituding sebagai candu masyarakat. Ketika inilah dibutuhkan “penerangan” agama holistik dan terintegral, dimana agama tidak hanya sebagai “penenang jiwa” tetapi juga harus dijelaskan sebagai sumber dari tata sains dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam, perkembangan sains sudah mulai dibentangkan, dimana agama membenarkan dan memberikan informasi sains tersebut, kewajiban pengikutnyalah untuk mengolah informasi tersebut. Semenjak diterima filsafat dalam kahazanah perkembangan sains Islam, setidaknya sudah terlihat kearah pembuktian keholistikan dan keintegralan pemahaman ajaran agama tersebut. Bagaimana, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd dan seterusnya membuktikan kehadapan publik bahwa agama tidak hanya berkutik dalam “ranah” penyepian-kontemplatif yang hanya membicarakan alam setelah mati, tetapi agama juga sarat dengan firman Tuhan yang membangun hidup kekinian.

Namun, karena umat membangun agama itu sebagai “monumen” yang sudah final dan tidak bisa diutak-atik lagi, menyebabkan pemahanan terhadap informasi yang ada dalam literasi, agak kaku dan bahkan cendrung diterima apa adanya, tidak diberi hermeneutik, sehingga menyebabkan agama terasa kaku dan tidak “mengerti’ dengan konteks zaman. Di sinilah ketertinggalan komunitas, ia lebih membicarakan firman Tuhan sebagai konteks “penenang” jiwa, ketimbang menjadi sumber dari sains dan ilmu pengetahuan, seperti kasus folk Islam yang dijelaskan Gellner. Proses modernisasi, dalam merubah identional diperoleh melalui dua cara : Pertama, melalui injection motivation, dan kedua melalui revolusi think tank. Pada kasus modernisasi pertama, lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat dpengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir. Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau, dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal Minangkabau. Akhirnya terjadi pembaruan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah, yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan. Aktor pembaharuan ini, diantarannya Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Sjech Taher Djalaluddin, Syech Muhammad Djamil Djembek, Inyiak Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah, dan Abdullah Ahmad.

Kedua, mengilhami modernisasi itu adalah revolusi think tank, yakni gagasan pembaruan yang datang dari tokoh-tokoh pemikir yang tidak siap menerima ketertinggalan kelompoknya dalam meratas percaturan dunia. Menurut kelompok ini, ketertinggalan itu bisa diatasi melalui pengotimalan pemahaman ajaran Islam. Dalam pandangan kalangan modernis Islam ini, ketertinggalan umat islam merupakan kesalahan umat Islam itu sendiri, karena memahami agama secara picik dan kepicikan berfikir. Di samping itu, enggan menerima pluralitas sebagai khazanah dan fitrah budaya. Kemudian, menjadikan perbedaan sebagai konfrontatif yang melelahkan. Setting kelompok modernis Islamisasi, tidak terjebak dalam pemikiran ke Islaman yang sempit, biasanya lebih mementingkan kesimbangan pemahaman tariqah dengan syariah. Tariqah merupakan pemahaman keagaman menuju kekayaan bathiniah, sedangkan syariah adalah hukum yang harus didekonstruksi oleh Islam dalam kehidupannya. Perpaduan ini lebih tepat disebut dengan keseimbangan antara eksotoritik dengan esotorik. Dalam hal ini, yang lebih tegas dilakukan oleh kelompok modernis Islami adalah meletakan Islam sebagai idologi atau pardigma dalam tranformasi sosial. Tugas ini lah yang harus dilakukan oleh agamwan atau ulama.

Tidak semua ulama yang dapat menjalankan missi tersebut. Tugas ini, kemudian banyak diambil alih oleh kelompok akademisi, yang terdidik dan menaruh perahtian terhadap Islam. Era ini di Minangkabau sangat terlihat pada zamannya Hamka, Muhammad Hatta dengan gerakan ekonomis-sosialis Islam. Modernisasi Islam, dipahami sebagai paradigma pemikiran umat Islam, bukan membangun defenisi Islam yang baru. Di lihat dari alur pemikiran lahirnya, paradigma ini disebabkan ketidak “relaan” kelompok pemikir ini terhadap ketertinggalan umat Islam dalam “merancah” dunia sosialnya, serta kepicikan pemikiran umat Islam itu sendiri dalam mentransfer literasinya ke dalam dunia nyata. Di Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini, sebenarnya sudah muncul semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian pemahaman Islam orang Minangkabau yang sinkretisme. Namun, modernisasi Islam ini lebih berkembang ketika awal abad ke-19 seiring dengan, bergeraknya kaum agama membangun sekolah-sekolah agama modern di Minangkabau.

Modernisasi Islam, lebih menekankan pada pembentukan karakteristik umat Islam untuk memanifestasikan hidup dengan konteks keberagamaan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, diperlukan pengajaran dan sisitem pendidikan agama yang signifikan terhadap tujuan tersebut. Maka dalam modernisasi awal ini, sangat kentara terjadinya pembaharuan-pembaharuan isntitusi, organisasi ke Islaman, seperti lahirnya madrasah-madrasah dengan pola modernis dan munculnya organisasi plat form Islam. Di Minangkabau, dimulai dengan menukar sistem surau yang tardisional dengan sistem pendidikan modern, yang mengenal kelasikan, berijazah dan memiliki kurikulum yang terarah. Di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan Besi dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul menjadi cikal bakal sekolah Thawalib. Eksistensi sekolah ini sangat berpengaruh di Minangkabau.

Pada masa modernisasi Islam awal ini, ada dua pendekatan yang dilakukan ulama untuk membangun ke Islaman umat, yakni pendekatan pendidikan dan pendekatan pergerakan. Pendekatan pendidikan; lebih tertuju pada perubahan idetional dalam generasi muda. Sedangkan pendekatan pergerakan, di dalamnya tercakup pembentukan jemaah dan institusi Islam yang progresiv, seperti organisasi-organisasi ke Islaman. Pendidikan yang dikelola oleh ulama-ulama konservatif ini, setidaknya telah melahirkan peta pemikiran ke Islaman Minangkabau sekaligus terjadinya pergeseran pemikiran Islam dari folk Islam ke modernisasi Islam. Lahirnya madrasah-madrasah modernis ini, secara langsung atau tidak langsung jelas menjadikan Minangkabau tidak lama mengalami kekosongan sistem pendidikan. Sementara itu, ulama pada masa modernisasi Islam ini terbagi menjadi dua kutup, yakni ulama kaum muda dan kaum tua. Ulama kaum muda yakni ulama-ulama modernis dan konservatif, biasanya ulama-ulama punya view oriented, dan mereka terpengaruh oleh konsep-konsep pembaruan dari luar. Sementara kaum tua, ulama yang masih bertahan dengan konsep-konsep surau masa lalu, serta masih mempertahankan tradisi ritualisasi-ritualisasi keguruan.

Bagi kelompok ulama modernisasi Islam, agama itu diaplikasikan secara realistis. Agama ditujukan untuk pemberdayaan umat secara keseluruhan. Dalam masa awal ini, konseptual itu belum sepenuhnya terkembang, karena masih terkendala oleh sistem penjajahan. Di samping itu, madrasah-madrasah yang dikembangkan hanya baru bergerak dengan sistem pendidikan yang teoritik keagamaan dan belum dilengkapi dengan skill education. Akibatnya, ketika terjadi perubahan terutama berkembangnya pasar dalam sistem ekonomi masyarakat Minangkabau, alumni surau-madrasah sulit mengikut perkembangan ini. Inilah salah satu kelemahan. Kedatangan Islam ke Minangkabau menjadikan surau sebagai tempat ritualisasi Islam, kemudian berkembang sebagai tempat pendidikan. Di institusi inilah, revilisme mpemikiran Islam pertama berlangsung di Minangkabau. Surau sebagai akademis ilmu agama orang Minang. Surau menjadi media diffusi Islam. Ulama-ulama mendirikan surau sebagai tempat penyebaran Islam. Murid-murid yang telah selesai menempuh pendidikan pun mendirikan surau di kampung halamnnya, sehingga Islam di Minangkabau cepat diakses oleh masyarakat. Sekaligus surau semakin populer sebagai media penyebaran Islam, dan yang penting adalah surau telah membentuk karakteristik masyarakat Minangkabau. Gelombang surau ini, merupakan tonggak sejarah pemikiran Islam di Minangkabau. Dari surau ulama-ulama membangun think tank Islam. Surau menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pendidikan dan pemikiran ke Islaman orang Minangkabau. Corak dan karakteristik surau sangat ditentutakan oleh otoritas ulama surau. Ulama sebagai pemilik surau membangun tradisi suraunya secara tersendiri. Bahkan surau sangat identik dengan corak pemikiran ke Islaman seorang ulama. Otoritas keulamaan ini kentara terlihat dalam tariqat yang diamalkan oleh ulama tersebut.

Dengan tradisi tariqat ini pula sangat mudah mencari link antara surau yang satu dengan lainnya. Surau-surau yang mempunyai aliran traiqat syatariah akan berhubungan dan berkaitan secara emosional dengan penganut traiqat yang sama, begitu pula dengan surau yang menjalankan traiqat naqsyabandiah akan terus menjalin hubungan dengan surau yang sealiran dengannya. Keterkaitan aliran surau ini sangat mudah menjejaki tradisi ke Islaman yang berkembang pada surau, karena link pemikiran dan tradisi yang berkembang selalu menurut alur tradisi guru terdahulu. Tradisi guru menjadi panutan dan dikembangkan oleh murid atau pengikut-pengikut selanjutnya. Diffusi ini secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi tingkat pengamalan keislaman masyarakat

Pada masa ini ada dua kekuatan mendasar membangun tradisi pemikiran ke Islaman di minangkabau, pertama tradisi pendidikan surau dan kedua tradisi tariqat. Pada tradisi pendidikan surau, ulama adalah guru secara akademik, yang memberikan transfer knowledge. Yakni memberikan pengetahuan ke Islaman kepada murid-muridnya dengan sistem pendidikan kesurauan, atau dengan sistem salaf. Ulama di Minangkabau pada masa-masa awal sangat terkait dengan tariqat. Tariqat suatu jalan menuju kedekatan dengan Allah. Tariqat di Minangkabau pertama kali di bawa oleh Burhanuddin dari setalah berguru di Aceh, kemudian suraunya di ulakan menjadi otortitas tariqat syatariah di Minangkabau. Tariqat, biasanya tidak terpaut pada guru dan murid saja tetapi sudah menyebar kedalam jemaah. Tariqat lebih banyak bersentuhan dengan bathin, dalam ritualisasinya diimami oleh ulama yang memiliki aliran tariqat baik naqsyabandiah maupun satariyah. Tariqat mempunyai ritualisasi ibadah salah satunya dinamakan dengan suluk. Di Minangkabau, ulama pertama kali mewarisi ilmunya di surau, Surau, dalam masa perkembangannya sekitar abad ke-18 dan ke-19 Masehi, merupakan laboratorium pendidikan bagi orang Minang. Ulama sekaligus pemiliki surau. Biasanya surau memiliki ciri khas ke ilmuan tersendiri, sesuai dengan ilmu yang dimiliki oleh ulama pemilik surau tersebut.

Sampai saat ini, sistem tradisional masih dijalani oleh ulama-ulama surau. Diantaranya, bisa ditemukan beberapa surau di daerah Pariaman sebagai wilayah pesisir dari alam Minangkabau. Di sini seorang ulama yang bergelar Tuanku mengajar di surau, dengan sistem yang belum berubah. Mata pelajarannya dan buku literatur yang dipakai pun masih seperti yang lama. Life style, kehidupan santrinya pun “ala” surau, yakni bermukim di surau. Santri diajak mandiri. Di samping itu, santri diperbolehkan untuk berjalan keliling untuk minta sedekah, dengan satu karung kain yang disandangnya. Di tengah masyarakat mereka di juluki oleh masyarakat dengan sebutan fakih atau orang surau. Malahan atribut mereka ini, menyimbolkan kesurauan.

Di Minangkabau ulama merupakan tokoh kunci dalam membangun building karakteristik Minangkabau yang berasaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Bansandi Kitabullah. Dari segi pemikiran, ulama sebenarnya telah membentangkan pemikirannya melalui institusi pendidikan yang didirikannya sendiri, terutama sekali melalui institusi pendidikan surau. Pendidikan dalam pergerakan eksistensi ulama sekurang-kurangya telah memberikan dua sumbangsih, yakni sebagai penyebaran aliran, ajaran agama Islam, dan kedua sebagai penyebaran pemikiran ulama itu sendiri. Penyebaran pemikiran ini, kemudian menjadi cikal bakal pergerakan dan kemudian membuat link guru dengan murid tidak terputus dan dapat ditelusuri. Dalam kultur link seperti ini, sangat mempercepat penyebaran Islam dan transformasi masyarakat Minangkabau dan secara tidak langsung, mereka ini kemudian juga memiliki kontribusi sebagai penggerak ”pendulum” sejarah nasional Indonesia.

Dalam sejarah, banyak ulama Minangkabau yang tercatat dalam tinta emas sebagai "penggerak" arah sejarah nasional Indonesia yang berwibawa serta dihormati. Sebutlah diantaranya seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi -- ulama terkemuka asal Minangkabau yang mendapat pengakuan internasional dalam sejarah sebagai "guru besar" mazhab Syafii di Masjidil Haram pada masanya. Banyak murid-muridnya yang menyebar dan mentransfer ilmu ke beberapa negara seperti Indonesia, Semenanjung Malaysia, Singapura (Temasek) dan Thailand Selatan (Pattani, Narathiwat dan Yala). Disamping itu juga dikenal ulama-ulama lain seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Abbas Padang Japang, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Djamil Djaho, Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amrullah atau Inyiak Dotor dan anaknya HAMKA serta banyak lagi ulama-ulama lainnya yang memiliki pengaruh seperti mereka dalam masing-masing kecenderungan bidang yang mereka dalami, minimal untuk skala yang bersifat lokal. Sebagai bukti ilmiah, sudah banyak buku yang telah diterbitkan serta penelitian ilmiah yang dilakukan oleh berbagai kalangan.

Dalam perkembangan tradisi ilmiah, khususnya penelitian mengenai ulama-ulama Minangkabau, terlihat kecenderungan bahwa penulisan buku ilmiah ataupun penelitian yang dilakukan terfokus kepada riwayat hidup (include : vieuw world, dinamika zaman, pola transfer ilmu, hubungan guru-murid) ulama-ulama yang memiliki pengaruh atau "nama" skala nasional atau lintas geo-kultural. Sedangkan penelitian ilmiah serta penulisan buku tentang pengaruh ulama-ulama lokal sangat jarang dilakukan. Kalaupun itu ada, selalu bersifat parsial dan individual. Padahal, secara epistimologis, keberadaan dan kebesaran ulama-ulama kaliber nasional dan internasional Minangkabau diatas bisa diterima dengan melihat beberapa indikator, salah satunya adalah diaspora (penyebaran) pengaruhnya yang terlihat dari seberapa banyak murid-murid yang mereka miliki. Melalui murid-murid mereka inilah akan terjadi pula diaspora pengaruh keilmuan ulama itu sendiri. Pada umumnya, murid-murid ulama-ulama besar Minangkabau yang dikenal dalam sejarah terdapat diberbagai daerah di Sumatera Barat yang secara pengaruh, umumnya masih bersifat lokal, akan tetapi secara substansi mereka tetap sebagai definer of reality dalam masing-masing komunitas mereka. Mereka juga dianggap sebagai – atau dalam istilah atau term sosiologi – kelompok ataupun strata yang memiliki pengaruh signifikan, walaupun bersifat lokal-spasial.

Dalam penelitian ini akan difokuskan kepada kajian Biografis sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu sejarah. Kajian biografis Ulama Sumatera Barat tersebut akan menjawab hal-hal sebagai berikut :

1. Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat.
2. Peranan sosial, budaya, politik, agama, keilmuan dan peran lainnya dalam realitas sosial dimana ulama tersebut berperan dan berkiprah.
3. Identitas personal dan pola konflik aliran ulama.
4. Responsibilitiy ulama terhadap masalah di lingkungan sosialnya.

Sedangkan batasan penelitian ini dibagi kepada tiga batasan, yaitu batasan waktu dan batasan spasial serta batasan tematik. Batasan waktu, difokuskan kepada waktu sebelum Paderi hingga akhir berakhirnya rezim Orde Baru dengan penekanan bahwa ulama yang menjadi kajian penelitian ini telah meninggal dunia. Untuk melihat jaringan pemikiran, jaringan guru-murid serta diaspora pemikirannya, batasan waktu ini sangat panjang. Dalam waktu yang demikian panjang tersebut, diasumsikan terdapat begitu banyak ulama-ulama historis yang tidak bisa tidak, harus diteliti. Untuk mensiasati hal tersebut, dalam rentang waktu panjang ini, 30 ulama akan dipilih sebagai ”pusat analisis” yang pada akhirnya akan melibatkan interaksi historis-intelektual banyak ulama-ulama yang lain. Sedangkan batasan spasialnya adalah area historis tempat ulama tersebut lahir dan melakukan interaksi intelektual serta interaksi guru-murid.

Sedangkan dalam batasan tematiknya, penelitian ini diarahkan pada riwayat hidup ulama yang difokuskan kepada Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat, Peranan sosial, budaya, politik, agama, keilmuan dan peran lainnya dalam realitas sosial dimana ulama tersebut berperan dan berkiprah, Identitas personal dan pola konflik aliran ulama dan Responsibilitiy ulama terhadap masalah di lingkungan sosialnya. Dalam penelitian ini tidak seluruh daerah diperlakukan sama, tergantung intensitas kegiatan ulama pada masing-masing daerah. Bisa saja, salah satu daerah menjadi "pusat" dari hubungan guru-murid dan aliran keagamaan maupun institusi yang mereka anut. Penelitian ini memiliki nilai penting dan strategis :

1. Secara akademik-historis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi epistimologis – untuk memperkaya capaian-capaian epistimologis kajian-kajian terdahulu – terutama yang menyangkut tentang pola dan jaringan eksistensi ulama-ulama Minangkabau, baik dalam aspek jaringan keilmuan, jaringan guru-murid, jaringan tareqah dan jaringan-jaringan fungsi dan peran lainnya yang ”dimainkan” oleh ulama-ulama pada zamannya sesuai dengan fungsi dan peran ideal seorang ulama serta bentuk transfer ilmu dan pemahaman keilmuan ”kezamanan” pada ulama yang diteliti tersebut hidup dan berperan. Hal ini akan memberikan kontribusi besar dalam melihat pengaruh seorang ulama dalam membentuk mainstream pemikirannya yang secara langsung ataupun tidak langsung juga memberikan kontribusi untuk membentuk mainstream sejarah Minangkabau itu sendiri.

2. Secara normatif-kultural, mayoritas ”nilai-nilai bernas” sejarah panjang Minangkabau tidak bisa dilepaskan dari eksistensi ulama. Ulama menjadi salah satu icon sejarah Minangkabau. Diktum ”Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” akan mendapat tempat yang lebih ”kuat dan rasional” ketika sejarah ulama-ulama di teliti. Oleh karena itu, penelitian yang menyangkut riwayat hidup ulama sangat penting dilakukan. Apalagi hal ini kemudian lebih difokuskan kepada pola dan jaringan serta persebaran pengaruh.

3. Secara empirik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi ”bahan mentah” atau ”bahan dasar” untuk melahirkan sebuah buku yang – setidaknya untuk sebuah ikhtiar – yang agak komprehensif-integral mengenai ulama-ulama Minangkabau.