Jumat, 19 Februari 2010

Mata Rantai Gerakan Pemikiran Ulama Pembaharuan Islam Minangkabau

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual. Di awali dengan pulangnya tiga ulama Minangkabau selepas menuntut ilmu di Mekah, yaitu Inyik Djambek, Inyik Rasul dan Inyik Abdullah Ahmad membawa modernisasi Islam ajaran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari Mesir. Gerakan ini tidak hanya dimotivasi oleh gerakan pembaharuan yang sudah berkembang di Mesir tapi juga oleh dorongan rivalitas terhadap golongan berpendidikan Barat yang cara material dan sosial terlihat lebih bergengsi. Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) , adalah adalah satu dari tiga ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat di awal abad ke-20, dilahirkan di Bukittinggi (), terkenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda. Masa kecilnya tidak banyak sumber yang menceritakan. Namun, yang jelas Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru (Kweekschool). Sampai umur 22 tahun ia berada dalam kehidupan parewa, satu golongan orang muda-muda yang tidak mau mengganggu kehidupan keluarga, pergaulan luas di antara kaum parewa berlainan kampung dan saling harga menghargai, walau ketika itu kehidupan parewa masih senang berjudi, menyabung ayam, namun mereka ahli dalam pencak dan silat. Semenjak berumur 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik pada pelajaran agama dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang, Pariaman dan di Batipuh Baruh. Ayahnya membawanya ke Mekah pada tahun 1896 dan bermukim di sana selama 9 tahun lamanya mempelajari soal-soal agama. Guru-gurunya di Mekah, antara lain,adalah Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh Ahmad Khatib. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Muhammad Djamil tertarik untuk mempelajari ilmu sihir kepada seorang guru dari Maroko, tapi dia disadarkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Djamil menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah.

Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djamil Djambek dihormati sebagai Syekh Tarekat. Dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak, dan belajar dengan Syekh Taher Djalaluddin. Di akhir masa studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi bidang spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim di Mekah. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang). Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesui panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan. Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855). Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo. Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.

Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir. Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya. Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.

Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama. Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan. Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing. Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah. Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu. Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) , Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) .

Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo. Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya. Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau. Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908.

Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah.
Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir. Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.

Gerakan pembaruan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga. Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau. Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau. Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu. Malahan, gerakan pembaharuan yang dilaksanakan oleh mereka, sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu, harta pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada pengawasan garis perempuan.

Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada Tuanku atau malin. Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini, berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah semenjanjung itu. Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai.

Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi wajib. Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara.

Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai bermunculan. Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia. Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini. Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat. Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan. Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks, memang merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq. Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947).

Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Sekembalinya dari Mekah, Mohammad Djamil mulai memberikan pelajaran agama secara tradisional Karena beliau memelihara dengan rapi dan teratur jambang dan jenggotnya, maka muridnya mulai menyebutnya dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek, atau Inyik Djambek. Murid-muridnya kebanyakan terdiri dari para kalipah tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Kemudian ia meninggalkan Bukittinggi dan kembali mendatangi teman-temannya dalam kehidupan parewa yang mulai ditinggalkannya sejak usia 22 tahun (1888) di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau di Kamang (1905), dan Surau Tengah Sawah (1908). Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik Djambek.
Di Kamang pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan iman. Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia mengecam masyarakat yang masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia mendekati ninik mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat. Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati kedudukan perempuan. Islam adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah diungkapkan oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS. 10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul utusan terakhir untuk seluruh umat manusia. Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang demikian, hanya dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada tauhid dan ibadat. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi cara-cara beribadah telah diperintahkan. Di tradisi-tradisi baru yang tidak ada perintahnya, maka tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah. Di dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai bid’ah yang dibedakan atas dua jenis, yaitu bid’ah menurut hukum (syar’iyah) tidak dapat dibiarkan berlaku, karena itu perlu diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim dilakukan sehari-hari di bidang agama, dengan menggunakan akal dan berpegang kepada salah satu tiang hukum (Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas).

Di samping itu ada pula bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), sebagaimana ada pula bid’ah pada amalan, seperti mengucapkan niyah. Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam batas halal dan haram, serta amat ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar, sebagai sifat asli dari agama Islam. Agama juga mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia. Masalah ini ada yang mengandung ciri ‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dan bagian dari din Allah, sedangkan cara mengamalkannya bersifat duniawi. Umpamanya perintah memelihara anak yatim, menghormati orang tua, membersihkan gigi, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan individu, dan mengiautkan persaudaraan atau ukhuwah Islamiyah. Sudah mulai agak janggal pula kedengarannya bila menyebut kata-kata ini yang sudah begitu lama kita kunyah. Tetapi, yang masih sedikit sekali berjumpa pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.


(c) Masoed Abidin

Kamis, 18 Februari 2010

Prof. DR. H. Tengku Muhibuddin Waly, Ph.D : "Ulama-Intelektual Tanah Rencong Keturunan Minangkabau"

Oleh : Muhammad Ilham

Abuya Muhibbuddin, demikian ia akrab disapa, adalah putra Syekh Muhammad Waly, guru Tarekat Naqsyabandiyah Waliyah di Tanah Rencong. Syekh Muhammad Waly adalah ulama besar yang berasal dari Minangkabau. Dari ayahandanya, yang di Ranah Minang lebih dikenal dengan julukan Syekh Mudo Waly, mengalir darah ulama besar. Paman Syekh Mudo Waly, misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang waliullah yang termasyhur di Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syekh Mudo Waly juga mewarisi karisma dan karamahnya. Konon, ia pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap. Syekh Mudo Waly adalah sahabat Syekh Yasin Al-Fadany (asal Padang) saat mereka berguru kepada Sayid Ali Al-Maliky, kakek Sayid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky Al-Maliky Al-Hasany, di Mekah. Karena persahabatan itu pula, beberapa tahun lalu Al-Maliky mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Abuya.

Diceritakan, ketika menunaikan ibadah haji, Abuya sowan kepada tokoh Suni yang baru saja wafat pertengahan Ramadan lalu. Ketika itu Sayid Maliky bertanya, siapakah gerangan tamunya tersebut. Abuya lalu menjelaskan, ia adalah putra Syekh Mudo Waly, murid Sayid Ali Al-Maliky. Mendengar itu, Sayid Maliky menangis haru dan memeluk Abuya, kemudian mengijazahkan semua ilmu tarekatnya. Hal yang sama sekali tak diduga sebelumnya oleh Abuya. Pertemuannya dengan Syekh Yasin Al-Fadany juga penuh dengan isak tangis mengharukan. Setelah memeluk Abuya erat-erat, sambil terus memegang tangannya, Syekh Yasin mengijazahkan semua hadis Rasulullah SAW yang dikuasainya.
Untuk pertama kalinya, tempo doeloe di masa remaja, Abuya Muhibbuddin belajar Tarekat Naqsyabandiyah kepada ayahandanya. Setelah dianggap cukup, belakangan, Syekh Mudo Waly menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi mursyid kepada gurunya, Syekh Abdul Ghani Al-Kampary (dari Kampar). Saat itu di pesisir laut Sumatra ada dua mursyid besar yang tinggal di Riau.

Mereka termasyhur sebagai
min jumlatil awlia (termasuk wali-wali Allah), yaitu Syekh Abdulghani Al-Kampary, yang kebanyakan murid-muridnya terdiri dari para ulama; dan Syekh Abdul Wahhab Rokan (dari Rokan), yang murid-muridnya adalah orang-orang awam. Belakangan Abuya Muhibbuddin juga mendapat ijazah irsyad (sebagai guru mursyid) Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari ulama karismatik K.H. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin, alias Abah Anom, pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Syekh Muhammad Nadzim Al-Haqqany. Silaturahmi dan selalu belajar kepada para ulama besar memang kebiasaannya yang sudah mendarah daging, bahkan hingga kini. Selalu teringat wasiat ayahandanya, “Jika engkau bertemu dengan orang alim, janganlah pernah mendebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya, lalu cium tangannya.”

Syekh Muhibbuddin Waly mengambil gelar doktor di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, dengan disertasi tentang Pengantar Ilmu Hukum Islam. Lulus 1971, waktu kuliahnya terbilang singkat. Di Al-Azhar, teman satu angkatannya antara lain mantan Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Wah, Gus Dur itu sehari-hari kerjaannya cuma membaca bermacam-macam koran,” kenangnya sambil terkekeh.
Kini, setelah kesibukannya sebagai anggota DPR RI berakhir 2004 lalu, ia lebih banyak mengisi waktunya dengan mengajar tarekat dan menulis. Ada beberapa buku tentang tasawuf dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi tarekat yang diberinya judul Capita Selecta Tarekat Shufiyah. Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga kitab yang diharapkannya akan menjadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya, yaitu Tafsir Waly (Tafsir Al-Quran), Fathul Waly (Komentar atas Kitab Jauharatut Tauhid), dan Nahjatun Nadiyah ila Martabatis Shufiyah (sebuah kitab tentang ilmu tasawuf). Dan ternyata ia pun mewarisi darah para pujangga Minang. Hal itu, misalnya, terbukti dari kemahirannya menulis syair. Belum lama ini ia mengijazahkan Syair Tawasul Tarekat yang digubahnya dalam dua bahasa, Arab dan Melayu, kepada murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan proses perjalanan suluknya, diselingi doa tawasul kepada para pendiri beberapa tarekat besar dan guru-guru yang dimuliakannya.

Mengenai perkembangan tarekat dewasa ini, ia menyatakan, “Saat ini ada pergeseran nilai (bertambahnya fungsi tarekat – Red.) di kalangan pengikut tarekat. Jika di masa lampau tarekat diikuti oleh orang yang benar-benar hendak mencapai makrifatullah, kedekatan dengan Allah, sekarang ini tarekat malah sering jadi tempat pelarian bagi orang-orang yang menemukan kebuntuan dalam hidup.” Mengenai hubungan guru dan murid dalam tarekat, ia berpendapat, seorang mursyid adalah pengemudi biduk pengembaraan spiritual muridnya. Oleh karena itu, seorang mursyid seyogianya juga menjadi musahhil, yaitu orang yang membantu kemudahan sang murid dalam melewati beberapa maqamat atau terminal spiritualnya.

Ulama dan Aliran Syattariyah di Sumatera Barat

Ditulis ulang : Muhammad Ilham


Agama Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Di mana ada nagari maka di situ ada pula mesjid. Dalam perkembangan selanjutnya di Minangkabau muncul fenomena Islam tradisionalis (kaum tua) dan Islam modernis (kaum muda). Untuk mempraktekkan cara keberagamannya, kaum tradisional melakukan dengan cara ritual tarekat. Tarekat itu antara lain, Syattariah, Naqsyabandiah, Sammaniyah, Rifaiyah. Dari keempat tarekat ini, Tarekat Syattariah dan Naqsyabandiah merupakan tarekat paling berkembang dan berpengaruh di Sumatera Barat.

Tarekat Syattariyyah merupakan tarekat paling awal berkembang dan sangat mengakar di sebagian masyarakat Minangkabau. Tarekat Syattariyyah dibawa oleh Syech Burhanuddin. Tarekat Syattariyyah merupakan satu-satunya representasi dari Islam tradisional di Sumatera Barat, sebelum munculnya tarekat Naqsyabandiyyah sekitar 1850. Dari buku kita ini bisa mengetahui sejarah awal mula berdirinya Tarekat Syattariyah, masuknya ke Indonesia dan Sumatera Barat, perkembangannya, ajarannya dan pesta-pesta agama yang dilakukakan oleh penganut.


Melalui buku ini kita akan mendapat jawaban tentang penentangan ajaran doktrin Wahdat al Wujud oleh pala ulama tradisional. Sehingga Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat mempunyai ciri khas yakni tanpa Wahdat ai-Wujud. Penulis juga menyampaikan secara detail tentang ritual-ritual penting para penganut Tarekat Syattariyah serta ibadah yang dilakukan oleh para penganut. Pada bulan Syafar banyak masyarakat yang pergi ke Tanjung Medan, Ulakan, Kabupaten Padangpariaman. Tradisi tersebut adalah bagian dari tradisi Tarekat Syattariyah yang bersentuhan dengan budaya lokal. Tradisi tersebut disebut dengan Basapa. Semuanya bisa kita ketahui dan maknai dengan membaca buku ini.

(c) PadangKini.com/Judul Buku : Tarekat Syattariyah di Minangkabau / Penulis : Oman Fathurahman

Senin, 15 Februari 2010

Sheikh Ahmad Jelebu (1887 - 1989) : Ulama Minangkabau yang "Dibesarkan" di Semenanjung Malaysia


Ditulis ulang : Muhammad Ilham

(dalam bahasa asli - Bahasa Melayu Malaysia : Artikel ini kiriman dari salah seorang Perantau Indonesia di Malaysia : Hak Cipta Penulisan pada syeikhahmad.blogspot.com)

Sheikh Ahmad Bin Sheikh Ibrahim dilahirkan dalam tahun 1887 di Padang, Indonesia. Bapanya Sheikh Ibrahim adalah guru agama yang mengamalkan aliran tarekat dan bersuluk. Beliau tidak berminat untuk mengikuti tarekat dan memilih untuk mendampingi aliran kaum muda di Bukit Tinggi. Di sana Sheikh Ahmad berguru dengan bapa Almarhum Prof Dr Hamka iaitu Haji Abdul Karim Amrullah di Madrasah Sumatera Tawalib. Ketika itu usianya dianggarkan dalam awal 20an. Beliau pernah bercerita tentang diri Almarhum Pak Hamka yang agak nakal semasa kecilnya, Almarhum itu pernah menyimbah air kepada murid-murid di Madrasah ketika mereka mengambil wuduk di sumur. Tidak dapat dipastikan destinasi awal yang mula disinggahinya, samada di India atau di Tanah Suci Mekah Al Mukarramah. Tetapi kedua-dua tempat itu pernah menjadi tempat pengajian agama ketika usianya 20an. Isterinya Siti Binti Ahmad menyatakan, Sheikh Ahmad pernah menuntut di Mekah dan di India lebih dari tiga tahun. Walau bagaimanapun, banyak masanya dipenuhi dengan bertabligh dan mengembara dari suatu tempat ke suatu tempat. Kerana suka mengembara di beberapa kawasan di pendalaman, beliau boleh bertutur beberapa loghat suku kaum Arab dan Parsi. Allahyarham juga boleh berbahasa Urdhu dan Inggeris. Antara negara-negara Timur Tengah yang pernah dilawatinya ialah Mesir, Plestine, Iraq, Iran dan beberapa negara sekitarnya.

Suatu ketika Sheikh Ahmad keluar menyertai sekumpulan orang Arab di padang pasir Semenanjung Arab. Mereka telah terserempak dengan seorang Arab berkuda yang membawa senjata api. Tetamu yang besar dan tinggi itu tiba-tiba menyerang atau memukul kepala Sheikh Ahmad dengan senjatanya., Sheikh Ahmad bertindak pantas membalas serangan dengan melibaskan kakinya ke leher lawan. Gerakan pantasnya itu menyebabkan Arab itu rebah ke bumi. Tindakan tersebut menyebabkan orang-orang Arab yang menyertainya terkejut melihat anak Jawi yang bertubuh kecil itu boleh menumbangkan Pak Arab yang tidak sebanding dengannya. Mereka hairan bagaimana kedua kaki dan tangan Sheikh Ahmad boleh bertindak pantas. Ekoran dari peristiwa itu Sheikh Ahmad menjadi rakan yang dihormati dan dikenali oleh orang-orang Arab di pendalaman. Orang Arab yang telah dibunuhnya itu adalah penjenayah yang sangat dikehendaki oleh pemerintah ketika itu.
Sheikh Ahmad pernah dilantik menjawat jawatan Hakim di Mahkamah Syariah di Plestine dalam tahun 1940an. Beliau berada di Plestine lebih kurang 2 tahun dan pernah berkahwin dengan perempuan Plestine. Hasil perkahwinannya itu, beliau memperolehi seorang anak lelaki yang diberi nama Abdul Aziz Sheikh Ahmad. Jodohnya dengan wanita Arab ini tidak berpanjangan. Anak lelakinya itu menjadi doktor perubatan dan pernah berutus surat sebelum ini, tetapi selepas terjadi perang Arab – Israel, perhubungan mereka telah terputus.

Semasa menuntut di India pula, Sheikh Ahmad pernah mendaki pergunungan Himalaya di utara India. Tujuan beliau mendaki gunung itu ialah untuk bertemu dengan manusia yang bertapa dalam gua di pergunungan. Beliau mendapat tahu gua tersebut dijadikan kawasan pertapaan dan penuh dengan perkara-perkara mistik. Kerana sifat ingin tahu dan menyukai cabaran, beliau bertekad untuk memulakan pendakian. Perjalanan ke destinasi tersebut memakan masa hampir sebulan berjalan kaki atau lebih kurang 3 hari 3 malam menunggang kuda.
Ramai penduduk di kaki gunung menasihati beliau supaya membatalkan rancangannya untuk ke kawasan tersebut. Pergi bermakna akan menemui kematian kerana halangan-halangan dahsyat akan berlaku. Sebaliknya pula, Sheikh Ahmad menganggap peringatan tersebut sebagai motivasi bagi dirinya dan yakin kekuasaan Allah melebihi segalanya. Dalam perjalanan malam di bawah bulan purnama yang menerangi kawasan pergunungan itu, beliau telah didatangi seorang gadis mirip wanita Khasmir yang cantik. Sheikh Ahmad tahu wanita ini jelmaan syaitan yang dipuja oleh manusia yang bertapa di gua tersebut. Dengan pantas Sheikh Ahmad menikam perempuan tersebut dengan kerisnya. Malangnya, beliau telah jatuh pengsan. Keesokkan paginya, beliau telah dijumpai oleh penghantar makanan ke gua tersebut. Tangannya masih menggenggam ulu keris dan sekeping upih melekat di hujung senjatanya. Setelah melepasi beberapa halangan, akhirnya Sheikh Ahmad sampai ke pintu gua tersebut. Gua yang berbilik-bilik itu dihuni oleh orang yang bertapa mengikut tahap-tahap keilmuan atau senioriti. Mereka berkeadaan tidak terurus dengan rambut dan janggut yang panjang serta berbau busuk.

Ada
kalangan mereka hidup bagai nyawa-nyawa ikan atau seperti bangkai bernyawa. Anak Jawi berhati cekal ini telah berdailog dan memarahi manusia yang sesat tersebut. Beliau sempat berdakwah agar mereka kembali kepada fitrah manusia dan menganut Islam. Ketua orang yang bertapa itu telah menepuk bahu Sheikh Ahmad kerana kagum dengan kecekalan dan keberanian beliau sampai ke kawasan tersebut. Malah Ketua orang bertapa itu juga tahu Sheikh Ahmad telah membunuh orangnya ( wanita jelmaan) dan membayangkan Sheikh Ahmad akan menjadi tumpuan orang pada suatu hari nanti. Sheikh Ahmad juga pernah berdepan dengan pengamal-pengamal sihir. Antaranya ketika berkunjung di Madras, keimanan beliau telah dicuba oleh seorang pengamal sihir yang menunjukkan kebolehannya mengarahkan sepohon tamar berpindah dari satu tempat ke satu tempat. Pengamal sihir itu juga memindahkan seorang gadis cantik tidur ke bilik Sheikh Ahmad. Apabila ditanya apakah tujuan dan ilmu yang diamalkan, pengamal sihir itu berkata itulah Ilmu ' sehari tua daripada Tuhan' yang ingin diturunkan kepada Sheikh Ahmad. Beliau telah menempelak perbuatan syirik dan sesat tersebut.
Sheikh Ahmad telah memilih Sungai Petani, di Kedah sebagai destinasi barunya. Di Kedah ini beliau bertabligh di beberapa masjid dan surau.

Oleh kerana kebagusan perangai dan ilmunya, maka ramai pula yang tertarik hati untuk dijadikan menantu dan tidak kurang pula iri hati. Beliau telah difitnahkan ingin merebut tunang seorang pemuda tempatan. Selepas sholat isya' di masjid, lima atau enam pemuda tempatan telah mengepung beliau di sebuah titi yang sempit. Sheikh Ahmad telah diserang bertubi-tubi dan dengan mudah pula ia menjatuhkan lawannya ke sungai. Di Kedah, Allahyarham Sheikh Ahmad mempunyai dua isteri. Isteri pertamanya orang Alor Star dan kedua dari Sungai Petani. Hasil perkahwinannya itu beliau dianugerahkan 2 cahaya mata. Beliau mendapat anak perempuan dari isteri kedua dan diberi nama Zaleha. Dua tahun berikutnya isteri pertamanya pula melahirkan anak lelaki bernama Mokhtar. Mereka berusia lebih kurang 66 dan 64 tahun sekarang. Pernah suatu ketika terjadi peristiwa bapa mertua beliau menyepak isterinya ( ibu mertua) yang tengah bersholat. Bapa mertuanya seorang yang panas baran dan suka meminta wang dari isterinya. Sheikh Ahmad telah menegur perbuatan ganas dan biadab bapa mertua itu. Bapa mertuanya telah mengupah seorang berketurunan Jawa yang dikatakan pandai mengayungkan mangsanya untuk membinasakan Sheikh Ahmad menantunya.
Suatu petang, Jawa tersebut bertemu dengan Sheikh Ahmad di jalanan. Beliau menghulurkan tangan untuk berjabat salam. Apakala tangan mereka bersalaman, Jawa tersebut telah menggoncang kuat tangan Sheikh Ahmad, Sheikh Ahmad yang mahir dalam dunia persilatan itu merasakan Jawa itu telah mengayungkannya (memukul secara bathin) sehinggakan jantungnya dirasakan putus. Dia terasa beberapa titisan darah keluar dari jantungnya. Dengan kepakarannya, beliau memulangkan pukulan angin itu dengan membalas goncangan salam tangan lawan. Seminggu selepas kejadian itu Jawa itu dikhabarkan mati. Menurut Sheikh Ahmad, pada zahirnya dia boleh maut dengan pukulan gayung Jawa itu boleh membunuh tetapi beliau mampu membalasnya dengan izin Allah. Di Jelebu, beliau menetap di Kampung Triang kira-kira 5 km dari Pekan Kuala Klawang. Beliau berkahwin pula dengan seorang gadis sunti tempatan bernama Mahaya.

Isteri beliau ini meninggal dunia dan tidak meninggalkan zuriat. Di Triang, beliau telah membuka pusat pengajian dan ramailah anak-anak kampung belajar agama dengan Sheikh Ahmad. Antara anak murid beliau ialah Dato' Rais Yatim Ahli Parlimen Jelebu dan bekas Menteri Besar Negeri Sembilan. Beliau sangat rapat dengan Ustaz Hashim Abdul Ghani Mudir Pusat Pengajian Ittiba' As Sunnah di Parit, Kuala Pilah kerana sealiran dengannya. Selepas kematian isterinya Mahaya, Ustaz Hashim telah menjodohkan Sheikh Ahmad dengan anak muridnya bernama Siti Binti Ahmad dalam tahun 1966. Ketika berkahwin dengan Siti Binti Ahmad, usia Sheikh Ahmad telah menjangkau 78 tahun dan isterinya pula seorang janda muda berusia 28 tahun. Menurut Puan Siti Ahmad ( kini berusia 66 tahun) ketika diwawancara pada 20 Mac 2004, Sheikh Ahmad adalah seorang guru dan pengamal perubatan Islam yang kuat beribadah dan pandai berkata-kata. Walaupun telah berusia namun perwatakan dan tubuh badannya masih sehat dan bergaya. Ramai pengikut fahaman kaum muda dari Kuala Pilah datang menziarahinya untuk belajar dan berubat termasuklah bapa saudara penyusun Haji Mahmud Fasih dan Allahyarham bapa penyusun sendiri.

Sebagaimana yang dinyatakan, Sheikh Ahmad mula terpengaruh dengan aliran Kaum Muda sejak belasan tahun lagi ketika mengaji dengan bapa Almarhum Pak Hamka. Ketika Pak Hamka pernah berkunjung ke Kuala Pilah dalam tahun 1960an, beliau sempat berjumpa Sheikh Ahmad. Mereka berbincang tentang perjuangan Islam di Indonesia. Pak Hamka telah dipenjarakan oleh Sukarno sebaik tiba dari Malaysia disebabkan perbezaan ideologi dan pengaruh kominis di Indonesia ketika itu. Pengikut As Sunnah pimpinan Ustaz Hashim Abdul Ghani di Kuala Pilah sering berpolemik dengan Majlis Agama Islam Negeri Sembilan kerana perbezaan pandangan dalam perlaksanaan syariat. Sheikh Ahmad juga pernah dipanggil untuk menjelaskan fahaman beliau dalam masalah membayar zakat fitrah dengan amil lantikan kerajaan. Oleh kerana sering menghadapi tekanan maka mereka telah mengadakan deklarasi pada 26 Disember 1982 (11 Rabiulawal 1403) di mana wakil pendukung al-Sunnah dari seluruh Malaysia telah berhimpun di Kuala Pilah, bertempat di Ma'ahad Ittibaus-Sunnah. Dalam perhimpunan ini, sebuah deklarasi kewujudan keluarga al-Sunnah Malaysi diisytiharkan.
Suatu keanihan pada batang tubuh Sheikh Ahmad ini ialah ada 'tattoo' lukisan kekal di lengan kirinya. Lukisan ini dikatakan dilukis oleh seorang Hindu semasa beliau menuntut di India dan tiada penjelasan kenapa beliau membenarkan ianya dilakukan. Tetapi beliau pernah memberitahu beliau sering berdepan dengan golongan pengamal sihir dan kebatinan. Di akhir hayatnya, Sheikh Ahmad ada menemui seorang doktor perubatan untuk membuang gambar tattoo di lengan kirinya itu tetapi sukar dihilangkan. Sheikh Ahmad mengatakan perkara itu tidak mendatangkan gangguan kepadanya dan ia meletakkan keyakinan kepada Allah mengatasi segalanya.

Di hari-hari tuanya, Sheikh Ahmad lebih banyak menghabiskan masa berzikir panjang dan membaca kita-kitab dalam simpanannya. Apabila datang orang ramai ingin berubat atau meminta bantuan, beliau akan memberi tazkirah agama terlebih dahulu dan menyakinkan pengunjung supaya sering berserah diri kepada Allah SWT. Kali terakhir beliau menunaikan fardhu haji ialah tahun 1981 dihantar oleh Dato' Rais Yatim. Dikatakan apabila di Mekah, Sheikh Ahmad terlalu sibuk menyahut jemputan penduduk Mekah seolah-olah beliau kembali ke kampung halamannya. Sheikh Ahmad menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 30 Disember 1989 dikala usia lanjut 103 tahun. Jenazahnya disemadikan di Kampung Gagu, Triang. Beliau meninggalkan seorang balu Puan Siti Binti Ahmad dan anak angkat perempuan yang mengalami terancat akal berumur 31 tahun. Allahyarham bolehlah dianggap tokoh agama yang juga mempunyai kemahiran seni pertahanan diri yang tinggi. Cubaan berdepan golongan ahli sihir, kebatinan dan penjenayah yang boleh menjejaskan aqidah dan nyawa tidak pernah meluntur semangatnya untuk menyampaikan dakwah. Beliau benar-benar mewarisi bakat pahlawan bangsa yang tega dan cekal.