Senin, 24 Mei 2010

Dari Surau Jembatan Besi hingga Perguruan Islam Thawalib Padang Panjang

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Jauh sebelum tahun 1900, sudah berjalan lama pengajian di Surau Jembatan besi Padang Panjang di bawah asuhan Syekh Abdullah, merupakan salah satu di antara pengajian-pengajian cara lama yang banyak tersebar di Minangkabau. (Catatan : Pada mulanya terdapat di tempat itu hanya jembatan kayu yang pakai atap, kemudian diganti dengan jembatan besi. Itulah pertama kali adanya jembatan besi di Padang Panjang dan terkenal Surau Jembatan Besi , yang kemudian menjadi pusat pertumbuhan Ulama dan Zuama Islam yang bertebaran ke seluruh Indonesia). Pada tahun 1907 Syekh Abdullah pindah mengajar ke Padang, dan pimpinan pengajian Surau Jembatan Besi pindah kepada Syekh Daud Rasjidi (ayahanda dati H.M.D. Dt. Palimo Kayo) dan murid-murid pengajian bertambah-tambah mendapat kunjungan dari negeri-negeri sekelilingnya dan pelajaran kitab-kitab Arab meningkat. Berhubung dengan keberangkatan Syekh Daud Rasjidi ke Makkah al Mukarramah untuk memperdalam pengetahuannya dengan Syekh Ahmad Chatib, sementara digantikan oleh kakak beliau Syekh Abdul Lathif Rasjidi (ayahanda H. Mukhtar Luthfi). Tidak lama kemudian pada tahun 1901pimpinan Surau Jembatan Besi pindah ke tangan Syekh Abdul Karim Amarullah yang waktu itu terkenal dengan sebutan Inyiak Haji Rasul (ayahanda dari HAMKA).

Di bawah asuhan Syekh Abdul Karim Amarullah, pengajian Surau Jembatan Besi bertambah maju, pelajaran kitab-kitab Arab bertambah meningkat, penuntut-penuntut ilmu agama (yang wktu itu terkenal dengan sebutan orang siak) bertambah banyak berdatangandari sekeliling Minangkabau dan juga dari daerah-daerah lain, Tapanuli, Aceh, Bengkulu, Malaya, Siam, dan lain tempat. Pada tahun 1912 jiwa ber-organisasi bertiup kencang menghidupkan kebathinan penuntut-penuntut ilmu Surau Jembatan Besi, maka terbentuklah satu organisasi dari guru-guru dan pelajar pengajian Surau Jembatan Besi, mulanya bernama SUMATERA THUWAILIB dan kemudian bernama Sumatera Thawalib. Organisasi tersebut pada tahun 1914 telah berubah bentuk , pengajian Surau Jembatan Besi mendekati bentuk Sekolah, terdiri atas tujuh kelas, dengan kitab-kitab yang lebih teratur untuk setiap kelas dengan Pimpinan Guru Besar Syekh Abdul Karim Amarullah dan Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim selaku wakil Guru Besar dan dibantu oleh guru-guru dibawahannya, dan pengawasan dari Pengurus Sumatera Thawalib yang ketika itu diketuai oleh Engku Hasjim Tiku dan dibimbing oleh Zainuddin Labay El Junusy yang baru saja pulang dari Padang Panjang. Pengajian Surau Jembatan Besi semakin maju dan ramai, walaupun masih duduk bersela di kelas masing-masing.

Pada tahun 1915 Zainuddin Labay El Junusy menciptakan suatu system Perguruan Islam yang terbaru bernama Diniyyah School atau Madrasah Diniyyah, yang lebih banyak memasukkan pelajaran-pelajaran ilmu umum, telah menyebabkan Perguruan Sumatera Thawalib semakin hebat berlomba atas kebajikan. Kemajuan Perguruan Islam bertambah meningkat dengan Sumatera Thawalib yang lebih menjurus kepada ‘Alim Ulama ahli fiqih, sedang Madrasah Diniyah mengikutsertakan ilmu Umum. Sehingga kedua-duanya merupakan kader Alim Ulama yang intelek. Modernisasi Pengajian surau-surau yang telah dimulai oleh Surau Jembatan Besi tersebut sudah menjalar ke tempat lain, dan bertumbuhanlah Sumatera Thawalib di Parabek di bawah pimpinan Syekh Ibrahim Musa, di Padang Japang di bawah pimpinan dua orang bersaudara Syekh Mushtafa ‘Abdullah dan Syekh Abbas ‘Abdullah, di Sungayang di bawah pimpinan Syekh Muhammad Thaib, di Maninjau di bawah pimpinan Syekh Abdul Rasjid dan lain-lain. Masing-masingnya berlomba-lomba untuk lebih maju, sehingga pelajar-pelajar pun semakin bertambah membanjir, juga yang berdatangan dari luar pulau Sumatera dan juga Malaya dan Siam.

Pada tahun 1918 Sumatera Thawalib Padang Panjangmelangkah maju lagi ke depan, di samping meningkatkan pelajaran dalam Perguruan Thawalib, juga mulai mengadakan penerbitan Majalah Al Munir dipimpin oleh Zainuddin Labay El Junusy dibantu oleh Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim, memuat karangan-karangan yang berisi : Pelajaran atau nasehat Agama, menjawab pertanyaan-pertanyaan, memberantas khurafat, tahkyul dan bid’ah, serta sejarah dll. Untuk kesempurnaan dan memupuk perkembangan ilmu karang mengarang (menulis), Sumatera Thawalib mengadakan Debating Club sekali seminggu yang diikuti oleh guru-guru dan pelajar-pelajar Thawalib yang sudah agak besar. Dalam Debating Club diasuh dan diasah mengarang, berpidato, berdebat, dan berlatih mengemukakan suatu pandangan dan mempertahankan pendapa-pendapat masing-masing. Dan disamping usaha penerbitan majalah Al Munir itu diadakan perpustakaan untuk mengumpulkan surat-surat Kabar dan Majalah-majalah dari seantero Indonesia (yang waktu itu disebut Hindia Belanda), juga surat-surat kabar dari Mesir. Sehingga kantor Al-Munir itu setiap sore penuh dikunjungi oleh pelajar-pelajar untuk membaca surat-surat kabar dan buku-buku baik yang berisikan politik, ekonomi, social dan pendidikan, menyebabkan pelajar-pelajar Thawalib mendapat pandangan yang luas selain dari pelajaran-pelajaran di Thawalib ataupun di Diniyah.

Perkembangan yang demikian juga menjalar ke Perguruan-perguruan Thawalib yang lain, sehingga : di Parabek terbit Majalah Al-Bayan di bawah pimpinan Sain Al-Maliki dibantu oleh Jama’in Abdul Murad, di Sungayang terbit Majalah Al-Basir di bawah pimpinan Mahmud Junus dan Mahmud ‘Azizi, di Padang Japang terbit Majalah Al-Imam di bawah pimpinan Sa’aduddin Siarbaini, di Maninjau terbit Majalah Al-Ittiqan di bawah pimpinan Mahmud Rais, di Padang Panjang terbit lagi Majalah “Perdamaian” disamping majalah Al Munir yang dipimpin oleh H. Djalaluddin Thaib. Disamping kemajuan buku-buku pelajaran B. Arab untuk Thawalib dan Diniyyah yang sengaja dipesan dari Mesir, Damaskus, Beirut, Makkah dan lain-lain, mulailah pula pelajar-pelajar Thawalib dan Diniyyah ketika itu mendapatkan bacaan majalah-majalah, brosur-brosur dan surat kabar bahasa Arab dari Timur tengah itu. Umumnya berisikan propaganda pergerakan politik perjuangan kemerdekaan. Karena bertepatan pada ketika itu kebangkitan bangsa Arab yang berjuang melepaskan belenggu penjajahan bangsa Barat atas Tanah Air mereka. Karenanya setingkat lagi kemajuan Thawalib dan Diniyah ketika itu, bukan saja menjadi Pembina kader ulama dengan system pembaharuannnya tetapi juga merupakan sumber kader Pemimpin dan Pejuang kemerdekaan bangsa Indonesiayang diserap dari Timur Tengah itu. Maka para kader Alim Ulama dan Zu’ama dari Thawalib dan Diniyah itu lebih banyak belajar perfgerakan politik dari Timur Tengah yang bernafaskan Islam.

Untuk meningkatkan kader Alim Ulama maka Sumatera Thawalib Padang Panjanh mengadakan perubahan, menambah kelas menjadi 6A daN 6B, barulah diteruskan ke kelas 7. Pada pokoknya kelas 7 itu hanyalah untuk kuliah penghabisan yang dipimpin langsung oleh guru besar Syekh Abdul Karim Amarullah , juga diikuti oleh guru-guru Agama dari sekeliling Padang-Panjang. Kelas 7 itulah yang tertinggi, sehingga dari kelas 7 itu sudah boleh dilepas untuk mengajar sendiri kemana-mana saja. Pada tahun 1920 semangat persatuan dan perjuangan mukin meningkat, maka terjadilah suatu permusyawaratan antara Sumatera Thawalib dari berbagai tempat yang berlangsung di Padang Panjang, yang telah menghasilkan satu keputusan yang sangat berharga, yaitu : Mempersatukan seluruh Perguruan Islam Thawalib dengan pimpinan pengurus besar yang pertama , terdiri dari : H. Djalaluddin Thaib, Voorzitter, dan Thaher by Secretaris teven Penningmeester, serta beberapa orang Commissarisen. Itulah hari bersejarah yang sangat penting dalam mewujudkan persatuan. Perguruan-perguruan Islam yang kelak menjadi promoter perjuangan Ummat Islam khususnya di Minangkabau ini.

Pada tahun 1921 Sumatera Thawalib Padang Panjang mulai melangkah melatih diri dalam bidang koperasi dan perekonomian pada umumnya. Pertama kali menyediakan minuman kopi/ teh dan kue-kue untuk pelajar-pelajar Sumatera Thawalib yang sudah berjumlah lebih dari 1000 orang dalam bentuk sebuah nama “Buffet Merah” dimana disediakan juga alat-alat kepentingan pelajar-pelajar berupa pena, pensil, bulu-buku tulis, singlet, benang, penjahit dsb. Kemudian mengadakan juga perusahaan dobi, rumah pangkas semata-mata untuk kepentingan pealajar. Pada tahun 1922 tamatan Sumatera Thawalib sudah mulai dimanfaatkan. Pertama untuk mengajar di negeri masing-masing, menjadi Tuangku (Qadhi, Imam, Khatib), mendidrikan pula Sumatera Thawalib dan Diniyah School. Kedua untuk memenuhi kehendak Umat Islam menjadi Guru di Bengkulu, Tapak Tuan, Kuala Simpang, Meolaboh, Medan, dll. Sehingga nama Sumatera Thawalib Padang Panjang semakin masyhur kemana-mana, dan diantaranya adapula yang menyambung pelajarannya (studi) ke Universitas al-Azhar di Mesir.

Pada tahun 1923 kota Padang Panjang menjadi bumi tempat tumbuh suburnya pergerakan politik yang terorganisir baik yang telah melibatkan Thawalib dan Diniyyah aktif mengikuti organisasi tersebut yang bertujuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dimana ketika itu mulai berkembangpropaganda komunis dengan memakai semboyan ke-Agamaan sehingga banyak diantara pelajar-pelajar Thawalib dan Diniyah yang terbawa-bawa. Tetapi setelah Alim Ulama guru-guru besar dari seluruh Thawalib dan Diniyah mendapat informasi yang lebih jelas mengenai Komunis dengan ideology Atheisnya, mulailah timbul kesadaran dikalangan Thawalib dan Diniyah bagaimana perbedaan pergerakan politik Islam dan Komunis itu. Namun untungnya organisasi pergerakan semakin mantap, walaupun dalam beberapa hal terdapat kerjasama dalam hal menghadapi kolonialisme dan imperialisme Barat. Pada ketika pecah pemberontakan rakyat tahun 1926 yang berpusat di Silungkang Sumatera Barat untuk menentang kekeuasaan Belanda, banyak juga pelajar-pelajar Thawalib dan Diniyah yang terseret kedalamnya dan tertangkap, dipenjarakan. Hal tersebut merupakan ujian berat bagi Thawalib dan Diniyah. Sehingga kecurigaan penguasa penjajahan Belanda kepada Thawalib dan Diniyah menjadi tajam dan meruncing. Tetapi Alhamdulillah Thawalib dan Diniyah berjalan terus dan semakin maju dengan semangat yang tinggi.

Pada tahun 1926 di saat-saat Sumatera Thawalib sedang memuncak kehebatannya, Padang Panjang ditimpa musibah gempa bumi yang amat dahsyat sekali. Sehingga Sumatera Thawalib menghadapi dua persoalan besar : 1. Guru Besar Syekh Abdul Karim Amarullah pulang ke kampungnya di Sungai Batang Maninjau, dan pimpinan tertinggi Perguruan Islam Sumatera Thawalib pindah kepada Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim dibantu oleh guru-guru yang lain. Alhamdulillah Sumatera Thawalib berjalan baik dan semakin maju. Sumatera Thawalib selama ini masih berjalan menurut cara lama , belajar duduk bersela di Surau Jembatan Besi, dengan adanya gempa bumi yang dahsyat itu, seolah menghendaki dengan cepat membangun gedung perguruan dan asrama yang tertentu, dan untuk itu didapatlah tempat dijalan Lubuk Mata Kucing tempat komplek Perguruan Thawalib yang ada sekarang. Dan semenjak itu Perguruan Thawalib sudah berjalan merupai sekolah yang teratur dengan bangku-bangku dan alat-alat selengkapnya. Tamatan Perguruan Thawalib setiap tahun membanjiri masyarakat umum, bukan saja untuk menjadi Ulama, tetapi juga untu menjadi Zu’ama ( pemimpin-pemimpin pergerakan), bahkan juga ada yang menjadi pedagang, pegawai pemerintahdan sebagainya. Padahal semuanya itu masih tetap menjadi anggota Sumatera Thawalib. Maka dengan sendirinya pelajar-pelajar dan tamatan-tamatan Sumatera Thawalib itu pada umumnya tidak saja hanya terbatas dalam lingkungan Perguruan Islam saja, tetapi sudah meluas merupakan organisasi massa (masyarakat umum).

Pada tahun 1928 berlangsung Konfrensi Sumatera Thawalib yang kedua yang dihadiri utusan-utusan seluruh Sumatera Thawalib memperkuat ikatan organisasi, yang berhasil dengan terbentuknya Pengurus Besar Sumatera Thawalib yang baru terdiri dari : 1. H. Djalaluddin Thaib, Voorzitter, 2. Ali Imran Djamil, Secretaris, 3. H. Syu’ib el Junusy, Penningmeester, 4. Doesqi Samad, 5. Thaher By, 6. H.Alaoeddin, 7. Sapardi.J St. Mangkuto, masing-masing Commissarisen, dengan cabang-cabangnya di seluruh Perguruan Islam Thawalib yang tersebar dimana-mana. Adapun perguruan Islam Sumatera Thawalib Padang Panjang, semakin ramai dan maju di bawah Pimpinan Guru Besar Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim dibantu oleh guru-guru lain. Kemudian silih berganti konfrensi Sumatera Thawalib berturut-turut, pada bulan November 1928 di Padang Panjang pada bulan Mei 1929 di Batu Sangkar, pada bulan Januari 1930 di Bukittinggi. Setiap adanya konfrensi perkembangannya bertambah baik dan lancar, yang menambah kuat dan luasnya masyarakat Thawalib.

Pada tahun 1928 ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak menjalankan ordonansi guru-guru Agama yang maksudnya hendak menjalankan kontrol terhadap guru-guru Agama yang mengajarkan Agama Islam di Minangkabau ini, maka ketika itu pemimpin-pemimpin Sumatera Thawalib ikut aktif bersama-sama ninik mamak, Alim Ulama dan cerdik pandai mengumpulkan seluruh potensi rakyat Minangkabau untuk menolaknya. Akhirnya Pemerintah Hindia Belanda menarik kembali niatnya yang hendak merugikan bagi Agama dan Umat Islam. Padahal ordonasi tersebut dudah semenjak tahun 1905 telah dijalankan di tanah Jawa dan Madura dan daerah-daerah lain. Pada tahun 1930 berlangsung kongres pertama dari Sumatera Thawalib di Bukittinggi. Semangat yang sudah matang dari tamatan-tamatan Thawalib mempertimbangkan pandangan-pandangan jauh ke masa depan untuk kepentingan Agama, bangsa dan tanah air, baik dalam bidang politik, ekonomi, social dan pendidikan. Akhirnya telah membulatkan tekad persatuan dan perjuangan, terutama dalam menghadapi kekuasaan dan penjajahan, telah menghantarkan Kongres Sumatera Thawalib tersebut kepada satu keputusan dengan suara bulat menjadikannya satu organisasi massa yang lebih kuat bernama “PERSATUAN MUSLIM INDONESIA” yang kemudian menjadi Partai Politik Islam “PERMI” bermarkas di Padang, dengan surat kabarnya bernama “MEDAN RAKYAT”. Disamping itu Perguruan Islam Thawalib berjalan terus di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Pengajaran “PERMI”.

Pada tahun 1932, seluruh guru dan siswa Thawalib dimanapun di seluruh cabang-cabangnya serentak sudah merupakan kader pemuda berjuang menuju Islam Mulia dan Indonesia Sentosa melalui Indonesia Merdeka. Bahkan disetiap negeri sudah terdapat cabang dan ranting PERMI. Bagaimanapun juga tekanan kecurigaan penguasa kolonial Belanda, tetapi semuanya itu tidaklah menyebabkan takut gentar dihari sanubari siswa-siswa itu yang tegak berdampingan sejejer dengan orang-orang dewasa anggota-anggota PERMI. Sehingga Thawalib dan PERMI itu tidak dapat dipisahkan, bukan saja di Sumatera Barat, tetapi juga di Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh, Jambi, Bengkulu, Palembang dan dimana saja terdapat Perguruan Islam yang berasal dari Thawalib dan Diniyah.

Ketika Pemerintah Kolonial Belanda hendak menjalankan ordonnasi Sekolah Liar (Wilde schoolen Ordonansi) di seluruh Indonesia, maka seluruh guru dan siswa Thawa;ib serta Diniyah serentak bangkit memprotes menolak rencana yang sangat merugikan itu, baik terhadap Islam maupun terhadap masyarakat umum. . Maka banyaklah guru dan siswa Thawalib itu yang ditangkap dan disakiti. Dan seringkali Perguruan Thawalib digeledah oleh kaki tangan pemerintah kolonial dengan cara-cara yang kasar dan zalim. Namun demikian, tiadalah semuanya mengendorkan semangat perjuangan mereka. Dan suatu ketika Thawalib Padang Panjang mendapatkan pukulan berat dengan keluarnya larangan mengajar oleh penguasa kolonial terhadap beberapa orang guru Thawalib, yaitu : 1. Zainal Abidin Ahmad, 2. Ahmad Syukur, 3. Burhanuddin Sutan Pamuncak, 4. Burhanuddin Datuk Bandaro Sati, 5. Ibrahim Madun, 6. Saydi Umar Sutan Permato, dan 7 Sutan Syarif Pitalah.

Lulusan atau tamatan-tamatan Thawalib semakin meluas memenuhi seluruh bidang masyarakat, bukan saja menjadi guru, Tuangku-tuangku, pemimpin-pemimpin masyarakat, tetapi juga dalam bidang-bidang perdagangan, pertanian, perusahaan, penerbitan, percetakan, bahkan juga dalam bidang perjuangan politik dan organisasi-organisa massa. Sehingga banyak dari tamatan Thawalib itu yang menderita ancaman kekuasaan penjajahan Hindia Belanda, yang masuk penjara, korban bis dan ter, terjerat pengkap kolonial yang terkenal. Pada tahun 1943 ketika Jepang menguasai Indonesia, tamatan Thawalib banyak yang melibatkan diri dalam latihan-latihan militer dengan resiko yang sangat besar. Oleh karena tekanan ekonomi yang sangat buruk ketika itu, jumlah pelajar Thawalib Padang Panjang agak sedikit menurun.

Pada tahun 1945 diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, maka tamatan-tamatan Thawalib membanjir memenuhi segala lowongan untuk mempertahankan proklamasi dan membina Negara R.I dalam segala bidang apapun si seluruh Indonesia sedari bawah sampai atas, sedari pemerintahan negeri sampai pemerintah pusat, baik sipil, angkatan bersenjata, lapangan diplomatic dan lain sebagainya. Tak dapat disangkal lagi bahwa Thawalib berhasil memasukkan andil yang sebanyak-banyaknya dalam Negara R.I. Pada tahun 1946 didirikan Yayasan Thawalib Padang Panjang diketuai oleh guru besar Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim, dan seluruh milik dan kekuasaan Thawalib Padang Panjang jatuhlah menjadi hak milik dan kekuasaan Yayasan tersebut dengan Akte Notaris. Pelajar-pelajar Thawalib kembali ramai dibanjiri oleh pemuda-pemuda dari segenap jurusan setiap tahun lebih dari 1000orang, dan setiap tahun mengeluarkan tamatan Thawalib tidak kurang dari 100 orang.

Ada zaman suka dan adapula zaman duka. Dalam saat-saat Perguruan Islam Thawalib sedang gembira di bawah pimpinan guru besar Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim, tibalah zaman gelap :

a. Terjadilah pergolakan hebat di Sumatera Barat tahun 1958, keadaan tidak aman. Guru-guru dan pemuda-pemuda Thawalib ikut dalam pergolakan, pelajar yang kecil-kecil pulang ke kampong, sekolah ditutup, tinggal dengan tidak ada penjagaan.

b. Dalam saat yang kritis itu 13 juli 1959, wafatlah Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim, berpulang kerahmatullah dipanggil Tuhan setelah semenjak dari mudanya sampai tuanya mencurahkan seluruh tenaganya untuk Agama Islam umumnya dan untuk mendidik mengasuh Thawalib khususnya.

c. Selama masa lima tahun Thawalib Padang Panjang terhenti dan gedung perguruan serta asrama-asramanya tinggal dengan tidak ada penjaga bagai benda yang tidak bertuan. Disana-sini rusak : bocor, hancur dan sebagiannya sudah rubuh. Sungguh sangat menyedihkan.

Pada tahun 1963 dengan tenaga berdikit-dikit dari beberapa orang pecinta Perguruan Islam Thawalib, dimulai meneruskan kembali. Langkah pertama ialah melengkapkanPengurus Yayasan, terdiri dari : 1. H. Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, 2.Adam Sutan Tjaniago, 3. Mawardi Muhammad, 4. H. Kamili, 5. H. Datuk Tumamad, dan beberapa pembantu yang lain-lain. Maka dibukalah kembali Perguruan Islam Thawalib Padang Panjang dengan murid sebanyak 23 orang, di gedung Thawalib yang sudah bobrok itu. Dimana kalau hari hujan anak-anak belajar bagai orang berteduh di bawah rumpun betung, amat menyedihkan. Ketekunan guru-guru Thawalib di bawah pimpinan Ustadz Mawardi Muhammad dibantu oleh guru-guru yang lain yang tidak memandang keuntungan benda (gaji), sungguh-sungguh menjadi modal pertama bagi pembukaan kembali Perguruan Islam Thawalib Padang Panjang. Karena itu murid-murid bertambah, dari tempat yang jauh-jauh berangsur datang. Perasaan sedih dan pilu melihat gedung dan asrama-asrama Thawalib yang bocor, rusak, lapuk, dan sebagian yang sudah rubuh, membangkitkan kemauan Pengurus Yayasan Thawalib untuk membangun mengganti dengan yang baru, walaupun tidak samapi hati melihat penderitaan guru-guru yang telah beekorban demikian rupa dalam menghidupkan kembali Perguruan Islam Thawalib Padang Panjang, tetapi dalam hal ini tidaklah dapat dikecilkan sumbangan saudagar-saudagar terutama di kota Padang Panjang.

Pada tahun 1964 dibuatlah gamabar rencana pembangunan gedung dan asrama-asrama serta Mushalla dan lain-lain, yang permanent, untuk perguruan Islam Thawalib Padang Panjang yang dishahkan oleh Kepala Jawatan P.U. Kota Padang Panjang, dengan rencana biaya kira-kira tiga puluh juta rupiah. Pada Pertengahan tahun 1964 dimulai perletakan batu pertama pembangunan asrama oleh Bapak Wali kota Padang Panjang dengan modal pertama sejumlah dua belas ribu rupiah. Alhamdulillah dalam tempo sembilan bulan lamanya, selesailah sebuah gedung asrama ukuran 6 lokal kali 7x8m yang menelan biaya lebih kurang 30jt rupiah, atas bantuan para dermawan dan hartawan Muslim. Dan tidak dilupakan antara lain sumbangan dari saudara Barmansyah dari Jakarta. Pada tahun 1966 di mulai pula pembangunan asrama yang kedua, sebesar asrama yang pertama juga. Alhamdulillah berkat usaha dan sumbangan dari dermawan dan hartawan Muslim dakam tempo setahun selesailah asrama yang kedua. Tinggal lagi hanya menyelesaikan dapur dari kedua asrama tersebut. Pembangunan ketika ini sedang terhenti, karena kehabisan biaya, namun demikian alhamdulillah murid-murid sudah bertambah banyak, setiap tahun semakin meningkat, dan ketika sejarah ini ditulis, murid-murid sudah mencapai jumlah lebih dari tiga ratus orang dari berbagai pelosok daerah. Dan guru-gurupun sudah bertambah lengkap juga dengan lebih menggembirakan.

(c) Sumber : diringkas dari Dt. Palimo Kayo (1980) dan Rodiyanto (Skripsi, 2003)

Jumat, 14 Mei 2010

Dinamika Pembiayaan Lembaga Pendidikan Surau di Minangkabau


Oleh : Firdaus Dt. Sutan Mamad & Muhammad Ilham

Pada awalnya surau merupakan tempat mengajar murid-murid untuk memperoleh pengetahuan dasar keagamaan. Surau sebagai lembaga pendidikan Islam pertama kali didirikan oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Syekh Burhanuddin mendirikan surau bukan hanya untuk tempat shalat saja, tetapi juga untuk mengajarkan Al-Qur'an, Hadis, Tarikat Satariyah. Syekh Burhanuddin terkenal dengan ilmunya yang dalam dan bijaksana dalam menyampaikan agama kepada masyarakat. Syekh Burhanuddin memperioritaskan pendidikan agama terhadap anak-anak, karena generasi ini dianggap berpotensi untuk pengembangan jangka panjang (Azyumardi Azra, 1985 : 29). Syekh Burhanuddin memakai berbagai metode pembelajaran di suraunya. Ada metode yang menarik dilakukannya, sebagaimana yang tulis pada kitap Muballighul Islam sewaktu Syekh Burhanuddin mengajarkan Basmallah pada permainan tondih dengan damar keras, sebagai berikut:

"Adapun beliau Syekh Burhanuddin turut pula dalam permainan itu, tetapi tatkala memulai menggandakan damar itu, beliau membaca doanya, oleh sebab itu selalu beliau beroleh kemenangan. Melihat kejadian itu maka bertanyalah anak-anak kepada beliau, ya Tuan Syekh, apakah doanya yang tuan baca tatkala menggandakan gundu damar itu, bolehkah kami menuntut doanya. Boleh saja kata Syekh Burhanuddin. Sebentar itu beliau ajarkanlah doa itu Bismillah, dengan tolong Allah. Itulah yang mula beliau ajarkan kepada anak-anak itu. Yang membaca doa itu menang pula, kemudian beliau sambung pula sekerat lagi yaitu ar-Rahmanir Rahim. Begitulah caranya Syekh Burhanuddin memberikan pelajaran kepada anak-anak itu dengan mencampuri permainan mereka pada awalnya dan mengajarkan doa dengan lunak lembutnya perkataan beliau dan dengan jalan berangsur-angsur, begitu juga terhadap tingkah laku dan budi pekerti anak-anak itu beliau rubah sedikit demi sedikit, akhirnya dengan tidak disadarinya, mereka menjadi penganut agama Islam yang kuat dan menjadi ahli dakwah kepada ibu bapak mereka masing-masing"
(Duski Samad, 2003 : 12-15).


Dari informasi ini dapat kita ketahui bahwa Syekh Burhanuddin mengembangkan ajaran Islam secara lemah lembut, persuasif, melalui pendekatan socio-cultural, tidak dengan kekerasan. Ia memberikan nilai-nilai Islam terhadap permaianan anak-anak dan remaja. Hal ini membuat orang tertarik untuk masuk Islam dan belajar kepadanya. Tidak hanya itu, mereka juga menjadi penyiar agama Islam. Kemana saja mereka pergi, ke tempat perhelatan, tempat jual beli selalu mereka menyiarkan agama Islam. Termasuk di antara muridnya yang berperan besar dalam mengembangkan surau sebagai lembaga pendidikan adalah empat orang Tuanku yang terkenal dengan sebutan Urang Ampek Angkek Oleh karena itu bertambah ramailah anak-anak diserahkan orang tua mereka belajar ke surau Syekh Burhanuddin, tidak hanya anak-anak Tanjung Medan saja, bahkan berdatangan dari kampung-kampung di luar dari Tanjung Medan. Lama- kelamaan surau Syekh Burhanuddin ini ramai dikunjungi oleh para pemuda berbagai nagari di Minangkabau ini.


Syekh Burhanuddin di samping mengajarkan ilmu-ilmu di atas, juga mengajarkan tarekat Satariyah. Melalui pendekatan tarekat Satariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan berbagai pendekatan dan kesederhanaan syekh menyampaikan ajaran Islam kepada muridnya. Pada tahap awal Syekh Burhanuddin langsung menyampaikan pelajaran kepada muridnya, tetapi setelah muridnya bertambah banyak syekh mengangkat muridnya yang senior sebagai guru tuo dan murid yang pintar membantunya (guru mudo). Tugas guru tuo ini untuk memberi pelajaran kepada murid-murid secara terperinci setelah syekh menyampaikan pelajaran secara umum dan guru tuo sekaligus mengawasi murid-murid dan memotivasiny untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hafalan mereka terhadap pelajaran. Sebelum guru tuo ini betul-betul bisa mandiri, dia dilatih untuk membimbing murid-murid pada sebuah surau di sekitar surau induk tersebut.
Setelah dia berhasil mandiri baru dia diangkat sebagai Tuanku. Setelah itu baru dia dibolehkan kembali ke kampung halamannya. Tuanku ini nanti mendidikan surau pula di kampung halamannya, maka berkembang Islam dan ajaran tarekat Satariyah di Minangkabau ini (Duski Samad, 2003 : 19).

Di sini dapat terlihat keinginan untuk melahirkan seorang guru pada era ini sudah ada, dimana murid-murid yang agak senior (telah menamatkan ilmu fiqh dan tafsir) diangkat sebagai guru bantu (kader) pada surau tersebut dalam jangka waktu tertentu. Apabila guru bantu tersebut dianggap mampu mandiri, baik dalam penguasaan materi ataupun memecahkan masalah yang terdapat dalam sebuah kitab, maka ia kemudian diangkat menjadi guru muda (engku mudo), kemudian guru tuo dan kemudian tuanku. Di sini baru dia memiliki otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama pada murid-muridnya. Proses ini berlangsung cukup lama. Setelah dia mempunyai otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama barulah dia dibolehkan pulang ke kampung halamannya untuk mendirikan surau baru.
Sampai sekarang kita masih melihat banyak pengikut ajaran tarekat Satariyah, mereka tersebar di berbagai wilayah Sumatera Barat. Di antara murid-murid Syekh Burhanuddin yang terkenal adalah Syekh Idris, Syekh Abdul Rahman, Syekh Chairuddin, Syekh Jalaluddin, Syekh Adul Muksin, Syekh Hasan, Syekh Chalidin, Syekh Habibullah, Syekh Sultan Khusa'I, Syekh Djakfar, Syekh Muhammad Sani, Syekh Bosai dan Tuanku Bermawi (Firdaus dkk., 2000 : 27-39)

Apabila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Kelemahannya, kemampuan dalam memahami dan daya analisis kritis siswa terhadap teks kurang. Barang kali di sini letak kekeliruan dalam metode pendidika, sehingga mereka banyak yang membaca dan menghafal isi suatu kitab, tetapi dia tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya.
Dalam mengajarkan ilmu keagamaan di surau, guru menggunakan metode sorogan dan pendidikan halaqah . Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih diseputar belajar huruf hijaiyah dan membaca al-Qur'an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti ke-imanan, akhlak dan ibadat. Pelaksanaan pendidikan di surau pada umumnya dilaksanakan pada malam hari (Deliar Noer, 1983 : 95). Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Menurut Samsul Nizar (2001: 17-18), ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu : (1). Pengajaran al-Qur'an. Untuk mempelajari al-Qur'an ada dua macam tingkatan. (2). Pendidikan rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf al-Qur'an dan membaca al-Qur'an. Di samping itu, juga dipelajari cara beruduk dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktek dan menghafal , keimanan –terutama sifat dua puluh- dengan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya. Pendidikan atas, yaitu pendidikan membaca al-Qur'an dengan lagu, qasidah, bezanji, tajwid, dan kitab Parukunan.

Lama pendidikan pada masing-masing jenjang tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa bisa melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi apabila dia bisa menguasai materi-materi yang diajarkan pada tingkat pertama dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari al-Qur'an sebanyak dua atau tiga kali baru ia berhenti dari pengajian al-Qur'an.
Setelah menamatkan kedua jenis pendidikan di atas, kemudian siswa diperkenalkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu pengajian kitab. Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqh, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pengajaran pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode mengajarnya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan untuk jenjang pendidikan ini biasanya dilakukan pada siang dan malam hari.

Referensi yang dipakai oleh para guru, pada mulanya mengacu pada kitab tertentu. Setelah para ulama Minangkabau kembali dari timur Tengah baru berbagai referensi digunakan. Hal ini disebabkan karena pada tahap awal, susah mendapatkan kitab-kitab Arab tersebut, baru setelah para ulama kembali dari Timur Tengah mereka membawa kitab-kitab baru dari Arab, Mesir dan sebagaiya.
Surau setelah berubah menjadi lembaga pendidikan keagamaan Islam dan tarekat, maka surau terus berkembang dengan pesat. Setiap ulama di Minangkanbau memiliki surau tersendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan pengajaran agama maupun tarekat. Pada era ini, perkembangan tarekat menemukan dan momentumnya, sehingga dapat dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan suatu jenis lembaga pendidikan masyarakat, akan tetapi lebioh dari itu menunjukan bentuk tarekat yang diatur oleh suatu komunitas masyarakat Islam Minangkabau. Pada era ini surau susah membedakan antara tempat praktek tarekat dengan surau sebagai lembaga pendidikan. Setiap surau di Minangkabau memiliki otoritasnya tersendiri, baik dalam praktek tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu keislaman.

Di Minangkabau ajaran tarekat ini mempunyai daya tarik tersendiri, seperti kesederhanaan pengikutnya, pendekatannya persuasif (tidak dengan kekerasan), gurunya banyak yang "keramat", sehingga tarekat mendapat tempat di hati masyarakat. Walaupun demikian tarekat juga mempunyai kelemahan, seperti ada yang tidak melarang praktik-praktik singkretis yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau. Seperti pelaksanaan adat yang bercampur baur dengan khurafat dan bid'ah. Contohnya menyabung ayam, berjudi, memakar kemenyan waktu berdoa, percaya pada ajimat dan sebagainya. Akan tetapi ada juga guru tarekat yang melarang perbuatan yang bertentangan dengan agama, sering dilakukan oleh kebiasaan orang Minangkabau seperti berjudi, minum tuak dan sebagainya. Guru tarekat tersebut adalah Syekh Abdur Rahman dari surau Batu Hampar, Payakumbuh. Syekh Abdur Rahman berupaya menyadarkan masyarakat dengan memakai metode persuasif, yakni dengan bersama-sama para ulama, pemuka adat untuk mengajak masyarakat meninggalkan praktek adat yang bercampur dengan khurafat dan bid'ah. Dengan cara ini dia, berhasil menyadarkan masyarakat. Keberhasilan ini membuat surau yang didirikan oleh Syekh Abdur Rahman menjadi ramai dikunjungi oleh murid-murid dari berbagai daerah, bahkan tidak hanya masyarakat Minangkabau saja yang belajar di sini, tetapi juga dari Jambi, Palembang, Bangka dan sebagainya.
Meskipun Syekh Abdur Rahman berhasil menyadarkan masyarakat di daerah Payakumbuh, tetapi di daerah Agam, malah sebaliknya (Sanusi Lathif, 1988 : 58-61).

Tuanku Nan Tuo dengan murid-muridnya yang punya otoritas keilmuan figh, lebih menekankan agar syariat harus diamalkan oleh masyarakat yang sudah beragama Islam. Masyarakat yang sudah mengkristal kebiasaan menyabung ayam, berjudi, merampok, mencuri dan sebagainya, sulit untuk disadarkan bahkan mereka melakukan protes dengan berbuat sewenang-wenang terhadap yang dilarang agama tersebut. Hal inilah yang membuat Tuanku Nan Tuo melakukan gerakan pemurnian, membersihkan masyarakat dari khurafat, tahayul dan bid'ah tersebut dan mengajarkan bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.
Sikap antara kaum adat yang ingin mempertahankan tradisi lamanya yang khurafat, bid'ah, tahayul dan singkretis dengan sikap para ulama yang ingin membersihkan amalan masyarakat dari khurafat, bid'ah, tahayul dan singkretis ini menimbulkan polemik keagamaan yang lama kelamaan semakin meruncing, terutama sekembalinya para ulama Minangkabau dari Mekkah pada awal abad ke 19 M. yaitu Haji Sumaniak, Haji Miskin dan Haji Piobang. Polemik ini semakin mengkristal, sehingga para ulama yang ingin memurnikan ajaran Islam memakai atribut pakaian putih dan kaum adat dan termasuk ulama yang tetap mempertahankan adat yang bercampur dengan khurafat, tahayul, bid'ah dan singkritis memakai pakaian hitam-hitam. Sikap-sikap ini yang memicu munculnya gerakan Padri.

Gerakan Padri, merupakan pergerakan keagamaan yang terinspirasi oleh gerakan Wahabi. Pada mulanya gerakan Padri ini -yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo - ingin menerapkan syari'at Islam secara murni, tetapi mendapat reaksi oleh kaum adat. Ini membuat Tuanku Nan Tuo beserta murid-muridnya menjalankan dakwahnya dengan keras bahkan mereka turun ke masyarakat untuk melarang orang melakukan judi, menyabung ayam, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan datangnya 3 orang haji dari Mekkah pada tahun 1803 yang melihat bagaimana kaum Wahabi dalam memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan perbuatan tahayul, khurafat dan bid'ah tersebut. Dengan membawa semangat pembaharuan dan pemurnian yang dibawa oleh Wahabi ini, mereka berupaya untuk mengikis habis khurafat, bid'ah dan tahayul dari masyarakat Minangkabau. Upaya ini dilakukan baik melalui pelaksanaan pendidikan salaf di surau-surau, maupun langsung berdebat secara frontal dengan kaum adat. Upaya dakwah yang demikian kurang disenangi, bahkan mendapat tantangan keras dari kaum adat yang berfikiran ortodoks.
Schrieke membantah bahwa gerakan Padri itu sama dengan gerakan Wahabi. Dia menjelakan bahwa gerakan Padri menentang lembaga-lembaga sosial yang sudah ada sejak dulu. Menurutnya kaum Padri ingin menerapkan hukum Islam dan warisan sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka menyebarluaskan ajaran-ajarannya dengan "kekerasan".

Pendapat penulis, memang gerakan Padri tidak sama dengan gerakan Wahabi, tetapi secara tidak langsung pengaruh dari paham Wahabi itu bisa terjadi melalui tiga orang haji (H. Miskin, Piobang dan Sumaniak). Pengaruh dari dalam juga sangat berarti dalam gerakan ini, seperti di surau Tunku Nan Tuo lebih menekankan pengajaran fiqh (hukum Islam). Jadi keinginan untuk menjalankan syariat secara benar itu berpengaruh kepada pikiran murid-murid Tunku Nan Tuo. Jadi pertermuan antara faktor dari dalam (otoritas keilmuan fiqh) dan faktor dari luar (paham Wahabi) membuat gerakan Padri menjadi aktif (B.O.J Schrieke, 1973 : 60-61).
Terbentuknya gerakan Padri ini, setelah Tuanku Nan Renceh bergabung dengan Tuanku Nan Tuo dan H. Miskin serta para ulama yang sepaham dengan keinginan melakukan pemurnian terhadap ajaran Islam dan ingin menerapkan hukum Islam di masyarakat. Akan tetapi gerakan ini setelah mendapat dukungan dari Harimau Nan Salapan, semakin berani. Bahkan mereka melakukan pembakaran terhadap kampung yang masyarakatnya tidak mau menerapkan hukum Islam dan meninggalkan kebiasaan berjudi, mengadu ayam dan sebaginya. Hal ini membuat Tuanku Nan Tuo kurang simpati kepada gerakan Padri ini dan tidak mau menggunakan pengaruhnya dalam gerakan Padri ini.

Pertikaian antara kaum adat dengan para ulama ini mengarah kepada peperangan dan saling merebut wilayah kekuasaan. Sewaktu kaum adat terdesak, mereka minta bantuan kepada pihak Belanda. Inilah yang menyebabkan kaum Padri menghadapi dua lawan. Kaum adat dan kolonial Belanda. Yang akhirnya kaum Padri mengalami kekalahan. Walaupun mereka mengalami kekalahan tetapi semangat nasionalisme akhirnya tumbuh bagi kaum Padri dan bahkan oleh kaum adat sendiri.
Setelah berakhir Perang Padri dan Belanda menjajah Minangkabau, maka eksistensi lembaga pendidikan surau mengalami kemunduran. Akibatnya banyak surau yang terlantar dan kehilangan syekh karena banyak yang dibunuh oleh Belanda dalam peperangan. Berdasakan hal demikian agaknya mendorong orang tua mengirimkan anak-anaknya ke tanah suci yang tidak hanya untuk naik haji saja tetapi juga untuk belajar agama. Bahkan ada yang tinggal di sana sebagai guru dan imam di Mesjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Khatib. Melalui Syekh Ahmad Khatib inilah muncul gerakan pembaharuan tahap ke dua di Minangkabau . Ia menyebarkan ide-ide pembaharuannya langsung dari tempat tinggalnya di Mekkah. Ide-ide Ahmad Khatib di salurkan ke Minangkabau terutama melalui murid-muridnya yang kembali ke Minangkabau. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Syekh Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Syekh Haji Abdullah Ahmad, Syekh Haji Thaib Umar, Syekh Haji Djamil Djembek, Syekh Haji Ibrahim, Musa dan Abdullah Abbas . Mereka ini kelak dikenal sebagai ulama Kaum Muda. Pembaharuan yang dihembuskan Ahmad Khatib pada intinya ingin menghapuskan segala macam taqlid yang membabi buta terhadap tradisi yang dianutnya selama ini.

Gerakan pembaharuan tahap ke dua ini dijiwai oleh semangat baru dan kebangkitan baru. Ide-ide nasionalisme dan pengungkapan-pengungkapan buah pikiran dengan jalan langsung dan tegas. Syekh Haji Thaher Jalaluddin adalah tokoh dibalik pembaharuan dan semangat ini. Sumber dari pembaharuan dan semangat ini adalah dari Mesir . Gerakan Kaum Muda di Minangkabau mendapat inspirasi dari dua kota peradaban Islam, Mekkah dan Mesir. Masing-masing dipengaruhi oleh Ahmad Khatib dan Thaher Jalaluddin. Inti dari gerakan modernisasi Kaum Muda adalah menuntut suatu sikap beragama yang rasional dan tidak hannya mengekor pada fatwa-fatwa yang tidak jelas sumbernya. Sebagai basis pergerakan Kaum Muda mendirikan sekolah-sekolah agama. Pendirian sekolah ini ditujukan untuk memodernisir sistim pendidikan tradisional Islam (surau) yang selama ini dirasakan kaku dan statis juga ditujukan untuk membina kader-kader ulama .
Bentuk sekolah agama yang didirikan berbeda gaya dan metodenya dengan sekolah agama yang ada sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain pada sekolah yang didirikan Kaum Muda yang mempergunakan sistim klasikal hampir mirip dengan sekolah milik pemerintah Belanda. Kecuali metode belajar mengajar yang dipergunakan tidak lagi menuntut supaya murid menerima apa saja yang disampaikan guru sebagaimana yang berlaku pada pendidikan tradisional. Tetapi memberikan kesempatan pada murid untuk berperan dan bersikap kritis serta logis dalam mengikuti pelajaran. Dalam prose interaksi belajar mengajar buku juga dipergunakan sebagai bahan sumber. Kurikulumpun disesuaikan dengan kurikulum pendidikan Islam modern yang tidak terfokus pada pendidikan agama saja, melainkan juga menyangkut masalah umum seperti bahasa Belanda, matematika, ekonomi, sejarah dan geografi .

Dalam hal ini Syekh Abdullah Ahmad memprakasai berdirinya "Syarikat Oesaha" di Padang. Kemudian "Syarikat Oesaha" ini mengambil inisiatif untuk HIS Adabiah pada tanggal 23 Agustus 1915 di Padang . Madrasah ini merupakan pelopor perubahan dan pembaharuan yang pertama kali dilakukan tidak hannya di Minangkabau melainkan juga di Indonesia dalam bidang pendidikan Islam dari sistim halaqah ke sistim kelas. Di samping itu HIS Adabiah ini berbeda dengan HIS yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. HIS Hindia Belanda hanya untuk kalangan bangsawan dan pegawai Hindia Belanda, sedangkan HIS Adabiah terbuka untuk umum sejauh dapat membayar uang pendidikan yang tidak begitu mahal. Oleh karena itu, kalangan pedagang sangat suka dengan madrasah ini sehingga mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah ke HIS Adabiah. Mengiring pendirian HIS Adabiyah (Mahmud Yunus, 1985 : 71).
Pembaharuan yang dilakukan oleh Syekh Abdulah Ahmad ini tidak hanya di bidang kurikulum, metode mengajar dan sistem halaqah, tetapi juga perubahan dari segi biaya pendidikan. Selama ini di surau murid-murid tidak membayar uang pendidikan kepada syekh dan murid-murid mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mendapatkan sedeqah, infaq dan zakat masyarakat sekitar surau, maka pada madrasah HIS Adabiah ini murid-murid harus membayar kepada lembaga pendidikan, walaupun tidak mahal. Ternyata ini mendapat dukungan dari masyarakat Padang, terutama para pedagang. Barangkali dari sinilah mulai dilakukan pungutan oleh sekolah (khusus di Minangkabau). Sampai sekarang masih dilakukan pungutan di sekolah-sekolah walaupun sudah dibantu oleh pemerintah.

Perubahan ini terjadi menurut Azyumardi Azra, karena terjadinya perubahan sistem pendidikan agama dan ditambah dengan perubahan-perubahan ekonomi yang dilancarkan pemerintah kolonial . Ini merubah watak dasar orang siak dan surau. Orang siak yang pada masa kejayaan surau belajar agama dari satu surau ke surau lain dengan biaya yang diperoleh dari sedekah umat, kini terpaksa menjadi madrasah modern atas biaya keluarga.
Perubahan yang mendasar ini membawa dampak yang besar terhadap eksistensi surau di tengah-tengah masyarakat. Sebelumnya orang siak mempunyai jalinan hubungan yang kuat dengan masyarakat, mereka saling membutuhkan keduanya. Orang siak membutuhkan bantuan biaya pendidikan dari masyarakat, sementara masyarakat memerlukan orang siak untuk mengajarkan agama, menjalankan upacara-upacara keagamaan di nagari dan kembali ke kampungnya untuk menjadi guru agama – dengan mendirikan surau baru—setelah menyelesaikan pelajarannya di surau gurunya.

Kemudian Syekh Haji Thaib Umar mendirikan Madrasah agama di Sungayang, Batusangkar dengan nama Madrasah School (sekolah agama). Meskipun sekolah ini berjalan dengan baik dan lancar, namun hannya diadakan satu kelas saja sebagai tangga untuk mengkaji kitab-kitab besar seperti tingkat tinggi pada pengajian kitab pada lembaga pendidikan tradisional. Kitab-kitab besar yang dimaksud adalah buku-buku yang tebal yang belum pernah dipelajari pada tingkatan sebelumnya. Pada tahun 1931 diubah lagi namanya menjadi Aljami'ah. Sekarang sekolah ini masih berdiri dengan nama Hidayah Islamiah. Kemudian pada tanggal 10 Oktober 1915, Zainuddin Labai El Yunusiyah mantan murid Syekh Abdullah Abbas mendirikan sekolah Diniyah di Padang Panjang. Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya sebagaimana yang dilakukan sekolah Belanda.
Selain yang telah disebutkan itu, masih ada lagi lembaga pendidikan Kaum Muda yang perlu diketengahkan, yakni Sumatera Thawalib. Bagindo Rasyad yang baru kembali dari Eropa pada tahun 1915 memprakarsai rapat umum di Padang Panjang. Pemikiran yang diberikan tokoh ini adalah pentingnya organisasi. Pemikiran ini mengilhami para pelajar Surau Jembatan Besi Padang Panjang berfikir tentang usaha mendirikan organisasi. Dari ide tersebut lahirlah organisasi yang disebut "Perkumpulan Sabun", karena organisasi ini memenuhi kebutuhan sehari-hari para pelajar dari menjual sabun. Aktivitas organisasi ini berkembang secara pesat hingga mampu menggaji para guru yang mengajar di surau. Tahun 1918 organisasi ini berubah menjadi Sumatera Thawalib. Sumatera Thawalib mempunyai corak tersendiri di samping sebagai pembawa aliran baru dalam rangka memodernisasi Islam di Minangkabau. Selain itu Sumatera Thawalib juga mempunyai hubungan langsung dengan puncak kesadaran nasional di Minangkabau (Samsul Nizar, 2005 : 71-73).

Langkah-langkah Kaum Muda dalam menyebarkan ide-ide pembaharuannya mendapat reaksi dan tantangan yang cukup keras dari kalangan ulama-ulama tradisional yang ingin mempertahankan keadaan lama yang dipandang sudah mapan.kelompok penentang inilah yang disebut dengan Kaum Tua. Pangkal pertentangan itu adalah dalam soal tarekat yang kemudian berkembang hingga persoalan-persoalan khilafiyah, seperti melafazkan ushalli ketika akan memulai shalat, mentalqinkan mayat, wajib ru'yah dan haram hisab, membaca barzanji dengan berdiri dan lain-lain yang berhubungan dengan syari'at dan ibadah.
Polemik mengenai tarekat timbul sejak awal abad ke dua puluh. Yaitu ketika timbulnya kecaman-kecaman terhadap Tarekat Naqsabandiyah yang berkembang di Minangkabau keika itu. Ulama tradisional (Kaum Tua) bangkit untuk menangkis kecaman-kecaman Kaum Muda akibatnya debat polemik yang berkepanjangan. Debat polemik yang terjadi melibatkan banyak tokoh dan mempergunakan bermacam dalil untuk itu pada gilirannya melahirkan kepustakaan yang menjadi "Mutiara" yang tinggi bagi generasi berikutnya. Hikmah penting yang dapat diambil dari polemik itu bagi kita adalah analisa keislaman tumbuh subur di antara dua kelompok yang berseteru. Dampaknya adalah untuk merangsang orang Minangkabau untuk menggali Islam secara mendalam.

Murid dalam menuntut ilmu di surau tidak dipungut bayaran apapun, termasuk uang sekolah, uang asrama, atau uang makan. Oleh karena itu murid yang disebut juga dengan orang siak jarang sekali memberikan uang kepada syekh, walaupun ada diberikan pihak keluarga dengan ikhlas.
Untuk biaya hidup bagi murid (orang siak) berasal dari masyarakat kampung yang berada di sekitar surau tersebut. Biasanya dijemput sendiri oleh murid atau diantar oleh masyarakat sekitarnya. Dalam menunjang pemenuhan kebutuhan orang siak, masyarakat kota yang berdekatan dengan surau juga ikut berpartisipasi. Misalnya jasa masyarakat Pariaman terhadap murid-murid syekh Burhanuddin di Ulakan, masyarakat kota Payakumbuh terhadap murid-murid yang belajar agama di Parabek dan sekitarnya. Setiap hari Minggu masyarakat mengantarkan beras, sayur dan kebutuhan pokok lainnya dengan pedati. Orang siak (murid) yang datang dari negeri jauh biasanya setiap hari Kamis menyebar ke negeri-negeri sekitar surau dengan membawa buntil (kantong beras seperti karung terigu), dan sore harinya mereka kembali dengan buntilan beras dan uang untuk biaya seminggu. Masyarakat memberikan zakat, sadaqah, infaq dan sebagainya kepada murid-murid (orang siak atau pakiah) dan bahkan kepada syekh yang mengajar dan memberi ceramah di surau tersebut. Masyarakat senang memberikan sedeqah, infaq dan berzakat kepada syekh atau murid-murid surau, karena mereka butuh bimbingan dan syekh dan waktu-waktu tertentu mereka memanggil syekh atau orang siak untuk berdo'a di rumah mereka.

Masyarakat mau berzakat kepada murid-murid surau (orang siak/pakiah), karena pakiah ini termasuk dalam golongan asnaf yang delapan. Yakni orang-orang yang berhak menerima zakat, di antaranya fakir atau pakiah dalam istilah Minangkabau. Di samping itu mereka membutuhkan pakiah/ orang siak ini untuk mengajar anak-anak mereka mengaji dan berdo'a serta untuk upacara-upacara keagamaan di nagari mereka.
Yang dinamakan golongan fakir ialah orang yang tidak berharta dan tidak dapat bekerja. Oleh sebab itu barang siapa yang dapat bekerja, maka yang demikian itulah yang mengeluarkannya dari sifat kefakiran yakni bukan disebut orang fakir lagi. Jikalau seseorang yang sedang memperdalam ilmu pengetahuan terhalang untuk ia bekerja, maka ia dianggap sebagai seorang fakir, karena dia dianggap tidak mampu untuk bekerja. Dia tidak ada waktu untuk bekerja, karena waktu dan pikirannya terpusat untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Dengan demikian murid-murid yang belajar di surau ini berhak menerima zakat. Di samping itu murid-murid tersebut juga tergolong ke dalam fi sabilillah. Kata ' sabilillah" yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60, menurut ahli fiqh tradisional ialah para pejuang yang berperang di medan peperangan. Pemahaman terbatas "sabilillah " ini membuat masyarakat kurang berani menggunakan zakat untuk keperluan pendidikan. Menurut pendapat Muhammad Jamaluddin Alqasimi bahwa sabilillah yang berhak menerima zakat adalah semua amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yang dapat mengokohkan kelangsungan agama-Nya dan syariat-Nya. Umpamanya untuk pendirian surau, madrasah, pembelian buku-buku (kitab) ilmu pengetahuan yang membantu melaksanakan usaha-usaha kebaikan, rencana-rencana kebaktian yang sebenarnya amat banyak macamnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka zakat dapat juga diberikan kepada orang-orang yang sedang membangun sarana dan prasana pendidikan seperti surau, beli buku-buku referensi di lembaga pendidikan tersebut, alat media dan sebagainya. Pada prinsipnya untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran.
Dari data yang kita kemukakan di atas, biaya pendidikan surau merupakan swadaya dari masyarakat setempat. Tidak ada mendapat subsidi dari pemerintah. Akan tetapi murid-murid yang dihasilkan dari surau ini dapat diandalkan dan mandiri. Setelah tamat mereka dari surau yang diajarkan oleh syekh, mereka dapat diangkat menjadi tuanku dan mampu mendirikan surau baru sekaligus menerima murid-murid pula di surau yang dibangunnya tersebut. Bahkan masyarakat beramai-ramai membantu membangun surau baru tersebut. Barangkali berbeda dengan alumni lembaga pendidikan madrasah sekarang yang belum mampu mandiri mengajarkan ajaran agama kepada murid-murid. Pada perkembangan selanjutnya – setelah berdiri madrasah Adabiah—biaya pendidikan yang selama ini dibiayai oleh masyarakat, sekarang dibiayai keluarganya (orang tua, mamak dan sebagainya). Ini disebabkan karena terjadinya perubahan pada sistem pendidikan surau dan perubahan yang terjadi pada perekonomian rakyat oleh pemerinatah Hindia Belanda. Selanjutnya terjadi lagi perkembangan tentang biaya pendidikan ini. Pada surau Jembatan Besi Padang Panjang, para pelajar yang menuntut ilmu di surau ini mendirikan perkumpulan (prganisasi) semacam koperasi untuk menggaji para gurunya di surau. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi Sumatra Thawalib.

(Artikel lengkap telah diterbitkan dalm Jurnal Tabuah Edisi Juli/Desember 2009 FIB-Adab IAIN Padang)

Zainuddin Labay el-Yunusi (lahir : 1890) : Sosok Ulama Pembaharu yang Unik

Oleh : Muhapril Musri
Edit : Muhammad Ilham

Keunikannya terletak pada suatu kenyataan bahwa ia tidak mempunyai pendidikan yang teratur dan sistematis, namun mampu melahirkan ide-ide cemerlang dan berhasil menata sistem pendidikan Islam ke arah yang lebih moderen serta mampu pula melahirkan generasi pendidik yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan Islam pada masa berikutnya. Sekalipun Zainuddin Labay produk pendidikan tradisional (surau), namun memiliki wawasan inovatif, dan moderen. Ide-ide pembaharuannya – terkesan – mampu melampaui zamannya. Bahkan pemikiran-pemikiran revolusionernya sering “berseberangan” dengan tradisi sosial masyarakat waktu itu. Ia merupakan sosok ulama, pembaharu dan pendidik umat yang dipandang berhasil dalam menata sistem pendidikan Islam dan menyadarkan kevakuman dinamika umat terhadap ajaran agamanya.

Zainuddin Labay el-Yunusi, lahir di sebuah “rumah gadang” (rumah adat lima ruang) yang terletak di jalan menuju Lubuk Mata Kucing Kenagarian Bukit Surungan, Padang Panjang tahun 1890 M atau bertepatan dengan tanggal 12 Rajab 1308 H. Ia lahir dari pasangan Syeikh Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafi’ah. Ayahnya Syekh Muhammad Yunus al-Khalidiyah adalah seorang ulama terkenal, dan memegang jabatan sebagai qadhi di daerah Pandai Sikat. Kakeknya bernama Imaduddin, juga seorang ulama terkenal, pemimpin aliran tarikat Naqsyabandiyah dan ahli ilmu falak (hisab) di daerahnya. Bila ditelusuri lebih jauh silsilah keturunannya dari pihak ayah, maka akan diperoleh suatu gambaran bahwa ia mempunyai hubungan pertalian darah dengan Haji Miskin salah seorang tokoh “harimau nan salapan” dalam gerakan Paderi.

Ibunya bernama Rafi’ah, juga seorang wanita yang taat beragama. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal pada sekolah tertentu, karena waktu itu jenjang pendidikan formal masih tertutup bagi anak perempuan, khususnya di Minangkabau. Akan tetapi ia bisa membaca al-Quran, membaca dan menulis huruf Arab. Ada kemungkinan ini berkat bimbingan kakaknya Kudi Urai, yang sangat menyangi dan memanjakannya. Silsilah keturunan Zainuddin Labay dari pihak ibu berasal dari nagari IV Angkat Candung Agam. Tidak diketahui secara pasti siapa kakek dan buyutnya di pihak ibu. Namun dari data yang diperoleh ternyata bahwa ibunya berasal dari keluarga yang taat beragama juga. Sebab, daerah IV Angkat Candung merupakan daerah tempat lahirnya ulama-ulama besar Minangkabau seperti, Ahmad Khatib, Syeik Sulaiman Arrasuli, dan lain-lain. Dilihat dari garis keturunannya sebagaimana diterangkan di atas, maka nampaklah bahwa Zainuddin Labay, berasal dari keturunan ulama, cendekiawan muslim, taat beragama serta pelopor gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau. Ayahnya, Syeikh Muhammad Yunus, di samping sebagai seorang qadhi di Pandai Sikat, juga tercatat sebagai penganut dan tokoh aliran tarikat Naqsyabandiyah di Minangkabau, mengikuti jejak kakeknya Syeikh Imaduddin yang juga penganut aliran tarikat Naqsyabandiyah.


Ketokohan ayahnya dalam tarikat ini, dapat dilihat dari gelar “khalidiyah” yang dipanggilkan di belakang nama Muhammad Yunus, menunjukkan bahwa dia adalah penganut tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Martin van Bruinssen, mencatat bahwa Syeikh Muhammad Yunus, merupakan salah seorang khalifah tarikat Naqsyabandiyah yang terpenting dan paling berpengaruh di daerah Koto Lawas kenagarian Batipuh.
Latar belakang keluarga, dalam perjalanan karir seorang Zainuddin Labay, sebagaimana di atas, menurut hemat penulis, sangat mempengaruhi keberhasilannya menggapai cita-cita pembaharuan. Suatu fakta yang sulit dibantah adalah pada umumnya mereka yang tampil sebagai ulama dan tokoh agama adalah mereka berasal dari keturunan ulama dan keluarga taat beragama. Beberapa orang di antaranya dapat disebut seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh Abdul Karim Amrullah, Syeikh Abdullah Ahmad, Zainuddin Labay, Rahmah el-Yunusi, dan lain-lain. Mereka berasal dari keturunan ulama dan keluarga yang taat menjalankan ajaran agama. Berangkat dari kenyataan ini dapat dikatakan, mereka yang berasal dari keturunan ulama lebih sering mendapat pengajaran berupa penanaman nilai-nilai yang harus dijadikan pedoman di dalam hidup baik ketika ia belajar agama di surau ayahnya maupun ketika mereka berada di lingkungan keluarga, ketimbang mereka yang berasal dari keluarga biasa.

Pendidikan Zainuddin Labay el-Yunusi, sama dengan yang dialami oleh kebanyakan orang Islam seusianya. Pendidikan awal yang dilaluinya tentu saja pendidikan infomal (di dalam keluarga) dan pendidikan agama yang diberikan ayahnya. Pada usia 8 (delapan) tahun, Zainuddin Labay, dimasukkan ayahnya ke sekolah pemerintah (HIS), namun ia hanya belajar sampai kelas IV. Kemudian ia keluar dari sekolah tersebut karena dalam banyak hal ia tidak setuju dengan pola pendidikan kolonial yang tidak akomodatif terhadap pendidikan agama Islam. Setidak-tidaknya, ada dua hal yang menyebabkan Zainuddin Labay keluar dari sekolah pemerintah (HIS). Pertama, di sekolah pemerintah tidak dimasukan mata pelajaran agama karena pihak pemerintah (Belanda), sehingga sekolah terkesan sekuler dan hanya untuk kepentingan duniawi semata. Kedua, bahwa tujuan dari pemerintah Belanda mendirikan sekolah bukan untuk kepentingan rakyat, akan tetapi hanya untuk kepentingan kolonial Belanda itu sendiri, yakni untuk mempersiapkan calon-calon tenaga pegawai terdidik yang akan ditempatkan dalam birokrasi lokal termasuk penyediaan personil dalam urusan tanam paksa kopi. Pengetahuan yang diberikan di sekolah-sekolah pemerintah itu nantinya juga merupakan bagian dari upaya membentuk warga negara yang “baik” dan secar berangsur-angsur mereka juga akan diperbelandakan, dalam arti mencontoh gaya hidup Eropa. Sehingga hasilnya terkesan lebih menguntungkan pihak penjajah. Untuk itu, Zainuddin Labay, memutuskan untuk tidak lagi belajar di sekolah pemerintah tersebut.
Setelah keluar dari sekolah pemerintah, Zainuddin kembali belajar dengan ayahnya memperdalam ilmu-ilmu agama. Waktu-waktu senggang dipergunakan untuk belajar mandiri dan membaca. Masa 2 (dua) tahun belajar dengan ayah tercinta dirasakannya tidak begitu lama, sebab ayahnya dipanggil Yang Mahakuasa. Akibatnya pendidikan Zainuddin terbengkalai di saat ia sedang sangat memerlukan pendidikan untuk masa depannya.

Setelah ayahnya meninggal, Zainuddin Labay sempat menjadi “parewa” (istilah yang diberikan kepada anak-anak yang tidak menentu pekerjaannya). Kerjanya sehari-hari adalah bermain layang-layang, meniup serunai yang terbuat dari batang padi, bersalung, bermain rabab, dan lain-lain sebagainya. Suatu pekerjaan yang sering dilakukan anak-anak yang tidak sekolah. Bila perut terasa lapar, segera pulang untuk makan dan kemudian pergi lagi. Kondisi seperti ini berlangsung selama dua tahun.
Keinginannya untuk belajar agama muncul kembali setelah ia mendengar ada seorang ulama yang sangat dalam ilmunya di Sungai Batang, suatu daerah yang terletak di pinggiran Danau Maninjau. Ulama itu adalah H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), yang baru saja kembali dari Makkah. Tetapi karena daerah “danau” (istilah yang masyhur waktu itu) terlalu jauh dan alat transportasi ke sana sangat sulit, ibu Zainuddin Labay, Ummi Rafi’ah, keberatan melepas anaknya “merantau” (belajar) ke daerah danau tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa alat transportasi yang digunakan pada masa itu hanya bendi. Untuk sampai ke Sungai Batang itu, orang harus ke Bukittinggi terlebih dahulu. Dari sana barulah orang naik bendi ke Sungai Batang setelah melewati “kelok 44” Maninjau. Umumnya orang berangkat ke sana pagi dan sore harinya baru sampai di Sungai Batang. Dapat dibayangkan betapa sulitnya hubungan transportasi ke daerah tersebut, ditambah lagi dengan kondisi jalan yang sangat rawan dan terjal, pada hal jarak antara Bukittinggi dan Maninjau tidak begitu jauh.

Gagal meneruskan pelajaran agama ke “danau”, tahun 1910, Zainuddin Labay, menyampaikan keinginannya untuk pergi belajar kepada salah seorang ulama moderen di Padang, yang bernama Dr. H. Abdullah Ahmad (1878-1933). Keinginan Zainuddin ini diperkenankan oleh ibunya dan ia diberi biaya sebanyak 20 gulden serta bekal hidup lainnya untuk belajar ke Padang. Tapi hanya delapan hari ia belajar dengan Abdullah Ahmad di Padang, kemudian Zainuddin kembali ke Padang Panjang. Biaya 20 gulden yang diberi oleh ibunya untuk biaya dan bekal hidupnya selama menuntut ilmu dibelikannya kepada buku-buku, majalah dan koran-koran berbahasa asing. Agar pendidikan Zainuddin tidak terbengkalai, ibunya menyarankan agar ia pergi belajar kepada Syeikh Abbas Abdullah (1883-1957, di Padang Japang Payakumbuh, seorang ulama yang sealiran dengan Syeikh Abdul Karim Amrullah dan Dr. H. Abdullah Ahmad. Anjuran ibunya diterima dan kemudian, ia pergi ke Padang Japang Payakumbuh dan belajar di surau Syeikh Abbas Abdullah, dari tahun 1911-1913.


Selama dua tahun Zainuddin belajar di Padang Japang, Syeikh Abbas Abdullah melihat bakat dan kecerdasan yang dimiliki Zainuddin melebihi kemampuan yang dimiliki oleh kawan-kawanya yang lain. Untuk itu ia diangkat menjadi guru bantu. Bahkan tidak jarang terjadi perdebatan sengit antara ia dengan gurunya tersebut dalam hal keilmuan. Karena hal-hal yang belum ia pelajari telah diajarkannya kepada murid-murid yang lain. Sekalipun demikian, Zainuddin tidak lama melanjutkan pelajarannya, karena tahun 1914, ia harus pulang ke Padang Panjang dan tidak kembali lagi ke Padang Japang. Latar belakang pendidikan yang dilalui Zainuddin Labay sebagaimana dipaparkan di atas, memang relatif pendek dan tidak sistematis. Pola pendidikannya yang tidak sistematis dan tidak teratur tersebut menurut hemat penulis, setidak-tidaknya dipengaruhi oleh sikap dan kepribadiannya yang unik namun berpotensi untuk maju. Dikatakan unik, karena dalam proses pendidikan yang dilaluinya, tidak dijalaninya menurut semestinya. Itu terlihat ketika ia belajar di sekolah gubernemen (pemerintah Belanda) hanya sampai kelas IV. Bahkan ketika ia belajar dengan Syeikh Abbas Abdullah (Padang Japang), sempat terjadi kericuhan kecil antara ia dengan gurunya karena tidak mengindahkan peraturan dan disiplin belajar. Belajar dengan Syeikh Abdullah Ahmad di Padang, hanya menghabiskan waktunya selama seminggu kemudian kembali lagi ke Padang Panjang.


Dengan latar belakang pendidikan seperti itu, didukung oleh ketajaman intelektual, keuletan serta wawasanya yang jauh ke depan, Zainuddin dapat merombak kekolotan sistem pendidikan yang sedang berkembang waktu itu. Di atas reruntuhan dan puing-puing kekolotan itu dibangunnya gagasan-gagasan pembaharuan yang kelak membawa perubahan besar di bidang pendidikan Islam. Eksistensi tiga orang guru yang berhaluan moderen, yakni Haji Rasul, Abbas Abdullah dan Abdullah Ahmad, serta peranan mereka dalam riwayat pendidikan Zainuddin Labay, tampaknya, sangat berpengaruh besar. Sebab merekalah yang paling bertanggung jawab mengajarkan dan menyebarkan pemikiran-pemikiran moderen di lembaga pendidikan di mana mereka mengajar. Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang pernah mereka timba di Timur Tengah, disebarluaskan kembali di tanah air
. Zainuddin Labay, termasuk orang yang menerima pemikiran-pemikiran moderen dari ketiga tokoh ulama pembaharu tersebut. Karena Zainuddin pernah belajar di surau mereka bahkan sempat menjadi guru bantu. Zainuddin Labay tidak pernah belajar kepada ulama-ulama tradisional kecuali kepada ayahnya. Itupun hanya sebatas pengetahuan tentang dasar-dasar agama dan waktunya pun tidak terlalu lama. Dengan demikian pengaruh pemikiran moderen lebih banyak ia terima ketimbang pemikiran-pemikiran keagamaan yang bercorak tradisional.

Kiprah Zainuddin Labay sebagai seorang tokoh modernis telah kelihatan ketika ia masih berusia muda. Dalam konteks yang lebih sederhana, cikal bakal Zainuddin sebagai seorang modernis dapat dilihat dari cara ia menyusun namanya sendiri, yakni “Zainuddin Labay el-Yunusi”. Gelar “Labay”, yang dipakai dibelakang namanya bukanlah gelar kehormatan yang diberikan oleh ninik mamak dan ulama kepadanya, akan tetapi gelar itu ia sendiri yang melekatkan kepada dirinya dan semua orang disuruh memanggil nama tersebut, hingga terkenalah nama tambahan itu dibelakang nama Zainuddin hingga akhir hayatnya bahkan sampai saat ini. Ketika menjadi guru bantu di surau Jembatan Besi, Zainuddin Labay mulai menampakkan potensi dirinya sebagai seorang pembaharu. Tidak puas dengan ilmu yang diperolehnya ketika belajar di lembaga pendidikan tradisional surau, ia mencoba mengadakan koresponden dengan tokoh-tokoh luar negeri. Buku-buku keluaran Mesir dan Timur Tengah lainnya dipesan langsung. Sehingga koleksi buku-bukunya tidak hanya terbatas kepada buku-buku terbitan dalam negeri akan tetapi juga terbitan luar negeri, terutama buku-buku tafsir, hadis, fiqh, sejarah, dan lain-lain.


Sebagai seorang yang menginginkan pembaharuan dan perubahan-perubahan di dalam masyarakat, ia sangat mengagumi tokoh-tokoh kharismatik. Salah satu tokoh yang sangat ia kagumi adalah Mustafa Kamil (1874-1908), seorang tokoh nasionalis berkebangsaan Mesir. Ia banyak membaca sejarah hidup Mustafa Kamil, bahkan dalam mengajarpun Zainuddin sering menceritakan riwayat hidup tokoh ini. Untuk lebih dekat dengan tokoh idolanya ini, dalam beberapa kesempatan, Zainuddin sering mengadakan koresponden dengan tokoh kebangsaan Mesir tersebut. Sehingga hubungan keduanya semakin erat, meskipun mereka tidak pernah bertatap muka secara langsung. Kontak antara Zainuddin Labay dengan Mustafa Kamil ternyata tidak berlangsung lama, karena tahun 1908, Musthafa Kamil meninggal dunia di saat penjajah Inggris masih bercokol di Mesir.


Kekaguman Zainuddin Labay terhadap Musthafa Kamil dan ide nasionalismenya itu, disebabkan oleh karena bangsa Mesir dan bangsa Indonesia mengalami nasib yang sama, yakni sama-sama ditindas oleh penjajah bangsa Barat. Mesir dijajah oleh Inggris dan Perancis sedangkan Indonesia dijajah oleh Belanda. Sebagai bangsa yang berberadab dan berbudaya, Mesir dan Indonesia sama-sama berkeinginan melepaskan diri dari cengkraman kaum penjajah. Sebagai manusia, mereka juga ingin maju sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia. Penjajahan mengakibatkan kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan. Untuk melepaskan diri dari keadaan tersebut, berbagai upaya harus dilakukan agar masyarakat bisa maju, cakrawala berfikir semakin luas dan terbebas dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Sebagai seorang yang memiliki pemikiran cemerlang didukung pula oleh usia yang masih muda, Zainuddin Labay, mulai menuangkan berbagai pemikirannya dalam bentuk tulisan. Kiprah Zainuddin dalam kegiatan jurnalistik ini diawali dengan menulis beberapa artikel di majalah al-Munir, pimpinan Abdullah Ahmad di Padang. Tulisan-tulisannya selalu mendapat tempat yang baik dan sambutan hangat di kalangan para pembaca. Artikel-artikel yang ditulis Zainuddin dalam majalah ini pada umumnya merupakan pencerminan dari pemikiran pembaharuannya. Ia sangat antusias membela dan mempertahankan pendapat tokoh-tokoh pembaharu yang tergolong kaum muda dari serangan para ulama tradisional (kaum tua).


Gencarnya polemik antara kaum tua dan kaum muda tentang soal-soal agama, memotivasinya untuk lebih kuat mempertahankan dan membela pendirian kaum muda yang tertuang di dalam berbagai tulisan di majalah al-Munir. Bahkan dalam kesempatan yang sama, Zainuddin Labay bersama Abdul Majid Sidi Sutan memotori terbitnya majalah al-Akhbar sebagai pembela utama pendirian al-Munir dari serangan-serangan ulama tradisional Didorong oleh semangat ingin menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan pengajaran serta ide-ide pembaharuan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat, didukung pula oleh pengalamannya dalam dunia jurnalistik. Setelah mengadakan pendekatan dengan jam’iyyah Thawalib di Padang Panjang, pada tahun 1918 (dua tahun setelah al-Munir terbakar), Zainuddin Labay dapat menerbitkan kembali majalah yang sama dengan nama al-Munir el-Manar. Sebagai pembawa misi pembaharuan dan penyebar ilmu pengetahuan dan pegajaran, al-Munir el-Manar telah dapat membuktikan bahwa ia merupakan media cetak yang dapat mengisi kevakuman berfikir umat dan menjadi jembatan untuk menuju kehidupan moderen yang disinari ilmu pengetahuan. Al-Munir el Manar juga merupakan sebagai media diskusi jarak jauh antara kaum modernis dengan masyarakat pembaca dari berbagai daerah. Sehingga persoalan-persoalan yang muncul berkaitan dengan agama dan masyarakat dapat ditelaah secara mendalam dan diberikan jawaban sesuai dengan proporsinya.
Kecintaan Zainuddin Labay terhadap ilmu pengetahuan dan pembaharuan tidak saja terbatas pada penerbitan majalah saja akan tetapi juga mendirikan sebuah taman bacaan yang dapat dijangkau oleh masyarakat, yakni “biblieothec Zainaro”. Buku-buku yang tersedia di perpustakaan ini terdiri dari bermacam-macam judul dan disiplin ilmu. Akibatnya kantor al-Munir el-Manar dan perpustakaan “Zainaro” ramai dikunjungi orang terutama para pelajar yang ingin menambah wawasan pengetahuannya. Bahkan Hamka, mengakui, bahwa pada masa remajanya, ia banyak memperoleh pelajaran dan pengalaman mengarang dari Zainuddin Labay dan melampiaskan “nafsu baca”-nya di perpustakaan “Zainaro” tersebut.

Dalam bidang agama, Zainuddin Labay, termasuk kepada barisan “kaum muda”, yang mempunyai pemikiran maju ketimbang ulama-ulama tradisonal. Kedudukan Zainuddin labay dalam barisan kaum muda ini dapat dilihat dari sikapnya yang menentang perbuatan-perbuatan bid’ah. Ketika ayahnya meninggal dunia, kepada pihak keluarga ayahnya yang datang dari Pandai Sikek dan masyarakat yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau bertakziah, ia menyampaikan sebuah pernyataan yang dianggap bertentangan dengan tradisi yang berkembang waktu itu. Ia menyampaikan kepada para petakziah bahwa di atas kuburan ayahnya tidak akan dibangun tempat untuk berziarah, yang memungkinkan orang beramal tidak sesuai dengan ajaran Islam murni. Walaupun ayahnya seorang ulama besar dan tokoh kharismatik dalam tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, tidak serta merta ia mengikuti pemahaman keagamaan ayahnya tersebut. Paham-paham moderen yang berorientasi pemurnian ajaran Islam yang dihembuskan oleh guru-gurunya lebih menyentuh jiwanya ketimbang paham tradisional yang lebih berorientasi bid’ah dan khurafat. Bila dihubungkan sampai ke atas, sikap keras tersebut merupakan warisan dari datuknya Haji Miskin, salah seorang tokoh gerakan Paderi dari Pandai Sikek.


Sisi lain dari aktivitas Zainuddin Labay sebagai seorang tokoh modernis adalah mendirikan sebuah kafetaria yang diberi nama “Buffet Merah”. Kafe ini sengaja dibuka dan dikelola sebagai sebuah unit usaha koperasi. Diharapkan dari kehadiran kafe ini sebahagian hasil usahanya dapat dimanfaatkan untuk membantu eksisnya lembaga pendidikan Islam yang saat itu tumbuh subur di Padang Panjang. Di samping itu kafe sederhana ini juga sebagai arena untuk membuka mata masyarakat terhadap berbagai perkembangan aktual di dalam dunia internasional (politik) serta masalah-masalah yang timbul di dalam masyarakat. Ini sesuai dengan ucapan yang pernah dilontarkannya bahwa “jika ingin mengaji agama secara mendalam datanglah ke Diniyah School atau ke Sumatera Thawalib, tapi jika ingin mengkaji masalah politik, di Buffet Merah kita bertemu”.


Berdirinya “Buffet Merah” sebagai sebuah unit usaha ekonomi dan tempat pemecahan masalah-masalah politik, menurut hemat penulis ada sasaran yang ingin dicapai oleh Zainuddin Labay. Setidak-tidaknya ada dua hal yang menjadi tujuan utamanya, pertama, kafe ini didirikan dengan tujuan sebagai arena untuk membuka wawasan masyarakat terhadap berbagai masalah-masalah aktual yang terjadi baik di dunia Internasional, politik maupun soal-soal kemasyarakatan lainnya. Sasaran kedua, adalah dapat membantu kelangsungan hidup sekolah-sekolah Islam yang ada di Padang Panjang terutama Diniyyah School dan Thawalib. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang baru didirikan, sekolah-sekolah Islam tersebut perlu dana untuk penunjang kegiatan belajar-mengajarnya. Untuk itu perlu dicarikan biaya melalui usaha-usaha yang halal dan terhormat.


Ketika asisten residen Tanah Datar (tuan Luhak) menawarkan bantuan (subsidi) untuk membiayai kelangsungan hidup sekolah yang baru didirikannya, secara tegas Zainuddin Labay menolak tawaran itu, karena ia melihat di balik bantuan itu ada tujuan lain yang terselip di dalam misi asisten residen tersebut yang nota bene adalah kaki tangan kolonial Belanda. Dalam bahasa yang sangat diplomatis namun tegas, Zainuddin Labay menyatakan penolakannya terhadap jasa baik tersebut “biarlah Diniah School hidup dan tumbuh bersama masyarakatnya”.
Ramainya “Buffet Merah” dikunjungi masyarakat pada dasarnya bukanlah terletak pada pokok permasalahan yang didiskusikan, akan tetapi kharisma Zainuddin Labay yang membuat orang ramai datang ke sana. Salah satu prinsip yang selalu dipakai Zainuddin Labay dalam menyebarkan ide pembaharuannya adalah mengajak orang (ke dalam Islam) secara bijaksana dan pengajaran yang baik. Kenyataan ini dapat dilihat dari cara ia mengajak orang untuk shalat. Dalam suatu kesempatan di Buffet Merah, ketika orang sedang ramai dan asyik mendengar cerita yang dibacakan Zainuddin Labay dari sebuah buku yang berjudul “Rokombole”, beduk shalat Ashar berbunyi. Zainuddin secara spontan menutup buku cerita tersebut dan menyampaikan kepada pendengar, “mari kita shalat ke masjid Jembatan Besi… dan setelah shalat cerita kita sambung lagi”. Oleh karena orang sangat simpati kepadanya, semua yang ada di kafe tersebut pergi shalat, kecuali anak-anak kecil yang tinggal untuk menjaga buffet itu.

Dilihat dari aktifitasnya sebagai tokoh modernis, nyatalah bahwa Zainuddin Labay, memang mempunyai naluri yang luar biasa. Aktifitas-aktifitas yang dilakukannya mencerminkan suatu cita-cita luhur dan agung. Di saat orang seusianya belum bisa berbuat apa-apa untuk kemajuan umat, bangsa dan agama, ia telah dapat melakukannya. Bahkan dibandingkan dengan guru-guru yang sealiran dengannya, ia terlihat lebih maju dan pemikiran moderennya melebihi pemikiran moderen guru-gurunya. Karena pemikirannya yang brilyan itu, oleh Hamka, ia disebut sebagai seorang “filosof muda”, yang terlahir ke dunia sebelum masanya. Penilaian Hamka, akan terlihat jelas lagi dari beberapa karya tulisnya di majalah al-Munir, pimpinan Abdullah Ahmad, al-Munir el-Manar, maupun karya tulisnya dalam bentuk buku dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.


Aktifitasnya dalam hal ini telah nampak ketika ia mulai menyumbangkan tulisan-tulisannya pada majalah al-Munir yang dipimpin Abdullah Ahmad di Padang. Setelah penerbitan majalah ini terhenti tahun 1916, karena musibah kebakaran, atas inisiatif sendiri tahun 1919 dapat melanjutkan kembali penerbitan majalah serupa di Padang Panjang, dengan nama al-Munir el-Manar. Di samping itu untuk bacaan masyarakat dan kepentingan pendidikan serta memenuhi kurikulum sekolah-sekolah agama khususnya Diniyah School, ia menerbitkan pula buku-buku teks dan buku-buku bacaan. Berbekal pengalaman yang sudah ada itu, perlu dilihat karya-karya tulis Zainuddin Labay yang mencakup berbagai macam tema dan disipli ilmu.


Karya-karya tulis Zainuddin Labay tersebut dapat diklasifikasikan kepada beberapa kelompok.
Karya tulis yang dimuat dalam majalah al-Munir di Padang dari tahun 1915 sampai tahun 1916 dan majalah al-Akhbar. Karya tulis yang dimuat dalam majalah al-Munir el-Manar di Padang Panjang dari tahun 1919 sampai tahun 1922. Karya tulis dalam bentuk buku-buku teks pelajaran pada Diniyah School. Buku-buku ini meliputi berbagai macam disiplin ilmu, seperti tauhid (aqidah), fiqh, bahasa Arab, akhlak, tajwid al-Qur’an, sejarah. Buku-buku tersebut mulai ditulis semenjak tahun 1915 sampai tahun 1924. Buku-buku terebut adalah Adabul Fatah, terdiri dari dua jilid. Jilid pertama ditulis tahun 1914 dan jilid yang kedua ditulis tahun 1915. Buku ini berisikan etika (tatakrama) dalam berprilaku, terutama bagi kaum wanita. Empat Serangkai, ditulis tahun 1919, terdiri dari empat jilid dengan menggunakan bahasa Arab Melayu. Buku ini secara umum berisi tentang pelajaran fiqh, tauhid dan akhlak bagi murid-murid Diniyah School kelas satu. Al-‘Aqâid al-Dîniyyah (1924), terdiri dari dua jilid berisi pelajaran-pelajaran tentang dasar-dasar tauhid dengan menggunakan bahasa Arab. Dicetak pertama kali pada tahun 1924 beberapa bulan sebelum penulisnya meninggal dunia.

Mabâdi al-Arabiyyah (1930)
, terdiri dari dua jilid dan dipakai sebagai buku pegangan bagi murid-murid Diniyyah School. Buku ini berisi pelajaran tata bahasa Arab. Mabâdi al-Awwaliyyah (t.t.), adalah karya lain yang juga memuat pelajaran tata bahasa Arab (khususnya ilmu nahw). Pelajaran fiqh secara lengkap disusun dalam sebuah karya yang diberi judul al-Durûs al-Fiqhiyyah (1937). Penulisan buku ini direncanakan sebanyak 4 jilid, namun yang terselesaikan hanya 3 jilid saja. Di samping itu untuk memenuhi kebutuhan akan materi pelajaran membaca al-Qur’an, disusun pula buku Irsyâd al-Murîd ilâ ‘Ilm al-Tajwîd (1951). Buku yang berjudul Apa Benarkah Tuahnya Bermenantu, dimaksudkan untuk memotivasi para orang tua agar memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk menyelesaikan pendidikannya sebelum ia terburu-buru dikawinkan. Dengan demikian buku ini merupakan motivasi bagi orang tua agar tidak cepat-cepat mengawinkan anaknya. Di bawah bimbingan Zainuddin Labay, murid-murid Diniyah School juga menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Tunas Diniyah (1922) sebagai ajang kreasi bagi murid-murid untuk menuangkan pemikiran mereka.


Pada dasarnya keberhasilan Zainuddin Labay mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam moderen sangat erat kaitannya dengan pengalamannya semenjak ia mulai menjadi guru bantu di surau Syeikh Abbas Abdullah, di Padang Japang dan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, merupakan modal dasar baginya untuk memulai sebuah gagasan baru dalam dunia pendidikan dan pengajaran agama Islam. Sebagai seorang yang berpikiran moderen dan maju, di samping berkarya melalui media pers, ia sangat berkeinginan mewujudkan cita-citanya untuk merubah sistem pendidikan Islam. Kondisi pendidikan umat Islam jauh tertinggal dibanding dengan pendidikan pemerintah Belanda.
Ia menginginkan perubahan sistem pendidikan Islam yang selama ini diselenggarakan dengan cara tradisional dan sudah ketinggalan zaman. Duduk di lantai melingkar diganti dengan meja dan kursi; guru dan murid sama-sama duduk di kursi. Guru hendaknya berada di depan murid-murid, jangan berkeliling sambil bersandar di tiang masjid. Media belajar sebaiknya digunakan papan tulis dan kapur tulis dan harus ada rencana pelajaran yang teratur. Pakaian sekolah murid-murid harus diatur sedemikian rupa dan mereka tidak boleh berpakaian seenaknya. Untuk menentukan kehadiran murid-murid, harus ada absen dan jika suatu ketika seorang murid tidak bisa hadir di sekolah harus ada surat keterangan (sakit, izin dan lain-lainnya). Untuk menilai kemampuan murid-murid menyerap pelajaran yang diberikan, harus ada evaluasi akhir dan setiap akhir tahun harus ada kenaikan tingkat (kelas). Cita-cita itu menjadi spirit di dalam jiwanya dan pada setiap kesempatan mengajar di surau Jembatan Besi, ia selalu mengemukakan keinginannya itu kepada murid-muridnya. Ia melihat di mana-mana belum ada sekolah agama seperti apa yang ia cita-citakan itu. Pola dan sistem pengajaran di surau dirasakan tidak berkembang. Setelah cita-cita besar ini dirasakan sudah mantap dan telah mendapat dukungan dari sebahagian murid-murid surau Jembatan Besi, maka pada tanggal 10 Oktober 1915, Zainuddin Labay mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam baru yang diberi nama Diniyah School, dengan sistem berkelas. Sekolah ini menerima murid-murid laki-laki dan perempuan, diajar dalam kelas yang sama dalam waktu yang sama serta dengan guru yang sama. Pola semacam ini dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah “ko-edukasi”.

Obsesi besar yang dicanangkan Zainuddin Labay dalam dunia pendidikan Islam, ternyata telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan yang dibangunnya tidak hanya memberikan sumbangan bagi penataan aspek kelembagaan dan aspek kurikulum saja, akan tetapi juga mampu melahirkan generasi dan kader-kader berkualitas dan memiliki reputasi baik dalam lapangan pendidikan maupun dalam bidang-bidang lain. Beberapa orang di antaranya dapat disebut antara lain, seperti Rahmah el-Yunusiyah (adik kandung Zainuddin Labay dan pendiri Diniyah Putri).Kiprahnya dalam bidang pendidikan Islam masih bisa dilihat sampai sekarang. Lembaga pendidikan yang didirikannya tetap diminati masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura. Atas jasanya dalam pengembangan pendidikan Islam, pada tahun 1956, rektor universitas al-Azhar, Kairo menganugerahkan gelar “Syaikhah” kepadanya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum memberikan penghargaan sebagai pahlawan nasional dalam bidang pendidikan Islam walaupun usulan untuk itu sudah lama dilakukan.


Hamka, adalah tokoh yang banyak kiprahnya dalam sejarah Islam di Indonesia. Mantan ketua MUI dan pendiri Yayasan pendidikan al-Azhar Jakarta ini juga seorang penulis produktif. Selama hidupnya, Hamka telah menghasilkan ratusan karya tulis baik dalam bentuk buku maupun tulisannya yang tersebar di berbagai majalah dan koran. Salah satu karyanya yang sangat monumental adalah Tafsir al-Azhar 30 jilid. Karya-karyanya yang lain meliputi bermacam-macam disiplin keilmuan, seperti sastra, sejarah, fiqh, tasawuf, dan lain-lain. Walaupun ia belajar dengan Zainuddin Labay hanya dua tahun, namun Zainuddin Labay telah berjasa menanamkan nilai pendidikan dan membuka wawasannya tentang dunia luar. Reputasi Hamka sebagai seorang pemimpin Islam tidak hanya terbatas di dalam negeri saja, akan tetapi juga diakui oleh pihak luar. Ini dapat dilihat dari penghargaan yang diterimanya dari beberapa negara tetangga, seperti gelar doktor Honoris Causa dari universitas al-Azhar, Kairo tahun 1968 dan dari universitas Kebangsaan Malaysia, tahun 1974. Di samping itu juga aktif dalam berbagai pertemuan organisasi Islam sedunia, seminar Islam, dan lain-lain.


Murid Zainuddin Labay lainnya yang berpengaruh dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia adalah Prof. Mukhtar Yahya, menjadi guru besar pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan juga pernah menjabat direktur Islamic College Padang tahun 1931. Salah satu karyanya tulisnya menjadi rujukan bagi insan akademis adalah Sejarah Kebudayaan Islam, terjemahan dari buku Ahmad Syalaby (Kairo, Mesir). Generasi lain adalah Tajuddin, MS, mantan pengurus PMDS pertama. Menjadi aktivis gerakan buruh sedunia. Jured Luthan, ketua PMDS pertama dan besar usahanya dalam perjuangan kebangsaan melawan penjajah Belanda. Meninggal di Madiun, Jawa Timur sebagai perintis kemerdekaan. Jamaluddin Ibrahim, aktivis PMDS dan mantan sekretaris PARI di Singapura. Meninggal ketika dalam tahanan Belanda tahun 1940 di Cisarua Bogor sebagai perintis kemerdekaan. Ayun Sibiran, sekretaris PMDS pertama dan pengelola Bibliothec Zainaro. Aktif dalam pergerakan menentang penjajah Belanda. Meninggal di Rangkas Bitung, Jawa Barat sebagai perintis kemerdekaan. Jamaluddin Tamim, guru Diniyah School, salah seorang aktivis PMDS yang diburu Belanda. Tahun 1927, mendirikan Partai Rakyat Indonesia di Bangkok bersama Tan Malaka. Tokoh-tokoh tersebut di atas adalah sebagian dari beberapa orang generasi yang pernah belajar dengan Zainuddin Labay. Umumnya mereka berkiprah pada lapangan pendidikan di samping aktivitas lainnya. Walaupun Zainuddin Labay tidak bisa menyaksikan hasil perjuangan mereka, namun segenap insan pendidikan tidak akan pernah melupakan jasa-jasanya yang sangat mulia itu. Namanya tetap akan dikenang sebagai seorang inspirator sekaligus pembaharu pendidikan Islam.

Kitab Sifat Dua Puluh : Telaah Filologis Naskah Melayu Islam Minangkabau

Oleh : Yulfira Riza, M.Hum
Edit : Muhammad Ilham

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan warisan budaya nenek moyang. Hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan-peninggalan budaya dari masa lalu yang ditemukan di kawasan ini, antara lain alat-alat perkakas sehari-hari, prasasti-prasasti, arca, bangunan-bangunan candi, dan rumah-rumah adat. Selain peninggalan budaya yang berupa material tersebut, ditemukan juga peninggalan budaya berupa non-material yaitu tulisan yang ditulis oleh nenek moyang dengan tulisan tangan dalam berbagai bahan tulisan. Bahan-bahan tulisan itu antara lain dedaunan yang dikeringkan seperti daun lontar dan daun nipah, kulit kayu, bambu, rotan, daluwang (kertas Jawa), dan kertas. Alat tulisnya pun beragam sesuai dengan bahan yang mereka gunakan untuk menulis tulisan tersebut. Untuk kulit kayu dan bambu alat tulis yang digunakan adalah peso pangot, semacam alat yang bermata runcing untuk mengukir tulisan-tulisan di atas bahan tulisan tersebut kemudian disapu dengan jelaga agar ukiran itu terlihat. Jika dikerjakan dengan teliti, cara penulisan seperti ini akan menghasilkan tulisan yang bagus. Namun kelemahannya adalah kesalahan tidak mungkin dikoreksi karena goresan atau ukiran ini tidak mungkin diperbaiki. Untuk alas naskah daluwang dan kertas alat tulis yang digunakan adalah kalam (kuas/pena) dan tinta. Peninggalan-peninggalan budaya berupa tulisan yang disebutkan di atas, lazim disebut dengan naskah. Naskah merupakan dokumen yang berisi berbagai hal yang bermanfaat bagi kita. Melalui naskah kita juga dapat mengetahui kapan suatu budaya baru masuk dan berkembang dalam budaya yang telah lama hidup di masyarakat kita dahulunya. Sebagai contoh, isi naskah tersebut bisa menginformasikan kepada kita tentang kapan pertama kali Islam masuk ke Indonesia, bagaimana penyebarannya, dan apa tanggapan dari masyarakat Indonesia yang sudah lebih dahulu menganut suatu kepercayaan sebelumnya. Semua itu akan terjawab salah satunya dengan membaca teks yang ada di dalam naskah.



Teks berisi ide-ide atau gagasan, pokok pikiran, adat istiadat, pola hidup, tata cara peribadatan dan tradisi budayanya. Karya ini memberi informasi kepada kita tentang apa yang terjadi pada masa lalu. Namun seiring berkembangnya zaman, informasi yang terkandung di dalam tulisan tersebut sering mengalami transformasi. Akibatnya muncul banyak teks yang terdapat dalam berbagai bentuk dan cara penulisan. Hal ini terjadi karena teks atau tulisan itu ditulis berulang-ulang secara manual dengan menggunakan tangan sehingga ketidakjelasan huruf ataupun lubernya tinta yang mengganggu pembacaan sering menyebabkan pembaca ataupun penyalin naskah kesulitan untuk menafsirkan bacaannya. Selain itu kreatifitas penyalin yang mengubah salinan untuk menyesuaikan isinya dengan zaman juga menyebabkan informasi di dalam naskah pun mengalami perubahan. Perubahan ini akan terus berlanjut selama teks ini mengalami penyalinan secara terus-menerus. Seandainya teks yang memiliki ketidakjelasan huruf ini dijadikan sumber salinan teks baru yang benar-benar sama isinya, perubahan dan penafsiran yang keliru akan terus berlanjut pada turunan-turunan teks selanjutnya.

Penggalian informasi yang terkandung di dalam sebuah naskah, bukanlah perkara yang mudah. Banyak kesulitan dan rintangan yang mungkin akan dihadapi peneliti naskah di antaranya adalah bahan naskah yang berasal dari alam yang menyebabkan naskah mudah lapuk. Di samping itu, faktor usia naskah sendiri yang sudah tua ditambah lagi penyimpanan yang kurang cermat sehingga naskah menjadi terlantar, tertumpah benda cair, menyebabkan naskah tidak mungkin lagi disentuh apalagi dibaca. Apalagi seandainya naskah tersebut sampai hilang atau terbakar maka informasi yang terkandung di dalam naskah tersebut tidak akan pernah sampai kepada kita selaku generasi baru. Selain itu, aksara yang digunakan di dalam naskah pun sudah tidak dikenal lagi oleh masyarakat sekarang, walaupun naskah tersebut berasal dari daerahnya sendiri. Seandainya ada, jumlah orang yang masih dapat membaca aksara lama ini pun tidak banyak dan sudah berusia lanjut. Orang-orang ini umumnya hafal dengan isi naskah yang berasal dari daerah mereka tersebut. Sayangnya, hanya sedikit generasi muda yang tertarik untuk membahas dan belajar dengan mereka. Achadiati (1997:28) mengemukakan kebanyakan orang Indonesia tidak mengenal aksara mereka sendiri sehingga mereka merasa asing dengan hal itu. Dari keasingan ini timbullah sikap tak sayang yang menyebabkan mereka juga kurang menghargai keberadaan naskah. Padahal aksara dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penting timbulnya naskah.


Menurut Pradotokusumo (1986:1), aksara atau hasil goresan tangan nenek moyang Indonesia yang tertua adalah kakawin Ramayana yang berasal dari abad ke-9 yang menggunakan aksara Jawa Kuno. Kakawin ini merupakan satu-satunya kakawin yang diketahui berasal dari Jawa Tengah yang masih dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha. Dapat diperkirakan bahwa tulisan ini merupakan tulisan pertama dalam naskah yang dikenal oleh nenek moyang kita. Sejak masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, Islam menyumbangkan aksara baru yaitu aksara Arab. Aksara ini kemudian meluas dan menyebar di beberapa daerah di Nusantara, antara lain dataran Melayu, Sunda, dan Buton. Aksara Arab kemudian mendominasi aksara-aksara daerah yang sudah ada sebelumnya di Nusantara. Aksara Arab tersebut beradaptasi dengan bunyi bahasa yang ada di Nusantara sehingga menghasilkan aksara-aksara baru yang kemudian diadopsi menjadi aksara sendiri. Misalnya di daerah Melayu, dikenal adanya aksara Arab Jawi atau Arab Melayuu, di Sunda dikenal dengan aksara Arab Pegon, dan di Buton menjadi aksara Buri Wolio.



Aksara Arab yang sudah diadaptasi ini maksudnya adalah huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa daerah, misalnya untuk aksara Arab Melayu merupakan aksara Arab yang menggunakan bahasa Melayu atau Bahasa Minangkabau. Aksara Arab tersebut akhirnya mengalami penyesuaian untuk bunyi-bunyi seperti /c/, /g/, /η/, dan /ñ/ dengan pemberian titik-titik tambahan sebagai penanda, yaitu چ untuk bunyi /c/, ک untuk bunyi /g/, ڽ untuk bunyi /η/, dan ﻉ untuk bunyi /ñ/. Dengan demikian, muncullah naskah-naskah yang menggunakan aksara ini di seluruh daerah yang menggunakannya. Aksara Arab yang mengalami modifikasi ini mengungguli aksara India yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat di Nusantara. Dapat dikatakan di sini bahwa di seluruh kepulauan Nusantara, kata dan ungkapan yang ada kaitannya dengan keislaman diterima ke dalam bahasa pribumi. Khusus untuk sastra Melayu klasik, khazanah Islam yang dimilikinya sangat luas (Achadiati, 1997:138). Terbukti dengan banyaknya naskah-naskah keagamaan yang dihasilkan di kawasan ini. Selain itu fisik tulisan sangat mendukung pernyataan ini. Salah satu daerah di Nusantara yang menggunakan aksara ini untuk menuliskan ide-ide, adat istiadat, dan pola hidup mereka adalah Melayu khususnya yang berada di ranah Minangkabau. Bangsa Melayu menyebut aksara ini dengan aksara Arab Melayu.


Pada umumnya, naskah-naskah yang berasal dari Minangkabau menggunakan Arab Melayu baik itu naskah sastra, adat istiadat, sejarah, obat-obatan, keislaman, maupun mantra-mantra untuk tujuan magis. Penggunaan aksara ini di Minangkabau mengindikasikan bahwa betapa kuatnya sendi Islam ada di Minangkabau sejak orang Minang mulai mengenal Islam. Salah satu naskah yang digali dalam penelitian ini adalah naskah Kitab Sifat Dua Puluh (selanjutnya disebut dengan KSDP). Naskah ini merupakan naskah keislaman. Hidayat (2007:1-4) mengungkapkan bahwa aspek pembeda yang menentukan naskah tersebut adalah naskah Islami adalah dari: (1) aksara, aksara yang digunakan adalah aksara Arab dan aksara Arab Pegon atau aksara Arab Melayu.; (2) penggunaan bahasa Arab dan istilah-istilah Arab dalam naskah-naskah yang berisi ajaran Islam tersebut; (3) kandungan naskah atau teksnya adalah tentang berbagai ajaran Islam dan hal-hal yang berkaitan dengan keislaman; dan (4) bahan materialnya adalah kertas baik yang dibuat secara tradisional (daluwang) ataupun kertas pabrik, alat tulisnya berupa pena dengan tinta berwarna hitam atau pada bagian tertentu menggunakan tinta merah. Naskah KSDP merupakan salah satu dari sekian banyak naskah keislaman milik masyarakat Minangkabau yang belum tergali. Naskah ini berisi pemikiran kalami (teologi Islam) yang dimaksudkan pemikiran ketuhanan (tauhid) menurut alur pikir ilmu kalam atau teologi yang berlandaskan ajaran Islam. KSDP memaparkan tentang sifat-sifat Allah SWT dan pada rasul-Nya serta hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam.


Naskah Kitab Sifat Dua Puluh

Ukuran naskah: 14x 21 cm; blok teks: 4,5x7 cm; rata-rata terdiri dari 14 baris tiap halaman; penomoran halaman dibuat ganda dengan menggunakan angka Arab dan Latin; terdiri dari 24 halaman; tulisan dibingkai dengan dua garis halus berwarna hitam; bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan Arab; penulis naskah ini adalah Datuk Mali Puti Alam (82 tahun). Datuk Mali Puti Alam (82 tahun). Kondisi naskah: naskah masih bagus dan tulisannya masih dapat terbaca. Naskah ini terdapat di surau Suluk yang beralamat di Nagari Katinggian, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota.


(Artikel Lengkap, dipublish di Jurnal Khazanah Edisi 4/2010 - Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam FIB-Adab IAIN Padang)