Jumat, 26 November 2010

Tradisionalisme dan Modernisme Intelektual Minangkabau : Refleksi Naskah Syekh Paseban (Pengantar)

Oleh : Ahmad Taufik Hidayat (Diedit : Muhammad Ilham)

Perkembangan tradisi intelektual Islam di Minangkabau memiliki latar sejarah yang cukup panjang. Walaupun Islam masuk ke wilayah nusantara dengan cara damai, tetapi menyangkut jalur-jalur islamisasi — seperti halnya wilayah nusantara secara umum — ia tidak hadir dalam bentuk tunggal. Tarekat sufi, perdagangan, pernikahan, birokrasi, pendidikan dan kesenian adalah diantara sarana Islam menyapa wilayah Minangkabau. Dampaknya antara lain adalah kekayaan amalan, praktek, mazhab serta corak yang membentuk dinamika tradisi intelektual Islam di wilayah ini. Pada bagian awal bab ini akan diuraikan perkembangan sejarah islamisasi di Minangkabau yang membentuk dinamika dimaksud. Pada bagian selanjutnya pembahasan diarahkan pada pemetaan tradisionalisme, modernisme dan perubahan sosial yang dijadikan acuan teoritis guna menelaah konteks koleksi manuskrip yang dihasilkan dari dinamika intelektual di wilayah Minangkabau. Di sini lembaga Islam tradisional dianggap meredefinisi paham keagamaan mereka terhadap berbagai hal yang dianggap mengancam. Persoalan-persoalan pendukung yang berkaitan dengan isu ini, seperti pergesekan dengan kolonial Belanda, persoalan sosio ekonomi politik, serta perselisihan internal kelompok Islam tradisional menjadi bagian utuh dalam tulisan ini. Disparitas antara tradisionalisme dan modernisme di tengah perubahan sosial dalam kerangka masyarakat Minang oleh karenanya tidaklah terjadi secara kebetulan. Beberapa studi mengenai perubahan di Minangkabau meninjau pusaran konflik dari berbagai sudut pandang. Dobbin misalnya menengarai bahwa konflik dalam perang Paderi dilatari oleh faktor sosio-ekonomi.

Dari sudut pandang yang relatif tidak berbeda, Beckman melahirkan tesis bahwa kepemilikan dan pewarisan harta kekayaanlah yang sesungguhnya mempengaruhi perubahan sosial. Sedangkan Taufik Abdullah cenderung melihat faktor tabi’at alamiah masyarakat Minang yang memelihara konflik dan harmoni secara bersamaan sebagai alasan munculnya konflik dan perubahan. Sejauh ini faktor-faktor yang dikemukakan para ahli tersebut tidak banyak menyinggung kristalisasi sebuah pemahaman tradisional Islam, yang memunculkan figur sentral sebagai agen perubahan dalam spektrum konflik yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Padahal, sebagaimana yang ditegaskan Fathurahman, manuskrip di Surau selain ditujukan untuk memberikan pengajaran kepada para anggota tarekat, juga ditulis untuk menjelaskan konteks tertentu, khusunya berkaitan dengan adanya penolakan terhadap gerakan pembaharuan keagamaan Islam. Oleh karena itu diperlukan pemetaan teoritis seputar konsep tradisionalisme, modernisme dan perubahan sosial.


Sabtu, 20 November 2010

Peran Surau di Minangkabau Bagi Pembentukkan Karakter Islam Tradisional

Oleh : Ahmad Taufik Hidayat (Diedit : Muhammad Ilham)

Secara tradisional, ada dua arena pembentukkan karakter masyarakat Minangkabau, Surau dan lapau. Keduanya sangat berpengaruh besar dalam perkembangan mental masyarakat ini.

Surau adalah lambang kesakralan mencerminkan sikap relijius, sopan santun serta kepatuhan kepada Allah, sedangkan lapau mencerminkan aspek keduniawiyan (profan) yang mengandung kekerasan, keberanian. Kecendrungan perkembangan anak-anak suku Minangkabau ditentukan dari banyaknya porsi waktu yang mereka habiskan sebagai bagian hidupnya sehari-hari dari tempat ini. jika seorang anak lebih banyak berada di lapau tanpa pernah mengaji di Surau, maka orang menyebut mereka parewa. Sebaliknya, jika waktu yang dihabiskan oleh seseorang lebih banyak di Surau, maka orang itu disebut urang siak atau pakiah. Karena itu, dari aspek mental keagamaan, bagi masyarakat tradisional Minang, terutama kaum pria-nya, fungsi Surau jauh lebih penting dalam membentuk karakter mereka di kemudian hari. Selain untuk memperoleh informasi keagamaan, juga dijadikan ajang bersosialisasi. Semenjak berumur 6 tahun, kaum pria telah akrab dengan lingkungan Surau. Struktur bangunan rumah tradisional orang Minang yang dikenal dengan rumah gadang memang tidak menyediakan kamar bagi anak laki-laki. Karena itu, setelah berumur 6 tahun, anak laki-laki di Minangkabau seperti terusir dari rumah induk. Hanya pada maktu siang hari mereka boleh bertempat di rumah guna membantu keperluan sehari-hari. Sedangkan pada waktu malam, mereka harus menginap di Surau. Selain karena tidak disediakan tempat, mereka juga merasa risih untuk berkumpul dengan urang sumando (suami dari kakak/adik perempuan) dan mendapat ejekan dari orang-orang karena masih tidur dengan ibu. Dalam ucapan yang khas, lalok di bawah katiak mande. Di Surau mereka bukan sekedar menginap. Banyak aktifitas penting yang mereka lakukan di sana. Belajar silat, adat istiadat, randai, indang menyalin tambo dilaksanakan berbarengan dengan aktifitas keagamaan seperti belajar tarekat, mengaji, shalat, salawat, barzanji dan lainnya. Karakter pembentukan Islam tradisional sesungguhnya berangkat dari aktifitas seperti ini.

Demikian besar fungsi Surau bagi perkembangan generasi muda Minang pada masa lalu. Karena itu sungguh sebuah ironi, bila lembaga yang demikian strategis akhirnya mengalah pada perubahan. Surau mewadahi proses lengkap dari sebuah regenerasi masyarakat Minang, sesuatu yang sulit dicari tandingannya dalam kultur manapun di dunia ini. Segala kebutuhan yang bersifat praktis, skill, kebijaksanaan, tutur kata dan tata krama yang diperlukan orang Minang pada masa dewasanya sebagian besar diperoleh di Surau. Adat budaya yang mengacu pada konsepsi alam takambang jadi guru yang melahirkan kebijkasanaan sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang), adalah bentuk kearifan yang diperoleh melalui pelatihan terpadu yang mengintegrasikan antara konsepsi ideologis dengan norma-norma budaya dan praktis lewat lembaga semacam Surau. Masyarakat tardisional yang di-back up oleh adat sangat kaya dengan prinsip-prinsip hidup semacam ini, sekedar menyebut contoh, misalnya untuk memberi i’tibar terhadap sikap tawadhu’ ada ungkapan ilmu padi, makin barisi makin marunduak.

Seiring dengan berkembangnya Islam, Surau menjadi aset yang dapat dipergunakan untuk menyebarkan dan mengenalkan konsep-konsep dasar Islam. Kedatangan Syekh Burhanuddin di penghujung abad ke-17 dengan mendirikan Surau di daerah Ulakan Pariaman menjadi titik awal dari terbentuknya karakter tradisional Islam hampir di seluruh wilayah penyebaran maupun pengaruhnya. Hal itu disebabkan karena kemampuan Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh Burhanuddin sangat mengakomodasi tradisi lokal. Aspek-aspek tasauf yang dikandung dalam ajaran ini—sebagaimana halnya dengan pengalama-pengalaman awal islamisasi di wilayah nusantara—memudahkan diterimanya Islam, karena memiliki kesamaan-kesamaan dengan ajaran Hindu/Budha yang telah terlebih dahulu dipraktekkan. Kedekatan emosional masyarakat Minang dengan Surau menjadi faktor kunci lestarinya pemahaman tradisional di ranah Minang dan buah dari sebuah interaksi antara dua kultur yang saling berdialog. Sudut pandang kelompok modernis terhadap Surau tradisional sesungguhnya melepaskan ikatan-ikatan kultural ini yang telah terjalin demikian lama sehingga memunculkan bentuk-bentuk Islam tradisi yang mapan di wilayah Minangkabau.

Ada narasi sejarah yang terpenggal dari sudut pandang seperti ini, meskipun pada tataran kebutuhan praktis yang bersifat temporal, pembaharuan yang digaungkan Islam modernis patut diapresiasi juga. Pemaksaan atas narasi besar Islam Arabia (ideologisasi Islam seolah-olah hanya tipikal Arab-lah yang benar) di gelanggang persemaian Islam kultural tentu sulit diterima, apapun alasannya. Ada sekian proses-proses penyesuaian dalam narasi kecil Islam nusantara yang tidak harus dinilai sebagai bid’ah, kafir, jumud dan seterusnya. Dengan demikian, Surau dalam kerangka demikian—meminjam sebutan yang digunakan Nurcholish Madjid untuk Pesantren di Jawa—tidak hanya identik dengan makna keislaman, namun juga mengandung keaslian (indigenous) yang berangkat dari kearifan lokal. Dengan kata lain, masyarakat Minangkabau juga memiliki kearifan tersendiri ketika Islam hadir dan mengidentifikasi diri terhadap unsur lokal. Kemampuan Tarekat Syattariyah melakukan pendekatan dengan cara sufistik terhadap membuat islamisasi yang terjadi di wilayah Minangkabau tidak mengancam fondasi dasar masyarakat Minang, bahkan memperkaya elemen-elemen kultural yang ada.

Dari perspektif ini,Taufik Abdullah melihat bahwa pembentukan tradisi—sebagai sesuatu yang dilestarikan dari masa lampau—lebih dari sekedar persoalan legitimasi, namun juga menyangkut persoalan otoritas dan kewenangan. Sesuatu yang disebutnya sebagai paradigma kultural untuk melihat dan memberi makna terhadap kenyataan, yang tumbuh dari proses seleksi, dimana harapan berbenturan dengan kenyataan, dan kebebasan ekspresi harus mencari bentuk terbaik dengan keharusan-keharusan sturktural. Pada saaat itu, tradisi dapat dianggap sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang mengarahkan sifat dan corak komunitas. Dengan kata lain, menurut Abdullah, tradisi telah memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal. Mengikatkan diri kepada sumber atau person-person masa lalu adalah sebuah keharusan bagi tarekat Syattariyah bila ingin memperkenalkan Islam dalam struktur adat yang sudah terbentuk. Bukankah terbentang jarak yang sangat jauh antara wilayah Minangkabau dengan pusat Islam di Timur Tengah? Dan disepakati oleh para ahli sejarah bahwa pengenalan Islam ke wilayah ini bukan dengan wajah kekerasan. Lalu bagaimana Islam mengidentifikasi diri jika tidak dengan melakukan penyesuaian pada taraf tertentu terhadap tradisi yang diyakini secara kolektif oleh masyarakat lokal, sebagaimana ia harus mengidentifikasi diri sebagai bagian otentik dari dunia Islam meskipun terpencil ? Sebagai kelanjutan dari menguatnya posisi agama dalam struktur adat Minangkabau, maka berakibat pula pada menguatnya kedudukan ulama dan guru-guru agama. Di bawah pengelolaan ulama-ulama tradisional, Surau-Surau melanjutkan peran-peran lamanya sebagai pusat pencerdasan masyarakat dengan warna tradisional yang kental.

:: Tulisan lengkap yang merupakan ringkasan dari Disertasi A. Taufik Hidayat diterbitkan dalam Jurnal Tabuah Edisi Januari-Juni 2011 (Redaktur : Muhammad Ilham)

Jumat, 12 November 2010

Masjid Raya Ganting - Padang

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sebagai salah satu kawasan yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di tanah air, terutama di pesisir Barat Sumatera, wilayah Sumatera Barat (Sumbar) terhitung kaya dengan berbagai peninggalan sejarah Islam.

Selain beragam seni dan budaya Islam yang terus berkembang di daerah tersebut, sejumlah bangunan tua, seperti masjid-masjid, yang menjadi saksi perkembangan Islam di kawasan tersebut hingga kini masih dapat ditemui. Di samping Masjid Muhammadan di Pasa Batipuah, Kelurahan Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan, Masjid Raya Ganting merupakan salah satu masjid tua di Kota Padang yang hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Dibandingkan masjid Muhammadan, usia Masjid Raya Ganting jauh lebih tua. Arsitektur Masjid Ganting merupakan perpaduan dari berbagai corak arsitektur karena pengerjaannya melibatkan beragam etnis seperti Belanda, Persia, Timur Tengah, Cina, dan Minangkabau. Bahan-bahannya dipilih yang bermutu tinggi. Untuk bahan kayu didatangkan dari Bangkinang, Riau (kayu Ulin), Kayu Rasak dari Indrapura, Pesisir Selatan dan Kayu Kapur dari Pasaman. Sedangkan seng, ubin, semennya didatangkan dari Eropa.

Cikal bakal masjid ini adalah sebuah surau dari kayu yang terletak tidak di lokasi itu pada 1700-an. Surau ini dibongkar karena terkena proyek jalan ke Emmahaven (Pelabuhan Teluk Bayur) yang dibuat Kolonial Belanda. Pada 1805 tiga pimpinan setempat, masing-masing seorang ulama, saudagar, dan pimpinan kampung di Ganting memusyawarahkan pendirian masjid. Mereka meminta bantuan saudagar-saudagar di Pasar Gadang (Padang Kota Lama) dan ulama tak hanya di Sumatra Barat, tapi hingga ke Sumatera Barat dan Aceh. Bantuan datang tak hanya dalam bentuk uang, tapi juga tenaga tukang ahli dari pedalaman Sumatra Barat (Minangkabau). Selama lima tahun, masjid ini siap pada 1810 dengan bahan kayu, batu kali, bata, dengan pengikat kapur dicampur putih telur. Bangunan yang dibangun bangunan utama sekarang ini.

Periode kedua pada 1900 hingga 1910 adalah periode pemasangan tegel yang didatangkan dari Belanda dengan semen, serta pembuatan bagian depan masjid yang mirip dengan benteng spanyol. Dalam pembangunan ini bantuan tenaga juga datang dari Komandan Zeni (Militer Belanda). Periode ketiga pembuatan menara kiri-kanan masjid hingga siap pada 1967. Sementara itu, etnis Cina di bawah komando Kapten Lou Chian Ko (Kapten 10) ikut mengerahkantukang-tukang Cina untuk mengerjakan atap kubah yang dibuat bersegi delapan mirip bangunan atap Vihara Cina. Begitu juga Mihrab tempat dimana Imam memimpin shalat dan menyampaikan khutbahnya juga dibuat ukuran kayu mirip ukiran Cina. Di bagian tengah masjid juga dibangun sebuah panggung segi empat dan kayu ukuran 4 yarm dan diberi ukiran Cina, tempat ini digunakan oleh bilal untuk mengulang aba-aba Imam sewaktu shalat berlangsung. Waktu itu, pengeras suara dan listrik belum dikenal. Hanya sayang kedua bangunan itu tahun 1974 dibongkar oleh pengurus masjid yang bertugas pada saat itu. Pada tahun 1803- 1819, ketika gerakan Ulama Padri mulai bangkit di Minangkabau, maka para ulama Padri juga mengambil peranan dalam pembangunan Masjid Raya Ganting kala itu. Peranan itu diberikan dalam bentuk pengiriman beberapa tukang ahli ukiran Minangkabau yang akan dibuatkan pada papan les plang atap masjid tersebut.

Pada tahun 1833 terjadi gempa bumi di Padang dan menimbulkan gelombang tsunami yang merambah sebagian besar Kota Padang. Masjid Raya Ganting termasuk bangunan yang selamat dan hantaman gelombang tsunami, Namun lantai batu Mesjid terpaksa diganti dengan lantai campuran kapur kulit kerang dan batu apung. Kini, masjid tua yang eksotis ini terdiri atas dua bagian besar yakni bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar Mesjid digunakan sebagai pelataran parkir, taman, perpustakaan masjid, ruangan wudhu, beduk, dan kamar tamir. Sementara, bagian dalam masjid berupa ruang lepas tempat shalat, mihrab di bagian barat sekaligus sebagai penentu arah kiblat, serta terdapat 25 tiang penyangga. Tiang sebanyak itu melambangkan 25 nabi atau rasul yang wajib diimani yang nama-namanya terukir indah dalam tulisan kaligrafi yang ada dalam masjid tersebut. Sedangkan pada bagian luarnya terdiri dari pelataran parkir yang memadai, taman, perpustakaan masjid, ruangan wudhu, beduk, dan kamar t’mir . Tiang-tiang ini berfungsi sebagai penyangga balok-balok kayu untuk penahan lantai bagian atas bangunan kayu yang mirip pagoda. Tiang-tiang yang juga terbuat dari bata merah dengan bahan perekat kapur dicampur putih telur ini sama sekali tidak menggunakan tulang besi. Bahkan balok-balok kayu hanya diletakkan di atasnya tanpa ikatan. Gempa 6,7 Scala Richter yang mengguncang Padang pada 10 April 2005 yang bersumber dari Kepulauan Mentawai meretakkan 15 tiang ini, bahkan satu di antaranya terjatuh sebagian puncaknya.

Tatanan atap Masjid Ganting berupa atap susun berundak-undak sebanyak 5 tingkat. Tingkat pertama bercorak tradisional segi empat mirip atap rumah adat tanpa gonjong. Sedangkan tingkat 2-4 berbentuk segi delapan seperti kelenteng. Ada celah di tiap bagian atap untuk pencahayaan. Masjid ini mempunyai 8 pintu pada bagian dalam dan 17 buah jendela bergaya Persia. Dalam perjalanan sejarah Kota Padang, masjid turut memberikan andil. Selain lokasi pengembangan agama Islam di Sumatera, juga pernah dijadikan lokasi Jambore Hisbul Wathan se-Indonesia pada 1932, dijadikan lokasi rapat pemuda pejuang di zaman proklamasi dan revolusi 1945. Pada 1942, Ir. Soekarno, yang kelak menjadi presiden RI pertama pernah menginap di rumah di belakang masjid dan selalu shalat di masjid ini.

Sumber : http://www.bogabi.com

Minggu, 07 November 2010

Geo-Kultural dan Silsilah Elite Minangkabau





Sumber : Makalah Kongres Apresiasi Seni dan Kebudayaan Minangkabau 2010

Syekh Taher Djalaluddin Al-Falaki (1869-1956) : Ulama Besar Semenanjung Malaysia Keturunan Minangkabau

Ditulis ulang : Muhammad Ilham (c) Tim Peneliti FIBA

"Kehadiran Thahir Djalaluddin, menurut Roff, telah menarik perhatian para ulama kaum tua di Semenanjung. Mayoritas para ulama tua ini merasa tersaingi dan terkesan kehadiran ahli falak ini menggerogoti otoritas dan domain keilmuan mereka" (William Roff)


Syekh Thahir Djalaluddin Al-Azhari Al-Falaki (selanjutnya disebut Thahir Djalaluddin) pada waktu kecil memiliki nama Muhammad Thahir. Beliau lahir di nagari Ampek Angkek Canduang, Bukittinggi pada tanggal 7 Desember 1869. Beliau kembali ke Rahmatullah pada tanggal 26 Oktober 1956 di Kuala Kangsar Perak, Malaysia. Secara genetik, Thahir Djalaluddin merupakan keturunan ”darah biru ulama”. Ayahnya bernama Muhammad, yang biasa dipanggil dengan Syekh Cangkiang. Gelar Syekh ini menunjukkan bahwa ayah Thahir Djalaluddin merupakan seorang ulama. Sementara itu, kakeknya bernama Ahmad Djalaluddin dengan gelar Tuanku Sami’, seorang kadi pada masa Paderi. Thahir Djalaluddin merupakan saudara sepupu dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sementara itu, ibu Thahir Djalaluddin, Limbak Urai, merupakan kakak dari Gandam Urai, ibu dari Syekh Ahmad Khatib. Thahir Djalaluddin memiliki empat orang saudara yaitu Aishah, Maryam, Muhammad Amin dan Halimah. Ketika beliau berumur 2 tahun, ayah Thahir Djalaluddin meninggal dunia dan enam tahun kemudian sang ibu-pun menyusul ke rahmatullah. Sejak itu, beliau diasuh oleh adik ibunya, Limbak Urai.

Thahir Djalaluddin mempunyai enam orang istri yang dinikahinya dalam waktu yang berbeda. Istri pertama beliau bernama Aishah binti Haji Mustafa yang dinikahinya ketika beliau pertama sekali tinggal di Kuala Kangsar. Dengan aishah ini, Thahir Djalaluddin dikaruniai enam orang anak yang bernama Rahmah, Muhammad Al-Johary, Ahmad, azizah, Hamid dan Hamdan. Sedangkan lima orang lagi istri beliau merupakan keturunan Minangkabau yang dinikahinya ketika Thahir Djalaluddin berkunjung ke Minangkabau. Dengan istri-nya yang lima orang keturunan Minangkabau tersebut, Thahir Djalaluddin tidak dikaruniai anak. Sampai akhir hayatnya, Thahir Djalaluddin tetap menjaga perkawinannya dengan istrinya yang pertama Aishah binti Haji Mustafa. Pada tahun 1880, Thahir Djalaluddin berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu Islam menyusul kakak sepupunya yang terlebih dahulu ke Mekkah. Syekh Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah tahun 1871. Di Mekkah ini, beliau belajar selama 13 tahun (dari tahun 1880-1893), termasuk belajar pada kakak sepupunya Syekh Ahmad Khatib. Karena Thahir Djalaluddin belum merasa puas selama belajar di Mekkah, Thahir Djalaluddin berangkat ke Mesir dan melanjutkan studinya di Al-Azhar selama 3 tahun (1895-1898). Kemudian beliau kembali lagi ke Mekkah dan bergabung sambil belajar dengan sepupunya yang pada waktu itu telah diangkat menjadi Guru dan Imam Mazhab Syafei di Masjidil Haram.
Limbak Urai merupakan istri dari Abdul Lathif Khatib Nagari yang merupakan tokoh di kampung halaman Thahir Djalaluddin ketika itu.Pada tahun 1898, beliau kemudian meninggal Mekkah dan menetap di Malaya. Intensitas kegiatan Thahir Djalaluddin kemudian selanjutnya terfokus di daerah Perak, Johor dan Singapura. Kalau tidak mendapat tantangan dari beberapa ulama tua-tradisionalis di Perak, beliau berkemungkinan besar diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak.

Ketika Thahir Djalaluddin berada di Mesir, beliau sempat menjadi anggota Majelis A’la Al-Azhar. Pada waktu ini, pamor Muhammad Abduh sedang naik dalam blantika pemikiran pembaharuan dunia Islam. Thahir Djalaluddin banyak menerima pemikiran-pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh yang bagi Thahir Djalaluddin sangat mencerahkan dan mengesankan. Dalam sejarah ulama-ulama Minangkabau, Thahir Djalaluddin merupakan ulama satu-satunya yang berkesempatan bersentuhan atau berinteraksi dengan dinamika pemikiran pembaharuan Islam di Mesir yang ”dikomandani” oleh Muhammad Abduh pada akhir abad ke-19 M. Ayah Hamka, Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) dan Haji Abdullah Ahmad pernah diundang pada tahun 1926 ke Kongres Internasional di Mesir untuk membahas khilafah dan sekaligus menerima penghargaan akademik Doktor Honoris Causa pada Kongres ini atas kontribusi mereka dalam pengetahuan keIslaman yang diakui oleh ulama Timur Tengah. Akan tetapi, mereka berdua ini tidak pernah belajar di Mesir se-intens Thahir Djalaluddin. Bahkan guru Thahir Djalaluddin, Syekh Ahmad Khatib, juga tidak pernah belajar di Mesir.

Setelah delapan tahun berada di Malaya, pada tahun 1906 Thahir Djalaluddin menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura. Latar belakang lahirnya majalah ini adalah keinginan Thahir Djalaluddin untuk mentransfer dan mensosialisasikan reformasi pemikirannya ke seluruh penjuru Melayu-Nusantara. Dalam majalah ini dimuat beragam artikel yang tidak hanya terfokus pada artikel-artikel ke-Islam-an saja, tapi juga memuat masalah perkembangan ilmu pengetahuan populer dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia yang pada prinsipnya memiliki keterkaitan dengan dunia Islam, serta juga memberikan inspirasi bagi kemajuan berfikir ummat Islam agar tidak ketinggalan dalam berkompetisi dengan dunia barat.
Dalam masalah ini, terutama yang bersangkutan dengan agama, Al-Imam seringkali merujuk majalah Al-Manar (majalah yang didirikan dan dipimpin oleh Muhammad Abduh) dan pendapat-pendapat dari Muhammad Abduh sendiri. Majalah ini terbit dua kali dalam sebulan yang mendapat apresiasi serta respon positif dan antusias di dunia Melayu-Indonesia. Disamping berbagai isu populer dan bersifat pencerahan, artikel yang menyerang tareqat juga sering dimuat dalam Al-Imam. Bahkan, secara terang-terangan Thahir Djalaluddin menyerang gerakan dan praktek tareqat. Suatu hal yang umum bagi ulama-ulama (khususnya yang berasal dari Minangkabau) murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan ”dipetakan” sebagai ulama pembaharu dalam dinamika dan dialektika sejarah pembaharuan Islam Indonesia.

Dari hasil penelusuran dan penyelidikan yang pernah dilakukan oleh beberapa orang, baik yangdietrbitkan dalam bentuk buku atau karya ilmiah yang tidak dipublikasikan, terlihat bahwa tulisan ataupun penelitian tentang Thahir Djalaluddin belum banyak dilakukan. Diantara yang pernah menulis tentang Thahir Djalaluddin adalah Hamka dalam bukunya Ayahku, sebagai tambahan (sumplemen) pada penerbitan ketiga yang dicetak pada tahun 1963. Bahan-bahan tulisannya tersebut diperoleh Hamka langsung dari Thahir Djalaluddin ketika Hamka bertemu dengan beliau pada tahun 1955 dan tahun 1956. Ketika membahas majalah Al-Imam, Hamka mendeskripsikan peranan Thahir Djalaluddin yang sangat signifikan. Thahir Djalaluddin juga diceritakan oleh Hamka bahwa ketika menjadi pengarang dan editor majalah Al-Imam tersebut, beliau melakukan perjalanan bolak-balik dari Semenanjung Malaya ke Mekkah dan Mesir. Ketika beliau meninggalkan Semenanjung Malaya, beliau menyerahkan kewenangan editornya pada sahabatnya, Abbas bin Muhammad Thaha, seorang keturunan Minangkabau yang lahir dan besar di Singapura. Hamka juga menuliskan bagaimana Thahir Djalaluddin, disamping berdakwah bersama para murid dan sahabat-sahabatnya, beliau juga menghempuskan semangat anti-kolonialisme.


Sementara itu, William Roff pernah menyinggung peranan Thahir Djalaluddin dalam reformasi dunia Islam Melayu-Indonesia dalam bukunya yang bertitelkan The Origins of Malay Nationalism pada tahun 1967 yang diterbitkan oleh Oxford University Press. Karyanya tersebut kemudian diterbitkan pada tahun 1974 di Kuala Lumpur dan edisi cetak-kedua diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 1994. Indonesianist Harry J. Benda bertindak sebagai penulis Pengantar pada buku edisi cetak kedua ini. Dalam buku ini, Roff mengemukakan bagaimana peranan Thahir Djalaluddin sebagai reformis Islam di Semenanjung dengan langkah-langkah gerakan menjadi editor utama dan mendirikan majalah Al-Imam bersama para sahabatnya. Kehadiran Thahir Djalaluddin, menurut Roff, telah menarik perhatian para ulama kaum tua di Semenanjung. Mayoritas para ulama tua ini merasa tersaingi dan terkesan kehadiran ahli falak ini menggerogoti otoritas dan domain keilmuan mereka. Roff juga menjelaskan bagaimana usaha-usaha ulama dari kaum tua yang berupaya untuk menghambat pencalonan Thahir Djalaluddin menjadi Mufti Perak.


Selanjutnya, Hamka juga pernah menulis tentang Thahir Djalaluddin dalam sebuah makalahnya yang dipresentasikan dalam Seminar Islam di Minangkabau. Tulisan yang dimuat dalam buku Islam dan Adat Minangkabau dan diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1985, menekankan pembahasannya pada peranan dua tokoh penting yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Thahir Djalaluddin beserta murid-muridnya dan implikasinya terhadap kemajuan Islam. Hamka memberika porsi tiga halaman pada perjalanan intelektual Thahir Djalaluddin dari kampung halamannya ke Mekkah, Mesir dan Semenanjung Malaya. Dalam makalah ini juga diceritakan bahwa Thahir Djalaluddin pernah kawin dengan salah seorang dara Minang ketika beliau pulang ke Minangkabau pada waktu pertama kali tahun 1923. Kedatangan Thahir Djalaluddin pada waktu itu cukup memberikan dampak yang signifikan terhadap semangat reformasi. Beliau berkeliling ke berbagai tempat di Minangkabau dan menghembuskan semangat perjuangan, bernuansa politis, menentang penjajah, akan tetapi tidak memakai pendekatan dan pemikiran ”komunis” yang pada masa itu lagi trend di Minangkabau, melainkan dari pendekatan Tauhid Islam. Keluarganya menjodohkan beliau dengan dara Minang asal Padang Panjang dengan harapan agar beliau betah tinggal di Minangkabau. Tetapi, tahun 1928, beliau kembali ke Singapura. Tahun 1928, beliau kembali lagi ke Minangkabau dan kemudian ditangkap oleh Belanda serta ditahan selama 6 bulan di penjara Bukittinggi dan Muara Padang. Ketika beliau pulang untuk yang kedua kalinya tersebut, Thahir Djalaluddin bersama-sama dengan HAKA dan Abdullah Ahmad, bersatu dalam menumpas paham komunis yang dikembangkan oleh salah seorang murid HAKA, Haji Datuk Batuah di Thawalib Padang Panjang.

Deliar Noer dalam disertasi Doktornya di Cornell University, Ithaca New York dengan judul The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 yang diterbitkan untuk kali pertamanya oleh Oxford University Press tahun 1973 juga menyinggung sedikit tentang Thahir Djalaluddin. Deliar Noer memfokuskan kontribusi Thahir Djalaluddin dalam memberikan pencerahan dan kedewasaan berpolitik masyarakat Minangkabau melalui majalah Al-Imam, dimana Thahir Djalaluddin merupakan salah satu ”tokoh kunci” majalah yang diterbitkan di Singapura ini. Disamping Deliar Noer, tulisan mengenai Thahir Djalaluddin juga pernah disinggung oleh Akhria Nazwar dalam bukunya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi : Ilmuan Islam di Permulaan Abad Ini. Sedangkan fokus mengenai majalah Al-Imam juga ditulis oleh Mahmud Yusuf dalam tesisi S2-nya yang berjudul Majalah Al-Imam Singapura : Suatu Studi Mengenai Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam pada Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1994. Kemudian Bachtiar Djamily, putra Syekh Muhammad Djamil Djaho, juga menulis buku tentang Riwayat dan Perjuangan Syekh Thaher Djalaluddin Al-Falaki Al-Azhari. Buku tersebut dicetak pertama sekali di Malaysia oleh penerbit Ashmah Publisher Kuala Lumpur tahun 1994 dan kemudian dicetak di Indonesia oleh Percetakan Kreasi Jaya Utama.


(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang

Beberapa Kitab/Buku Karangan Syekh Taher Djalaluddin Al-Falaki

Oleh : Muhammad Ilham (c) Peneliti FIBA

Beberapa penelitian lain yang pernah dilakukan oleh beberapa ilmuan tentang Thahir Djalaluddin, diantaranya Muhammad Sharim Mustajab, Abu Bakar Hamzah, Silfia dan lain-lainnya, memperlihatkan kepada kita bahwa Thahir Djalaluddin sangat menarik dan sangat layak untuk terus digali sejarah hidupnya. Pengembaraan intelektual dan aktifitasnya di beberapa tempat, secara historis-sosiologis tentunya memberikan implikasi terhadap masa dan area tempat interaksinya tersebut. Beliaulah merupakan salah satu figur kunci dalam sejarah pembaharuan pemikiran Islam di Melayu-Indonesia. Sebab, beliaulah ulama yang peling intensif mensosialisasikan pemikiran Muhammad Abduh, sang ”otaknya” pembaharuan Islam dunia pada awal abad ke-20 M. Oleh karena itu, tidaklah salah apabila penelitian-penelitian lanjutan sangat diharapkan untuk dapat diteruskan untuk melihat sisi-sisi lain dari pribadi Thahir Djalaluddin.

Beberapa karya tulis Thaher Djalaluddin, diantaranya : (1). Irsyadul Khaidhi li `Ilmil Faraidhi, Bagian yang pertama, diselesaikan pada hari Kamis, 12 Jumadil Akhir 1348 Hijrah. Cetakan pertama, Mathba'ah Al-Ahmadiah 82 Jalan Sultan, Singapura, 10 Rajab 1348 Hijrah/11 Desember 1929. Buku ini secara prinsip membicarakan masalah pembagian harta pusaka. Sementara itu bahagian yang kedua, diselesaikan pada hari Jumat, 9 Safar 1371 Hijrah. Cetakan pertama, oleh percetakan yang sama, 1371 Hijrah/1952 M. (2). Uraian Yang Membakar, Taman Persuraian Haji, diselesaikan pada tahun 1349 Hijrah. Isinya merupakan diskusi-polemik, membantah karangan Tuan Guru Haji Abu Bakar bin Haji Hasan, Qadhi Muar yang berjudul Taman Persuraian. Pokok perbicaraan ialah sembahyang sunat sebelum sembahyang Jumat. Kitab di atas dibantah lagi oleh Haji Abu Bakar Muar dengan karangannya Taufan Yang Memalui Atas Huraian Haji Thahir Al-Minkabawi, ditulis pada 10 Rabiul Awal 1351 H./1932 M.

(3). Perisai Orang Beriman Pengisai Mazhab Orang Qadyan
, diselesaikan pada 4 Rabiul Awal 1349 H./30 Jula 1930 M. di Singapura. Dicatatkan umur pengarang pada waktu itu adalah 62 tahun Qamariyah, 6 bulan genap. Atau 60 tahun Syamsiyah, 7 bulan, 23 hari. Isinya membantah ajaran Qadyani. Cetakan pertama oleh Setia Press, 32 Lorong 21 Geylang Singapura.(4). Ithaful Murid fi Ahkamit Tajwid, tanpa disebut tanggal selesai penulisan. Secara umum, kitab ini memuat materi pelajaran tajwid al-Quran. Cetakan yang ketiga, Jelutong Press, Pulau Pinang, 1349 H. /1931 M. Cetakan yang keempat, Mathba'ah Persama, Pulau Pinang, 1352 H./1933 M. (5). Ta'yidu Tazkirah Mutba'is Sunnah fir Raddi `alal Qa-ili bi Saniyati Raka'ataini Qablal Jum'ah, dalam bahasa Arab. Diselesaikan di Pulau Pinang pada 12 Syawal 1349 H. Kitab ini membahas perkara khilafiyah sembahyang sunat dua rakaat sebelum sembahyang Jumat. Dicetak oleh The United Press, 55 Achen Street, Penang, 1372 H. /1953 M. (6). Natijatul `Umur, diselesaikan: 1355 Hijrah/1936 Masihi. Kandungannya mendapatkan perkiraan/perhitungan pada taqwim tarikh hijriah dan miladiah, arah Kiblat dan waktu-waktu sembahyang yang bisa digunakan selama hidup. Dicetak oleh Penang Printer Press, Pulau Pinang, 1355 H./ 1936 M.

(7). Jadawil Pati Kiraan Pada Menyatakan Waktu Yang Lima Dan Hala Qiblat Dengan Logharitma
, diselesaikan 15 Syaban 1356 H. Secara umum, materi yang dibahas dalam kitab ini adalah perhitungan falakiyah. Pada halaman 13 ada dicatat bahwa gurunya al-'Allamah Syeikh Muhammad bin Yusuf al-Khaiyath, ulama al-Haramul Makkah yang mengajar berbagai ilmu di Masjidil Haram khususnya `ilmul hisab dan `ilmul falak. Kemudian ulama tersebut dilantik menjadi Syekh al-Islam Kedah yang meninggal dunia di Batuban, Pulau Pinang, pada malam Rabu, 17 Rajab 1333 H. Cetakan yang pertama oleh Al-Ahmadiah Press Singapura, 1357 H./1938 M. Dicetak dalam bentuk kombinasi Melayu/Jawi dan Latin/Rumi. (8). Nukhbatut Taqrirat fi Hisabil Auqat wa Sammatil Qiblat bil Lugharitmat, tanpa dinyatakan tahun selesai penulisan. Kandungannya membicarakan kaedah ilmu falak. Uraiannya ditulis dalam bahasa Arab sedangkan jadwal yang menggunakan angka ditulis dalam angka Rumi/Latin. Cetakan yang pertama, Royal Press, 745 North Bird Road, Singapura, 1356 H./1937 M., dan

(9).
Al-Qiblah fi Nushushi `Ulamais Syafi'iyah fi ma Yata'allaqu bi Istiqbalil Qiblatis Syar'iyah Manqulah min Ummuhat Kutubil Mazhab, tanpa dinyatakan tanggal penulisan buku ini diselesaikan. Kandungannya membahas seluk beluk ilmu falak. Dicetak oleh Mathba'ah Az-Zainiyah, Taiping 1951, atas lisensi atau izin dari Majelis Ugama Islam dan Adat Melayu Perak, No. (18) dlm. Pk. Red. Dept 110/50, bertanggal 21 September 1950. Terdapat delapan nama ulama yang mengesahkan, yaitu Haji Abdullah Pak Him, Mufti Pulau Pinang, Haji Ahmad bin Tuan Husein Kedah, Guru Besar Sekolah Arab Pokok Sena Seberang Perai, Haji Syihabuddin bin Abdus Shamad Sungai Dua, Haji Hamzah bin Haji Muhammad Ali Pak Jak Sung, Seberang Perai, Haji Muhammad Saleh al-Masri, Sekolah Arab Bukit Martajam, Haji Muhammad Sa'ad al-Masri, Sekolah Arab Bukit Martajam, Abdul Halim Utsman Mudir Al-Ma'had al-Mahmud Alor Setar dan Muhammad Nawawi bin Muhammad Tahir, Guru Agama Perak

Ragam Rumah Adat Minangkabau

Diedit : Muhammad Ilham



Istano Daulat Dipertuan Bagindo Sultan

Istano Tuan Rajo Malenggang

Istano Tuanku Rajo Bagindo

Rumah Gadang Balenggek (Tuan Gadang)

Rumah Gadang Gajah Maram (Luhak Tanah Datar)

Rumah Gadang Rajo Babandiang

Rumah Gadang Sitinjau Lauik (Pengulu Pucuak)

Rumah Gadang Surambi Aceh (Kubuang XIII)

Rumah Gadang Surambi Papek (Luhak Agam)

Rumah Gadang Puncak Limo

Rumah Lontiak Rantau Kampar

Rumah Adat Tungkuih Nasi

Rumah Gadang Panjang (Sulit Air, Kinari, Rantau XII Koto, jambu Lipo)

Sumber : Rumusan Kongres Apresiasi Budaya Minangkabau - 2006

Rumusan Kongres Apresiasi Seni dan Kebudayaan Minangkabau Tahun 2006






Senin, 01 November 2010

A.R. Soetan Mansoer (1895-1985)

Oleh : Muhammad Ilham

Ranah Minang pernah melahirkan salah seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Ahmad Rasyid Sutan Mansur, atau yang kemudian biasa dan popular dipanggil dengan AR. St. Mansur/A.R. Soetan Mansoer

Ia lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam Senin 26 Jumadil Akhir 1313 Hijriyah yang bertepatan dengan 15 Desember 1895 Masehi. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara yang merupakan karunia Allah pada kedua orang tuanya, yaitu Abdul Somad al-Kusai, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan ibunya Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah tokoh dan guru agama di kampung Air Angat Maninjau. Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari kedua orang tuanya. Di samping itu, untuk pendidikan umum, ia masuk sekolah Inlandshe School (IS) di tempat yang sama (1902-1909). Di sinilah ia belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari untuk studinya di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukit tinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah tersebut. Namun tawaran tersebut ditolaknya, karena ia lebih tertarik untuk mempelajari agama, di samping saat itu ia sudah dirasuki semangat anti-penjajah Belanda. Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajahan tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia akan tetapi bahkan seringkali berupaya menghadang dan mempersempit gerak syiar agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau sacara tidak langsung dan tersembunyi seperti dengan membantu pihak-pihak Zending dan Missi Kristen dalam penyebarluasan agamanya. Tidaklah mengherankan bila pada tahun 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup.

Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan-pertemuan di waktu menjelang Maghrib.
Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah) ia belajar kepada Haji Rasul, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Di bawah bimbingan Haji Rasul selama tujuh tahun (1910-1917) ia belajar tauhid, bahasa Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf, Al-Qur'an, tafsir, dan hadits dengan mustolah-nya. Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya HAMKA serta diberi gelar Sutan Mansur. Setahun kemudian ia dikirim gurunya ke Kuala Simpang Aceh untuk mengajar. Setelah dua tahun di Kuala Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.

Pemberontakan melawan Inggris yang terjadi di Mesir untuk melanjutkan studinya di universitas tertua di dunia, Universitas al-Azhar Kairo, karena ia tidak diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya ia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya. Kegelisahan pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan Ahmad Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dengan Persyarikatan Muhammadiyah (1922), dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama para pedagang dari Sungai Batang Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah di Pekalongan. Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkan di Sumatera Barat, yaitu agar ummat Islam kembali pada ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat ummat Islam terbelakang dan tertinggal dari ummat-ummat lain. Di samping itu, ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban seusai menunaikan Shalat Iedul Adha dan membagi-bagikannya pada fakir miskin.


Pada tahun 1923, ia menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan keberadaan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah cabang Pekajangan, Kedung Wuni di samping tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama. Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di Ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat.
Pada tahun 1927 bersama Fakhruddin, ia melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaannya dan kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun berhasil mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai. Dengan demikian, antara tahun 1926-1929 tersebut, Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.

Selain dalam Muhammadiyah, Sutan Mansur – sebagaimana Ahmad Dahlan – pada dasawarsa 1920-an hingga 1930-an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat dengan HOS. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Keluarnya ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih memilih Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan disiplin organisasi bagi anggota Muhammadiyah. Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Oleh karena itu, pada tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah (sekarang : Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah) daerah Minangkabau (Sumatera Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga tahun 1944. Bahkan sejak masuknya Jepang ke Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan Sumatera dan Jawa.


Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang, tempat membina muballigh tingkat atas. Di sini dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitar. Kelak muballigh-muballigh ini akan memainkan peran penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan roda persyarikatan Muhammadiyah.
Ia oleh Konsul-konsul daerah lain di Sumatera dijuluki Imam Muhammadiyah Sumatera. Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938, Sutan Mansur menjadi penasehat agama Islam bagi Bung Karno. Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi salah seorang anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan DPRD) mewakili Sumatera Barat. Setelah itu, sejak tahun 1947 sampai 1949 oleh wakil Presiden Mohammad Hatta, ia diangkat menjadi Imam atau Guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukit tinggi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.

Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1950, ia diminta menjadi Penasehat TNI Angkatan Darat, berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akan tetapi, permintaan itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera, bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden Soekarno memintanya lagi menjadi penasehat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukit tinggi ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya . Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta. Dalam konggres Masyumi tahun 1952, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Syura Masyumi Pusat. Setelah pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi sejak Konstituante berdiri sampai dibubarkannya oleh presiden Soekarno. Tahun 1958 ketika pecah pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia ) di Padang , ia pun berada di tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno, meskipun peran yang dimainkannya dalam pergolakan itu diakuinya sendiri tidak terlalu besar.


Ia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam dua kali periode kongres. Kongres Muhammadiyah ke-32 di Banyumas Purwokerto pada tahun 1953 mengukuhkannya sebagai Ketua PB Muhammadiyah periode tahun 1953-1956. Oleh karena itu, ia pun pindah ke Yogyakarta . Pada kongres berikutnya yaitu kongres Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi ketua PB Muhammadiyah periode tahun 1956-1959. Dalam masa kepemimpinannya, upaya pemulihan roh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal, pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam roh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhid; kedua, mengusahakan buq'ah mubarokah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji al-Qur'an, mengaji al-Qur'an untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunat hari senin dan kamis, juga pada tanggal 13 ,14, dan 15 bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan taqwa. Di samping itu juga diupayakan kontak-kontak yang lebih luas antar pemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara majelis dengan cabang atau ranting banyak di selenggarakan. Dalam periode kepemimpinannya, Muhammadiyah berhasil merumuskan khittahnya tahun 1956-1959 atau yang lebih populer dengan sebutan Khittah Palembang, yaitu :
(1). Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mepertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu' dan tawadlu', mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab, (2). Melaksanakan uswatun hasanah, (3). Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi, (4). Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak, (5). Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader, (6). Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan islah untuk mengantisipasi bila terjadi potensi keretakan dan perselisihan, dan (7). Menuntun penghidupan anggota.

Meskipun setelah 1959 tidak lagi menjabat ketua, Sutan Mansur yang sudah mulai uzur tetap menjadi penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke periode. Ia meski jarang sekali dapat hadir dalam rapat, konferensi, tanwir, dan Muktamar Muhammadiyah akan tetapi ia tetap menjadi guru pengajian keluarga Muhammadiyah. Buya Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa tulisannya yang antara lain berjudul Jihad; Seruan kepada Kehidupan Baru; Tauhid Membentuk Kepribadian Muslim; dan Ruh Islam nampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam Islam. Doktrin-doktrin Islam ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan al-Qur'an sendiri dan hadits.

Buya H. Ahmad Rasyid Sutan Mansur akhirnya meninggal pada hari Senin tanggal 25 Maret 1985 yang bertepatan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang ulama, da'i, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap hari Ahad pagi senatiasa memberikan pelajaran agama terutama tentang Tauhid di ruang pertemuan Gedung Muhammadiyah jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Jenazah almarhum buya dikebumikan di Pekuburan Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan setelah dishalatkan di masjid Kompleks Muhammadiyah. Buya Hamka menyebutnya sebagai ideolog Muhammadiyah dan M. Yunus Anis dalam salah satu kongres Muhammadiyah mengatakan, bahwa di Muhammadiyah ada dua bintang. Bintang Timur adalah KH. Mas Mansur dari Surabaya, ketua PP Muhammadiyah 1937-1943 dan bintang Barat adalah AR. Sutan Mansur dari Minangkabau, ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.


Sumber : Suara Panjimas (April 1988) dan Yerli Efrita (1994)

Hj. Aisyah Aminy : Perempuan Baja Vokalis Senayan (1)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Di saat dunia politik dimonopoli kaum laki-laki, ia tampil ke depan. Bukan saja seorang parlementarian yang terampil berdebat, ia juga seorang pejuang gender yang tak kenal lelah. Siapapun yang melek politik, pasti mengenal nama Hj. Aisyah Aminy, SH, di kancah perpolitikan Tanah Air. Bertahun-tahun berkecimpung di dunia partai dan legislatif, perempuan ini punya banyak nama julukan. Singa Betina dari Senayan, Perempuan Baja dari Senayan, Vokalis DPR dan sebagainya.

Politisi wanita kawakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menerima anugerah Bintang Jasa Utama dari pemerintah pada HUT Kmerdekaan RI ke-59 17 Agustus 2004. Walau sudah memasuki usia anugerah di atas 70 tahun, wanita kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat 1 Desember 1931 ini masih tetap lantang memperjuangkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya termasuk jatah kuota 30 persen perempuan di parlemen. Dia, bersama tokoh-tokoh wanita lainnya mendirikan Kaukus Perempuan untuk tujuan dimaksud.
Ia tampak tak keberatan. Dalam pemikirannya hanyalah bagaimana dirinya dapat mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin untuk bangsa dan negara. Selain kiprahnya di dunia politik melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang turut dibesarkannya, ia juga punya peran yang sangat besar di bidang emansipasi perempuan. Ketika isu gender baru mencuat, nama Aisyah bahkan sudah duluan disebut-sebut sebagai salah satu pelopor kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah publik.

Hal itu tidak mengherankan, karena sejak baru belajar berorganisasi, Aisyah sudah merasakan ketidakseimbangan peran perempuan di luar bidang domestik atau rumah tangga. Aisyah ingin perempuan juga punya kesempatan yang sama dalam segala bidang. Maka, ia pun berjuang memasukkan pasal-pasal kesetaraan gender dalam berbagai rancangan undang-undang maupun dalam prinsip-prinsip partainya yang bernafaskan Islam. Aisyah dididik keluarganya dalam lingkungan yang religius, yang terus terbawa dalam setiap tindakan, prinsip dan pemikirannya sampai masa tuanya. Sejak muda, Aisyah sudah belajar berorganisasi. Di masa perang kemerdekaan, seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Penolong Kecelakaan Korban Perang (BPKKP), bahkan menjadi wartawan perang Sumatera Tengah. Kemudian, Aisyah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang dideklarasikan 5 Februari 1947 di kampus Universitas Islam Yogyakarta (sekarang Universitas Islam Indonesia/UII) dimana ia menuntut ilmu.

Dedikasinya untuk kemajuan bangsa diwujudkan dengan menyisihkan waktu menjadi guru di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Puteri Yogyakarta. Tahun 1955, ia juga mengajar di SMA Puteri Yogyakarta dan menjadi dosen di Universitas Tjokroaminoto Yogyakarta dua tahun kemudian. Meski sibuk mengajar, perkuliahannya tidak terganggu. Tahun 1957, ia lulus dan menjadi perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum). Aisyah juga dikenal dekat dengan para tokoh nasional. Selain dengan Mr. Mohammad Roem, di mana Aisyah menjadi anggota tim advokasinya, juga dekat dengan Buya HAMKA.

Pada bulan April, ia bersama Anwar Haryono SH, Djamaludin Datuk Singo Mangkuto SH, Dr a Halim, Hasjim Mahdan SH, Harjono Tjitrosubono SH, Hadely Hasibuan SH, Padmo Susanto SH, Sudjono SH, Suroto SH, Drs Syarif Usman, Dr AM Tambunan SH dan Thamrin Manan SH, mendirikan lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LP HAM). Kiprah di parlemenPada tanggal 20 Februari 1968, Presiden Soeharto mengesahkan berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai ini menampung aspirasi ormas-ormas Islam, misalnya Muhammadiyah, Jamiyatul Wasliyah, Gasbindo, Persatuan Guru-guru Agama Seluruh Indonesia, bahkan Wanita Islam. Sejak awal, Aisyah terlibat dalam pembentukan Parmusi yang saat itu ketua umumnya adalah Moh. Roem. Aisyah masuk dalam kepengurusannya sampai 1970, saat kepemimpinan diambil-alih J Naro. Tahun 1973, empat partai Islam (termasuk Parmusi) difusikan ke dalam PPP. Karena keaktifan Aisyah di Parmusi, kemudian PPP, membawanya ke kancah perpolitikan di Senayan, sebagai anggota MPR RI periode 1977-1987. Bersama fraksinya ketika itu, Aisyah ikut menentang Rancangan Ketetapan MPR No. II tahun 1978. Alasannya, jika Rantap itu menjadi Tap MPR, masyarakat akan mengkeramatkan Pancasila secara berlebihan dan mengesampingkan agama yang dianutnya. Periode 1987-1992, Aisyah menjadi anggota DPR/MPR RI. Ia duduk di Komisi II yang membidangi masalah politik dalam negeri dan pertanahan. Di masa jabatannya ini, Aisyah banyak melontarkan kritik terhadap pemerintah, di antaranya disampaikan langsung dalam dialognya dengan Menteri Dalam Negeri, agar pemerintah tidak memaksa rakyat memilih Golkar. Memang, akibat pemaksaan kehendak ini, dampaknya sangat terasa terhadap PPP. Dari soal mempersulit mengambil rapor anak sampai teror dialami para kader PPP. Hal inilah yang ditentang Aisyah ketika itu. Sebab, jelas-jelas terlihat ada upaya pengerdilan PPP secara sistematis, sehingga sulit mengembangkan partai dan merekrut kader-kader baru.

Aisyah dan partainya juga menentang keharusan pegawai negeri memilih Golkar dan larangan pemerintah kepada partai-partai politik untuk berkiprah di desa-desa, kecuali Golkar. Bukan Aisyah namanya kalau ia tidak berusaha untuk mengembangkan pemikirannya di tataran yang lebih tinggi. Pada proses penyiapan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Aisyah sering diundang Sekjen Wakahamnas. Di masa Orde Baru, GBHN selalu berasal dari presiden. Begitu GBHN masuk dalam tingkat pembahasan di MPR, akan sulit mengubahnya. Sebelumnya ide-ide tentang GBHN ini didiskusikan dulu pada pertemuan terbatas dengan ormas, partai-partai politik, kalangan birokrasi dan kalangan kampus oleh Wakahamnas. Lewat pembahasan-pembahasan itulah Aisyah berusaha memasukkan ide-idenya ke dalam GBHN. Namun saking sulitnya, kalau pun ide-ide itu masuk, hanya sebatas hal-hal yang umum dan bukan hal-hal strategis. Salah satu yang disoroti Aisyah dan fraksinya ketika itu adalah Trilogi Pembangunan, yakni pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. F-PP menginginkan GBHN menitikberatkan pada pemerataan. Tapi pemerintah malah menitikberatkan pertumbuhan, yang ditandai dengan pembangunan di kota-kota besar dengan peningkatan sampai tujuh persen. Padahal, menurut Aisyah, daerah-daerah justru sangat tertinggal pertumbuhannya dan perekonomiannya sangat rendah. Itulah sebabnya, ia lebih setuju jika yang dikedepankan adalah pemerataan. Aisyah bahkan mengangkat isu transmigrasi yang ketika itu sedang digalakkan pemerintah. Menurutnya, sentralisasi pembangunan di Jawa membuat program transmigrasi tidak berhasil, karena lebih banyak orang daerah yang datang ke Jawa dibandingkan orang Jawa yang bertransmigrasi ke daerah.

Masih belum cukup, perempuan yang pernah menjadi anggota Komnas HAM ini mengkritik masalah pertanahan, dimana pemerintah seringkali mengambil paksa tanah rakyat tanpa ganti rugi. Juga dikritiknya gaji pegawai negeri yang rendah. Gaji yang tidak mencukupi kebutuhan ini menjadi pemicu korupsi. Masih dipercaya Tahun 1992-1997, Aisyah dipercaya lagi sebagai anggota DPR/MPR RI dan duduk di Komisi I. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan dipercaya sebagai ketua Komisi I yang ketika itu membidangi pertahanan, keamanan, luar negeri dan penerangan.Periode 1997-1999, ia kembali dipercaya sebagai ketua Komisi I. Hal ini amat berkesan bagi dirinya, karena komisi ini terkenal 'berat' dan ia adalah perempuan pertama yang menjadi ketua komisi ini. Apalagi dirinya berasal dari partai Islam, yang seringkali menimbulkan kesan kurang memberikan kesempatan pada kaum perempuan. Selama di Komisi I, Aisyah banyak melontarkan kritik, saran dan gugatan. Suaranya yang lantang dan argumentasinya yang tajam dalam rapat-rapat komisi maupun rapat pleno sangat dikenal. Bahkan, orang tidak perlu melihat siapa yang berbicara, karena sudah mengenal suara dan gaya bicaranya. Aisyah mengkritik tindakan represif TNI di Aceh dan Papua, tempat-tempat perjudian yang di-backing pejabat dan aparat keamanan, peredaran Narkoba, bahkan UU Pers, khususnya Peraturan Menteri Penerangan No. 10 tahun 1984 yang memasung kebebasan pers, juga undang-undang perfilman yang menyulitkan para sineas berkreasi. Ia bahkan dengan berani mengkritik kenetralan TNI/Polri (dulu masih bernama ABRI) yang kala itu sangat memihak Golkar. Tak tanggung-tanggung, kritik itu disampaikan langsung saat pertemuan pimpinan partainya dengan Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno.

Kawan-kawannya mengenal Aisyah sebagai anggota Dewan yang sering turun langsung ke daerah. Di sana, ia bertemu langsung dengan rakyat dan mendengarkan keluhan mereka. Semua itu tidak hanya diendapkan, melainkan langsung didiskusikan dan dicari solusinya bersama kawan-kawannya di DPR. Setelah tidak menjadi ketua Komisi I DPR/MPR, periode 1999-2004, Aisyah dipercaya F-PP duduk dalam Badan Pekerja MPR sebagai wakil ketua Panitia Ad Hoc II, yang mempersiapkan rancangan ketetapan-ketetapan selain GBHN dan Perubahan UUD 1945. Mencermati peristiwa-peristiwa sejarah di Indonesia, tampaklah bahwa Aisyah Aminy selalu hadir di dalamnya sebagai komponen yang ikut berjuang dan berperan serta. Ia menjadi saksi sejarah sejak zaman penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Ia pejuang kemerdekaan, aktivis di masa Orde Lama, ikut meletakkan dasar Orde Baru sekaligus mengkritisinya. Ia menjadi saksi pergantian lima presiden Republik Indonesia, sejak zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Puteri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Aisyah Aminy adalah perempuan baja yang tegar dan konsisten dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakininya.

Sumber : Buku Tokoh Wanita Indonesia (2005)

Hj. Aisyah Aminy : Perempuan Baja Vokalis Senayan (2)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Malang melintang di dunia politik yang penuh godaan duniawi, sikap hidup Aisyah Aminy tetap konsisten. Idealismenya tak lekang dan jiwanya yang religius tak tergoyahkan. Dia politisi perempuan religius yang ditempa sejak kecil oleh keteladanan orangtuanya. Meski usianya sudah lebih dari 70 tahun, Hj Aisyah Aminy SH tetap terlihat sehat, prima dan lebih muda dari usianya. Bicaranya tetap lantang dan jernih, tak berubah seperti saat ia masih menjalani hari-harinya di parlemen. Perempuan Minang ini, selama tiga dasawarsa dikenal sebagai tokoh perempuan nasional yang menjalani berbagai peran politik dan sosial bersama tokoh-tokoh nasional lainnya. Perempuan kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat dan anak ketujuh dari delapan bersaudara, itu sejak kecil dididik dalam lingkungan yang sangat religius. Maklumlah, selain orangtuanya yang memang dekat dengan ajaran agama, di daerahnya banyak berdiri perguruan agama terkenal seperti Perguruan Diniyah dan Diniyah Puteri, Sumatera Thawalib dimana Buya HAMKA dan KH Zarkasyi-pimpinan Pondok Pesantren Gontor-pernah menimba ilmu, HIS Muhammadiyah, Kulliyatul Muballighien, Muballighot dan Madrasah Irsyadun Irsyad. Ayahnya, H Muhamad Amin, berperan sangat penting dalam mendidik anak-anaknya. Sang ayah dan ibu Aisyah, Hj. Djalisah, meski tidak berpendidikan formal akan tetapi selalu memberikan teladan yang baik bagi mereka.

Dari sang ayahlah Aisyah dan saudara-saudaranya belajar menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan moralitas. Itu sebabnya, selama malang melintang di dunia politik yang penuh intrik dan godaan duniawi, nama Aisyah Aminy tidak pernah dikaitkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Kejujuran ayahnya yang bekerja sebagai pedagang itu begitu membekas dalam kenangan Aisyah. Suatu hari, tuturnya, ada seorang pembeli yang lupa mengambil uang kembalian dan pergi begitu saja. Ayahnya menyuruh Adnan, anak keempatnya, untuk mengejar si pembeli dan memberikan uang kembalian itu. Ayahnya juga selalu membersihkan timbangannya sebelum digunakan lagi agar takaran barangnya tepat dan ia tidak mengurangi hak orang lain. H Muhammad Amin adalah seorang otodidak. Ia bisa membaca karena sering memperhatikan huruf-huruf dan angka-angka yang tertera pada kemasan barang yang dijualnya. Dengan semangat belajar yang tinggi, dirangkainya satu demi satu huruf-huruf itu sampai ia pun menjadi lancar membaca. Bersama isterinya, H Muh Amin juga menambah pengetahuan agamanya dengan mengikuti ceramah-ceramah agama, yang antara lain diberikan oleh Dr H Karim Amarullah (ayah Buya HAMKA).

Semangat belajarnya itu ditularkan kepada anak-anaknya. Semua anaknya bersekolah, bahkan ada yang sampai ke Jawa. Sampai saat ini, yang masih aktif selain Aisyah adalah Rahmah Aminy, kakak Aisyah yang keenam. Rahmah menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta. Adik Aisyah, si bungsu Dr. Wardiyah Aminy pernah memimpin poliklinik Departemen Agama dan saat ini masih berpraktik dokter di Rumah Sakit Rawamangun Jakarta. Sedangkan kakak keempat Aisyah, Adnan Syamny sempat dikirim Pak Natsir ke Pakistan untuk mempelajari UUD Pakistan pada awal kemerdekaan. Kakaknya yang kelima, Rusli Aminy, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan pernah menjadi dosen di Trisakti dan UPN.

Dari ayahnya, Aisyah belajar tentang kejujuran, semangat menimba ilmu, dan sikap religius. Maka dari ibunya, ia belajar kedisplinan dan tanggung jawab. Aisyah tidak boleh meninggalkan sholat lima waktu dan tidak lupa mengerjakan pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawabnya. Aisyah muda tidak pernah mendengar orangtuanya berkata dengan lisan bahwa mereka mendukung penuh kegiatannya berorganisasi sejak masih duduk di perguruan Diniyah Puteri Bahagian B (setingkat SMP). Tetapi mereka menunjukkan dengan tindakan. Kebiasaan Aisyah setiap liburan sekolah, adalah pulang kampung ke Nagari Magek Kabupaten Agam. Ia diminta teman-temannya untuk memimpin kegiatan bagi masyarakat di desanya yang kebanyakan tidak berpendidikan. Timbullah ide, ia dan teman-temannya kemudian mengundang guru-guru dari kota untuk memberikan ceramah pada penduduk. Buya HAMKA pun pernah diundangnya. Maka, tampaklah dukungan orangtuanya, dengan menyediakan kamar di rumah mereka untuk menginap para penceramah, menjamunya dengan baik, sampai menyediakan fasilitas bagi anak-anak muda yang melakukan kegiatan positif tersebut. Dedikasi Aisyah Aminy tidak terbatas hanya di parlemen. Pada usia 70-an pun ia masih memperjuangkan persamaan gender yang dirasakannya berjalan lambat. Sejak muda, Aisyah sudah dikenal sebagai perempuan yang ingin diperlakukan sejajar dengan kaum laki-laki. Kalau ada teman laki-laki yang meremehkan kemampuannya, serta merta ia akan menunjukkan bahwa pendapat itu salah. Hal itu dilakukannya dengan elegan dan terbukti bahwa ia memang mampu.