Sabtu, 09 April 2011

Melihat HAMKA dari Tiga Variabel

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam tradisi ilmu antropologi dan sosiologi dikenal adanya pendekatan approach model (model penghampiran), menghampiri seorang tokoh dalam konteks "kehadirannya". Bila hal ini dilakukan terhadap figur seorang Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), maka pertanyaan yang mengemuka adalah : "Seandainya HAMKA bukan anak Dr.H. Abdul Karim Amrullah atau Inyiak Rasul, apakah ia bisakita pahami seperti sekarang ini?". Mengutip David Learner yang memperkenalkan pendekatan ini, maka asumsi dasarnya tidak hanya terbatas pada terdapatnya hubungan genealogis antara anak dan ayah yang memiliki pengaruh tertentu terhadap perkembangan seseorang. Paling tidak, dari "garis keturunan" ayahnya, maka HAMKA berasal dari keturunan "menengah". Konsep "menengah" tidak dipahami sebagai suatu keluarga atau masyarakat yang berasal dari strata sosial ekonomi (sebagaimana halnya yang dipahami dalam sosiologi sebagai sektor primer), tapi untuk kasus HAMKA lebih kepada sektor "jasa" (tertier). Dengan demikian, maka HAMKA agak berbeda dengan anak-anak yang lahir pada waktu itu. Lingkungan HAMKA kala ia lahir dan tumbuh berkembang memungkinkan ia untuk memaksimalkannya secara kreatif dan optimal. Perkembangan inilah yang kemudian menuntun perkembangan pribadinya hingga tua. "Faktor Anak" dari Inyiak Rasul merupakan variabel penting lainnya dalam kehidupan HAMKA. Sang ayah, Inyiak Rasul, merupakan sistem lingkungan dimana sang Ayah menjadi faktor pembentuk lingkungan tertentu yang sangat mempengaruhi kesadaran intelektual HAMKA dan masyarakat sekitarnya, sebagaimana yang ditulis HAMKA dalam bukunya yang "unik-fenomenal", Ayahku. Kehadiran Inyiak Rasul dalam masyarakat Minangkabau kala itu telah melahirkan dan menstimulus lahirnya dinamika-dinamika tertentu. Konflik-konflik pemikiran "kaum muda-kaum tua" - sebagaimana yang dikatakan oleh Taufik Abdullah dan Deliar Noer - hampir secara keseluruhan dimotori oleh ayah HAMKA.

Dalam situasi dan peran sosial ayahnya seperti inilah, HAMKA dibesarkan. Dan sudah barang tentu, bila Inyiak Rasul menginginkan HAMKA, anaknya, menjadi orang besar pula. Inyiak Rasul menginginkan HAMKA "menghampiri" peran dan status sosialnya. Karena itulah, dalam buku-nya Kenang-Kenangan, HAMKA mendeskripsikan "kegirangan" ayahnya ketika HAMKA lahir. Segera setelah HAMKA lahir dan mendengar tangisan melengking, Inyiak Rasul terkejut dari pembaringan dan serentak berkata : ..... "Sepuluh Tahun!!". Ini kemudian membuat nenek HAMKA bertanya pada Inyiak Rasul, "Apa maksud 10 tahun itu guru mengaji ?" (nampaknya, mertua Inyiak Rasul, orang tua dari ibu HAMKA memanggil Inyiak Rasul dengan "guru-mengaji", bukan ananda atau Angku - panggilan "guru mengaji" merupakan panggilan penghormatan yang beraurakan profesional). Inyiak Rasul menjawab bahwa HAMKA dalam umur 10 tahun diharapkan dapat belajar di Mekkah. Mekkah kala itu menjadi "kiblat" prestisius pencerahan intelektual, khususnya bagi orang Minangkabau. Harapan ini dikemukakan oleh Inyiak Rasul agar HAMKA dapat mengikuti jejak intelektual "leluhurnya" yang dikenal alim. Dan memang, meskipun HAMKA dalam usia 10 tahun tak belajar di Mekkah, tapi oleh ayahnya, HAMKA di "godok" di Madrasah Thawalib", suatu institusi dan sistem pendidikan yang tersohor kala itu di Nusantara (bahkan Asia Tenggara). Madrasah Thawalib merupakan eksperimen terbaik dari Inyiak Rasul.

Apabila situasi sang ayah merupakan salah satu faktor dalam membentuk perkembangan intelektual HAMKA, maka faktor lainnya adalah lembaga asimilasi "adat-Islam". Lembaga ini mempercepat atau meletakkan dasar-dasar situasional bagi HAMKA untuk berkembang. Islam yang datang dari Aceh ke Minangkabau (via-Ulakan), tidaklah menghapus adat istiadat yang telah berkembang sebelumnya. Bahkan menurut HAMKA (termasuk Tan Malaka), adat Minangkabau yang disusun oleh Islam atau dipakai oleh Islam untuk melancarkan kehendaknya, mengatur masyarakat Minangkabau dengan alat yang telah tersedia padanya. Termasuk didalamnya mekanisme pengaturan harta pusaka suku yang turun temurun menurut jalur keibuan (matriarkal). Oleh karena itu, HAMKA menilai bahwa Islam di Minangkabau bukanlah tempelan dalam adat, melainkan suatu susunan Islam yang dibuat menurut pandangan Minangkabau. Dalam situasi "adat-Islam" yang telah terasimilasikan dalam bentuknya yang sedemikian rupa-lah yang menyebabkan proses sosialisasi nilai-nilai Islam berjalan lancar kedalam diri HAMKA. Sebab, disamping masyarakat telah bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, juga dalam masyarakat semacam itulah akan tumbuh berkembangnya dengan potensial lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam jumlah yang sangat besar menjadi sesuatu hal yang tidak mustahil. Peran sosial serta harapan ayah HAMKA terhadap dirinya diperkuat dengan situasi kemasyarakatan semacam itu.

Namun, dalam konteks pendekatan "penghampiran", maka dua variabel tersebut diatas belum cukup melahirkan seorang HAMKA. Faktor-faktor lain juga harus diperhitungkan. Sebagaimana Rudolf Mrazek dan Harry Poetsze memperhatikan faktor determinisme geografis dan kampung halaman lahirnya Tan Malaka dalam membentuk kepribadian Tan Malaka, maka situasi kampung halaman tempat dimana HAMKA dilahirkan juga menjadi variabel yang cukup berpengaruh. Hal ini terefleksi dalam buku Kenang-Kenangan Jilid I. HAMKA, dalam buku ini, mengakui betapa kampung halamannya mempengaruhi pembentukan pribadinya. HAMKA yang anak ulama besarini dilahirkan di tepi danau Maninjau, di Tanah Sirah Sungai Batang. Alam yang indah, sejuk dan inspiratif ini memberikan dan merangsang daya imaginasi seorang HAMKA. HAMKA menulis : "Tidak mengapa ! anak itu pun duduk dengan sabarnya memandang danau, memandang biduk, memandang awan, memandang sawah yang baru dibajak di seberang lubuk dihadapan rumahnya, mendengar kicau murai, kokok ayam berderai". "Anak" dalam penceritaan diatas tak lain tak bukan adalah personifikasi HAMKA sendiri, ketika mengalami kesendirian ditinggal pengasuhnya, sementara neneknya (yang biasa dipanggilnya dengan "anduang") pergi ke sawah, sedangkan ayah HAMKA (Inyiak Rasul) dan ibunya ada di Padang Panjang, memenuhi permintaan masyarakat untuk mengajar disana. Ketiga variabel diataslah yang mempengaruhi perkembangan intelektual dan daya imaginasi serta kepribadian HAMKA. Untuk "menghampiri" ketokohan HAMKA, variabel-variable ini harus dilihat sebagai sesuatu yang saling berinteraksi dan memperkuat satu sama lain. Dan HAMKA berada "ditengah-tengahnya". Peran sosial dan harapan Inyiak Rasul bertemu dengan lingkungan ke-Islaman yang telah melembaga dan terintegrasi dalam masyarakat. Sementara lingkungan alam memberikan kontribusi menumbuhkembangkan daya imaginasinya serta memperkuat daya kreasi dan penerimaannya terhadap peran sosial ayahnya yang ulama besar itu.

Kitab Naskah Fiqh Hadi al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj Syekh Paseban

Diedit : Muhammad Ilham
Sumber Disertasi Ahmad Taufik Hidayat, sample dari 141 halaman (digitalisasi)








Jumat, 01 April 2011

Haji Abdul Malik Karim Amrullah @ HAMKA (1908-1981)

“Ayah hanya takut tidak bisa jawab pertanyaan Munkar Nakir!’’. Pertanyaan ini diajukan Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) kepada ayahnya mengenai soal keengganannya untuk melakukan seikere (membungkuk ke arah matahari) atas perintah tentara Jepang. Sang ayah, sebagai tokoh pergerakan dan ulama Minangkabau, Haji Karim Amrullah, yang juga kondang dengan sebutan ‘Haji Rasul’ itu, tentu saja menolak mentah-mentah perintah yang berkonotasi ‘menyembah matahari’ itu. Ia pun sadar sepenuhnya akan risikonya. Tapi, demi keyakinan terhadap nilai ‘akidah’, maka perintah memberi hormat kepada dewa matahari itu tidak dilakukannya. Keteguhan sikap Haji Karim Amrullah itulah yang kemudian oleh Hamka terus dibawa sepanjang usia. Berkali-kali dalam situasi genting ia berani menyatakan diri menolak hal apa pun yang melanggar nilai dasar agama, meskipun itu berarti membuka lebar pintu penjara.

Hamka yang lahir di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat, tepatnya di Tanah Sirah Nagari Sungai Batang pada tanggal 13 Muharram 1326 H./16 Februari 1908 M., mampu menunjukkan sikap teguh terhadap perkembangan arus zaman hingga akhir masa hidupnya. Sebagai anak manusia yang lahir di bumi Minangkabau, Hamka memang tidak sempat mengenyam pendidikan formal yang tinggi. Sekolahnya hanya dijalani selama tiga tahun. Namun, karena bakat intelektualnya yang berlebih, terutama dalam penguasaan bahasa Arab, ia kemudian tumbuh dan besar menjadi ulama yang disegani, bahkan seringkali disebut salah satu ulama besar Asia Tenggara. Darah dari pihak orang tua sebagai tokoh pembaru ajaran Islam dan perjuangan nasional kemerdekaan, membuat telinga Hamka semenjak masa kanak sudah akrab dengan berbagai pembicaraan mengenai dunia keilmuan. Diskusi yang dilakukan sang ayah bersama rekan-rekannya yang memelopori gerakan Islam Kaum Muda Mingkabau itu ternyata tanpa sadar tertanam kuat di hatinya.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Selain sibuk berceramah, Hamka kemudian menerbitkan berbagai karya roman seperti: Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnnya Kapal van Der Wick (1939), Merantau ke Deli (1940), Di dalam Lembah Kehidupan (1940, kumpulan cerita pendek). Isi berbagai romannya itu tampak jelas terpengaruh dari pengalaman pribadinya ketika ia pergi ke Mekah dan tinggal beberapa lama menjadi guru agama di lingkungan buruh perkebunan yang ada di Sumatera bagian timur. Pada kurun waktu ini ada satu karya Hamka yang sangat penting. Buku yang diterbitkan pada tahun 1939 itu diberi judul Tasawuf Modern. Hamka dalam buku ini mengkritisi kecenderungan dari berbagai aliran tasawuf yang ‘berpretensi negatif’ terhadap kehidupan dunia. Tasawuf banyak dijadikan sebagai cara untuk mengasingkan diri dari kehidupan dunia yang sering dipandang serba ruwet dan penuh kotoran dosa. Hamka dalam buku ini berusaha merubah persepsi itu. Ia menyerukan ‘tasawuf positip’ yang tidak bersikap asketisme. Katanya, menjadi Muslim sejati bukannya menjauhkan diri dari dunia, tapi terjun secara langsung ke dalamnya. Buku Hamka ini sampai sekarang tetap laris manis di pasaran. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.


Pada tahun 1942 bersamaan dengan jatuhnya koloni Hindia Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur. Posisi jabatan yang diterima pada masa sulit ekonomi ini dijalaninya selama tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1945 ia memutuskan untuk melepaskan jabatan tersebut karena pindah ke Sumatera Barat.
Di sana Hamka terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949. Menjelang pengakuan kedaulatan, yakni setelah tercapainya Persetujuan Roem Royen pada tahun 1949, ia memutuskan pindah dari Sumatera Barat ke Jakarta. Kali ini Hamka merintis karir sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipegang oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Melihat kemampuan intelektualnya, menteri agama waktu itu menugaskan kepada Hamka untuk memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi Islam, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa.
Beberapa perguruan tinggi yang sempat menjadi tempat mengajarnya itu antara lain; Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan. Uniknya lagi, di tengah kesibukannya sebagai pengajar di berbagai universitas itu, Hamka sempat menulis biografi ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. Katanya, buku yang ditulisnya ini adalah sebagai kenang-kenangan kepada ayahnya yang sangat teguh hati. Apalagi bagi sang ayah sendiri, Hamka adalah buah hatinya dimana ia pernah dijuluki sebagai ‘Si Bujang Jauh’ karena begitu sering dan lamanya merantau pergi ke berbagai negeri dan daerah.


Di sela kegiatannya mengajar di berbagai universitas itu, Hamka mengulang kembali kepergiannya untuk beribadah haji ke tanah suci. Sama dengan kepergian hajinya yang dilakukan 24 tahun silam, kepergiannya ke Mekah kali ini juga disertai dengan perjalanannya ke beberapa negara yang berada di kawasan semenanjung Arabia. Hamka sendiri sangat menikmati lawatannya itu. Apalagi ketika berada di Mesir. Ia menyempatkan diri untuk menemui berbagai sastrawan kondang Mesir yang telah lama dikenalnya melalui berbagai tulisannya, seperti Husein dan Fikri Abadah.
Mereka saling bertemu, bertukar pikiran dan minat dalam bidang sastera dan kehidupan umat secara keseluruhan. Sama halnya dengan kepulangan haji pertamanya, sekembalinya dari lawatannya ke berbagai negara di Timur Tengah itu, inspirasi untuk membuat karya sastera pun tumbuh kembali. Lahirlah kemudian beberapa karya roman seperti, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Bagi banyak kritikus sastera banyak diantara mereka menyebut bahwa, Hamka dalam penulisan karyanya itu banyak terpengaruh pujangga Mesir. Ini tampaknya dapat dipahami sebab ia seringkali menyatakan terkagum-kagum pada beberapa penulis karya dari negeri piramid itu, salah satunya adalah Al Manfaluthi. Usai pulang dari kunjungan ke beberapa negara Arab, pada tahun 1952 ia mendapat kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat. Hamka datang ke negara itu atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika. Ia mengunjungi berbagai tempat, seperti negara bagian California, untuk memberikan ceramah yang berkaitan dengan agama. Kunjungan ke Amerika kali ini ternyata hanya merupakan kunjungan pembuka saja. Setelah itu ia kemudian kerapkali diundang ke sana, baik atas undangan dari negara bersangkutan maupun datang sebagai anggota delegasi yang mewakili Indonesia.

Pada kurun waktu itu, Hamka kemudian masuk ke dalam Badan Konstituate mewakili Partai Masyumi dari hasil Pemilu 1955. Ia dicalonkan Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi di Jawa Tengah. Dalam badan ini Hamka bersuara nyaring menentang demokrasi terpimpin. Pada sebuah acara di Bandung, pada tahun 1958 ia secara terbuka menyampaikan pidato penolakan gagasan demokrasi terpimpin ala Soekarno itu. Namun, di tengah panas dan padatnya perdebatan, Hamka pada tahun itu juga sempat mendapat undangan menjadi anggota delegasi Indonesia untuk mengikuti Simposium Islam di Lahore. Setelah itu, kemudian dia berkunjung lagi ke Mesir. Dalam kesempatan kali ini dia mendapat kehormatan bidang intelektual sangat penting, yakni mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Di forum itu, ia menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar luar biasa dengan topik bahasan mengenai Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Dalam kesempatan ini Hamka menguraikan kebangkitan pembaharuan ajaran Islam yang terjadi di Indonesia, mulai dari munculnya gerakan Sumatera Thawalib, Muhammadiyah. Al Irsyad, dan Persatuan Islam. Gelar doktor luar biasa seperti ini ternyata diterimanya lagi enam belas tahun kemudian, yakni pada tahun 1974 dari University Kebangsaan, Malaysia. Gelar ini disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak. Seraya memberikan gelar, dalam pidatonya sang perdana menteri itu berkata bahwa,’’Hamka bukan lagi hanya milik bangsa Indonesia. Tetapi, juga telah menjadi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”


Masa Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menjadikan politik sebagai panglima. Waktu itu Soekarno menginginkan agar bangsa Indonesia betul-betul mandiri. Ia serukan gerakan untuk melawan imperialisme barat, yang disebut sebagai kekuatan neo-kolonialisme baru. Pada satu sisi ide ini berhasil cukup baik. Posisi Indonesia menjadi penting dan menjadi salah satu kekuatan sentral gerakan non blok. Namun, pada sisi yang lain perbaikan ekonomi ternyata tidak dapat berjalan baik. Pertentangan politik, terutama antara golongan nasionalis dan Islam menjadi-jadi, di mana kemudian mencapai puncaknya ketika pembicaraan mengenai konstitusi negara menjadi buntu. Baik pihak yang anti dan pendukung ide negara Islam terus saja tidak mampu berhasil mencapai kata sepakat. Dan Hamka hadir dalam percaturan perdebatan itu.


Sayangnya, Presiden Soekarno tidak sabar melihat perdebatan itu. Dengan alasan adanya ancaman perpecahan bangsa yang serius, Soekarno pada 5 Juli 1959 kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden, yang diantaranya adalah menyatakan pembubarkan Badan Konstituante dan kembali kepada konstitusi negara pada UUD 1945. Menyikapi keadaan tersebut, Hamka pada tahun yang sama, yakni Juli 1959, mengambil inisiatif menerbitkan majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat. Hamka duduk sebagai pemimpin redaksinya. Sedangkan mengenai isi majalahnya, Hamka memberi acuan untuk memuat tulisan yang menitikberatkan kepada soal-soal kebudayaan dan pengetahuan ajaran Islam. Tetapi sayangnya, majalah ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun. Majalah Panji Masyarakat dibubarkan oleh pemerintahan rezim Soekarno, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1960. Alasan pembredeilan: karena majalah memuat tulisan Dr Mohamad Hatta yang berjudul ‘Demokrasi Kita.’ Sebagai imbasnya, Hamka kemudian memutuskan diri untuk lebih memusatkan pada kegiatan dakwah Islamiyah dengan mengelola Masjid Agung Al-Azhar yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Dalam dunia politik pemuatan tulisan Hatta di majalah Panji Masyarakat itu memang membuat kehebohan besar. Perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta dalam mengelola negara terbuka dengan nyata. Dalam tulisan itu Hatta mengkritik keras sistem demokrasi terpimpin yang dijalankan karibnya, Soekarno. Menurutnya, demokrasi yang tengah dijalankannya itu bukan demokrasi. Mengapa demikian? Sebab, ada sebagian kecil orang ‘’menguasai’’ sebagian besar orang. Ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri, di mana harus ada ‘persamaan’ pada setiap manusia. Maka, demokrasi seperti itu, tulis Bung Hatta, a priori harus ditolak.

Panasnya persaingan politik pada sisi lain juga kemudian meniupkan badai fitnah kepada Hamka. Jaringan kelompok ‘politik kiri’ membuat tuduhan bahwa roman Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah merupakan plagiat dari roman sastrawan Perancis, Alphonse Karr yang kemudian disadur ke dalam bahasa Arab oleh Al Manfaluthi. Reaksi pro kontra segera saja menyergapnya. Golongan yang tidak suka akan adanya pengaruh agama di Indonesia memanfaatkan betul polemik ini untuk menghancurkan nama baiknya. Saat itu hanya HB Jassin dan kelompok budayawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu) saja yang gigih membelanya. Berbagai tulisan atas polemik ini kemudian pada tahun 1964 dikumpulkan dan diterbitkan oleh Junus Amir Hamzah dengan judul Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik. Usaha penjatuhan citra kepada Hamka ternyata tidak hanya melalui karya sastera saja. Tanpa dasar serta alasan tuduhan yang jelas, pada 27 Januari 1964 tiba-tiba saja ia ditangkap oleh alat keamanan negara.
Hamka kemudian dimasukkan ke dalam tahanan tanpa ada sebuah keputusan. Ia berada di penjara bersama para tahanan politik lainnya, seperti Muchtar Lubis, sampai tumbangnya tampuk kekuasaan Soekarno. Bagi penguasa, Hamka saat itu dianggap sebagai orang berbahaya. Namun, bagi Hamka sendiri, masuknya dia ke dalam penjara malahan seringkali dikatakan sebagai rahmat Allah. Menurutnya, akibat banyaknya luang waktu dipenjara maka ia dapat menyelesaikan tafsir Alquran, yakni Tafsir Al-Azhar (30 juz). ’’Saya tidak bisa membayangkan kapan saya bisa menyelesaikan tafsir ini kalau berada di luar. Yang pasti kalau tidak dipenjara maka saya selalu punya banyak kesibukan. Akhirnya, tafsir ini sampai akhir hayat saya mungkin tidak akan pernah dapat diselesaikan,’’ kata Hamka ketika menceritakan masa-masa meringkuk di dalam penjara. Selain itu, beberapa tahun kemudian Hamka juga mengakui bahwa tafsir Alquran ini adalah merupakan karya terbaiknya.

Hamka yang wafat di Jakarta, 24 Juli 1981, meninggalkan karya pena yang sangat banyak jumlahnya. Tercatat paling tidak sekitar 118 buah yang sudah dibukukan. Ini belum termasuk berbagai cerita pendek dan karangan panjang yang tersebar di berbagai penerbitan, media massa, dan forum-forum ilmiah, serta ceramah. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam bidang keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya pada sebuah perguruan tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka (UHAMKA). Berbagai karya tulisnya yang meliputi banyak bidang kajian seperti politik, sejarah, budaya, akhlak dan ilmu-ilmu keislaman hingga kini terus dikaji oleh publik, termasuk menjadi bahan kajian dan penelitian untuk penulisan risalah tesis dan disertasi.
Buku-bukunya terus mengalami cetak ulang.

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang.
Foto : www.google.picture.com

Simpulan Penelitian 30 Ulama Sumatera Barat

Edit : Muhammad Ilham

Ulama – meminjam bahasa sosiologi – sebagai elit sosial-keagamaan (bahkan untuk beberapa kasus memiliki fungsi dan peran yang beragam), telah menjadi icon sejarah dan budaya Sumatera Barat. Diskursus sejarah perjuangan dan sejarah kebudayaan serta sejarah intelektual Sumatera Barat, maka ulama secara personal maupun institusional merupakan bahagian penting dalam sejarah Sumatera Barat. Sejarah telah memberikan kearifan kepada kita bahwa ulama-ulama Sumatera Barat, telah memberikan ”warna” penting dalam mempengaruhi perjalanan sejarah Sumatera Barat pada masa lalu dan masa yang akan datang. Kehadiran mereka dalam ”pentas” sejarah Sumatera Barat, tidak bisa dilepaskan dari pemahaman kontekstual dan holistik. Dengan pemahaman seperti ini, akhirnya bisa didapatkan pemahaman lain bahwa kehadiran dan pengaruh ulama-ulama di Sumatera Barat saling mendukung, baik dari faktor antar personal ulama maupun keterikatan zaman. Konkritnya, pengaruh seorang ulama tidak bisa dilepaskan dari ”dukungan” zaman, area maupun jaringan guru-murid dan karya-karya intelektual mereka baik dalam bentuk karya ideologis-abstrak-normatif, ideologis-institusi maupun dalam bentuk karya tulis.

Mayoritas ulama-ulama Sumatera Barat memiliki genetic-hereditically ulama (walaupun ada beberapa diantara mereka yang berasal dari kalangan ”biasa”), namun setidaknya faktor lingkungan-keluarga memegang peranan signifikan mengkondisikan seorang individu menjadi ulama. Dalam perspektif ilmu sosial (khususnya disiplin sosiologi-antropologi) dikatakan bahwa pengaruh yang berbasiskan atau berasal dari faktor kelebihan keturunan-darah, merupakan salah satu karakteristik masyarakat tradisional (khususnya masyarakat pra-industri). Sumatera Barat, dalam konteks temporal dimana para ulama-ulama ini hidup dan berkiprah, secara sosiologis, masuk dalam kategori masyarakat tradisional-mekanik. Jadi tidaklah mengherankan apabila faktor keturunan sangat signifikan dalam masyarakat.

Kemudian, secara umum, wacana intelektual yang berkembang pada masa hidup ulama-ulama yang diteliti dalam penelitian ini adalah wacana tareqat-tasauf. Wacana inilah yang kemudian melahirkan dinamika yang dinamis bagi banyak ulama dalam melahirkan karya tulis mereka. Beberapa ulama produktif dalam menulis, mayoritas karya tulisnya mengangkatkan isu – atau setidaknya dipengaruhi – diskursus tareqat-sufiyah-tasauf. Sangat minim karya tulis para ulama-ulama yang diteliti dalam penelitian ini – bahkan boleh dikatakan hampir tidak ada – yang membahas tentang wacana politis, misalnya tentang kesadaran kebangsaan, nasionalisme atau permasalahan-permasalahan aktual pada masa itu yang memiliki keterkaitan dengan realitas sosial yang terjadi, sebagaimana yang ditulis atau menjadi ”wacana favorit” individu atau kelompok nasionalisme-sosiolisme asal Minangkabau pada masa mereka seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka dan lain-lain. Walaupun ada ulama yang menulis karya tulis dengan mengangkat isu kebangsaan dan nasionalisme tersebut, namun dalam sejarah pada masa setelah sang ulama ini meninggal, ulama ini justru dikategorikan sebagai cendekiawan-politisi, bukan ulama – atau setidaknya, politisi-nyalah yang lebih menonjol. Hampir karya tulis dari ulama-ulama produktif tersebut merupakan bentuk ”apologetik” terhadap satu kelompok ideologis-tareqat dan menghantam rasionalisasi dan argumentasi kelompok lainnya yang anti tareqat.

Wacana ideologis ini kemudian merambah ”domain” jaringan guru-murid. Seorang ulama pembela suatu tareqat, misalnya, akan meneruskan ”doktrin” dan ”semangat ideologis” ini pada murid-muridnya. Ini terlihat bagaimana murid seorang ulama anti tareqat melahirkan karya tulis seperti gurunya. Dalam konteks ini, sang murid secara ideologis menjadi representasi dan miniatur pemikiran gurunya. Dalam banyak kasus, para murid-lah yang kemudian menciptakan kondisi konflik wacana dengan para murid ”kelompok ideologis” lainnya. Pada akhirnya, para murid-murid tersebut mampu menjaga kondisi konstruktif perdebatan-perdebatan ideologis yang selama ini hanyalah terjadi diantara para guru mereka saja. Namun kondisi ini kemudian berimplikasi terhadap dinamika lahirnya karya-karya tulis dalam bentuk tulisan.

Disamping karya-karya tulis jenis ini, para ulama-ulama tersebut juga umumnya menulis ”buku pegangan Tauhid” bagi masyarakat. Mayoritas berisikan tentang keterangan-keterangan yang menyangkut perbaikan kualitas dan kuantitas ibadah dan kesadaran beragama Islam. Kemudian, disamping karya tulis dalam bentuk tulisan, para ulama-ulama ini banyak bergerak dalam bidang pendidikan. Hal ini karena mayoritas ulama-ulama tersebut menganggap bahwa perubahan masyarakat tidak bisa difasilitasi melalui dunia politik. Dunia politik pada masa ini memiliki resiko yang sangat besar. Oleh karena itu, mayoritas mereka memilih dunia edukasi dalam merespon kebutuhan masyarakat Minangkabau. Jadi tidaklah mengherankan, apabila para ulama-ulama ini memiliki icon tersendiri yaitu kalau tidak mereka memiliki sebuah institusi pendidikan tersendiri, maka mereka memiliki surau sendiri. Namun keduanya tetap memiliki kesamaan kecenderungan yaitu sama-sama menempatkan dunia edukasi atau dunia pendidikan sebagai sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan dalam rangka merubah masyarakat ke arah yang lebih baik.

Para ulama-ulama tersebut, secara umum mampu memperankan banyak fungsi mereka dalam realitas sosial. Ulama dalam penelitian ini, bukan hanya dianggap oleh masyarakat sebagai pemegang otoritas legal-kultural dalam aspek keagamaan saja, bahkan peran mereka justru melebar pada peran-peran yang lain. Bahkan ada ulama yang sekaligus menjadi seorang penghulu. Ini merefleksikan bahwa ulama-ulama Minangkabau pada zaman ulama–ulama yang diteliti ini, merupakan elit sosial yang secara sosiologis-antropologis berada dalam strata tinggi atau setidaknya kelompok sosial yang memiliki fleksibelitas dalam menjalankan peran dan fungsi mereka. Disamping itu, bisa disimpulkan, mayoritas ulama-ulama yang diteliti dalam penelitian ini memiliki ”daya tanggap” dan responsibility yang tinggi terhadap lingkungan mereka. Bahkan beberapa ulama turut serta dalam menentang penjajahan dan diskriminasi politik yang terjadi ketika mereka hidup. Walaupun ada sebahagian kecil yang memiliki ”daya tanggap” untuk kelompok ideologisnya sendiri, namun dapat dipastikan bahwa ulama-ulama tersebut bukanlah orang-orang yang hanya bersembunyi di ”menara gading”.Walaupun penelitian ini lebih dominan memakain pendekatan sejarah, dan hal ini memiliki kesan seolah-olah penelitian ini sering ”dirambah” oleh para peneliti dalam berbagai bentuk perspektif ataupun tema-topikal. Namun bukan berarti penelitian ini tidak layak lagi pada masa-masa yang akan datang untuk diteliti lagi. Dalam perspektif epistimologi ilmu, justru ”jalan yang sering dilaluilah” merupakan jalan yang paling baik. Jalan itu akan padat, kuat, bersih dan orang-orang akan selalu melihatnya. Bahkan secara ekonomis, jalan tersebut justru memberikan kontribusi ekonomis pada orang-orang yang berada disekelilingnya.Maka, dalam konteks filosofis tersebut diataslah, diharapkan pada masa-masa yang akan datang, ada penelitian yang lebih detail-komprehensif dan kolektif yang bisa dilihat dari perspektif yang lain. Bila perlu, ada penelitian yang memakai perspektif atau format topikal seperti penelitian ini, dalam upaya mencari ”sisi-sisi terang” riwayat hidup seorang ulama yang selama ini ”gelap” atau tidak terungkapkan dalam penelitian ini. Maka, penelitian ini setidaknya memberikan kontribusi epistimologis bagi penelitian selanjutnya. Selanjutnya, diharapkan pada pihak-pihak yang memiliki ikatan emosional dengan ulama-ulama yang diangkatkan dalam penelitian ini, supaya memiliki kepedulian historis menjaga dan ”merawat” peninggalan-peninggalan baik yang bersifat abstrak maupun konkrit-material. Namun semua ini tidak akan memiliki arti penting apabila usaha –usaha tersebut tidak didukung secara ikhlas dan total oleh pihak pemerintah.

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang