Sabtu, 14 Mei 2011

Penyuluhan Naskah Kuno Islam Minangkabau

Sebagaimana yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2010 yang lalu, Tim Penyuluhan Naskah Kuno Islam Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Padang juga memberikan penyuluhan - tepatnya penyadaran - kepada masyarakat (baca : stakeholders naskah kuno) yang mengkoleksi naskah-naskah "kaya sejarah" tersebut. Secara umum, tujuan penyuluhan tersebut adalah untuk memberikan kesadaran tentang signifikansi Naskah Kuno tersebut bagi identitas Islam Minangkabau. Disamping itu, Tim juga memberikan pemahaman bagaimana memelihara naskah-naskah tersebut.








(c) Foto : adabpadang.co.cc/album#2

Minggu, 01 Mei 2011

Naskah Surau Paseban dalam Kajian Literatur

Diedit : Muhammad Ilham (c) Ahmad Taufik Hidayat

Penelitian mengenai tardisi sosial intelektual Islam di Koto Tangah masih belum banyak dibicarakan. Sejumlah kepustakaan hanya menyinggung sepintas lalu mengenai Surau Paseban, Syekh Paseban maupun manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan Surau ini. Penelitian semacam ini umumnya diletakkan dalam kerangka kajian sejarah yang lebih besar, dinamika Islam di Minangkabau. Penelitian penting yang bersinggungan dengan masalah ini adalah disertasi Oman Fathurahman yang berjudul Tarikat Syattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera Barat, tahun 2003 pada Universitas Indonesia. Pelacakan sumber-sumber tertulis yang lahir dari kultur tarekat Syattariyah di Sumatera Barat secara tidak langsung membuka ruang pembicaraan yang berkenaan dengan Surau Paseban sebagai mata rantai dari kesinambungan tarekat ini di wilayah Sumatera Barat. Kesimpulan-kesimpulan yang dilahirkan dalam disertasi Fathurahman dalam persoalan ini jelas sangat membantu ketersediaan data mengenai kesinambungan dan referensi yang lebih awal tentang sumber-sumber yang terdapat di Surau itu.

Kelompok Kajian Puitika Unand pada tahun 2006 telah melakukan penelitian terhadap sejumlah koleksi manuskrip di Minangkabau, dan di antaranya memuat daftar koleksi manuskrip yang terdapat di Surau Paseban maupun Manuskrip yang ditulis oleh murid Syekh Paseban, Imam Maulana Abdul Manaf Amin. Sebagaimana sifat dari buku katalog, penelitian yang disponsori oleh C-Dats Tokyo ini menghasilkan penjelasan deksriptif terhadap fisik manuskrip dan informasi ringkas mengenai keberadaan maupun kepemilikannya. Sebagian besar pendataan yang dilakukan oleh M. Yusuf dan kawan-kawan terhadap 2 koleksi manuskrip yang berkaitan dengan objek penelitian jelas bersinggungan dengan disertasi ini. Tetapi dari segi pemanfaatannya sebagai objek penelitian, jelas berbeda dengan disertasi ini. Selain itu, penulis merasa perlu melakukan kritik dan pendataan ulang karena sejumlah informasi yang ditulis sebelumnya oleh M. Yusuf dkk. Banyak yang keliru, terutama dari aspek identifikasi judul dan isi atau kandungan manuskrip.

Penelitian Pramono pada tahun yang sama tentang kiprah kepenulisan Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, murid Syekh Paseban, juga bersinggungan dengan disertasi ini. Tetapi bagan penelitian mengenai tradisi kepenulisan kitab yang dirancang Pramono berkisar pada person komunitas Surau Paseban, dan tidak menjelaskan aspek-aspek yang berkaitan dengan dinamika tradisi sosial intelektual di Koto Tangah secara komprehensif. Pembahasan ke arah itu hanya diletakkan sebagai latar belakang ketokohan murid dari Syekh Paseban. Masih dalam alur yang sama, pada tahun 2007 sebuah laporan penelitian muncul kembali di lingkungan Universitas Andalas. Yerri Satria Putra dan M. Yusuf, mengadakan penelitian Filologi tentang naskah biografi Syekh Paseban yang berjudul Syekh Paseban: Sejarah Islam, Dinamika Pemikiran Keislaman dan Gerakan Umat Muslim Sumatera Barat di Pertengahan Abad ke-19, Studi Teks dan Kontekstual Terhadap Naskah Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu. Penelitian yang disponsori oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional ini memaparkan wacana keislaman yang dieksplorasi dari naskah biografi Syekh Paseban sendiri. Sebagaimana studi Filologi pada umumnya, penelitian Yerri dan Yusuf menghadirkan sebuah suntingan teks dengan pengayaan secara sepintas lalu aspek kesejarahan Surau itu pada masa lalu. Terkait dengan konteks manuskrip, dimana ruang pembicaraan mengarah pada isu-isu seputar konflik antara kelompok tradisional Islam dengan kalangan modernis, sejumlah penelitian lain penting disebut di sini. Disertasi Duski Samad (2003) yang berjudul Tradisionalisme Islam di tengah Modernisme: Kajian Tentang Kontinuitas, Perubahan dan Dinamika Tarekat di Minangkabau, pada Uiniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, secara sepintas lalu juga menyinggung mata rantai Syekh Paseban dan Imam Maulana dalam tarekat Syattariyah di Minangkabau. Kajian Samad sedikit menyentuh tentang wilayah pengikut Syekh Paseban, yakni Koto Tangah dan wilayah Padang Pinggiran. Tetapi tidak masuk kepada pembicaraan mengenai koleksi manuskrip-manuskrip yang dijadikan acuan kalangan Islam tradisional dalam menghadapi paham kelompok modernis.

Za’im Rais pada tahun 1994 menulis tesis tentang respon kalangan Islam tradisional di Minangkabau terhadap pergerakan kalangan Islam modernis. Penelitian Rais berangkat dari konsepsi adat yang terislamkan melalui proses islamisasi struktur sosial. Pembaharuan kalangan modernis diletakkan dalam kerangka pembersihan Islam dari unsur-unsur budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang banyak diadopsi oleh kalangan tradisi. Sumber yang dijadikan analisis adalah isu-isu parsial seputar perbedaan pendapat antara kalangan tradisionalis dan modernis. Penelitian Rais menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan antara kelompok modernis dan tradisionalis secara garis besar berangkat dari persepsi masing-masing mengenai otoritas keagamaan dan bagaimana seharusnya otoritas tersebut diterima secara ideal. Pada dasarnya, dua kelompok tersebut sepakat bahwa otoritas sumber keagamaan utama adalah al-Quran dan sunnah. Kalangan modernis mempertahankan pendapat mereka bahwa al-Quran dan sunnah, selain sebagai sumber utama, juga merupakan satu-satunya otoritas dalam Islam, dan setiap muslim wajib menta’atinya. Adapun ulama menurut kalangan modernis hanya dianggap sebagai figur yang lebih memahami ketentuan-ketentuan dalam al-Quran dan sunnah. Sedangkan kalangan tradisionalis secara kontras mempertahankan pendapat sebaliknya. Ulama-ulama terdahulu dipandang sebagai sosok yang memiliki otoritas tunggal terhadap materi keagamaan yang harus diikuti oleh generasi muslim sesudahnya.

Dalam barisan ini juga dapat diletakkan sebuah penelitian tentang perkembangan Agama Islam di Sumatera Barat pada abad ke-19 dan abad ke-20, laporan Penelitian yang disusun oleh Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago pada tahun 2006. Pusaran konflik mulai diurai dengan pembicaraan mengenai perlawanan terhadap kolonial Belanda, Perang Paderi, differensiasi pemahaman dan pemikiran Islam, polarisasi Kaum Tua dan Kaum Muda serta isu-isu yang berhubungan dengan perlawanan rakyat pasca perang Paderi. Kenyataan-kesejarahan di atas ditengarai membentuk corak pembaharuan yang terjadi pada masa-masa sesudahnya. Ketiga penelitian terakhir tentu tidak dapat dilepaskan dari penelitian yang muncul lebih awal, dimana kajian serupa pernah ditulis sebelumnya oleh Taufik Abdullah pada tahun 1971 dari aspek pergerakan kaum Muda di Minangkabau dan Sanusi Latif pada tahun 1992, dari aspek pergerakan kaum Tua di Minangkabau. Kedua penelitian ini bersinggungan dengan penelitian-penelitian tersebut pada tataran konflik ideologi keagamaan di Minangkabau secara umum. Penekanan yang diberikan oleh kedua penelitian ini adalah pada aspek cara melihat konflik. Dalam disertasi ini, perselisihan lebih dilihat sebagai reaksi pemicu yang menciptakan kristalisasi pemahaman keagamaan tradisional sebagaimana terpantul dalam tradisi tulis yang berangkat dari kearifan lokal (local wisdom) di Surau ini.


Sample Naskah dalam Kitab Hâdi al-Muhtâj fi Syarhi al-Minhâj Syarah Fiqih Syekh Paseban (c) M. Yusuf.


(c) disarikan dari Disertasi Ahmad Taufik Hidayat

Sebuah Catatan tentang Ibadah Haji oleh Dja Endar Moeda, 1903

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) : Suryadi Sunuri

Teks yang disajikan dalam artikel ini adalah catatan tentang ibadah haji dan tanah Hejaz yang ditulis oleh seorang Indonesia. Teks itu diterbitkan dalam berkala [1] pada tahun 1903. Teks itu berjudul “Perdjalanan ke-‘Tanah-tjoetji’”, yang ditulis oleh salah seorang intelektual pribumi bernama Dja Endar Moeda. Dalam teks ini Dja Endar Moeda banyak memberikan ‘tip’ dan nasehat agar para calon haji dari Nusantara dapat melaksanakan ibadah haji dengan baik. Ia tidak bercerita tentang prosesi ibadah haji itu sendiri. Ia mencatatkan 44 PASAL (44 hal) yang harus diperhatikan oleh para calon jemaah haji Nusantara supaya perjalanan mereka ke Tanah Suci dapat berjalan lancar dan ibadah haji mereka dapat dilaksanakan dengan sukses.

Catatan bibliografis teks “Perdjalanan ke-‘Tanah-tjoetji’”

Teks “Perdjalanan ke-‘Tanah-tjoetji’” dimuat secara bersambung sebanyak lima kali dalam Bintang Hindia antara bulan September sampai November 1903, yaitu:

Bagian 1: Bintang Hindia, No. 19, Tahoen jang pertama, 19 September 1903: 202-4.
Bagian 2: Bintang Hindia, No. 20, Tahoen jang pertama, 3 October 1903: 215-16.
Bagian 3: Bintang Hindia, No. 21, Tahoen jang pertama, 17 October 1903: 227.
Bagian 4: Bintang Hindia, No. 22, Tahoen jang pertama, 31 October 1903: 237-8.
Bagian 5: Bintang Hindia, No. 23, Tahoen jang pertama, 14 November 1903: 253.


Berikut saya sajikan biografi ringkas Dja Endar Moeda. Dengan mengetahui siapa dia, maka sedikit banyaknya kita dapat memperoleh gambaran latar kepengarangan (authorship) teks ini. Dja Endar Moeda alias Haji Moehamad Saleh adalah seorang yang berdarah Batak. Ia lahir di Padang Sidempuan tahun 1861 Ia memperoleh pendidikan sekolah Belanda yang kemudian membuka peluang baginya untuk masuk Sekolah Pendidikan Guru, juga di Padang Sidempuan, dan tamat tahun 1884. Kemudian Dja Endar Moeda mendapat tugas sebagai asisten guru di Air Bangis; selanjutnya ia dipromosikan menjadi guru kepala pribumi di Batahan, Natal. Sambil mengajar ia menjadi koresponden untuk bulanan pendidikan Soeloeh Pengajar yang diterbit di Probolinggo (mulai 1887); dari Batahan Dja Endar Moeda kemudian dipindahkan ke Singkil; pada tahun 1892 ia pergi naik haji ke Mekah. Seperti diceritakannya dalam “Perdjalanan ke-‘Tanah-tjoetji’”, tujuannya ke Mekah, selain untuk menunaikan ibadah haji, juga untuk menziarahi makam ayahnya yang meninggal disana. Setelah balik dari Mekkah tahun 1893, Dja Endar Moeda memutuskan tinggal di kota Padang dan pensiun sebagai guru pemerintah. Kemudian ia mendirikan sekolah partikulir di kota itu. Berkat pengalamannya dulu sebagai koresponden Soeloeh Pengajar, Dja Endar Moeda juga mendapat pekerjaan sebagai editor surat kabar Pertja Barat yang terbit di Padang, yang didirikan oleh Lie Bian Goan pada 1894. Keterlibatannya di harian Pertja Barat tampaknya mengarahkan jalan hidupnya menjadi pebisnis dan penggiat pers pribumi di kemudian hari. Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda menerbitkan berkala Tapian na Oeli (berbahasa Batak) dan Insulinde di Padang, dan dia menjabat sebagai pemimpin redaksi kedua koran itu. Pada tahun 1905 dia mengambil alih kepemilikan koran Pertja Barat dari Lie Bian Goan dan juga Snelpersdrukkerij Insulinde yang digunakan untuk mencetak koran itu dan beberapa koran lainnya yang terbit di Padang. Naluri bisnis Dja Endar Moeda sangat bagus. Di tangannya PertjaBarat berkembang dengan cukup baik. Melalui koran itu Dja Endar Moeda banyak menulis kritik yang membangun kepada pegawai-pegawai departemen dalam negeri Hindia Belanda (Binnenlandsch Bestuur), yang membuat hubungannya cukup baik dengan pemerintah kolonial. Seperti dapat dikesan dalam “Perdjalanan ke-‘Tanah-tjoetji’”, tampaknya Dja Endar Moeda adalah penganut Islam moderat. Redaksi Bintang Hindia (No.25, Tahoen jang pertama, 12 December 1903:273), dengan mengutip kesaksian hoofdredacteur-nya, H.C.C. Clockener Brousson, menulis bahwa Dja Endar Moeda adalah seorang pribumi pintar yang terkemuka di Padang. Ia punya kepribadian yang hangat dan oleh karenanya punya banyak teman, baik dari kalangan pribumi maupun orang Belanda (ini antara lain terbukti dari ramainya orang yang datang ke pesta perkawinan salah seorang anak perempuannya tahun 1903; lih. Bintang Hindia, Tahun 1, No.15, 25 Juli 1903:158). Brousson mengatakan bahwa Dja Endar Moeda sangat lancar berbahasa Belanda [4] – itu sebabnya ia dijadikan penerjemah waktu berada di kapal dalam perjalanan haji dari Padang ke Jeddah – dan sangat respek kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Ratu Wilhelmina.

Pada tahun 1906 Dja Endar Moeda meluaskan bisnis persnya ke Aceh dengan menerbitkan dwi mingguan Pemberita Atjeh yang terbit di Kuta Raja. Dua tahun kemudian ia menerbitkan lagi Warta Berita di Padang, yang sudah pernah terbit sebelumnya, dan berkala Minangkabau. Namun ketiga media cetak yang disebutkan terakhir ini tidak berumur panjang, hal yang biasa terjadi pada waktu itu, karena kurangnya pembaca yang disebabkan oleh masih rendahnya presentase golongan melek huruf di kalangan kaum pribumi, dan juga karena persaingan bisnis yang cukup ketat di antara koran-koran pribumi. Pemberita Atjeh terpaksa berhenti terbit tahun 1909 karena mendapat saingan berat dari sebuah media baru yang juga terbit di Kuta Raja mulai tahun 1907, Sinar Atjeh (dieditori oleh Liem Soen What), yang diterbitkan oleh Perusahaan Sinar Atjeh. Gagal di Aceh, Dja Endah Moeda mengalihkan bisnis media cetaknya ke kota Medan. Di sana ia menerbitkan Sjarikat Tapanuli dan mendirikan percetakan lain, bekerjasama dengan beberapa pebisnis Batak lainnya. Tahun 1910 ia menerbitkan Pewarta DeliBintang Atjeh. Koran ini mulai terbit perdana pada bulan Juni 1911, tapi tampaknya juga tidak berumur panjang. Bintang Atjeh sempat bertahan sampai tahun 1913 tapi setelah itu koran ini berhenti terbit.

Pertja Barat adalah media cetak milik Dja Endar Moeda yang paling lama bertahan. Melalui koran ini, dan juga media cetak miliknya yang lain dan, seperti di koran-korannya sebelumnya, ia bertindak sebagai pemimpin redaksi. Namun rupanya pada tahun-tahun berikutnya Dja Endar Moeda mengalami masalah dengan rekan-rekan bisnisnya di Medan, dan juga kekurangan tenaga pembantu yang cakap di bidang pers. Ia mengehentikan bisnis persnya dari kota itu, kemudian untuk kedua kalinya ia mencoba peruntungan di Aceh dengan menerbitkan Dja Endar Moeda menggunakan kekuatan penanya untuk menggugah kaum pribumi agar mereka meningkatkan pengetahuan modern guna meraih kemajuan. Ia juga menyerukan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan. Sering ia berpolemik dengan orang lain mengenai isu-isu kemajuan bagi kaum pribumi. Setidaknya sampai pertengahan 1911 Pertja Barat masih terbit tiga kali seminggu. Namun pada bulan Juli tahun itu Dja Endar Moeda terkena ranjau pers kolonial (tamapaknya terkait dengan kritiknya terhadap pegawai-pegawai pribumi priyayi yang merugikan rakyat). Hal itu telah mendorongnya mendirikan persatuan wartawan pribumi yang tujuannya untuk mengungkapkan korupsi dan kebiasaan para priyanyi (maksudnya pegawai tinggi pemerintah) yang tak bermoral dan merugikan rakyat. Karena tertusuk ranjau pers kolonial, pimpinan redaksi Pertja BaratPertja Barat dipegang oleh anak Dja Endar Moeda, Kamaruddin. Tapi, dalam hal manajemen dan kekuatan menulis, tampaknya Kamaruddin tidak secakap ayah dan pamannya. Lama kelamaan pamor Pertja Barat menurun. Hal ini diperburuk lagi oleh persaingan yang makin ketat dalam penerbitan pers pribumi di Padang, khususnya memasuki dekade kedua abad ke-20. Beberapa koran lain muncul di kota, menyaingi Pertja Barat, seperti OetoesanMelajoe, Soenting Melajoe, Soeloeh Melajoe, Soera Melajoe, dan lain sebagainya (Adam 1975). Pada tahun 1912, setelah bertahan hampir 2 dekade, Pertja Barat akhirnya berhenti terbit.

Dja Endar Moeda, sebagaimana halnya Mahjoeddin Datoek Soetan Maharadja diserahkan oleh Dja Endar Moeda kepada saudaranya, Dja Endar Bongsoe, yang sekaligus menjadi presiden pertama persatuan wartawan pribumi yang digagas oleh kedua kakak beradik itu. Namun pada 11 Agustus 1911 Dja Endar Bongsoe mendadak meninggal. Selanjutnya kepemimpinan , adalah seorang perintis pers pribumi di Sumatra, bahkan mungkin di Hindia Belanda. Meskipun belakangan Dja Endar Moeda bergiat dalam bisnis pers dan percetakan, namun dedikasinya terhadap dunia pendidikan untuk kaum sebangsanya, dunia yang digelutinya sebelum terjun ke bisnis pers pribumi, tampaknya tak pernah pudar dalam dirinya. Minatnya sangat besar pada buku, media yang penting untuk memajukan kaum pribumi. Berbeda dengan Mahjoeddin Datoek Soetan Maharaja yang cenderung memperjuangkan cita-citanya melalui pers dan organisasi politik, Dja Endar Moeda tampaknya menghindari politik dan memilih dunia pendidikan dan perbukuan untuk mewujudkan perjuangannya memajukan kaum pribumi. Penerbit miliknya, Snelpersdrukkerij Insulinde, yang juga dilengkapi dengan toko buku, selain digunakan untuk mencetak koran-korannya, juga digunakan untuk mencetak buku-buku, baik karangannya sendiri maupun karangan orang lain. Beberapa bukunya juga dicetak oleh penerbit lain. Dja Endar Moeda telah memberikan kontribusi yang berarti dalam pengembangan pers pribumi di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

Catatan penyalinan

Teks “Perdjalanan ke-‘Tanah-tjoetji’” ditulis dalam ejaan Van Ophuijsen, karena “KARANGANBintang Hindia] wadjib ditoelis menoeroet edjaan p. t. CH. A. VAN OPHUIJSEN” (Bintang Hindia, Tahoen kedoea, No.1, 1904:2). Dalam salinan kembali ketiga teks itu yang di sajikan dalam bab ini, ejaannya diubah menurut EYD. Dengan demikian, judul teks itu ditulis “Perjalanan ke Tanah Suci”. Akan tetapi kata-kata yang ditulis secara khas tetap dibiarkan sebagaimana bentuk aslinya. Demikianlah umpamanya, kata ‘misti’ dan ‘jumaah’ misalnya, tidak akan diubah menjadi ‘mesti’ dan ‘jemaah’ sebagaimana harus ditulis menurut versi EYD, tetapi tetap dibiarkan begitu. Namun demikian, bila ditemukan kata-kata yang dianggap berpotensi membingungkan pembaca masa kini, maka kata-kata itu ditulis menurut versi EYD-nya dengan menurunkan bentuk aslinya dalam catatan kaki, misalnya kata ‘kemerdekaan’ yang ditulis ‘kemerdehēkaan’. Kata-kata yang salah cetak dibetulkan dan yang kurang hurufnya dilengkapi. Cetak miring berasal dari teks aslinya. Tambahan kata dari penyunting untuk memperjelas makna ditaruh dalam tanda kurung siku. Glottal stop pada kata-kata tertentu yang dilambangkan dengan huruf hamzah (ء) dalam ejaan Van Ophuijsen, diganti dengan huruf k. Beberapa kata yang tidak konsisten penulisannya, seperti P. KemaranP. Kamaran, Badoei dan Badoewi, dan wang dan oeang dibiarkan. Perubahan, dengan memberikan catatan, hanya dilakukan pada bagian yang dianggap mengelirukan pemahaman pembaca masa kini.

Sumber : (C) Suryadi, Leiden Institute for Area Studies / SAS Indonesië, Leiden University, Belanda


[1] Bintang Hindia – mohon jangan dikelirukan dengan mingguan dengan nama yang sama pimpinan Parada Harahap dan Cha Chun Fong yang terbit pertengahan tahun 1920-an di Batavia– adalah dwibulanan yang dihiasi dengan banyak foto dan lukisan yang bagus-bagus tentang tokoh-tokoh serta pemandangan alam di Hindia Belanda dan di luar negeri; mulai terbit tahun 1903 dengan hoofdredacteur pertamanya H.C.C. Clockener Brousson, seorang mantan tentara Hindia Belanda (tahun 2005 digantikan oleh Mayor Pensiunan Tuinenburg); tim redaksi, wartawan, dan korespondennya juga berasal dari kalangan pribumi yang cakap, antara lain Dr. Abdul Rivai dan J.E. Tehupeiory. Kantor pusat Bintang Hindia berada Amsterdam (N.J. Boon, Blauwburgwal 16) dan kantor cabangnya di Hindia Belanda berada di Bandung, dengan ‘kantor penolong’ di Betawi, Semarang, Surabaya, Makassar, Menado, Medan, dan Padang. Berkala ini mulai terbit tahun 1903; pada atahun 1904 langganannya tercatat 27.000 orang (BintangHindia, Tahun 2, No.24, 1904: 274) . Berkala ini berhenti terbit tahun 1907.

[2] Sebagian besar deskripsi mengenai biografi Dja Endar Moeda yang disajikan di sini merujuk kepada Ahmat B. Adam dalam http://www.mandailing.org/Eng/djaendar.html dan laporan dalam Bintang Hindia, Thn. 1, No.15 (25 Juli 1903: 273) .

[3] Snelpersdrukkerij Insulinde, yang terletak di bilangan Pondok, mula-mula dimiliki oleh Lie Bian Goan. Kemudian percetakan ini dikuasai oleh J.C. Holtzappel dan Dja Endar Moeda. Tahun 1905 kerjasama keduaorang ini bubar dan selanjutnya percetakan Insulinde dikuasai oleh Dja Endar Moeda (lihat Adam 1975:75-7).

[4] Buktinya cukup jelas: ketika pergi ke Mekah, Dja Endar Moeda bertindak sebagai juru bahasa di kapal, seperti diceritakannya dalam teks “Perdjalanan ke- ‘Tanah-tjetji’” dan dia telah menulis buku pelajaran bahasa Belanda untuk anak-anak pribumi.

[5] Ada bukti yang menunjukkan bahwa Dja Endar Moeda pernah pula berkorespondesi dengan C. Snouck Hurgronje seperti dapat dikesan dalam salah satu suratnya yang terselip dalam Kitāb ‘Aqā’id al-īmān terjemahan Syekh Padang Kandis (1901) (lihat Universiteitsbibliotheek Leiden shelf mark 8197 D 49).

[6] Yang paling progresif adalah Insulinde yang mengandung banyak rubrik mengenai pengetahuan ‘modern’ Barat seperti ilmu pertanian, kedokteran (ilmu tabib), sejarah, bahasa Belanda, dan lain sebagainya.

[7] Mahjoeddin Datoek Soetan Maharadja, yang digelari oleh B.J.O. Schrieke (1973:8) sebagai ‘Bapak dari wartawan Melayu’, adalah seorang putra Minangkabau asal Sulit Air yang juga punya cita-cita memajukan kaum pribumi sebangsanya. Seperti halnya Dja Endar Moeda, Datoek Soetan Maharaja memiliki percetakan sendiri yang diberi nama Percetakan Orang Alam Minangkabau, yang digunakannya untuk mencetak koran-koran miliknya sendiri dan juga disewakan. Karir Datoek Soetan Maharadja juga dimulai sebagai pegawai pribumi kolonial. basa melajoe Ia banyak terlibat dalam politik tapi bersikap kooperatif dengan Belanda. Konon nenek moyangnya dulu dibunuh oleh kaum Paderi ketika menyerang Sulit Air, menyebabkan ia kurang bersimpati kepada gerakan Islam puritan yang sudah lama merebak di Minangkabau. Datoek Soetan Maharadja boleh dibilang unik, berbeda dengan personifikasi orang Minangkabau terpelajar yang melupakan adat nenek moyangnya, seperti digambarkan melalui kepribadian tokoh Hanafi dalam roman Salah Asuhan karya Abdoel Moes (1928). Datoek Soetan Maharadja berpendidikan sekuler dan berpandangan maju tapi tetap mencintai adat Minangkabau, sehingga seorang intelektual Minangkabau lainnya menyebutnya ‘seorang sphynk dan gila adat’ (Amir 1918:12). Dalam beberapa surat kabar yang terbit di Padang, seperti Pelita Ketjil, Warta Berita, Tjahja Soematra dan Oetoesan Melajoe, Datoek Soetan Maharadja sering berpolemik dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, muslim puritan yang menjadi imam di Masjidilharam, seorang putra Minangkabau yang sangat membenci adat Minangkabau sendiri dan sistem matrilinealnya, bahkan memutuskan tidak kembali ke Minangkabau dan akhirnya meninggal di Mekah. Datoek Soetan Maharadja juga berpolemik dengan mulim reformis lainnya dari Minangkabau, seperti Haji Abdullah Ahmad, Haji Rasoel, dan Syekh Djamil Djambek (lihat Amir 1921:107; Schrieke 1973:38-71). Datoek Soetan Maharadja adalah penganjur pertama agar orang Minangkabau melatih diri berorganisasi untuk mencapai kemajuan. Pada tahun 1888, semasa menjadi Ajung Jaksa Kepala di Pariaman, ia mendirikan Medan Keramean, sebuah organisasi sosial (social club) yang menyediakan berkala dan surat kabar untuk bahan bacaan bagi anggotanya. Beliau diangkat menjadi president (ketua) organisasi itu. Setelah berhenti menjadi jaksa pada 1892, Datoek Soetan Maharadja mendirikan lagi satu organisasi yang bernama Perserikatan Orang Alam Minangkabau yang kemudian membeli satu percetakan yang diberi nama Snelpersdrukkerij Orang Alam Minangkabau. Kemudian ia terjun ke dunia pers. Ia menjadi redaktur, editor, dan pemilik beberapa surat kabar yang terbit di Padang, antara lain Pelita Ketjil (1892-94), Warta Berita (1895), Tjahja Sumatra (1906), Oetoesan Melajoe (1911), dan surat kabar perempuan Soenting Melajoe (1921) (lihat Amir 1921:107-8; Abdullah 1972:213-22; Adam 1992:140).

[8] Buku-buku yang ditulis Dja Endar Moeda antara lain: Hikajat tjinta kasih sajang (Padang: Otto Bäumer, 1895); Hikajat dendam tak’ soedah:kalau sudah merewan hati (terjemahan dari bahasa Belanda) >: Paul Bäumer & Co., 1897); Kitab edja dan pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe beladjar (Padang: Insulinde, 1900); Tapian na Oeli na pinararat ni Dja Endar Moeda ni haroearkon ni toean (dengan L.J.W. Stritzko, : Insulinde, 1900); Kitab seriboe pantoen, ibarat dan taliboen (Padang: Insulinde, 1900-1901); dan Kitab boenga mawar: pembatjaan bagi anak2 (Padang: Insulinde, 1902); Hikajat sajang taq sajang: riwajat Nona Geneveuva (terjemahan dari bahasa Belanda) (Padang: Insulinde, 1902); Jitab peladjaran bahasa Wolanda ontoek anak anak baharoe moelai beladjar (4 jilid): Insulinde, 1902-1903); Kitab edja dan pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe beladjar (Padang: Insulinde, 1903); dan Riwajat poelau Sumatra<: Insulinde, 1903).

[9] Saya belum menemukan informasi kapan persisnya Dja Endar Moeda meninggal. Ahmat Adam yang sudah meneliti perkembangan pers pribumi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 secara mendalam (1995) tampaknya juga tidak mengetahui kapan Dja Endar Moeda meninggal. Namun, berdasarkan informasi fragmentaris dari beberapa surat kabar pribumi yang saya baca, besar kemungkinan Dja Endar Moeda sudah meninggal sebelum tahun 1920.