Jumat, 02 Desember 2011

Eksotisme Kultural Surau Lubuk Bauk

Edit : Muhammad Ilham

Surau Lubuk Bauk didirikan di atas tanah wakaf Datuk Bandaro Panjang, seorang yang berasal dari suku Jambak, Jurai Nan Ampek Suku. Dibangun oleh masyarakat Nagari Batipuh Baruh dibawah koordinasi para ninik mamak pada tahun 1896 dan dapat diselesaikan tahun 1901. Bangunan yang bercorak Koto Piliang yang tercermin pada susunan atap dan terdapatnya bangunan menara, sarat dengan perlambang dan falsafah hidup ini memiliki peran besar dalam melahirkan santri dan ulama yang selanjutnya menjadi tokoh pengembang agama Islam di Sumatera Barat. Surau Nagari Lubuk Bauk berdiri di pinggir jalan raya Batusangkar Padang.
Secara administratif terletak Desa Lubuk Bauk, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Bangunan surau terletak lebih rendah ± 1 m dari jalan raya berbatasan dengan jalan raya Batusangkar Padang di bagian utara, kolam dan masjid di bagian timur, kolam dan rumah penduduk di bagian selatan, dan rumah penduduk di bagian barat.


Surau Lubuk Bauk berdenah bujur sangkar, terbuat dari kayu surian dengan luas 154 m2 dan tinggi bangunan sampai kemuncak ± 13 m. Bangunan dikelilingi pagar besi berbentuk panggung dengan tinggi kolong 1,40 m terdiri dari tiga lantai dan satu lantai berfungsi sebagai kubah/menara yang terletak di atas atap gonjong berbentuk segi delapan. Pintu gerbang terletak di timur menghadap ke selatan (jalan raya), sedangkan pintu masuk surau terletak di timur dan naik melalui enam buah anak tangga. Di atas pintu (ambang pintu) terdapat tulisan arab Bismillahirrahmanirrahim yang dibuat dengan teknik ukir dan di belakangnya ditutup dengan bilah papan. Di depan pintu terdapat tempat mengambil air wudlu. Atap bangunan terbuat dari seng, bersusun tiga. Atap pertama dan kedua berbentuk limasan, sedangkan atap ketiga yang juga berfungsi sebagai menara memiliki bentuk gonjong di keempat sisinya. Pada bagian puncak, atapnya membentuk kerucut dengan bentuk susunan buah labu/bola-bola.

Bangunan surau terdiri atas tiga lantai, yaitu lantai I, II, dan III. Denah lantai I berukuran 12 × 12 m. Lantai I merupakan ruang utama untuk sholat dan juga tempat belajar agama. Di sisi barat terdapat mihrab berukuran 4 × 2,50 m. Di ruang ini tidak terdapat mimbar. Ruang utama ini ditopang oleh 30 tiang kayu penyangga yang bertumpu di atas umpak batu sungai. Menurut keterangan masyarakat, jumlah tiang sebanyak itu sama dengan jumlah tiang rumah gadang menurut adat Minangkabau. Tiang-tiang tersebut berbentuk segi delapan dan tiang bagian tengah diberi ukiran di sebelah atas serta bagian bawahnya. Dinding dan lantai terbuat dari bilah papan, dan pada sisi utara, selatan, dan timur terdapat jendela yang diberi penutup. Di bagian luarnya terdapat ukir-ukiran berpola tanaman sulur-suluran. Ukiran diletakkan di bagian atas lengkungan-lengkungan yang menutupi kolong bangunan. Lantai II berukuran 10 × 7,50 m, lebih kecil dari lantai I. Untuk masuk ke lantai II melalui sebuah tangga kayu. Di dalam lantai II tiang utama (empat tonggak) juga diberi ukiran-ukiran yang berpola sama dengan tiang di lantai I. Lantai III berdenah bujur sangkar berukuran 3,50 × 3,50 m. Di tengah-tengah ruangan terdapat satu tiang dengan tangga melingkar untuk naik ke menara. Sedangkan bagian luar lantai III membentuk empat serambi dengan atap membentuk gonjong yang meman-tulkan ciri-ciri khas bangunan Minang yang menghadap ke arah empat mata angin. Dinding serambi yang menghadap luar penuh dengan ukiran yang diberi wama merah, kuning, dan hijau mengambil pola tumbuhan pakis seperti pola bias pada bangunan rumah seorang tokoh masyarakat atau pemerintahan. Di salah satu bidang hias, di setiap serambi terdapat dua ukiran bundar yang bagian tengahnya disamar oleh tumbuh-umbuhan. Ukiran tersebut mengmgatkan pada motif uang Belanda dan mahkota kerajaan. Menurut keterangan masyarakat, empat serambi melambangkan Jurai nan Ampek Suku, agama, dan lambang dan empat tokoh pemerintahan (Basa Empat Balai) kerajaan Pagaruyung. Sedangkan ukiran pakis di bagian luar serambi melambangkan kebijaksanaan, persatuan, dan kesatuan dalam nagari. Bangunan menara berdenah segi delapan berdinding kayu dengan jendela jendela semu yang diberi kaca di setiap sisinya. Pada bagian luar, terdapat ukiran sulur-suluran pada bagian bawah dan pada bagian atasnya terdapat hiasan dengan pola segi empat. Bagian atas menara diberi kemuncak yang terdiri dari bulatan-bulatan (labu-labu) yang makin ke atas semakin mengecil dan di akhiri oleh bagian yang runcing (gonjong).













Foto (c) Labor Sejarah FIBA IAIN Padang