Oleh : Firdaus Dt. Sutan Mamad & Muhammad Ilham
Pada awalnya surau merupakan tempat mengajar murid-murid untuk memperoleh pengetahuan dasar keagamaan. Surau sebagai lembaga pendidikan Islam pertama kali didirikan oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Syekh Burhanuddin mendirikan surau bukan hanya untuk tempat shalat saja, tetapi juga untuk mengajarkan Al-Qur'an, Hadis, Tarikat Satariyah. Syekh Burhanuddin terkenal dengan ilmunya yang dalam dan bijaksana dalam menyampaikan agama kepada masyarakat. Syekh Burhanuddin memperioritaskan pendidikan agama terhadap anak-anak, karena generasi ini dianggap berpotensi untuk pengembangan jangka panjang (Azyumardi Azra, 1985 : 29). Syekh Burhanuddin memakai berbagai metode pembelajaran di suraunya. Ada metode yang menarik dilakukannya, sebagaimana yang tulis pada kitap Muballighul Islam sewaktu Syekh Burhanuddin mengajarkan Basmallah pada permainan tondih dengan damar keras, sebagai berikut:
"Adapun beliau Syekh Burhanuddin turut pula dalam permainan itu, tetapi tatkala memulai menggandakan damar itu, beliau membaca doanya, oleh sebab itu selalu beliau beroleh kemenangan. Melihat kejadian itu maka bertanyalah anak-anak kepada beliau, ya Tuan Syekh, apakah doanya yang tuan baca tatkala menggandakan gundu damar itu, bolehkah kami menuntut doanya. Boleh saja kata Syekh Burhanuddin. Sebentar itu beliau ajarkanlah doa itu Bismillah, dengan tolong Allah. Itulah yang mula beliau ajarkan kepada anak-anak itu. Yang membaca doa itu menang pula, kemudian beliau sambung pula sekerat lagi yaitu ar-Rahmanir Rahim. Begitulah caranya Syekh Burhanuddin memberikan pelajaran kepada anak-anak itu dengan mencampuri permainan mereka pada awalnya dan mengajarkan doa dengan lunak lembutnya perkataan beliau dan dengan jalan berangsur-angsur, begitu juga terhadap tingkah laku dan budi pekerti anak-anak itu beliau rubah sedikit demi sedikit, akhirnya dengan tidak disadarinya, mereka menjadi penganut agama Islam yang kuat dan menjadi ahli dakwah kepada ibu bapak mereka masing-masing" (Duski Samad, 2003 : 12-15).
Dari informasi ini dapat kita ketahui bahwa Syekh Burhanuddin mengembangkan ajaran Islam secara lemah lembut, persuasif, melalui pendekatan socio-cultural, tidak dengan kekerasan. Ia memberikan nilai-nilai Islam terhadap permaianan anak-anak dan remaja. Hal ini membuat orang tertarik untuk masuk Islam dan belajar kepadanya. Tidak hanya itu, mereka juga menjadi penyiar agama Islam. Kemana saja mereka pergi, ke tempat perhelatan, tempat jual beli selalu mereka menyiarkan agama Islam. Termasuk di antara muridnya yang berperan besar dalam mengembangkan surau sebagai lembaga pendidikan adalah empat orang Tuanku yang terkenal dengan sebutan Urang Ampek Angkek Oleh karena itu bertambah ramailah anak-anak diserahkan orang tua mereka belajar ke surau Syekh Burhanuddin, tidak hanya anak-anak Tanjung Medan saja, bahkan berdatangan dari kampung-kampung di luar dari Tanjung Medan. Lama- kelamaan surau Syekh Burhanuddin ini ramai dikunjungi oleh para pemuda berbagai nagari di Minangkabau ini.
Syekh Burhanuddin di samping mengajarkan ilmu-ilmu di atas, juga mengajarkan tarekat Satariyah. Melalui pendekatan tarekat Satariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan berbagai pendekatan dan kesederhanaan syekh menyampaikan ajaran Islam kepada muridnya. Pada tahap awal Syekh Burhanuddin langsung menyampaikan pelajaran kepada muridnya, tetapi setelah muridnya bertambah banyak syekh mengangkat muridnya yang senior sebagai guru tuo dan murid yang pintar membantunya (guru mudo). Tugas guru tuo ini untuk memberi pelajaran kepada murid-murid secara terperinci setelah syekh menyampaikan pelajaran secara umum dan guru tuo sekaligus mengawasi murid-murid dan memotivasiny untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hafalan mereka terhadap pelajaran. Sebelum guru tuo ini betul-betul bisa mandiri, dia dilatih untuk membimbing murid-murid pada sebuah surau di sekitar surau induk tersebut. Setelah dia berhasil mandiri baru dia diangkat sebagai Tuanku. Setelah itu baru dia dibolehkan kembali ke kampung halamannya. Tuanku ini nanti mendidikan surau pula di kampung halamannya, maka berkembang Islam dan ajaran tarekat Satariyah di Minangkabau ini (Duski Samad, 2003 : 19).
Di sini dapat terlihat keinginan untuk melahirkan seorang guru pada era ini sudah ada, dimana murid-murid yang agak senior (telah menamatkan ilmu fiqh dan tafsir) diangkat sebagai guru bantu (kader) pada surau tersebut dalam jangka waktu tertentu. Apabila guru bantu tersebut dianggap mampu mandiri, baik dalam penguasaan materi ataupun memecahkan masalah yang terdapat dalam sebuah kitab, maka ia kemudian diangkat menjadi guru muda (engku mudo), kemudian guru tuo dan kemudian tuanku. Di sini baru dia memiliki otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama pada murid-muridnya. Proses ini berlangsung cukup lama. Setelah dia mempunyai otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama barulah dia dibolehkan pulang ke kampung halamannya untuk mendirikan surau baru. Sampai sekarang kita masih melihat banyak pengikut ajaran tarekat Satariyah, mereka tersebar di berbagai wilayah Sumatera Barat. Di antara murid-murid Syekh Burhanuddin yang terkenal adalah Syekh Idris, Syekh Abdul Rahman, Syekh Chairuddin, Syekh Jalaluddin, Syekh Adul Muksin, Syekh Hasan, Syekh Chalidin, Syekh Habibullah, Syekh Sultan Khusa'I, Syekh Djakfar, Syekh Muhammad Sani, Syekh Bosai dan Tuanku Bermawi (Firdaus dkk., 2000 : 27-39)
Apabila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Kelemahannya, kemampuan dalam memahami dan daya analisis kritis siswa terhadap teks kurang. Barang kali di sini letak kekeliruan dalam metode pendidika, sehingga mereka banyak yang membaca dan menghafal isi suatu kitab, tetapi dia tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya. Dalam mengajarkan ilmu keagamaan di surau, guru menggunakan metode sorogan dan pendidikan halaqah . Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih diseputar belajar huruf hijaiyah dan membaca al-Qur'an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti ke-imanan, akhlak dan ibadat. Pelaksanaan pendidikan di surau pada umumnya dilaksanakan pada malam hari (Deliar Noer, 1983 : 95). Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Menurut Samsul Nizar (2001: 17-18), ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu : (1). Pengajaran al-Qur'an. Untuk mempelajari al-Qur'an ada dua macam tingkatan. (2). Pendidikan rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf al-Qur'an dan membaca al-Qur'an. Di samping itu, juga dipelajari cara beruduk dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktek dan menghafal , keimanan –terutama sifat dua puluh- dengan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya. Pendidikan atas, yaitu pendidikan membaca al-Qur'an dengan lagu, qasidah, bezanji, tajwid, dan kitab Parukunan.
Lama pendidikan pada masing-masing jenjang tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa bisa melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi apabila dia bisa menguasai materi-materi yang diajarkan pada tingkat pertama dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari al-Qur'an sebanyak dua atau tiga kali baru ia berhenti dari pengajian al-Qur'an. Setelah menamatkan kedua jenis pendidikan di atas, kemudian siswa diperkenalkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu pengajian kitab. Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqh, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pengajaran pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode mengajarnya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan untuk jenjang pendidikan ini biasanya dilakukan pada siang dan malam hari.
Referensi yang dipakai oleh para guru, pada mulanya mengacu pada kitab tertentu. Setelah para ulama Minangkabau kembali dari timur Tengah baru berbagai referensi digunakan. Hal ini disebabkan karena pada tahap awal, susah mendapatkan kitab-kitab Arab tersebut, baru setelah para ulama kembali dari Timur Tengah mereka membawa kitab-kitab baru dari Arab, Mesir dan sebagaiya. Surau setelah berubah menjadi lembaga pendidikan keagamaan Islam dan tarekat, maka surau terus berkembang dengan pesat. Setiap ulama di Minangkanbau memiliki surau tersendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan pengajaran agama maupun tarekat. Pada era ini, perkembangan tarekat menemukan dan momentumnya, sehingga dapat dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan suatu jenis lembaga pendidikan masyarakat, akan tetapi lebioh dari itu menunjukan bentuk tarekat yang diatur oleh suatu komunitas masyarakat Islam Minangkabau. Pada era ini surau susah membedakan antara tempat praktek tarekat dengan surau sebagai lembaga pendidikan. Setiap surau di Minangkabau memiliki otoritasnya tersendiri, baik dalam praktek tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu keislaman.
Di Minangkabau ajaran tarekat ini mempunyai daya tarik tersendiri, seperti kesederhanaan pengikutnya, pendekatannya persuasif (tidak dengan kekerasan), gurunya banyak yang "keramat", sehingga tarekat mendapat tempat di hati masyarakat. Walaupun demikian tarekat juga mempunyai kelemahan, seperti ada yang tidak melarang praktik-praktik singkretis yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau. Seperti pelaksanaan adat yang bercampur baur dengan khurafat dan bid'ah. Contohnya menyabung ayam, berjudi, memakar kemenyan waktu berdoa, percaya pada ajimat dan sebagainya. Akan tetapi ada juga guru tarekat yang melarang perbuatan yang bertentangan dengan agama, sering dilakukan oleh kebiasaan orang Minangkabau seperti berjudi, minum tuak dan sebagainya. Guru tarekat tersebut adalah Syekh Abdur Rahman dari surau Batu Hampar, Payakumbuh. Syekh Abdur Rahman berupaya menyadarkan masyarakat dengan memakai metode persuasif, yakni dengan bersama-sama para ulama, pemuka adat untuk mengajak masyarakat meninggalkan praktek adat yang bercampur dengan khurafat dan bid'ah. Dengan cara ini dia, berhasil menyadarkan masyarakat. Keberhasilan ini membuat surau yang didirikan oleh Syekh Abdur Rahman menjadi ramai dikunjungi oleh murid-murid dari berbagai daerah, bahkan tidak hanya masyarakat Minangkabau saja yang belajar di sini, tetapi juga dari Jambi, Palembang, Bangka dan sebagainya. Meskipun Syekh Abdur Rahman berhasil menyadarkan masyarakat di daerah Payakumbuh, tetapi di daerah Agam, malah sebaliknya (Sanusi Lathif, 1988 : 58-61).
Tuanku Nan Tuo dengan murid-muridnya yang punya otoritas keilmuan figh, lebih menekankan agar syariat harus diamalkan oleh masyarakat yang sudah beragama Islam. Masyarakat yang sudah mengkristal kebiasaan menyabung ayam, berjudi, merampok, mencuri dan sebagainya, sulit untuk disadarkan bahkan mereka melakukan protes dengan berbuat sewenang-wenang terhadap yang dilarang agama tersebut. Hal inilah yang membuat Tuanku Nan Tuo melakukan gerakan pemurnian, membersihkan masyarakat dari khurafat, tahayul dan bid'ah tersebut dan mengajarkan bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Sikap antara kaum adat yang ingin mempertahankan tradisi lamanya yang khurafat, bid'ah, tahayul dan singkretis dengan sikap para ulama yang ingin membersihkan amalan masyarakat dari khurafat, bid'ah, tahayul dan singkretis ini menimbulkan polemik keagamaan yang lama kelamaan semakin meruncing, terutama sekembalinya para ulama Minangkabau dari Mekkah pada awal abad ke 19 M. yaitu Haji Sumaniak, Haji Miskin dan Haji Piobang. Polemik ini semakin mengkristal, sehingga para ulama yang ingin memurnikan ajaran Islam memakai atribut pakaian putih dan kaum adat dan termasuk ulama yang tetap mempertahankan adat yang bercampur dengan khurafat, tahayul, bid'ah dan singkritis memakai pakaian hitam-hitam. Sikap-sikap ini yang memicu munculnya gerakan Padri.
Gerakan Padri, merupakan pergerakan keagamaan yang terinspirasi oleh gerakan Wahabi. Pada mulanya gerakan Padri ini -yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo - ingin menerapkan syari'at Islam secara murni, tetapi mendapat reaksi oleh kaum adat. Ini membuat Tuanku Nan Tuo beserta murid-muridnya menjalankan dakwahnya dengan keras bahkan mereka turun ke masyarakat untuk melarang orang melakukan judi, menyabung ayam, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan datangnya 3 orang haji dari Mekkah pada tahun 1803 yang melihat bagaimana kaum Wahabi dalam memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan perbuatan tahayul, khurafat dan bid'ah tersebut. Dengan membawa semangat pembaharuan dan pemurnian yang dibawa oleh Wahabi ini, mereka berupaya untuk mengikis habis khurafat, bid'ah dan tahayul dari masyarakat Minangkabau. Upaya ini dilakukan baik melalui pelaksanaan pendidikan salaf di surau-surau, maupun langsung berdebat secara frontal dengan kaum adat. Upaya dakwah yang demikian kurang disenangi, bahkan mendapat tantangan keras dari kaum adat yang berfikiran ortodoks. Schrieke membantah bahwa gerakan Padri itu sama dengan gerakan Wahabi. Dia menjelakan bahwa gerakan Padri menentang lembaga-lembaga sosial yang sudah ada sejak dulu. Menurutnya kaum Padri ingin menerapkan hukum Islam dan warisan sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka menyebarluaskan ajaran-ajarannya dengan "kekerasan".
Pendapat penulis, memang gerakan Padri tidak sama dengan gerakan Wahabi, tetapi secara tidak langsung pengaruh dari paham Wahabi itu bisa terjadi melalui tiga orang haji (H. Miskin, Piobang dan Sumaniak). Pengaruh dari dalam juga sangat berarti dalam gerakan ini, seperti di surau Tunku Nan Tuo lebih menekankan pengajaran fiqh (hukum Islam). Jadi keinginan untuk menjalankan syariat secara benar itu berpengaruh kepada pikiran murid-murid Tunku Nan Tuo. Jadi pertermuan antara faktor dari dalam (otoritas keilmuan fiqh) dan faktor dari luar (paham Wahabi) membuat gerakan Padri menjadi aktif (B.O.J Schrieke, 1973 : 60-61). Terbentuknya gerakan Padri ini, setelah Tuanku Nan Renceh bergabung dengan Tuanku Nan Tuo dan H. Miskin serta para ulama yang sepaham dengan keinginan melakukan pemurnian terhadap ajaran Islam dan ingin menerapkan hukum Islam di masyarakat. Akan tetapi gerakan ini setelah mendapat dukungan dari Harimau Nan Salapan, semakin berani. Bahkan mereka melakukan pembakaran terhadap kampung yang masyarakatnya tidak mau menerapkan hukum Islam dan meninggalkan kebiasaan berjudi, mengadu ayam dan sebaginya. Hal ini membuat Tuanku Nan Tuo kurang simpati kepada gerakan Padri ini dan tidak mau menggunakan pengaruhnya dalam gerakan Padri ini.
Pertikaian antara kaum adat dengan para ulama ini mengarah kepada peperangan dan saling merebut wilayah kekuasaan. Sewaktu kaum adat terdesak, mereka minta bantuan kepada pihak Belanda. Inilah yang menyebabkan kaum Padri menghadapi dua lawan. Kaum adat dan kolonial Belanda. Yang akhirnya kaum Padri mengalami kekalahan. Walaupun mereka mengalami kekalahan tetapi semangat nasionalisme akhirnya tumbuh bagi kaum Padri dan bahkan oleh kaum adat sendiri. Setelah berakhir Perang Padri dan Belanda menjajah Minangkabau, maka eksistensi lembaga pendidikan surau mengalami kemunduran. Akibatnya banyak surau yang terlantar dan kehilangan syekh karena banyak yang dibunuh oleh Belanda dalam peperangan. Berdasakan hal demikian agaknya mendorong orang tua mengirimkan anak-anaknya ke tanah suci yang tidak hanya untuk naik haji saja tetapi juga untuk belajar agama. Bahkan ada yang tinggal di sana sebagai guru dan imam di Mesjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Khatib. Melalui Syekh Ahmad Khatib inilah muncul gerakan pembaharuan tahap ke dua di Minangkabau . Ia menyebarkan ide-ide pembaharuannya langsung dari tempat tinggalnya di Mekkah. Ide-ide Ahmad Khatib di salurkan ke Minangkabau terutama melalui murid-muridnya yang kembali ke Minangkabau. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Syekh Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Syekh Haji Abdullah Ahmad, Syekh Haji Thaib Umar, Syekh Haji Djamil Djembek, Syekh Haji Ibrahim, Musa dan Abdullah Abbas . Mereka ini kelak dikenal sebagai ulama Kaum Muda. Pembaharuan yang dihembuskan Ahmad Khatib pada intinya ingin menghapuskan segala macam taqlid yang membabi buta terhadap tradisi yang dianutnya selama ini.
Gerakan pembaharuan tahap ke dua ini dijiwai oleh semangat baru dan kebangkitan baru. Ide-ide nasionalisme dan pengungkapan-pengungkapan buah pikiran dengan jalan langsung dan tegas. Syekh Haji Thaher Jalaluddin adalah tokoh dibalik pembaharuan dan semangat ini. Sumber dari pembaharuan dan semangat ini adalah dari Mesir . Gerakan Kaum Muda di Minangkabau mendapat inspirasi dari dua kota peradaban Islam, Mekkah dan Mesir. Masing-masing dipengaruhi oleh Ahmad Khatib dan Thaher Jalaluddin. Inti dari gerakan modernisasi Kaum Muda adalah menuntut suatu sikap beragama yang rasional dan tidak hannya mengekor pada fatwa-fatwa yang tidak jelas sumbernya. Sebagai basis pergerakan Kaum Muda mendirikan sekolah-sekolah agama. Pendirian sekolah ini ditujukan untuk memodernisir sistim pendidikan tradisional Islam (surau) yang selama ini dirasakan kaku dan statis juga ditujukan untuk membina kader-kader ulama . Bentuk sekolah agama yang didirikan berbeda gaya dan metodenya dengan sekolah agama yang ada sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain pada sekolah yang didirikan Kaum Muda yang mempergunakan sistim klasikal hampir mirip dengan sekolah milik pemerintah Belanda. Kecuali metode belajar mengajar yang dipergunakan tidak lagi menuntut supaya murid menerima apa saja yang disampaikan guru sebagaimana yang berlaku pada pendidikan tradisional. Tetapi memberikan kesempatan pada murid untuk berperan dan bersikap kritis serta logis dalam mengikuti pelajaran. Dalam prose interaksi belajar mengajar buku juga dipergunakan sebagai bahan sumber. Kurikulumpun disesuaikan dengan kurikulum pendidikan Islam modern yang tidak terfokus pada pendidikan agama saja, melainkan juga menyangkut masalah umum seperti bahasa Belanda, matematika, ekonomi, sejarah dan geografi .
Dalam hal ini Syekh Abdullah Ahmad memprakasai berdirinya "Syarikat Oesaha" di Padang. Kemudian "Syarikat Oesaha" ini mengambil inisiatif untuk HIS Adabiah pada tanggal 23 Agustus 1915 di Padang . Madrasah ini merupakan pelopor perubahan dan pembaharuan yang pertama kali dilakukan tidak hannya di Minangkabau melainkan juga di Indonesia dalam bidang pendidikan Islam dari sistim halaqah ke sistim kelas. Di samping itu HIS Adabiah ini berbeda dengan HIS yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. HIS Hindia Belanda hanya untuk kalangan bangsawan dan pegawai Hindia Belanda, sedangkan HIS Adabiah terbuka untuk umum sejauh dapat membayar uang pendidikan yang tidak begitu mahal. Oleh karena itu, kalangan pedagang sangat suka dengan madrasah ini sehingga mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah ke HIS Adabiah. Mengiring pendirian HIS Adabiyah (Mahmud Yunus, 1985 : 71). Pembaharuan yang dilakukan oleh Syekh Abdulah Ahmad ini tidak hanya di bidang kurikulum, metode mengajar dan sistem halaqah, tetapi juga perubahan dari segi biaya pendidikan. Selama ini di surau murid-murid tidak membayar uang pendidikan kepada syekh dan murid-murid mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mendapatkan sedeqah, infaq dan zakat masyarakat sekitar surau, maka pada madrasah HIS Adabiah ini murid-murid harus membayar kepada lembaga pendidikan, walaupun tidak mahal. Ternyata ini mendapat dukungan dari masyarakat Padang, terutama para pedagang. Barangkali dari sinilah mulai dilakukan pungutan oleh sekolah (khusus di Minangkabau). Sampai sekarang masih dilakukan pungutan di sekolah-sekolah walaupun sudah dibantu oleh pemerintah.
Perubahan ini terjadi menurut Azyumardi Azra, karena terjadinya perubahan sistem pendidikan agama dan ditambah dengan perubahan-perubahan ekonomi yang dilancarkan pemerintah kolonial . Ini merubah watak dasar orang siak dan surau. Orang siak yang pada masa kejayaan surau belajar agama dari satu surau ke surau lain dengan biaya yang diperoleh dari sedekah umat, kini terpaksa menjadi madrasah modern atas biaya keluarga. Perubahan yang mendasar ini membawa dampak yang besar terhadap eksistensi surau di tengah-tengah masyarakat. Sebelumnya orang siak mempunyai jalinan hubungan yang kuat dengan masyarakat, mereka saling membutuhkan keduanya. Orang siak membutuhkan bantuan biaya pendidikan dari masyarakat, sementara masyarakat memerlukan orang siak untuk mengajarkan agama, menjalankan upacara-upacara keagamaan di nagari dan kembali ke kampungnya untuk menjadi guru agama – dengan mendirikan surau baru—setelah menyelesaikan pelajarannya di surau gurunya.
Kemudian Syekh Haji Thaib Umar mendirikan Madrasah agama di Sungayang, Batusangkar dengan nama Madrasah School (sekolah agama). Meskipun sekolah ini berjalan dengan baik dan lancar, namun hannya diadakan satu kelas saja sebagai tangga untuk mengkaji kitab-kitab besar seperti tingkat tinggi pada pengajian kitab pada lembaga pendidikan tradisional. Kitab-kitab besar yang dimaksud adalah buku-buku yang tebal yang belum pernah dipelajari pada tingkatan sebelumnya. Pada tahun 1931 diubah lagi namanya menjadi Aljami'ah. Sekarang sekolah ini masih berdiri dengan nama Hidayah Islamiah. Kemudian pada tanggal 10 Oktober 1915, Zainuddin Labai El Yunusiyah mantan murid Syekh Abdullah Abbas mendirikan sekolah Diniyah di Padang Panjang. Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya sebagaimana yang dilakukan sekolah Belanda. Selain yang telah disebutkan itu, masih ada lagi lembaga pendidikan Kaum Muda yang perlu diketengahkan, yakni Sumatera Thawalib. Bagindo Rasyad yang baru kembali dari Eropa pada tahun 1915 memprakarsai rapat umum di Padang Panjang. Pemikiran yang diberikan tokoh ini adalah pentingnya organisasi. Pemikiran ini mengilhami para pelajar Surau Jembatan Besi Padang Panjang berfikir tentang usaha mendirikan organisasi. Dari ide tersebut lahirlah organisasi yang disebut "Perkumpulan Sabun", karena organisasi ini memenuhi kebutuhan sehari-hari para pelajar dari menjual sabun. Aktivitas organisasi ini berkembang secara pesat hingga mampu menggaji para guru yang mengajar di surau. Tahun 1918 organisasi ini berubah menjadi Sumatera Thawalib. Sumatera Thawalib mempunyai corak tersendiri di samping sebagai pembawa aliran baru dalam rangka memodernisasi Islam di Minangkabau. Selain itu Sumatera Thawalib juga mempunyai hubungan langsung dengan puncak kesadaran nasional di Minangkabau (Samsul Nizar, 2005 : 71-73).
Langkah-langkah Kaum Muda dalam menyebarkan ide-ide pembaharuannya mendapat reaksi dan tantangan yang cukup keras dari kalangan ulama-ulama tradisional yang ingin mempertahankan keadaan lama yang dipandang sudah mapan.kelompok penentang inilah yang disebut dengan Kaum Tua. Pangkal pertentangan itu adalah dalam soal tarekat yang kemudian berkembang hingga persoalan-persoalan khilafiyah, seperti melafazkan ushalli ketika akan memulai shalat, mentalqinkan mayat, wajib ru'yah dan haram hisab, membaca barzanji dengan berdiri dan lain-lain yang berhubungan dengan syari'at dan ibadah. Polemik mengenai tarekat timbul sejak awal abad ke dua puluh. Yaitu ketika timbulnya kecaman-kecaman terhadap Tarekat Naqsabandiyah yang berkembang di Minangkabau keika itu. Ulama tradisional (Kaum Tua) bangkit untuk menangkis kecaman-kecaman Kaum Muda akibatnya debat polemik yang berkepanjangan. Debat polemik yang terjadi melibatkan banyak tokoh dan mempergunakan bermacam dalil untuk itu pada gilirannya melahirkan kepustakaan yang menjadi "Mutiara" yang tinggi bagi generasi berikutnya. Hikmah penting yang dapat diambil dari polemik itu bagi kita adalah analisa keislaman tumbuh subur di antara dua kelompok yang berseteru. Dampaknya adalah untuk merangsang orang Minangkabau untuk menggali Islam secara mendalam.
Murid dalam menuntut ilmu di surau tidak dipungut bayaran apapun, termasuk uang sekolah, uang asrama, atau uang makan. Oleh karena itu murid yang disebut juga dengan orang siak jarang sekali memberikan uang kepada syekh, walaupun ada diberikan pihak keluarga dengan ikhlas. Untuk biaya hidup bagi murid (orang siak) berasal dari masyarakat kampung yang berada di sekitar surau tersebut. Biasanya dijemput sendiri oleh murid atau diantar oleh masyarakat sekitarnya. Dalam menunjang pemenuhan kebutuhan orang siak, masyarakat kota yang berdekatan dengan surau juga ikut berpartisipasi. Misalnya jasa masyarakat Pariaman terhadap murid-murid syekh Burhanuddin di Ulakan, masyarakat kota Payakumbuh terhadap murid-murid yang belajar agama di Parabek dan sekitarnya. Setiap hari Minggu masyarakat mengantarkan beras, sayur dan kebutuhan pokok lainnya dengan pedati. Orang siak (murid) yang datang dari negeri jauh biasanya setiap hari Kamis menyebar ke negeri-negeri sekitar surau dengan membawa buntil (kantong beras seperti karung terigu), dan sore harinya mereka kembali dengan buntilan beras dan uang untuk biaya seminggu. Masyarakat memberikan zakat, sadaqah, infaq dan sebagainya kepada murid-murid (orang siak atau pakiah) dan bahkan kepada syekh yang mengajar dan memberi ceramah di surau tersebut. Masyarakat senang memberikan sedeqah, infaq dan berzakat kepada syekh atau murid-murid surau, karena mereka butuh bimbingan dan syekh dan waktu-waktu tertentu mereka memanggil syekh atau orang siak untuk berdo'a di rumah mereka.
Masyarakat mau berzakat kepada murid-murid surau (orang siak/pakiah), karena pakiah ini termasuk dalam golongan asnaf yang delapan. Yakni orang-orang yang berhak menerima zakat, di antaranya fakir atau pakiah dalam istilah Minangkabau. Di samping itu mereka membutuhkan pakiah/ orang siak ini untuk mengajar anak-anak mereka mengaji dan berdo'a serta untuk upacara-upacara keagamaan di nagari mereka. Yang dinamakan golongan fakir ialah orang yang tidak berharta dan tidak dapat bekerja. Oleh sebab itu barang siapa yang dapat bekerja, maka yang demikian itulah yang mengeluarkannya dari sifat kefakiran yakni bukan disebut orang fakir lagi. Jikalau seseorang yang sedang memperdalam ilmu pengetahuan terhalang untuk ia bekerja, maka ia dianggap sebagai seorang fakir, karena dia dianggap tidak mampu untuk bekerja. Dia tidak ada waktu untuk bekerja, karena waktu dan pikirannya terpusat untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Dengan demikian murid-murid yang belajar di surau ini berhak menerima zakat. Di samping itu murid-murid tersebut juga tergolong ke dalam fi sabilillah. Kata ' sabilillah" yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60, menurut ahli fiqh tradisional ialah para pejuang yang berperang di medan peperangan. Pemahaman terbatas "sabilillah " ini membuat masyarakat kurang berani menggunakan zakat untuk keperluan pendidikan. Menurut pendapat Muhammad Jamaluddin Alqasimi bahwa sabilillah yang berhak menerima zakat adalah semua amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yang dapat mengokohkan kelangsungan agama-Nya dan syariat-Nya. Umpamanya untuk pendirian surau, madrasah, pembelian buku-buku (kitab) ilmu pengetahuan yang membantu melaksanakan usaha-usaha kebaikan, rencana-rencana kebaktian yang sebenarnya amat banyak macamnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka zakat dapat juga diberikan kepada orang-orang yang sedang membangun sarana dan prasana pendidikan seperti surau, beli buku-buku referensi di lembaga pendidikan tersebut, alat media dan sebagainya. Pada prinsipnya untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran. Dari data yang kita kemukakan di atas, biaya pendidikan surau merupakan swadaya dari masyarakat setempat. Tidak ada mendapat subsidi dari pemerintah. Akan tetapi murid-murid yang dihasilkan dari surau ini dapat diandalkan dan mandiri. Setelah tamat mereka dari surau yang diajarkan oleh syekh, mereka dapat diangkat menjadi tuanku dan mampu mendirikan surau baru sekaligus menerima murid-murid pula di surau yang dibangunnya tersebut. Bahkan masyarakat beramai-ramai membantu membangun surau baru tersebut. Barangkali berbeda dengan alumni lembaga pendidikan madrasah sekarang yang belum mampu mandiri mengajarkan ajaran agama kepada murid-murid. Pada perkembangan selanjutnya – setelah berdiri madrasah Adabiah—biaya pendidikan yang selama ini dibiayai oleh masyarakat, sekarang dibiayai keluarganya (orang tua, mamak dan sebagainya). Ini disebabkan karena terjadinya perubahan pada sistem pendidikan surau dan perubahan yang terjadi pada perekonomian rakyat oleh pemerinatah Hindia Belanda. Selanjutnya terjadi lagi perkembangan tentang biaya pendidikan ini. Pada surau Jembatan Besi Padang Panjang, para pelajar yang menuntut ilmu di surau ini mendirikan perkumpulan (prganisasi) semacam koperasi untuk menggaji para gurunya di surau. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi Sumatra Thawalib.
(Artikel lengkap telah diterbitkan dalm Jurnal Tabuah Edisi Juli/Desember 2009 FIB-Adab IAIN Padang)
"Adapun beliau Syekh Burhanuddin turut pula dalam permainan itu, tetapi tatkala memulai menggandakan damar itu, beliau membaca doanya, oleh sebab itu selalu beliau beroleh kemenangan. Melihat kejadian itu maka bertanyalah anak-anak kepada beliau, ya Tuan Syekh, apakah doanya yang tuan baca tatkala menggandakan gundu damar itu, bolehkah kami menuntut doanya. Boleh saja kata Syekh Burhanuddin. Sebentar itu beliau ajarkanlah doa itu Bismillah, dengan tolong Allah. Itulah yang mula beliau ajarkan kepada anak-anak itu. Yang membaca doa itu menang pula, kemudian beliau sambung pula sekerat lagi yaitu ar-Rahmanir Rahim. Begitulah caranya Syekh Burhanuddin memberikan pelajaran kepada anak-anak itu dengan mencampuri permainan mereka pada awalnya dan mengajarkan doa dengan lunak lembutnya perkataan beliau dan dengan jalan berangsur-angsur, begitu juga terhadap tingkah laku dan budi pekerti anak-anak itu beliau rubah sedikit demi sedikit, akhirnya dengan tidak disadarinya, mereka menjadi penganut agama Islam yang kuat dan menjadi ahli dakwah kepada ibu bapak mereka masing-masing" (Duski Samad, 2003 : 12-15).
Dari informasi ini dapat kita ketahui bahwa Syekh Burhanuddin mengembangkan ajaran Islam secara lemah lembut, persuasif, melalui pendekatan socio-cultural, tidak dengan kekerasan. Ia memberikan nilai-nilai Islam terhadap permaianan anak-anak dan remaja. Hal ini membuat orang tertarik untuk masuk Islam dan belajar kepadanya. Tidak hanya itu, mereka juga menjadi penyiar agama Islam. Kemana saja mereka pergi, ke tempat perhelatan, tempat jual beli selalu mereka menyiarkan agama Islam. Termasuk di antara muridnya yang berperan besar dalam mengembangkan surau sebagai lembaga pendidikan adalah empat orang Tuanku yang terkenal dengan sebutan Urang Ampek Angkek Oleh karena itu bertambah ramailah anak-anak diserahkan orang tua mereka belajar ke surau Syekh Burhanuddin, tidak hanya anak-anak Tanjung Medan saja, bahkan berdatangan dari kampung-kampung di luar dari Tanjung Medan. Lama- kelamaan surau Syekh Burhanuddin ini ramai dikunjungi oleh para pemuda berbagai nagari di Minangkabau ini.
Syekh Burhanuddin di samping mengajarkan ilmu-ilmu di atas, juga mengajarkan tarekat Satariyah. Melalui pendekatan tarekat Satariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan berbagai pendekatan dan kesederhanaan syekh menyampaikan ajaran Islam kepada muridnya. Pada tahap awal Syekh Burhanuddin langsung menyampaikan pelajaran kepada muridnya, tetapi setelah muridnya bertambah banyak syekh mengangkat muridnya yang senior sebagai guru tuo dan murid yang pintar membantunya (guru mudo). Tugas guru tuo ini untuk memberi pelajaran kepada murid-murid secara terperinci setelah syekh menyampaikan pelajaran secara umum dan guru tuo sekaligus mengawasi murid-murid dan memotivasiny untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hafalan mereka terhadap pelajaran. Sebelum guru tuo ini betul-betul bisa mandiri, dia dilatih untuk membimbing murid-murid pada sebuah surau di sekitar surau induk tersebut. Setelah dia berhasil mandiri baru dia diangkat sebagai Tuanku. Setelah itu baru dia dibolehkan kembali ke kampung halamannya. Tuanku ini nanti mendidikan surau pula di kampung halamannya, maka berkembang Islam dan ajaran tarekat Satariyah di Minangkabau ini (Duski Samad, 2003 : 19).
Di sini dapat terlihat keinginan untuk melahirkan seorang guru pada era ini sudah ada, dimana murid-murid yang agak senior (telah menamatkan ilmu fiqh dan tafsir) diangkat sebagai guru bantu (kader) pada surau tersebut dalam jangka waktu tertentu. Apabila guru bantu tersebut dianggap mampu mandiri, baik dalam penguasaan materi ataupun memecahkan masalah yang terdapat dalam sebuah kitab, maka ia kemudian diangkat menjadi guru muda (engku mudo), kemudian guru tuo dan kemudian tuanku. Di sini baru dia memiliki otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama pada murid-muridnya. Proses ini berlangsung cukup lama. Setelah dia mempunyai otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama barulah dia dibolehkan pulang ke kampung halamannya untuk mendirikan surau baru.
Apabila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Kelemahannya, kemampuan dalam memahami dan daya analisis kritis siswa terhadap teks kurang. Barang kali di sini letak kekeliruan dalam metode pendidika, sehingga mereka banyak yang membaca dan menghafal isi suatu kitab, tetapi dia tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya. Dalam mengajarkan ilmu keagamaan di surau, guru menggunakan metode sorogan dan pendidikan halaqah . Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih diseputar belajar huruf hijaiyah dan membaca al-Qur'an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti ke-imanan, akhlak dan ibadat. Pelaksanaan pendidikan di surau pada umumnya dilaksanakan pada malam hari (Deliar Noer, 1983 : 95).
Lama pendidikan pada masing-masing jenjang tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa bisa melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi apabila dia bisa menguasai materi-materi yang diajarkan pada tingkat pertama dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari al-Qur'an sebanyak dua atau tiga kali baru ia berhenti dari pengajian al-Qur'an.
Referensi yang dipakai oleh para guru, pada mulanya mengacu pada kitab tertentu. Setelah para ulama Minangkabau kembali dari timur Tengah baru berbagai referensi digunakan. Hal ini disebabkan karena pada tahap awal, susah mendapatkan kitab-kitab Arab tersebut, baru setelah para ulama kembali dari Timur Tengah mereka membawa kitab-kitab baru dari Arab, Mesir dan sebagaiya.
Di Minangkabau ajaran tarekat ini mempunyai daya tarik tersendiri, seperti kesederhanaan pengikutnya, pendekatannya persuasif (tidak dengan kekerasan), gurunya banyak yang "keramat", sehingga tarekat mendapat tempat di hati masyarakat. Walaupun demikian tarekat juga mempunyai kelemahan, seperti ada yang tidak melarang praktik-praktik singkretis yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau. Seperti pelaksanaan adat yang bercampur baur dengan khurafat dan bid'ah. Contohnya menyabung ayam, berjudi, memakar kemenyan waktu berdoa, percaya pada ajimat dan sebagainya. Akan tetapi ada juga guru tarekat yang melarang perbuatan yang bertentangan dengan agama, sering dilakukan oleh kebiasaan orang Minangkabau seperti berjudi, minum tuak dan sebagainya. Guru tarekat tersebut adalah Syekh Abdur Rahman dari surau Batu Hampar, Payakumbuh. Syekh Abdur Rahman berupaya menyadarkan masyarakat dengan memakai metode persuasif, yakni dengan bersama-sama para ulama, pemuka adat untuk mengajak masyarakat meninggalkan praktek adat yang bercampur dengan khurafat dan bid'ah. Dengan cara ini dia, berhasil menyadarkan masyarakat. Keberhasilan ini membuat surau yang didirikan oleh Syekh Abdur Rahman menjadi ramai dikunjungi oleh murid-murid dari berbagai daerah, bahkan tidak hanya masyarakat Minangkabau saja yang belajar di sini, tetapi juga dari Jambi, Palembang, Bangka dan sebagainya. Meskipun Syekh Abdur Rahman berhasil menyadarkan masyarakat di daerah Payakumbuh, tetapi di daerah Agam, malah sebaliknya (Sanusi Lathif, 1988 : 58-61).
Tuanku Nan Tuo dengan murid-muridnya yang punya otoritas keilmuan figh, lebih menekankan agar syariat harus diamalkan oleh masyarakat yang sudah beragama Islam. Masyarakat yang sudah mengkristal kebiasaan menyabung ayam, berjudi, merampok, mencuri dan sebagainya, sulit untuk disadarkan bahkan mereka melakukan protes dengan berbuat sewenang-wenang terhadap yang dilarang agama tersebut. Hal inilah yang membuat Tuanku Nan Tuo melakukan gerakan pemurnian, membersihkan masyarakat dari khurafat, tahayul dan bid'ah tersebut dan mengajarkan bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.
Gerakan Padri, merupakan pergerakan keagamaan yang terinspirasi oleh gerakan Wahabi. Pada mulanya gerakan Padri ini -yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo - ingin menerapkan syari'at Islam secara murni, tetapi mendapat reaksi oleh kaum adat. Ini membuat Tuanku Nan Tuo beserta murid-muridnya menjalankan dakwahnya dengan keras bahkan mereka turun ke masyarakat untuk melarang orang melakukan judi, menyabung ayam, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan datangnya 3 orang haji dari Mekkah pada tahun 1803 yang melihat bagaimana kaum Wahabi dalam memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan perbuatan tahayul, khurafat dan bid'ah tersebut. Dengan membawa semangat pembaharuan dan pemurnian yang dibawa oleh Wahabi ini, mereka berupaya untuk mengikis habis khurafat, bid'ah dan tahayul dari masyarakat Minangkabau. Upaya ini dilakukan baik melalui pelaksanaan pendidikan salaf di surau-surau, maupun langsung berdebat secara frontal dengan kaum adat. Upaya dakwah yang demikian kurang disenangi, bahkan mendapat tantangan keras dari kaum adat yang berfikiran ortodoks.
Pendapat penulis, memang gerakan Padri tidak sama dengan gerakan Wahabi, tetapi secara tidak langsung pengaruh dari paham Wahabi itu bisa terjadi melalui tiga orang haji (H. Miskin, Piobang dan Sumaniak). Pengaruh dari dalam juga sangat berarti dalam gerakan ini, seperti di surau Tunku Nan Tuo lebih menekankan pengajaran fiqh (hukum Islam). Jadi keinginan untuk menjalankan syariat secara benar itu berpengaruh kepada pikiran murid-murid Tunku Nan Tuo. Jadi pertermuan antara faktor dari dalam (otoritas keilmuan fiqh) dan faktor dari luar (paham Wahabi) membuat gerakan Padri menjadi aktif (B.O.J Schrieke, 1973 : 60-61). Terbentuknya gerakan Padri ini, setelah Tuanku Nan Renceh bergabung dengan Tuanku Nan Tuo dan H. Miskin serta para ulama yang sepaham dengan keinginan melakukan pemurnian terhadap ajaran Islam dan ingin menerapkan hukum Islam di masyarakat. Akan tetapi gerakan ini setelah mendapat dukungan dari Harimau Nan Salapan, semakin berani. Bahkan mereka melakukan pembakaran terhadap kampung yang masyarakatnya tidak mau menerapkan hukum Islam dan meninggalkan kebiasaan berjudi, mengadu ayam dan sebaginya. Hal ini membuat Tuanku Nan Tuo kurang simpati kepada gerakan Padri ini dan tidak mau menggunakan pengaruhnya dalam gerakan Padri ini.
Pertikaian antara kaum adat dengan para ulama ini mengarah kepada peperangan dan saling merebut wilayah kekuasaan. Sewaktu kaum adat terdesak, mereka minta bantuan kepada pihak Belanda. Inilah yang menyebabkan kaum Padri menghadapi dua lawan. Kaum adat dan kolonial Belanda. Yang akhirnya kaum Padri mengalami kekalahan. Walaupun mereka mengalami kekalahan tetapi semangat nasionalisme akhirnya tumbuh bagi kaum Padri dan bahkan oleh kaum adat sendiri. Setelah berakhir Perang Padri dan Belanda menjajah Minangkabau, maka eksistensi lembaga pendidikan surau mengalami kemunduran. Akibatnya banyak surau yang terlantar dan kehilangan syekh karena banyak yang dibunuh oleh Belanda dalam peperangan. Berdasakan hal demikian agaknya mendorong orang tua mengirimkan anak-anaknya ke tanah suci yang tidak hanya untuk naik haji saja tetapi juga untuk belajar agama. Bahkan ada yang tinggal di sana sebagai guru dan imam di Mesjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Khatib. Melalui Syekh Ahmad Khatib inilah muncul gerakan pembaharuan tahap ke dua di Minangkabau . Ia menyebarkan ide-ide pembaharuannya langsung dari tempat tinggalnya di Mekkah. Ide-ide Ahmad Khatib di salurkan ke Minangkabau terutama melalui murid-muridnya yang kembali ke Minangkabau. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Syekh Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Syekh Haji Abdullah Ahmad, Syekh Haji Thaib Umar, Syekh Haji Djamil Djembek, Syekh Haji Ibrahim, Musa dan Abdullah Abbas . Mereka ini kelak dikenal sebagai ulama Kaum Muda. Pembaharuan yang dihembuskan Ahmad Khatib pada intinya ingin menghapuskan segala macam taqlid yang membabi buta terhadap tradisi yang dianutnya selama ini.
Gerakan pembaharuan tahap ke dua ini dijiwai oleh semangat baru dan kebangkitan baru. Ide-ide nasionalisme dan pengungkapan-pengungkapan buah pikiran dengan jalan langsung dan tegas. Syekh Haji Thaher Jalaluddin adalah tokoh dibalik pembaharuan dan semangat ini. Sumber dari pembaharuan dan semangat ini adalah dari Mesir . Gerakan Kaum Muda di Minangkabau mendapat inspirasi dari dua kota peradaban Islam, Mekkah dan Mesir. Masing-masing dipengaruhi oleh Ahmad Khatib dan Thaher Jalaluddin. Inti dari gerakan modernisasi Kaum Muda adalah menuntut suatu sikap beragama yang rasional dan tidak hannya mengekor pada fatwa-fatwa yang tidak jelas sumbernya. Sebagai basis pergerakan Kaum Muda mendirikan sekolah-sekolah agama. Pendirian sekolah ini ditujukan untuk memodernisir sistim pendidikan tradisional Islam (surau) yang selama ini dirasakan kaku dan statis juga ditujukan untuk membina kader-kader ulama .
Dalam hal ini Syekh Abdullah Ahmad memprakasai berdirinya "Syarikat Oesaha" di Padang. Kemudian "Syarikat Oesaha" ini mengambil inisiatif untuk HIS Adabiah pada tanggal 23 Agustus 1915 di Padang . Madrasah ini merupakan pelopor perubahan dan pembaharuan yang pertama kali dilakukan tidak hannya di Minangkabau melainkan juga di Indonesia dalam bidang pendidikan Islam dari sistim halaqah ke sistim kelas. Di samping itu HIS Adabiah ini berbeda dengan HIS yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. HIS Hindia Belanda hanya untuk kalangan bangsawan dan pegawai Hindia Belanda, sedangkan HIS Adabiah terbuka untuk umum sejauh dapat membayar uang pendidikan yang tidak begitu mahal. Oleh karena itu, kalangan pedagang sangat suka dengan madrasah ini sehingga mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah ke HIS Adabiah. Mengiring pendirian HIS Adabiyah (Mahmud Yunus, 1985 : 71).
Perubahan ini terjadi menurut Azyumardi Azra, karena terjadinya perubahan sistem pendidikan agama dan ditambah dengan perubahan-perubahan ekonomi yang dilancarkan pemerintah kolonial . Ini merubah watak dasar orang siak dan surau. Orang siak yang pada masa kejayaan surau belajar agama dari satu surau ke surau lain dengan biaya yang diperoleh dari sedekah umat, kini terpaksa menjadi madrasah modern atas biaya keluarga.
Kemudian Syekh Haji Thaib Umar mendirikan Madrasah agama di Sungayang, Batusangkar dengan nama Madrasah School (sekolah agama). Meskipun sekolah ini berjalan dengan baik dan lancar, namun hannya diadakan satu kelas saja sebagai tangga untuk mengkaji kitab-kitab besar seperti tingkat tinggi pada pengajian kitab pada lembaga pendidikan tradisional. Kitab-kitab besar yang dimaksud adalah buku-buku yang tebal yang belum pernah dipelajari pada tingkatan sebelumnya. Pada tahun 1931 diubah lagi namanya menjadi Aljami'ah. Sekarang sekolah ini masih berdiri dengan nama Hidayah Islamiah. Kemudian pada tanggal 10 Oktober 1915, Zainuddin Labai El Yunusiyah mantan murid Syekh Abdullah Abbas mendirikan sekolah Diniyah di Padang Panjang. Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya sebagaimana yang dilakukan sekolah Belanda. Selain yang telah disebutkan itu, masih ada lagi lembaga pendidikan Kaum Muda yang perlu diketengahkan, yakni Sumatera Thawalib. Bagindo Rasyad yang baru kembali dari Eropa pada tahun 1915 memprakarsai rapat umum di Padang Panjang. Pemikiran yang diberikan tokoh ini adalah pentingnya organisasi. Pemikiran ini mengilhami para pelajar Surau Jembatan Besi Padang Panjang berfikir tentang usaha mendirikan organisasi. Dari ide tersebut lahirlah organisasi yang disebut "Perkumpulan Sabun", karena organisasi ini memenuhi kebutuhan sehari-hari para pelajar dari menjual sabun. Aktivitas organisasi ini berkembang secara pesat hingga mampu menggaji para guru yang mengajar di surau. Tahun 1918 organisasi ini berubah menjadi Sumatera Thawalib. Sumatera Thawalib mempunyai corak tersendiri di samping sebagai pembawa aliran baru dalam rangka memodernisasi Islam di Minangkabau. Selain itu Sumatera Thawalib juga mempunyai hubungan langsung dengan puncak kesadaran nasional di Minangkabau (Samsul Nizar, 2005 : 71-73).
Langkah-langkah Kaum Muda dalam menyebarkan ide-ide pembaharuannya mendapat reaksi dan tantangan yang cukup keras dari kalangan ulama-ulama tradisional yang ingin mempertahankan keadaan lama yang dipandang sudah mapan.kelompok penentang inilah yang disebut dengan Kaum Tua. Pangkal pertentangan itu adalah dalam soal tarekat yang kemudian berkembang hingga persoalan-persoalan khilafiyah, seperti melafazkan ushalli ketika akan memulai shalat, mentalqinkan mayat, wajib ru'yah dan haram hisab, membaca barzanji dengan berdiri dan lain-lain yang berhubungan dengan syari'at dan ibadah.
Murid dalam menuntut ilmu di surau tidak dipungut bayaran apapun, termasuk uang sekolah, uang asrama, atau uang makan. Oleh karena itu murid yang disebut juga dengan orang siak jarang sekali memberikan uang kepada syekh, walaupun ada diberikan pihak keluarga dengan ikhlas. Untuk biaya hidup bagi murid (orang siak) berasal dari masyarakat kampung yang berada di sekitar surau tersebut. Biasanya dijemput sendiri oleh murid atau diantar oleh masyarakat sekitarnya. Dalam menunjang pemenuhan kebutuhan orang siak, masyarakat kota yang berdekatan dengan surau juga ikut berpartisipasi. Misalnya jasa masyarakat Pariaman terhadap murid-murid syekh Burhanuddin di Ulakan, masyarakat kota Payakumbuh terhadap murid-murid yang belajar agama di Parabek dan sekitarnya.
Masyarakat mau berzakat kepada murid-murid surau (orang siak/pakiah), karena pakiah ini termasuk dalam golongan asnaf yang delapan. Yakni orang-orang yang berhak menerima zakat, di antaranya fakir atau pakiah dalam istilah Minangkabau. Di samping itu mereka membutuhkan pakiah/ orang siak ini untuk mengajar anak-anak mereka mengaji dan berdo'a serta untuk upacara-upacara keagamaan di nagari mereka.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka zakat dapat juga diberikan kepada orang-orang yang sedang membangun sarana dan prasana pendidikan seperti surau, beli buku-buku referensi di lembaga pendidikan tersebut, alat media dan sebagainya. Pada prinsipnya untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran. Dari data yang kita kemukakan di atas, biaya pendidikan surau merupakan swadaya dari masyarakat setempat. Tidak ada mendapat subsidi dari pemerintah. Akan tetapi murid-murid yang dihasilkan dari surau ini dapat diandalkan dan mandiri. Setelah tamat mereka dari surau yang diajarkan oleh syekh, mereka dapat diangkat menjadi tuanku dan mampu mendirikan surau baru sekaligus menerima murid-murid pula di surau yang dibangunnya tersebut. Bahkan masyarakat beramai-ramai membantu membangun surau baru tersebut. Barangkali berbeda dengan alumni lembaga pendidikan madrasah sekarang yang belum mampu mandiri mengajarkan ajaran agama kepada murid-murid. Pada perkembangan selanjutnya – setelah berdiri madrasah Adabiah—biaya pendidikan yang selama ini dibiayai oleh masyarakat, sekarang dibiayai keluarganya (orang tua, mamak dan sebagainya). Ini disebabkan karena terjadinya perubahan pada sistem pendidikan surau dan perubahan yang terjadi pada perekonomian rakyat oleh pemerinatah Hindia Belanda. Selanjutnya terjadi lagi perkembangan tentang biaya pendidikan ini. Pada surau Jembatan Besi Padang Panjang, para pelajar yang menuntut ilmu di surau ini mendirikan perkumpulan (prganisasi) semacam koperasi untuk menggaji para gurunya di surau. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi Sumatra Thawalib.
(Artikel lengkap telah diterbitkan dalm Jurnal Tabuah Edisi Juli/Desember 2009 FIB-Adab IAIN Padang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar