Jumat, 18 Juni 2010

Masjid Minangkabau dalam "Lanskap" Foto Zaman Kolonial Belanda

Editor : Muhammad Ilham

Salah satu keuntungan - untuk tidak mengatakan kelebihan - kolonial Belanda ketika menduduki Nusantara (termasuk Minangkabau) adalah arsip yang boleh dikatakan baik dan banyak, setidaknya untuk ukuran zaman itu. Sehingga tidaklah mengherankan apabila sejarah Minangkabau menjadi terselamatkan karena "kerja-kreatif" kolonial ini, mengabadikan event sejarah ataupun tinggalan-tinggalan dalam bentuk-bentuk catatan-text dan photography. Salah satu diantaranya adalah photo-photo masjid/surau Minangkabau yang eksis/memiliki fungsi sosial-kemasyarakatan pada masa-masa tahun 1900-an awal. Photo-photo ini diambil dari J. Bachir yang mendedikasikan dirinya untuk "mengupload" khazanah Minangkabau Tempoe Doeloe dalam bentuk photografy. Dari 20 photo yang diedit, hanya 11 buah photo yang diposting. Sejarah masing-masing masjid yang seharusnya dideskripsikan, masih dalam tahap identifikasi dan penelitian lebih lanjut.


Rabu, 16 Juni 2010

Syekh Yasin al-Fadani (w. 1990) : "Ulama Nasionalis di Haramain"

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam buku karangan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (1995) disinggung sosok Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani (meninggal 1990), seorang alim asal Padang yang tinggal di Mekah dan pendiri madrasah yang terkenal, Dar al-’Ulum al-Diniyyah. Syekh Yasin al-Fadani, bernama lengkap Abu al-Faydl ‘Alam al-Din Muhammad Yasin ibn Muhammad ‘Isa al-Fadani. Ulama keturunan Padang. Mufti (pemberi fatwa) mazhab Syafi’i di Mekah, dan penulis beberapa literatur khazanah keislaman. Menimba ilmu, mula-mula dari ayahnya sendiri, Syaikh ‘Isa al-Fadani, lalu kepada bapak saudaranya, Syaikh Mahmud al-Fadani. Setelah itu melanjutkan pendidikannya di Madrasah Shaulatiyyah dan akhirnya di Dar al-‘Ulum al-Diniyyah, Makkah.

Madrasah ini didirikan oleh seorang tokoh perempuan dari India, Shaulah al-Nisa’, pada 1874, karena itu disebut Shaulatiyyah. Pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada seorang ulama militan yang dikenal karena polemik-polemiknya melawan para misionaris Kristen di India, yaitu Rahmatullah ibn Khalil al-’Utsmani. Selain pendidikan formal, Syeikh Yasin juga banyak berguru kepada ulama’-ulama’ besar Timur Tengah. Diantaranya beliau belajar ilmu Hadist pada syeikh ‘Umar Hamdan, pada Syeikh Muhammad ‘Ali bin Husain al-Maliki, Syeikh ‘Umar Ba-Junaid, mufti Syafi’iyyah Makkah, lalu pada Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani, dan Syeikh Hassan al-Yamani. Dalam disiplin ilmu Ushul fiqh, beliau menimba ilmu diantaranya pada Syeikh Muhsin bin ‘Ali al-Palimbani al-Maliki (ulama keturunan Palembang yang tinggal di Mekah), Sayyid ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki (ayah kandung Sayyid Muhammad ulama’ Sunni Kontemporer dari Arab Saudi) dan banyak ulama’ berpengaruh lainnya. Bahkan disebutkan bahwa jumlah gurunya mencapai kisaran 700 orang, lelaki maupun perempuan.


Banyak pelajar Indonesia yang menjadi murid madrasah itu, termasuk Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani. Ada suatu kejadian di madrasah tersebut yang membuat Syekh Yasin marah dan kemudian memutuskan untuk keluar. Pada suatu hari, seorang guru di madrasah itu merobek koran berbahasa Indonesia yang dibaca oleh sejumlah mahasiswa asal Indonesia. Guru itu juga mengejek aspirasi nasonalis orang-orang Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa bodoh yang memakai bahasa seperti itu tak akan bisa meraih kemerdekaan.
Kejadian ini disaksikan langsung oleh Syekh Yasin, dan tentu saja membuatnya marah dan memutuskan untuk keluar dari madrasah itu. Ia kemudian terlibat dalam usaha-usaha untuk mendirikan madrasah terpisah guna menampung mahasiswa asal Indonesia. Berdirilah Madrasah Dar al-’Ulum al-Diniyyah pada 1934. Ada sekitar 120 santri Jawa (istilah Jawa saat itu mencakup seluruh kawasan Indonesia, Melayu, bahkan juga Thailand Selatan) yang pindah ke madrasah baru itu, termasuk Syekh Yasin sendiri. Belakangan, Syekh Yasin menjadi mudir atau direktur madrasah tersebut hingga dia wafat pada 1990. Semasa dia masih hidup, banyak jamaah haji Indonesia yang selalu menyempatkan mampir di madrasah itu. Syekh Yasin juga memelihara relasi dengan sejumlah kiai di Indonesia, bahkan menuliskan semacam “thabaqat/tarajum” atau biografi sejumlah kiai di tanah air.

Di kalangan santri Indonesia, Syekh Yasin dikenal sebagai “benteng” doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di tanah haramain berhadapan dengan kampanye agresif ideologi Wahabi yang disokong oleh pemerintah Saudi. Salah satu bukunya yang dikenal di kalangan pesantren adalah al-Fawa’id al-Janiyyah yang berisi ulasan mengenai kaidah fikih (qawa’id al-fiqh). Informasi dari Martin van Bruinessen ini menarik karena memperlihatkan sosok Syekh Yasin bukan saja sebagai seorang alim yang mempertahankan doktrin Sunni di tanah haramain, tetapi juga seorang nasionalis yang memiliki kecintaan pada tanah air. Tahun saat madrasah Dar a-’Ulum itu berdiri, yakni 1934, jelas merupakan periode di mana gerakan-gerakan nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan di tanah air sedang mencapai tahap kematangan.
Dengan demikian, kita patut mengenang Syekh Yasin sebagai seorang patriot yang cinta tanah air Indonesia, selain sebagai seorang muhaddits (pakar hadis), dan faqih (ahli mengenai hukum Islam). Hal ini juga memperlihatkan dengan baik sekali bahwa tidak ada pertentangan antara aspirasi nasionalisme dengan ajaran Islam.

Sumber : Ulil Abshar Abdalla (2005), Martin van Bruinessen (1995)

Tiga Ulama "Datuk" Minangkabau Penyebar Islam di Ranah Bugis

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Ada tiga orang Ulama (dalam catatan sejarah biasa disebut "Datuk") yang berasal dari Minangkabau yang mengislamkan wilayah-wilayah kerajaan di Sulawesi Selatan pada abad 16, yaitu Khatib Tunggal Datuk Makmur, atau populer di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan dengan sebutan Datuk Ribandang, Khatib Sulung Datuk Sulaiman dikenal Datuk Patimang dan Syekh Nurdin Ariyani dikenal dengan nama Datuk RiTiro. Sekitar awal abad ke 17 M., ketiga orang datuk ini mengislamkan Raja Tallo, pada hari Jumat 14 Jumadil Awal atau 22 September 1605, kemudian menyusul Raja Gowa XIV, yang akhirnya bernama Sultan Alauddin. Kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa merupakan kerajaan kembar yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Bahkan Mangkubumi (Perdana Menteri) kerajaan Gowa adalah juga Raja Tallo. Raja Tallo XV, Malingkaan Daeng Manynyonri merupakan orang pertama di Sulsel yang memeluk agama Islam melalui seorang ulama dari pantai Barat Sumatera, Khatib Tunggal Datuk Makmur, atau populer di kalangan masyarakat Sulsel dengan nama Datuk Ribandang. Oleh karena itu pulalah kerajaan Tallo sering disebut-sebut atau diistilahkan sebagai pintu pertama Islam di daerah ini atau dalam bahasa Makassar ”Timunganga Ri Tallo”. Kemudian Raja Gowa secara resmi mengumumkan bahwa agama resmi kerajaan Gowa dan seluruh daerah bawahannya adalah agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam di Sulsel, masyarakat masih menganut kepercayaan animisme. Dalam riwayat dikisahkan bahwa awalnya Datuk Ribandang sendiri bersama kawannya dilihat oleh rakyat kerajaan Tallo sedang melakukan shalat Asyar di tepi pantai Tallo. Karena baru pertama kalinya itu rakyat melihat orang shalat, mereka spontan beramai-ramai menuju istana kerajaan Tallo untuk menyampaikan kepada Raja tentang apa yang mereka saksikan. Raja Tallo kemudian diiringi rakyat dan pengawal kerajaan menuju tempat Datuk Ribandang dan kawan-kawannya melakukan shalat itu. Begitu melihat Datuk Ribandang sedang shalat, Raja Tallo dan rakyatnya secara serempak berteriak-teriak menyebutkan ”Makkasaraki nabi sallalahu” artinya berwujud nyata nabi sallallahu. Inilah salah satu versi tentang penamaan Makassar, itu berasal dari ucapan Makkasaraki tersebut yang berarti kasar/nyata.

Ada beberapa versi tentang asal mula dinamakannya Makassar selain versi tersebut. Datuk Ribandang sendiri menetap di Makassar dan menyebarkan agama Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan wafat di Tallo. Sementara itu dua temannya, masing-masing Datuk Patimang yang nama aslinya Khatib Sulung Datuk Sulaiman menyebarkan agama Islam di daerah Suppa, Soppeng, Wajo dan Luwu, dan wafat dan dikebumikan di Luwu. Sedang Datuk RiTiro atau nama aslinya Syekh Nurdin Ariyani berkarya di sejumlah tempat meliputi Bantaeng, Tanete, Bulukumba. Dia wafat dan di makamkan di Tiro atau Bontotiro sekarang.

Dengan kedatangan kolonial Belanda, seluruh benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa di hancurkan kecuali benteng Somba Opu yang diperuntukkan bagi kerajaan Gowa dan benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam) untuk pemerintahan kolonial Belanda, benteng pertahanan kerajaan Tallo juga dihancurkan. Penghancuran benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa-Tallo itu sesuai perjanjian Bungaya, 18 Nopember 1667, yang merupakan pula tahun kemunduran kejayaan kerajaan Gowa-Tallo waktu itu.

Sentuhan ajaran agama Islam yang dibawa oleh ulama besar dari Sumatera itu, juga terdapat di Bagian selatan Sulawesi Selatan yang lain, yaitu Kabupaten Bulukumba, yang bertumpu pada kekuatan lokal dan bernafaskan keagamaan. Sementara dalam itu sejarah Islam Kabupaten Luwu dan Palopo, menerangkan bahwa kira-kira pada akhir abad XV M. dan kira-kira pada tahun 1013 H. Agama Islam masuk didaerah Luwu yang dibawah oleh seorang alim Ulama yang arief ketatanegaraannya yaitu Datuk Sulaeman asal Minangkabau. Pada waktu itu Luwu diperintah oleh seorang Raja yang bernama Etenrieawe. Ketika Datuk Sulaeman mengembangkan ajaran agama Islam di wilayah ini, hampir seluruh masyarakat Luwu menerima agama itu. Ketika itu kerajaan dibawah naungan Pemerintahan Raja Patiarase yang diberi gelar dengan Sultan Abdullah (saudara kandungnya bernama Patiaraja dengan gelar Somba Opu) sebagai pengganti dari Raja Etenriawe, kemudian Datuk tersebut dalam mengembangkan Misi Islam, dibantu oleh dua ulama ahli fiqih yaitu Datuk Ribandang yang wafat di Gowa dan Datuk Tiro yang wafat di Kajang Bulukumba dan Datuk Sulaeman wafat di Pattimang Kecamatan Malangke, lebih kurang 60 KM. jurusan utara Kota Palopo melalui laut. Datuk Sulaeman yang berasal dari Minangkabau ini kemudian dikenal dengan nama Datuk Patimang, karena beliau wafat dan dimakamkan di Pattiman.

Tak kurang ada sebuah hikayat yang mengkisahkan bahwa Al Maulana Khatib Bungsu (Dato Tiro) beserta kedua sahabatnya (Datuk Patimang dan Datuk Ribandang) mendarat di pelabuhan Para-Para. Setibanya di darat, ia langsung menuju perkampungan terdekat untuk memberitahukan kedatangannya kepada kepala negeri. Namun dalam perjalanan menuju rumah kepala negeri, Dato Tiro merasa haus, dan beliau pun bermaksud untuk mencari air minum namun disepanjang pantai tersebut tidak terdapat sumur yang berair tawar. Dato Tiro menghujamkan tongkatnya di salah satu batu di tepi pantai Limbua sambil mengucap kalimat syahadat “Asyhadu Ala Ilahaillallah wa Ashadu Anna Muhammadarrasulullah”, anehnya setelah tongkatnya dicabut, keluarlah air yang memancar dari lubang di bibir batu tersebut. Pancaran air sangat besar dan tidak henti- hentinya mengalir sehingga akhirnya membentuk sebuah genangan air. Penduduk dan para pelaut kemudian memanfaatkan mata air ini untuk keperluan hidup sehari-hari. Hingga saat ini mata air tersebut tidak pernah kering dan ramai dikunjungi masyarakat.

:: Sumber : www.sulsel.go.id dan www.historiaindonesia.com/ribandang/html

Surau : Pusat Budaya Minangkabau (Islam)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham (cq. Fadlillah Malin Sutan)

Gerak kebudayaan kembali ke surau di Minangkabau sepertinya kembali memantul ke titik mentah. Mengapa begitu? Seandainya, gerakan kebudayaan kembali ke surau merupakan sesuatu yang konkret, maka barangkali akan didapati gerakan pembangunan surau yang mewabah di berbagai tempat di Minangkabau. Ternyata tidak terjadi. Sebaliknya yang tetap banyak dan menjamur adalah pembangunan masjid. Barangkali, wacana kembali ke surau, hanya merupakan barang dagangan kampanye politik kekuasaan? Nauzubillah, sebaliknya kita jangan berprasangka buruk. Pemerintah Sumatera Barat, bukan membuat program membangun ribuan atau ratusan surau, tetapi membangun mesjid raya terbesar dengan dana miliyaran rupiah dengan menggusur sekolah yang ada di tanah tempat pembangunan itu. Sepertinya ada hal yang aneh dan “kontradiksi”, yakni; mulut mengatakan kembali ke surau, sementara perbuatan tidak ada menyinggung-nyinggung surau, perbuatan malah membangun mesjid bukan membangun surau. Namun, bukankah surau dengan mesjid sama, bahkan bukankah lebih baik mesjid daripada surau. Mengapa harus diperdebatkan pula?

Memang, surau berbeda dengan mesjid dalam konsep kebudayaan di Minangkabau. Surau letaknya pada komunitas kaum dan tuangku, sedangkan mesjid pada komunitas nagari. Mesjid jadi salah satu syarat identitas dari suatu nagari di Minangkabau, dikenal dengan isrtilah “mesjid nagari”, sedangkan surau syarat identitas suatu kaum, dikenal dengan istilah “surau kaum”. Orang nagari berkumpul di mesjidnya, sedang kaum berkumpul sepanjang malam di suraunya. Namun konsep kebudayaan ini nampaknya sudah lama digulung perubahan. Banyak kaum yang tidak lagi mempunyai surau, banyak masjid yang tidak lagi identik dengan nagari.
Sampai di sini, timbul pertanyaan mengapa yang dihadirkan itu adalah wacana “kembali ke surau”? Bukankah akan lebih baik yang dihadirkan adalah wacana “kembali ke masjid”? Ketika sudah dicanangkan wacana “kembali ke masjid”, maka bukankah akan lebih cocok dengan pembangunan masjid raya mewah milayaran rupiah itu. Namun mungkin hal ini bukanlah untuk dapat dikatakan sambung menyambung menjadi satu.

Seandainya “kembali ke masjid” yang dicanangkan, maka hal ini akan mengingatkan kita dengan konsep Sidi Gazalba yang terkenal itu, yakni “masjid merupakan pusat kebudayaan”. Ternyata di Minangkabau bukan mesjid pusat kebudayaan, melainkan surau. Hal itu dibuktikan secara konseptual pada wacana “kembali ke surau”.
Pusat kebudayaan Minangkabau adalah surau. Inilah jawabannya, mengapa orang Minangkabau mencanangkan “kembali ke surau”, karena “surau adalah adalah pusat kebudayan Minangkabau“. Ketika A.A. Navis mengatakan robohnya surau kami (pada cerpen Robohnya Surau Kami), artinya dia mengatakan robohnya kebudayaan Minangakabau. Timbul pertanyaan, mengapa tidak mesjid? Karena dalam sejarah kebudayaan Minangkabau, gerakan adat dan agama dibangun di surau.

Surau tidak lagi dalam pengertian yang sederhana, harfiah; tempat ibadah, tetapi merupakan akademi (seperti yang dikatakan Hamka), saya dapat mengatakan ia merupakan universitas. Ribuan bahkan ratusan naskah buku ilmu pengetahuan yang ditulis tangan ditemukan di surau (baca Kompas, 10/09/2008; tentang Sebanyak 253 Manuskrip Diselamatkan dari Kepunahan), bukan di mesjid. Seluruh tambo di Minangkabau ditulis di surau, buktinya seluruh tambo dimulai dengan salawat kepada nabi dan ditulis dengan arab melayu. Di masa Adityawarman surau digunakan sebagai tempat pendidikan negara.
Inilah jawaban, mengapa AA. Navis mengahadirkan tesis “Robohnya Surau Kami” pada cerpennya yang terkenal itu. Bukan tidak mungkin, ini sudah dibaca oleh Navis bahwa robohnya surau mengisyaratkan robohnya kebudayaan Minangkabau. Mengapa begitu? Karena surau bukanlah dalam pengertian harfiah, tetapi sangat konseptual dan filosofis. Surau dapat dikatakan merupakan pusat pendidikan, sistem, ekonomi, kekuasaan dalam satu integritas spritual kebudayaan.

Adapun surau sebagai basis ekonomi membuat kita terpurangah ketika membaca buku Christen Dobbin, sedangkan tentang adat maka ketika dibaca tembo, maka isinya sesungguhnya sangat sufistik simbolik. Dengan demikian, ketika hendak menghancurkan kebudayaan Minangkabau, maka yang dihancurkan adalah surau, bukanlah masjid, rumah gadang, balai adat.
Ketika menghadapai perubahan zaman penjajahan, surau secara sitem mampu mengimbangi diri menjadi madrasah dhiniyah dan thawalib. Berhasil melahirkan tokoh-tokoh. Namun surau mulai roboh secara sistematis ketika sudah merdeka. Inilah yang seharusnya menjadi pertanyaan besar. Mengapa begitu? Karena surau bukanlah dalam pengertian fisik atau materi, tetapi surau dalam pengertian konseptual kebudayaan.

Secara konseptual budaya, ia sudah dipreteli, dipisah-pisahkan dan dilumpuhkan. Secara konseptual seluruh pendidikan anak bangsa diambil oleh pemerintah, ekonomi seluruhnya di tangan pemerintah, adapun tambo divonis hanya satu persen fakta, selebihnya fiksi (dapat dibayangkan kehancuran harga diri orang Minangkabau). Secara konseptual orang Minangkabau sudah berserpihan, anak-anak mereka beberapa generasi sampai hari ini menjadi tidak tahu lagi dengan kebudayaan Minangkabau. Pendidikan bukan berbasis kebudayaan Minangkabau tetapi berbasis pendidikan Barat yang diadaptasi secara bulat-bulat oleh pemerintah Indonesia. Sehingga yang muncul secara bergelombang adalah generasi “Hanafi Salah Asuhan”. Agaknya Abdul Moeis sejak awal sudah membaca kenyataan ini. Inilah jawaban mengapah tokoh-tokoh tidak lagi lahir di tanah Minang.
Oleh sebab itu, wacana “kembali ke surau”, sesungguhnya adalah kembali kepada filosofi, mind set, inti kebudayaan Minangkabau. Menyatukan kembali yang berserpihan; yakni kembali kepada paradigma pendidikan budaya sendiri, ekonomi dan sistem sosial budaya. Dalam hal ini belum menampakkan cewang di langit dan gabak di hulu, barangkali baru sebatas romantika dendang saluang.

Pusat kebudayaan sekarang sepertinya sudah terpecah-pecah, generasi pergenerasi dididik menjadi madul oleh pemerintah, artinya mereka tidak mampu mendiri. Sedangkan ekonomi terpusat kepada kaum kapitalis (ivestor), yang dipuja-puja sampai hari ini (dengan cara menyalahkan adat tradisi, terutama tanah ulayat) sementara kekuasaan pemerintah rapuh digerogoti penyakit KKN yang sangat parah. Dengan demikian tantangan memang sangat berat. Sebagian besar generasi Minang adalah generasi “Hanafi Salah Asuhan” (jika terlalu kasar untuk dikatakan malin kundang), maka bagaimana akan bicara “kembali ke surau” secara konseptual kebudayaan kepada “tubuh yang sudah berserpihan”. Maaf, hanya sebuah pesimisme.


:: (c) Fadlillah Malin Sutan. Ditulis ulang dari Harian Singgalang, 15 Januari 2008

Sabtu, 12 Juni 2010

"Basapa" Kaum Syattariyah di Ulakan dalam Catatan Sejarah

Ditulis ulang : Muhammad Ilham (cq. Suryadi)

Salah satu laporan asing (Belanda) yang cukup tua mengenai acara basapa di Ulakan adalah tulisan Ph.S. van Ronkel, “Het Heiligdom te Oelakan” yang artinya “Tempat Keramat di Ulakan”. Van Ronkel adalah salah seorang intelektual Belanda yang pernah ditugaskan di Sumatra Barat, antara lain di Kweekschool/Sekolah Raja di Fort de Kock / Bukittinggi). Artikel itu dimuat dalam majalah Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde vol. 56 (1914): 281-316.

Yang menarik dalam artikel Van Ronkel itu antara lain adalah informasi tentang sebuah naskah silsilah bertulisan tangan (handschriften) dalam aksara Arab-Melayu (Jawi). Van Ronkel mengatakan, naskah itu disebut Silsilah Syekh Abdul Rauf Singkel, guru Syekh Burhanudin, tetapi di dalamnya juga ada cerita mengenai Syekh Burhanudin sendiri. Van Ronkel melihat naskah itu di Ulakan dan berkat bantuan seorang perantara, yaitu kontrolir Belanda di Pariaman yang bernama W. Dominicus, ia dapat meminjam naskah itu dari ulama penjaga makam Syekh Burhanudin di Ulakan. Menurut naskah itu, guru Syekh Burhanudin, Syekh Abdul Rauf al-Singkili “menuntut ilmu” kepada Syekh Ahmad al-Qushashi di Madinah selama 19 tahun. Dikisahkan bagaimana mukjizat-mukjizat yang diterima oleh Syekh Abdul Rauf dan kepintarannya selama belajar dengan Syekh Ahmad al-Qushashi. Namun, yang penting di sini adalah catatan dalam kitab itu bahwa Syekh Ahmad al-Qushashi sudah memberitahu Syekh Abdul Rauf bahwa setibanya di Aceh nanti, ia akan didatangi oleh lima orang murid dari Minangkabau, dan salah seorang di antaranya bernama Burhanudin.



“[J]adi berpetaruhlah Syekh Ahmad al-Qushashi kepada Abdul Rauf: “Apabila sampai engkau ke negeri Acas datang orang balima, nan balima dibawa kitab, seorang orang Ulakan yaitu Syekh Burhanudin, akan diberi kitab, jikalau hendak pai naik haji ke Mekah, jangan diberi pai Syekh Burhanudin, di sananlah ilmu nan akan diputuskan, sampaikan di sanan ilmu semuhanya.” (Van Ronkel 1914:312).

Selanjutnya naskah itu mengisahkan suka-duka Syekh Burhanudin mengislamkan masyarakat Ulakan dan sekitarnya. Usahanya berhasil dan malah kemudian ajaran Islam yang dibawanya menyebar ke seluruh alam Minangkabau. Dapat pastikan bahwa naskah yang dimaksud oleh Van Ronkel itu adalah naskah silsilah guru-guru tarekat Syattariyah sejak dari tanah Arab sampai kepada Syekh Burhanudin di Ulakan. Dalam tujuh halaman terakhir artikelnya itu, Van Ronkel menyalin kembali bagian-bagian yang penting dari isi naskah itu. Menurut Oman Fathurahman dalam bukunya, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (2008:27), silsilah menempati peran yang penting dalam kelompok-kelompok tasauf di Nusantara, gunanya untuk melegitimasi eksistensi seorang guru sufi karena dapat membuktikan asal-usul dan kesahihan kesufiannya. Menurut Tamar Djaja dalam Pusaka Indonesia, Jilid I (1965:282-90) Syekh Burhanudin lahir tahun 1646 dan menurut Van Ronkel (1914:284) beliau wafat di Ulakan tanggal 19/20 Juni 1704. Hari wafat beliau itulah, yang bertepatan dengan 15 Safar 1116H, yang dijadikan awal kegiatan basapa setiap tahun di Ulakan. Tahun ini (2010) acara basapa baru saja selesai dilaksanakan, yaitu tgl.3-10 Februari lalu.


Van Ronkel juga menginformasikan bahwa asal-usul Syekh Burhanudin berasal dari Pamansingan, dekat Kapeh-Kapeh, Padang Panjang. Hal itu didasarkan atas temuan kitab-kitab lama di sana. Kata Van Ronkel lagi, surau Pamansingan kemudian dipimpin oleh Tuanku nan Balinduang. Setelah wafat ia digantikan oleh anaknya yang bernama Tuanku Bakarando. Kepemimpinannya diteruskan lagi oleh anaknya yang bernama Muhammad Saliah Aia Angek yang ikut dalam perang Padri dan gugur dalam pertempuran di Bonjol. Anaknya yang bernama Tuanku Kali nan Mudo ditunjuk sebagai penggantinya, yang menurut Van Ronkel sudah tua ketika ia bertemu beliau.


Tampaknya Van Ronkel pernah datang sendiri ke Ulakan menyaksikan acara basapa yang dikunjungi oleh puluhan ribu orang. Tentang ramainya para penziarah yang mengunjungi makam Syekh Burhanudin di Ulakan dan suasana agamis selama berlangsungnya ritus basapa, Van Ronkel menulis: “Oleh karena antrean orang-orang alim, di halaman [depan mesjid] sangat susah untuk bergerak maju.
Barisan-barisan perempuan yang memakai tilakoeang memadati seluruh halaman [mesjid]. Di lokasi makam [Syekh Burhanudin] yang sebenarnya kedengaran suara tahlil, kata Allahoe allahoe yang diucapkan ribuan kali dengan cara menggeleng-gelengkan kepala. Di atas makam sendiri kealiman diwujudkan dengan membaca [surat al-Fatihah dan surat Yasin] (Van Ronkel 1914:284). Pada tahun 1939, kontrolir Belanda di Pariaman, J. Jongemans menulis bahwa acara basapa itu dihadiri oleh 12 sampai 15.000 orang. Katanya, waktu terjadi pemberontakan Komunis di Sumatra Barat pada akhir tahun 1920-an, acara basapa ini pernah diganggu oleh para pengikut kaum Komunis. Ada juga kepercayaan di kalangan pengikut tarekat Syattariyah (ini juga disebut Van Ronkel) bahwa jika tujuh kali basapa ke ulakan, sudah dianggap sama dengan pergi ke Mekah. Tampaknya Jongemans menyaksikan sendiri kompleks makam di Ulakan itu, tapi makam Syekh Burhanudin sendiri, ulama besar itu, bentuknya sederhana saja, dikelilingi tembok, tanpa ada tanda-tanda yang luar biasa. Di sana ada sebuah kulit kerang yang besar yang berisi air yang diminum oleh para penziarah. Di sana diletakkan pula sebuah peti tempat para penziarah memasukkan uang sedekah. Demikian tulis Jongemans dalam artikelnya, “Het Heiligdom te Oelakan”, dalam majalah Onze Aarde (Bumi Kita), tahun ke-12 (1939):305-6.

Lokasi makam Syekh Burhanudin di Ulakan c. 1939 (Sumber: J. Jongemans 1939:305)

Menurut Oman Fathurahman (2008:13) rumusan hakikat dan tujuan akhir ajaran tarekat Syattariyah di Sumatra Barat lebih lunak dibandingkan dengan di tempat lain di Indonesia. Saya menduga hal ini tidak lepas dari sejarah pengislaman Minangkabau yang memang berbeda pula dengan di daerah lain. Adagium “ABS-SBK” menyiratkan bahwa ada kompromi kultural dalam pengislaman Minangkabau, yang dimaksudkan untuk mencegah kembalinya tragedi berdarah selama Perang Padri. Hal itu membuat wajah Islam menjadi lebih moderat di Minangkabau.basapa di Ulakan, yang pertama kali saya kunjungi ketika saya berusia delapan tahun, tetap tinggal dalam ingatan saya sampai kini, khususnya karena separoh badan saya yang kecil tajirubuak masuk rawa ketika mau melintas dari makam Syekh Burhanudin ke tepi pantai akibat ramainya orang yang saling berdesakan. Nasi bungkus yang saya bawa akhirnya terjatuh dan bergelimang luluak. Ekspresi Islam lokal yang bermacam-ragam di Indonesia adalah sebuah kekayaan budaya bangsa yang tidak ternilai. Semestinya ia dibiarkan tumbuh dan berkembang di negara yang berazaskan Pancasila ini. Kemeriahan dan suasana agamis.

::::: Sumber :
Suryadi, peneliti di Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda. Artikel ini telah dipublikasikan pula diharian Pos Metro Padang, Selasa 16 Februari 2010 (beberapa artikel telah diizinkan untuk dishare/dipublish di blog ini atas seizin Penulis melalui komunikasi Facebook).

Minggu, 06 Juni 2010

Masjid Tua dan Bersejarah di Minangkabau : Bagian 1

Editor : Muhammad Ilham

Masjid-masjid di Minangkabau tidak jauh berbeda dengan mesjid-mesjid kuno di Indonesia, yang membedakan dengan mesjid luar Minangkabau adalah makna-makna dibalik simbol-simbol budaya yang diapresiasikan dalam bentuk arsitektur mesjid. Keberlanjutan budaya pra Islam sangat kental dilihat terhadap mesjid-mesjid kuno di Minangkabau. Material kultur pra Islam telah menjadi living monument (monument yang masih difungsikan) dalam kehidupan masyarakat Minangkabau karena budaya pra Islam tidak ditinggalkan tetapi diramu sedemikian rupa sehingga menghasilkan arsitektur yang mengagumkan. Menurut Sudarman (2006 & 2009), mesjid-mesjid kuno di Minangkabau memiliki arsitektur yang unik, setidak-tidaknya pengaruh arsitektur tradisional memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan arak arsitektur mesjid. Ada dua tipe mesjid di Minangkabau : Mesjid yang arsitekturnya dipengaruhi oleh adat Bodi Chaniago yang lebih demokratis dari pada Koto Piliang, statement adat Bodi Caniago ”membasuik dari bumi” dalam musyawarah kaum, kata akhir berada di kemanakan, suara rakyat yang paling menentukan. Tipe Koto Piliang, arsitektur mesjidnya mengkombinasikan dengan arsitektur bagonjong sebagai khas arsitektur Rumah Gadang di Minangkabau. Dari segi bentuk pemerintahan, Koto Piliang bersifat aristokrasi yang disebut “ titiek dari ateh”, untuk mengambil suatu kesimpulan, kata putus atau kata akhir berada di tangan kepala suku atau penghulu.

Seluruh mesjid kuno selalu bertumpang 3 sampai 5, semakin keatas semakin kecil sedangkan tingkatan yang paling atas berbentuk limas, jumlah atap tumpang selalu ganjil merupakan pengaruh Hindu, karena sebelum islam atap tumpang dipakai untuk kuil, bangunan suci agama Hindu. Atap tunpang sampai sekarang masih lazim dipakai di Bali, namanya meru, dan digunakan khusus mengatapi bangunan-bangunan suci di dalam pura. Pada relief-relief candi Jawa Timur juga terdapat atap tumpang, mungkin sekali untuk candi atau bangunan suci lainnya.
Meskipun atap tumpang untuk candi tidak ada sisa-sisanya yang menjadi bukti (atap candi terbuat dari batu), namun dugaan kuat dapat diperoleh dari beberapa vandi, contohnya adalah candi Bayalagu (dekat Tulung Agung) bekas-bekas dari tubuh candi serta atapnya tidak ditemukan, tetapi lantainya dikelilingi arca induk terdapat sejumlah umpuk (batu pengalas tiang), maka tentunya candi in terbuat dari bahan-bahan kayu atau bamboo. Pada candi induk dari kelompok penataran tidak beratap batu melainkan beratap tumpang. Hanya tubuh candinya dibuat dari batu, sehingga atapnya berdiri diatas dinding-dinding bagian candi tersebut.

Cikal bakal mesjid lima kaum berupa surau batu, tidak beratap dulunya dipergunakan tempat ibadah agama Hindu, kemudian di pindahkan ketempat bekas kuil di daerah Lima Kaum. Itu artinya pengaruh Hindu terhadap arsitektur mesjid memiliki peran signifikan. Karena memang arsitektur mesjid diambil dari arsitektur bangunan suci agama Hindu dan Budha. Pengaruh Hindu juga tercermin pada tiang macu dan tiang yang mengelilinginya, konsep mandala yang dipergunakan oleh agama hindu dalam membangun rumah ibadah, dunia atas dan dunia bawah merupakan symbol yang terdapat pada tiang macu dan tiang-tiang yang mengelilinginya. Secara kasar kebudayaan Indonesia bisa dibagi kepada tiga bagian, Pertama Kebudayaan Jawa agraris yang kehinduan. Kedua, kebudayaan Melayu ladang kelautan yang keislaman, ketiga kebudayaan Indonesia Timur ladang-kelautan yang kekristenan. Minangkabau termasuk dalam kebudayaan Melayu ladang-kelautan yang ke Islaman, itu artinya Islam telah menjadi warna tersendiri dalam kehidupan Minangkabau. Pergumulan Islam dengan kepercayaan dan adat istiadat setempat pada mulanya tidak mengalami pertentangan karena Islam masuk ke sel-sel inti kebudayaan Minangkabau. Pengaruh adat Minangkabau terhadap mesjid Kuno terlihat juga pada ornamen mesjid Raya Bingkudu yang beragam hias flora (tumbuh-tumbuhan). Mayoritas ragam hias Minangkabau mengambil bentuk-bentuk flora dan fauna. Ini mengisyaratkan bahwa kehidupan masyarakat Minangkabau sangat tergantung kepada alam yang berupa binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan dalam pepatah Minangkabau tercantum, ”Alam Takambang Jadi Guru”.

Setiap ragam hias mengandung makna yang dalam dan melambangkan corak perilaku manusia. Lambang adalah pernyataan lahir dalam alam pikiran yang religious-magis. Semua lambang tak lepas dari masalah religi. Oleh karena itu, permulaan perkembangan lambang ada sangkut pautnya dengan bentuk-bentuk kepercayaan. Kemudian perubahan terjadi dan tingkat pemikiran bertambah maju. Lambang yang hanya menjadi wujud penyembahan berubah menjadi benda-benda kesenangan dan dikembangkan menjadi hasil karya seni. Salah satu contoh ragam hias yang ada di mesjid Raya Bingkudu adalah motif Lumuik Anyuik . Lumut jenis tumbuhan yang hidup di air dan biasa bergantung pada benda lain seperti batu atau batang kayu. Apabila lumut ini lepas dari tempat ia bergantung maka ia akan hanyut dibawa arus air yang mengalir. Motif ukiran lumuik anyuik ini menggambarkan kehidupan seseorang yang tidak disukai oleh masyarakat lingkungannya yang biasanya dikiaskan pada orang yang durhaka, melanggar norma hukum, berbuat salah sehingga dikucilkan oleh masyarakat. Tidak ada yang mau menolongnya. Motif ini merupakan peringatan kepada masyarakat untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan norma yang berlaku. Pengertian lain dari motif ini adalah orang yang mudah menyesuaikan diri di mana mereka berada. Tetapi pengertian ini memberikan kesan negative yaitu orang yang tidak punya pendirian. Orang yang mudah menyesuaikan diri dengan tidak punya pendirian akan mudah dipengaruhi oleh orang lain dan menjadi permainan orang lain. Dibawah ini, diposting beberapa foto Masjid/Surau historis di Minangkabau, beberapa diantaranya menjadi "bahagian signifikan" dari perjalanan sejarah pemikiran Islam di Minangkabau.



1. Masjid Sa'adah



2. Masjid Tuanku Pamansiangan





3. Masjid Taluak




4. Masjid Tuo Koto Baru





5. Surau Atap Ijuk Sicincin




6. Surau Gadang Bintungan




Bintungan Tinggi, sebuah daerah yang terletak di Nagari Padang Bintungan Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman. Berbicara tentang keadaan geografis Bintungan Tinggi, maka kita tidak akan terlepas dari bahasan daerah Pariaman, karena memang Bintungan Tinggi adalah satu unit kecil daerah Pariaman. Seperti halnya muslim tradisional lain, maka masyarakat Bintungan Tinggi dalam ajarannya merupakan warisan dari Ulakan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh para Ahli, bahwa Ulakan sangat taat mengikuti mazhab Syafi’i, hal ini tercermin dari setiap amalan ibadah yang selalu berlandaskan konsep yurisprudensi Syafi’iyah. Begitupun dengan kitab-kitab yang diajarkan, merupakan referensi wajib mengunakan referensi dari ulama-ulama Syafi’iyyah. Surau Bintungan Tinggi sebagai sebuah lembaga intelektual Islam yang berpengaruh besar pada paruh abad ke-19 ini didirikan oleh seorang ‘alim besar, ulama yang kharismatik yaitu Syekh Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Syekh Bintungan Tinggi. Sebagai seorang ulama berpengaruh, riwayat hidup beliau selalu diteladani pengikutnya, sebagai seorang guru sedangkan bagi kaum Muslimin umumnya, sebagai seorang ulama besar. Syekh Abdurrahman adalah anak kandung dari Syekh Ibnu Muttaqin dan ibu beliau bernama Pik Mande bersuku sikumbang asal Ganting Sungai Asam di Sicincin. Beliau lahir pada tahun 1243 H/ 1827 M dan berpulang ke rahmatullah pada hari senin, 17 rabi’ul awwal 1342 H/ 1923 M.


7. Surau Gadang Syekh Burhanuddin Ulakan



Surau Syekh Burhanuddin terletak di desa Tanjung Medan, 6 km dari makam Ulakan. Lokasi surau agak masuk ke dalam dari jalan raya melalui jalan tanah yang cukup baik. Surau terletak di atas tanah yang datar dengan halaman yang luas. Tanah lokasi surau Syekh Burhanuddin adalah tanah yang dihadiahkan oleh Raja Ulakan bergelar Mangkuto Alam kepada Idris Majolelo atas jasanya semasa Syekh Burhanuddin belajar di Aceh. Surau, semacam pesantren, ialah bangunan tempat mengaji dan belajar ilmu agama Islam. Syekh Burhanuddin seorang ulama dan mubaligh, maka Surau Syekh Burhanuddin terdiri dari dua bangunan, yaitu:

1) Bangunan serambi berdenah segi empat panjang sebagai bangunan tambahan yang dibuat kemudian. Bangunan ini beratap gonjong dan berfungsi sebagai entrance hall dan keseluruhan bangunan itu terbuka. Lantainya beralaskan plesteran semen dan bukan beralaskan papan sebagai halnya rumah gadang. Bangunan berdenah segi empat bujur sangkar yang terletak di belakang serambi. Pada prinsipnya bangunan ini dengan struktur konstruksi joglo, sebagaimana masjid kuno di Jawa, di antaranya masjid Demak. Namun sesuai dengan keadaan dan kebiasaan orang Minangkabau, bangunan ini dengan struktur berkolong (loteng dan panggung). Dengan struktur bangunan joglo ini, dalam surau terdapat empat tiang utama dikelilingi dua deretan anak tiang. Pada deretan pertama berjumlah 12 tiang dan pada deretan kedua 20 anak tiang. Dengan empat tiang utama atau tiang panjang (soko guru, Jawa) di tengah dengan dua deretan anak tiang disekelilingnya, maka struktur bangunan ini dengan atap bersusun tiga, dinding ruangan melekat pada deretan anak tiang kedua ( 20 tiang). Tiang sesamanya dihubungkan dengan kayu yang disambung dengan rotan yang disimpai.

2) Atap surau Syekh Burhanuddin ada persamaannya dengan beberapa surau lainnya di Minangkabau, di antaranya surau Koto Nan Ampek di Payakumbuh dan surau Lima Kaum di Tanah Datar. Masih terlihat perkembangan arsiterktur konstruksi atap tumpang dengan bentuk berpuncak dengan hiasan mahkota, sama dengan masjid Demak yang dibangun dalam abad ke-16.

3) Arsitektur surau Syekh Burhanuddin masih mempunyai persamaan dengan masjid di Kota Waringin lama di Kalimantan yang dibangun sekitar abad ke-17. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai prototip masjid Demak. Dengan perbandingan tersebut, arsitektur surau Syekh Burhanuddin pembangunannya dalam abad ke-17. Hal ini diperkuat dengan mihrab tanpa atap tersendiri sebagaimana masjid Demak. Berbeda dengan mihrab masjid lainnya di Minangkabau yang selalu dengan atap tersendiri.

4) Bahan bangunan Syekh Burhanuddin seluruhnya dari kayu, baik tiang maupun konstruksi atap dan dinding. Atapnya dulu terdiri dari ijuk yang kemudian diganti dengan atap seng pada tahun 1920. Struktur bangunan surau dikerjakan dengan kayu yang sederhana tanpa pengerjaan yang sempurna menurut ukuran sekarang. Masih terlihat bentuk asli kayu dengan lengkung-lengannya. Hal ini menunjukkan, bagaimana pekerjaan bangunan masa itu. Tiang utama terdiri dari kayu seutuhnya dengan sedikit dikerja mengambil bentuk segi-8, dan hubungan antara tiang dengan kayu lainnya diikat dengan rotan tanpa paku. Artinya bangunan ini tidak mempergunakan paku kayu.

5) Tiang-tiang terletak di atas sandi dari batu umpak seutuhnya yang terletak di atas tanah yang ditinggikan. Pada beberapa bagian ada perbaikan yang sifatnya mencegah kerusakan, namun masih nampak keasliannya. Bangunan surau Syekh Burhanuddin belum pernah mengalami perubahan, selain penambahan serambi.


8. Surau Latiah




9. Surau Raja Sontang




10. Surau Lubuk Bauk



Surau Lubuk Bauk didirikan di atas tanah wakaf Datuk Bandaro Panjang, seorang yang berasal dari suku Jambak, Jurai Nan Ampek Suku. Dibangun oleh masyarakat Nagari Batipuh Baruh dibawah koordinasi para ninik mamak pada tahun 1896 dan dapat diselesaikan tahun 1901. Bangunan yang bercorak Koto Piliang yang tercermin pada susunan atap dan terdapatnya bangunan menara, sarat dengan perlambang dan falsafah hidup ini memiliki peran besar dalam melahirkan santri dan ulama yang selanjutnya menjadi tokoh pengembang agama Islam di Sumatera Barat. Surau Nagari Lubuk Bauk berdiri di pinggir jalan raya Batusangkar Padang. Secara administratif terletak Desa Lubuk Bauk,Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar,Provinsi Sumatera Barat.Bangunan surau terletak lebih rendah ± 1 m dari jalan raya berbatasan dengan jalan raya Batusangkar Padang di bagian utara, kolam dan masjid di bagian timur, kolam dan rumah penduduk di bagian selatan, dan rumah penduduk di bagian barat.

Surau Lubuk Bauk berdenah bujur sangkar, terbuat dari kayu surian dengan luas 154 m2 dan tinggi bangunan sampai kemuncak ± 13 m. Bangunan dikelilingi pagar besi berbentuk panggung dengan tinggi kolong 1,40 m terdiri dari tiga lantai dan satu lantai berfungsi sebagai kubah/menara yang terletak di atas atap gonjong berbentuk segi delapan. Pintu gerbang terletak di timur menghadap ke selatan (jalan raya), sedangkan pintu masuk surau terletak di timur dan naik melalui enam buah anak tangga. Di atas pintu (ambang pintu) terdapat tulisan arab Bismillahirrahmanirrahim yang dibuat dengan teknik ukir dan di belakangnya ditutup dengan bilah papan. Di depan pintu terdapat tempat mengambil air wudlu.Atap bangunan terbuat dari seng, bersusun tiga. Atap pertama dan kedua berbentuk limasan, sedangkan atap ketiga yang juga berfungsi sebagai menara memiliki bentuk gonjong di keempat sisinya.
Pada bagian puncak, atapnya membentuk kerucut dengan bentuk susunan buah labu/bola-bola.

Bangunan surau terdiri atas tiga lantai, yaitu lantai I, II, dan III. Denah lantai I berukuran 12 × 12 m. Lantai I merupakan ruang utama untuk sholat dan juga tempat belajar agama. Di sisi barat terdapat mihrab berukuran 4 × 2,50 m. Di ruang ini tidak terdapat mimbar. Ruang utama ini ditopang oleh 30 tiang kayu penyangga yang bertumpu di atas umpak batu sungai. Menurut keterangan masyarakat, jumlah tiang sebanyak itu sama dengan jumlah tiang rumah gadang menurut adat Minangkabau. Tiang-tiang tersebut berbentuk segi delapan dan tiang bagian tengah diberi ukiran di sebelah atas serta bagian bawahnya. Dinding dan lantai terbuat dari bilah papan, dan pada sisi utara, selatan, dan timur terdapat jendela yang diberi penutup. Di bagian luarnya terdapat ukir-ukiran berpola tanaman sulur-suluran. Ukiran diletakkan di bagian atas lengkungan-lengkungan yang menutupi kolong bangunan.
Lantai II berukuran 10 × 7,50 m, lebih kecil dari lantai I. Untuk masuk ke lantai II melalui sebuah tangga kayu. Di dalam lantai II tiang utama (empat tonggak) juga diberi ukiran-ukiran yang berpola sama dengan tiang di lantai I. Lantai III berdenah bujur sangkar berukuran 3,50 × 3,50 m. Di tengah-tengah ruangan terdapat satu tiang dengan tangga melingkar untuk naik ke menara. Sedangkan bagian luar lantai III membentuk empat serambi dengan atap membentuk gonjong yang meman-tulkan ciri-ciri khas bangunan Minang yang menghadap ke arah empat mata angin. Dinding serambi yang menghadap luar penuh dengan ukiran yang diberi wama merah, kuning, dan hijau mengambil pola tumbuhan pakis seperti pola bias pada bangunan rumah seorang tokoh masyarakat atau pemerintahan. Di salah satu bidang hias, di setiap serambi terdapat dua ukiran bundar yang bagian tengahnya disamar oleh tumbuh-umbuhan. Ukiran tersebut mengmgatkan pada motif uang Belanda dan mahkota kerajaan. Menurut keterangan masyarakat, empat serambi melambangkan Jurai nan Ampek Suku, agama, dan lambang dan empat tokoh pemerintahan (Basa Empat Balai) kerajaan Pagarruyung. Sedangkan ukiran pakis di bagian luar serambi melambangkan kebijaksanaan, persatuan, dan kesatuan dalam nagari. Bangunan menara berdenah segi delapan berdinding kayu dengan jendela jendela semu yang diberi kaca di setiap sisinya. Pada bagian luar, terdapat ukiran sulur-suluran pada bagian bawah dan pada bagian atasnya terdapat hiasan dengan pola segi empat. Bagian atas menara diberi kemuncak yang terdiri dari bulatan-bulatan (labu-labu) yang makin ke atas semakin mengecil dan di akhiri oleh bagian yang runcing (gonjong).

(c) Tim Labor Sejarah FIBA-Adab IAIN Padang

Sabtu, 05 Juni 2010

Masjid Tua dan Bersejarah di Minangkabau : Bagian 2

Hak Cipta : Tim Labor Sejarah FIBA-Adab IAIN Padang
Diedit oleh : Muhammad Ilham



11. Masjid Tuo Kayu Jao



Agama Islam di Kabupaten Solok, Sumatra Barat, telah berkembang sejak abad ke-16. Fakta sejarah ini dibuktikan dengan berdirinya Masjid Tuo Kayu Jao, berusia 400 tahun. Meski bangunan bergaya Masjid Demak, Banten, ini sempat dipugar tapi sebagian besar bangunan masjid masih asli.



Atap masjid ini terbuat dari ijuk, ciri khas atap rumah adat Minang. Tiang penyangga masjid berjumlah 27 buah, melambangkan jumlah suku dan golongan yang ikut mendirikan masjid ini. Selain itu terdapat sebuah mihrab yang masih utuh dan bedug yang diperkirakan berusia sama dengan masjid. Hingga saat ini Masjid Tuo Kayu Jao masih menjadi tempat beribadah warga setempat. Pemerintah Provinsi Sumbar telah menetapkan masjid ini sebagai cagar budaya, bukti sejarah penyebaran agama Islam di Solok.


12. Masjid Buah Pauh Kubang Putih





13. Masjid Limo Kaum



14. Masjid Pincuran Gadang



Terdapat di Matur Hilir, persisnya terletak di Pincuran Gadang. Disinilah kitab mulai dikembang, ajaran Islam mulai difatwakan keseluruh anak negeri disekitar penghujung abad ke XVII oleh beliau Tuanku Abdul Hamid.


15. Masjid Raja Siguntur



Terletak di Dusun Ranah, Desa Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Bangunan masjid berada dalam satu kompleks dengan makam Raja-raja Siguntur dan rumah adat Siguntur. Di sebelah barat masjid mengalir Sungai Batanghari yang terkenal dengan peninggalan purbakala di sepanjang alirannya. Masjid Siguntur berdiri di atas tanah berukuran 21,7 x 19 m. Bangunan berdenah persegi panjang berdinding batu kali di semen, atap susun tiga dari seng. Masjid dikelilingi pagar beton di bagian depan dan pagar kawat duri di bagian samping dan belakang. Pintu masuk halaman terdapat di bagian timur terbuat dari besi, sedangkan pintu masuk masjid hanya satu buah terdapat di sisi timur. Ruang utama masjid berukuran 15 x 10 m, berdinding batu kali setebal 40 cm diplester semen. Lantai yang semula berkolong dan terbuat dari papan kayu, sekarang telah diurug dan disemen tanpa kolong. Masuk ruang utama melalui sebuah pintu di sisi timur berukuran 12,5 x 1 m terbuat dari kayu yang berwarna krem. Pintu tersebut mempunyai dua daun dan berbentuk jalusi, masing-masing berukuran 2,15 x 0,50 m.

Dalam ruang masjid juga terdapat delapan buah jendela berdaun dua terbuat dari kayu berwarna krem, berukuran 1,75 x 0,75 m. Setiap daun jendela berukuran 1,75 x 0,37 m. Bangunan masjid mempunyai lima tiang utama (sokoguru) berdiameter 0,40 m dan tinggi 7,85 m dari kayu ulin. Sedangkan tiang pembantu berjumlah 12 buah dengan bentuk berbagai segi setinggi 5 m. Selain itu, bangunan masih ditunjang oleh tiang semu (pilaster) berjumlah 12 buah dengan masing-masing sisi 3 buah yang berfungsi sebagai penahan beban atap. Bangunan mihrab menjorok keluar di sisi barat berukuran 1,22 x 2 m, terbagi dua dengan mimbar di sebelah kanan. Mimbar masjid Siguntur sekarang sudah tidak dimanfaatkan lagi karena dalam masjid ini tidak diselenggarakan sholat Jumat. Tempat wudlu (bangunan baru) terdapat di sebelah utara masjid berukuran 7 x 3 m yang terbagi dalam tiga ruangan. Bangunan terbuat dari batu semen. Dalam kompleks Masjid Siguntur terdapat makam Raja-raja Siguntur yang terdapat di sebelah utara bangunan masjid. Kompleks makam berdenah segi lima dengan ukuran panjang yang berbeda. Makam dibuat sangat sederhana, hanya ditandai dengan nisan dan jirat dari bata dan batu. Dari sekian banyak makam hanya enam makam yang diketahui, yaitu makam Sri Maharaja Diraja Ibnu bergelar Sultan Muhammad Syah bin Sora, Sultan Abdul Jalil bin Sultan Muhammad Syah Tuangku Bagindo Ratu II, Sultan Abdul Kadire Tuangku Bagindo Ratu III, Sultan Amirudin Tuangku Bagindo Ratu IV, Sultan Ali A. Tuangku Bagindo V dan Sultan Abu Bakar Tuangku Bagindo Ratu VI.



16. Masjid Rao-Rao




Mesjid ini berlokasi sekitar 5 km dari Batu Sangkar Kabupaten Tanah Datar ke arah Baso Kabupaten Agam. Diperkirakan dibangun pada tahun 1913.


17. Masjid Jami' Batang Piaman, Pariaman




18. Masjid Raya Gantiang



Masjid Raya Gantiang berlokasi di jalan Gantiang Kecamatan Padang Timur Kota Padang, mulai dibangun pada 1805 atas prakarsa tiga tokoh masyarakat kota Padang yakni Angku Gapuak, Syekh Haji Uma, dan Syekh Kapalo Koto dan selesai pada 1810.
Bangunan Utama Mesjid memiliki luas 30 X 30 meter dengan baranda berukuran 4 meter di sekeliling mesjid. Di dalamnya terdapat 25 tiang segi enam berdiameter 50 cm. Masing-masing tiang terpasang kaligrafi nama nabi dan rasul. Mulai dari Adam hingga Muhammad. Mesjid Raya Gentiang memiliki 8 pintu masuk dan 8 jendela. Delapan pintu masuk konon berarti ajakan untuk sholat di Mesjid dengan niat masuk pintu sorga yang jumlahnya delapan. Dalam perjalanan sejarah Kota Padang, masjid banyak memberikan andil. Pada tahun 1918 Para Ulama Sumatera Barat pernah menjadikan mesjid raya Gantiang sebagai tempat musyawarah pertama untuk pengembangan agama Islam dan segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan agama di Minangkabau. Pada zaman proklamasi dan revolusi 1945 Mesjid Raya Gantiang sering. dijadikan lokasi rapat pemuda pejuang.


19. Masjid Raya Pakandangan Pelok

Terletak di Nagari Pakandangan Kabupaten Padang Pariaman. Masjid yang sekarang dijadikan sebagai masjid nagari ini diperkirakan didirikan pada tahun 1865.