Oleh : Hendra Bakti dan Muhammad Ilham
"Syekh Abdullah adalah ulama yang ahli dalam Ushul dan Matiq serta Tauhid. Beliau pemah menulis kitab tentang Ushul Fiqh dan Itmu Tauhid. Kitabnya ini diakui para ulama pada zaman itu. Mengenai judul yang pasti tentang karangannya tersebut tidak diketahui lagi sampai sekarang. Amat disayangkan sekarang ini tidak diketahui dimana letaknya Kitab-Kitab karangan Syekh Abdullah serta koleksi kitab-kitab yang lain" (Pengakuan salah seorang keturunannya)
Abdullah, tepatnya Syekh Abdullah Halaban dilahirkan pada tahun 1846 M. di kenagarian Halaban yang terletak kira-kira 20 km darikota Payakumbuh. Ayahnya terkenal dengan panggilan Beliau Sumanik, sedangkan ibunya bernama Salamah. Abdullah dari kecil adalah seorang anak yang pemberani, cerdas, cakap dan terampil, simpatik, ramah dan sangat disayangi oleh teman-temannya, serta pandai bergaul dengan masyarakat. Orang-orang mengatakannya "baso elok budi baik". Abdullah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua saudaranya yang lain adalah H. Hamid, dimana masyarakat Halaban biasanya memanggil dengan sebutan "H. Amik". la juga dikenal sebagai seorang ulama dan guru di Surau (pesantren) Syekh Abdullah, tetapi kemasyhurannya tidak melebihi kakaknya, Syekh Abdullah. Saudara yang kedua bernama H. Sulaiman. Beliau seperti Syekh Abdullah dijadikan sebagai guru tua. H. Sulaiman berdakwah hanya disekitar daerah Halaban saja, diluar Halaban ia tidak begitu dikenal. Dalam Kenagarian Halaban, keluarga Syekh Abdullah termasuk keluarga "darah biru" (banqsawan) yaitu kemenakan dari keluarga penghulu Dt. Rajo Sampono yang dikenal sebagai datuk yang cukup kaya. Begitu juga dengan mamak Syekh Abdullah yang lainnya, Ahmad Lonyok yang kemudian berganti nama menjadi H.Abdurrahman setelah beliau menunaikan ibadah haji.
Pada masa kecil, Abdullah mengaji di bawah bimbingan orang tuanya. Ibu dan bapaknya mengajarkan AI-Qur'an, dasar-dasar ibadah, akhlak dan syariat Islam. Dari pendidikan rumah tangga bersama kedua orang tuanya ini, Abdullah melanjutkan pelajarannya ke pendidikan surau yang ada di Halaban waktu itu bersama saudara-saudaranya. Di surau ia mengajar mengaji sebagaimana halnya yang berlaku pada anak-anak yang telah berumur tujuh sampai sepuluh tahun. Orang tua Abdullah berharap kelak anak tersebut bisa menjadi orang shaleh, pemimpin agama yang akan menyebarluaskan ajaran agama Islam. Pada tahun 1861, ketika Syekh Abdullah berumur 15 tahun, setetah menamatkan kajinya (pelajaran) di pendidikan surau, ia mohon izin dan do'a restu orang tuanya berangkat untuk memperdalam ilmunya keluar daerah Halaban. Ketika itu dikampung keadaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi, karena belum ada satupun surau yang mampu memberikan metoda belajar yang baik dan teratur. Cara belajar tergantung pada guru yang mengajar. Kalau waktu guru lapang banyaklah waktu untuk belajar, tetapi kalau guru sibuk bisa jadi belajar tidak dilakukan. Langkah pertama ia pergi meninggalkan kampung halamannya menuju daerah-daerah di sekitar Kabupaten 50 Kota , seperti ke Batu Hampar, ke Situjuh, kemudian ke Simabur di Batusangkar, ke Lintau dan daerah daerah lainnya di Minangkabau, bahkan hingga ke Mekkah. Yang disebutkan terakhir ini merupakan perjalanan yang dianggap paling jauh ketika itu.
Daerah dan guru pertama yang didatanginya adalah Batu Hampar menemui guru yang bernama Syekh Abdurrahman. Ulama ini meruplan ulama terkenal yang mempunyai ribuan murid dari berbagai daerah. Abdurrahman terkenal dengan ilmunya yang dalam, terutama keahliannya dalam bidang ilmu Tilawatil Quran. Dengan Syekh ini, Abdullah belajar ilmu Tilawatil Qur'an, ilmu alat (Bahasa Arab), ilmu mantiq, ilmu ma'ani, ilmu bayan clan badi' serta ilmu fiqh, tafsir dan lain-lain. Dari Batu Hampar, Abdullah terus melanjutkan pendidikannya ke Simabur di Batusangkar dengan ulama yang ada disana, "Beliau Simabur". Kemudian dari Simabur, Abdullah melanjutkan pelajarannya ke surau yang ada di Sumanik. Di sini ia hanya belajar sebentar karena beberapa tahun setelah itu ia berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pelajarannya sambil menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji. Abdullah berangkat pertama kali pada tahun 1865 bersama mamaknya Ahmad Lonyok dan kedua saudaranya Hamid dan Sulaiman. Di Mekkah Abdullah bermukim cukup lama, sekitar lima tahun (1865-1870) dan belajar kepada ulama-ulama terkenal yang ada di Mekkah terutama pada ulama-ulama Syafiiyah.
Tahun 1870, setelah menimba ilmu cukup intens di Mekkah, ia kembali ke kampung halamannya di Halaban dan mendirikan surau (pesantren) disana. Sekembalinya dari Mekkah ia masih terus berkelana menimba ilmu dari ulama-ulama terkenal dimana saja, terutama di ketiga Luhak (Luhak Agam, Luhak Tanah Datar clan Luhak 50 Kota) hingga sampai ke Tungka 50 Kota. Dan sejak itu pula ia dipanggil dengan nama Syekh Abdullah (Beliau Halaban). Banyak orang dari berbagai daerah di luar Halaban yang kemudian berdatangan untuk menuntut ilmu kepada Syekh Abdullah ini. Di Situjuh Tungkar, Syekh Abdullah mempunyai pengalaman yang unik daiam permulaannya menuntut ilmu. Pada awalnya Syekh Abdullah mendengar dari orang lain bahwa di Situjuh Tungkar terdapat seorang ulama yang dalam ilmunya dan ahli dalam ilmu alat (bahasa Arab). Mendengar hal tersebut, maka pada tahun 1880-an Syekh Abdullah berangkat ke tempat tinggal ulama tersebut dengan membawa seekor ayam jantan. Sesampainya dirumah sang ulama, ulama tersebut bertanya pada Syekh Abdullah, "Untuk apa kamu membawa ayam ini ?". Syekh Abdullah menjawab, "Saya ingin bertanya jawab (diskusi maksudnya: ed.) tentang masalah agama dengan Tuan guru". Ulama ini bertanya kembali, "Lalu apa hubungannya dengan ayam ini ?”. Lalu Syekh Abdullah menjawab kembali, "Nanti kalau saya tidak dapat menjawab pertanyaan Tuan Guru, maka saya akan belajar pada Tuan guru dan ayam ini akan saya sembelih".
Setelah dialog berlangsung, ternyata Syekh Abdullah tidak mampu melayani pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh utama Tungka tersebut. Akhimya ia menyatakan keinginannya untuk belajar. Nama ulama Tungka tersebut adalah Syekh Muhammad Djamil, dipanggil Beliau Tungka. Di bawah bimbingan Beliau Tungka ini, Syekh Abdullah banyak belajar tentang ilmu ushul fiqh, fiqh, dan ilmu mantiq untuk keahlian berbicara dan berbahasa. Waktu belajar dengan Beliau Tungka ini, Syekh Abdultah tidak menetap seperti biasanya dilakukan seorang murid apabila belajar pada gurunya. Ia hanya belajar dua atau tiga kali dalam seminggu dan dia kemudian kembali ke Halaban, membina suraunya disana. Begitulah, ia bolak-balik belajar di Tungka dan mengajar di Halaban. Di Tungka ini, Syekh Abdullah dikawinkan oleh gurunya dengan anaknya yang bemama Puti.
Pada tahun 1886, selain kepada Beliau Tungka, Syekh Abdullah juga belajar pada Syekh Bustami dari Lintau di Batu Balang (Kecamatan Harau sekarang). Syekh Bustami merupakan murid Tuanku Lintau (Tuanku Pasaman). la melarikan diri ke Batu Balang karena diintimidasi oleh Belanda, karena beliau ikut dalam peperangan-peperangan yang di lakukan oleh Tuanku Lintau. Di Batu Balang Syekh Bustami ini mendirikan surau dan mengajar murid-murid yang sangat banyak pula. Syekh Abdullah berguru pada Syekh Bustami hingga Syekh murid Tuanku Lintau ini wafat pada tahun 1898 (Siradjuddin Abbas, 1994: 197).
Disamping belajar kepada ulama-ulama terkenal di Luhak ini, Syekh Abdullah juga giat mengunjungi uiama-ulama terkemuka pada waktu itu untuk berdiskusi dalam masalah-masalah agama dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, la juga tidak segan-segan mengakui kealiman orang lain walaupun orang tersebut masih muda dari dirinya, seperti ia pernah mengakui ketinggian ilmu Syekh Saad Mungka (Ibid, 199). Dengan ulama-ulama terkenal pada waktu itu, ia saling berdialog dan bertukar fikiran sehingga diantara mereka terjadi sharing ilmu, saling memberi dan menerima. Syekh Abdullah tidak akan berhenti menghubungi ulama-ulama lain sebelum pertanyaan-pertanyaannya terjawab dengan baik, seperti yang disebutkan Halim Saadi dalam bukunya Mengenal Riwayat Hidup Syekh Muhammad Saad Khalidi (tidak diterbitkan) :
"Syekh Abdullah Payakumbuh guru oleh Syekh Sulaiman Ar Rasuli Candung, datang ke Koto Tuo Mungka menemui Syekh Muhammad Saad untuk menguji dan menyatakan bermacam-macam masalah agama. Setelah seminggu bertukar fikiran dengan Syekh Saad, Syekh Halaban merasa puas dan mengakui bahwa Syekh Muhammad Saad adalah ulama besar dan dalam ilmunya. Sebelumnya beliau telah mendatangi pula ulama-ulama lainnya, tetapi belum satupun dari ulama-ulama itu yang bisa menyelesaikan masalah yang diajukan".
Orang yang alim terutama dari kalangan agama, banyak menjadi dambaan ummat. Orang banyak yang bangga dan tertarik untuk mengambil Syekh Halaban sebagai menantunya atau menjadi suami, apalagi waktu itu Syekh Abdullah merupakan ulama yang baru pulang dari Mekkah. Sebuah derajat prestise yang sangat tinggi kala itu. Dari hari ke hari cerana pinang datang silih berganti. Syekh Abdullah tidak banyak menolak dalam hal ini. Ia banyak memperistri gadis-gadis waktu itu karena adanya desakan dari orang tua gadis dan juga desakan dari gurunya. Menurut penuturan keturunannya, Syekh Abdullah memiliki banyak istri, tetapi yang silsilahnya sampai sekarang dapat diketahui hanya tujuh orang, yaitu : Saejie (berasal dari Halaban), Siti (berasal dari Batu Balang) , Janin (berasal dari Bukit Sikumpa Batu Payuang), Mana (berasal dari Halaban) 5. Minsa (berasal dari Halaban), Urai Sitawa (berasal dari Andalas), dan Puti (berasal dari Situjuh Tungka).
Dari tujuh orang istrinya tersebut, Syekh Abdullah dikaruniai 9 orang anak, 4 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Dari istrinya yang pertama, Saejie ia memperoleh 1 orang anak bemama Zainal Abidin. Zainal Abidin adalah salah seorang dari anak Syekh Abdullah yang mengalir darah ulama dalam jiwanya. Setelah dewasa ia berangkat bersama ayahnya menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1890-an. Zainal Abidin menetap secara permanen di kota suci ini sampai akhir hayatnya. Sewaktu bermukim di Mekkah, Zainal Abidin pernah menjadi polisi di Mekkah dan membuat pemukiman untuk menampung jamaah haji yang berasal dari Minangkabau dan dari Indonesia. Istri Zainal Abidin bernama Saleha. Gadis yang berasal dari Tanjung Alam Batusangkar. Mereka dikaruniai 3 orang akan yakni Muhammad Shaleh, Muhammad Ghazi dan Abdullah. Muhammad Shaleh, anaknya yang tertua, pernah menjadi anggota kepolisian Mekkah. la bersama adik-adiknya melanjutkan pemukiman yang dibuat orang tuanya dan diberi nama dengan pemukiman Saleha al-Minangkabawi. Keturunan dari Muhammad Shaleh ini ada yang menjadi pegawai urusan haji di Mekkah hingga saat sekarang. Sampai sekarang hubungan mereka dengan keturunan Syekh Abdullah di Halaban, Tanjung Alam, Bukit Sikumpar dan Andalas masih terjalin dengan baik. Istrinya yang kedua, Mana, yang dinikahi Syekh Abdullah tahun 1870 dikaruniai dua orang anak yang bernama Mardiana dan Yahya. Dari istrinya yang ketiga, Puti (Anak gurunya di Tungka) yang ia nikahi tahun 1880, Syekh Abdullah tidak memperoleh keturunan. Istrinya keempatnya yang bemama Siti dari Batu Balang, dinikahi oleh Syekh Abdullah tahun 1897. Dari Siti ini, Syekh Abdullah dikaruniai seorang anak wanita yang bernama Ruqayyah. Ruqayyah ini kemudian dikawinkan oleh Syekh Abdullah dengan muridnya yang paling cerdas dan paling disayanginya, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli.
Istrinya yang kelima bernama Lanin dari Bukit Sikumpar Gadut yang dinikahinya pada tahun 1907 dan mempunyai keturunan dua orang, Sawiyah dan Burhan. Sedangkan istrinya yang keenam bernama Urai Sitawa dad Andalas yang dinikahinya tahun 1913 dan dikaruniai seorang anak laki-laki bemama Adnan. istrinya yang terakhir bemama Minsa dari Halaban yang dinikahinya tahun 1919. Dari istrinya ini, Syekh Abdullah dikaruniai anak yang bernama Juwairiyah,Latar belakang Syekh Abdullah mempunyai istri sampai tujuh orang ini karena dilatar belakangi oleh berbagai faktor yang bersifat sosial juga karena ia adalah orang jemputan. Pada umumnya istri-istri Syekh Abdullah tidak ada yang mengharapkan belanja dari beliau sebagaimana layaknya masa itu, di mana istri-istri ulama tidak terlalu mengharapkan nafkah atau belanja dari suamiya.
Sepulangnya dari menunaikan haji sekaligus menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 5 tahun, Syekh Abdullah mendirikan surau (pesantren) di Halaban, tepatnya di Batu Nan Banyak Halaban pada tahun 1870. Surau ini dikenal dengan sebutan Surau Baru. Lembaga pendidikan surau Syekh Abdullah ini maju dengan pesat. Karena banyaknya murid-murid dari luar daerah Halaban yang berdatangan untuk menuntut ilmu di Surau Baru ini, maka Syekh Abdullah memperbesar surau tersebut dan membuat rumah-rumah penampungan untuk murid-murid yang dikenal dengan sebutan Rumah Tongah (Rumah Tengah). Sebutan ini dikarenakan letak bangunan tersebut terletak di tengah-tengah bangunan yang banyak berdiri di dekatnya.
Langkah pertama yang dilakukan Syekh Abdullah dalam meningkatkan mutu pendidikan suraunya adalah mengadakan perbaikan terhadap sistem belajar. Pada mulanya sistem pendidikannya di surau ini tidak teratur, yaitu kapan saja Syekh sanggup mengajar, bila tidak sanggup maka proses belajar tidak dilakukan. Sejak itu, Syekh Abdullah mengaturnya dengan sistem _ halaqah yaitu murid-murid duduk mengelilingi gurunya dan membentuk lingkaran-lingkaran yang masing-masing dipimpin oleh guru tua atau guru bantu untuk membantu Syekh Abdullah dalam mengajar di tingkat dasar. Pengajian surau dibagi pada tiga tingkat yaitu pengajian al-Qur'an tingkat dasar, pengajian kitab dan pengajian khusus bagi murid-muridnya yang telah tamat dad pengajian kitab. Setelah seorang murid menamatkan Juz Amma dengan baik pada tingkat permulaan, barulah ia naik ke tingkat atas. Disini ia mulai mempelajari al-Quran dalam arti yang sebenamya. Selain mempelajari al-Qur'an, juga dipelajari pengajian qiraat, tajwid, ibadah dan kitab perukunan. Semuanya berlangsung dengan sistem hafalan dan bersama-sama melagukannya. Pengajian al-Qur`an ini dilakukan setelah sholat Maghrib sampai shalat Isya. Setelah menamatkan pengajian al-Qur'an, maka dilanjutkan pada pengajian kitab. Dalam pengajian kitab ini, pelajaran yang diajarkan antara lain Ilmu Nahwu, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, Ilmu Tauhid, llmu Tafsir dan lain-lain. Kitab-kitab yang dipakai antara lain Kitab Matan Ajrumiyah, Asymawi, Alfiah, Qatrun Nada untuk Nahwu, Kitab Kailani dan lain-lain untuk Ilmu Sharaf. Untuk Fiqh dipakai Kitab Fathul Qarib, Fathul Muin, fathul wahab, Mahalli dan kitab-kitab lainnya. Sedangkan untuk ilmu tafsir dipakai Tafsir Jalalin, Tafsir Baidlawi, Khazin dan kitab lainnya. Pada masa ini juga diajarkan Ilmu Mantiq, Ilmu Balaghah dan Ilmu tasauf.
Guru yang mengajar pada bagian kitab adalah Syekh Abdullah dibantu oleh beberapa orang murid yang dipercayainya. Mereka sering juga disebut dengan sebutan guru tuo atau guru bantu. Guru-guru Tuo yang terkenal membantu Syekh Abdullah seperti Sulaiman Ar-Rasuli dari Candung Bukittinggi, Muhammad Djamil Djaho dari Padang Panjang, Ibrahim Harun dari Tiakar Payakumbuh, Syarief Angku Bandaro dari Lintau dan guru-guru yang lainnya.Murid-murid Syekh Abdullah yang dianggap Syekh Abdullah cerdas yang kemudian dikenal sebagai ulama dengan kedalaman ilmu yang cukup tinggi, antara lain : Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang berasal dari Candung Bukittinggi. la belajar di surau Syekh Abdullah dari tahun 1897 hingga 1903. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli kemudian dikenal sebagai pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiah dan Perti. Syekh Muhammad Djamil Djaho yang berasal dari Djaho Padang Panjang. la belajar di surau Syekh Abdullah dari tahun 1900-1908. Syekh Ibrahim Harun dari Tiakar Payakumbuh yang belajar dari tahun 1892-1900. la adalah pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tiakar Payakumbuh. Syekh Syarief Angku Bandaro yang berasal dari Lintau Tanah Datar yang belajar dari tahun 1890-1926. la adalah pelanjut surau Syekh Abdullah setelah meninggal. Selain Surau Baru di Halaban ini, Syekh Abdullah juga mempunyai surau-surau lainnya, terutama ditempat-tempat istrinya menetap, seperti : Surau di Bukit Sikumpar Batu Payung, Gadut Luhak, Surau di Andalas, Surau di Batu Balang, Surau di Situjuh Tungkar.
Satu kebiasaan Syekh Abdullah yang masa itu yang begitu familiar dilaksanakan adalah mengadakan acara-acara peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi Besar Muhammad SAW., Had Isra' Mi'raj dan hari besar lainnya. Pada saat hari besar tersebut, Syekh Abdullah sering menyembelih sapi dan kambing, kemudian ia mengadakan makan bersama dengan para muridnya. Ketika Syekh Abdullah kembali ke kampung halamannya di Halaban setelah berpetualang menuntut ilmu selama lebih kurang 24 tahun, ia menyaksikan kondisi clan pemahaman keagamaan yang sangat memprihatinkan. Kebiasaan menyabung ayam, berjudi clan berkunjung ke makam keramat di Taram terus berlangsung. Untuk itulah ia tidak hanya berkutat di dalam pesantrennya saja (atau istilah sekarang berkutat di menara gading), akan tetapi Syekh Abdullah langsung terjun ketenga-tengah masyarakat memberikan contoh clan arahan sesuai dengan tuntunan al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Dalam kondisi seperti inilah Syekh Abdullah memulai gerakan dakwahnya. Langkah pertama yang dilakukannya adalah meluruskan keimanan dan akidah masyarakat untuk lebih sesuai dengan ajaran Islam. Syekh Abdullah menggunakan metode persuasif dan empati dalam dakwahnya. Dalam menjalankan dakwahnya, Syekh Abdullah berangkat dari satu suaru ke surau lainnya, dari satu mesjid ke mesjid lainnya. Kadang-kadang ia langsung turun dari satu kampung ke kampung lainnya disekitar Kabupaten 50 Kota.
Apabila Syekh Abdullah mendengar ada kerumunan orang yang sedang melakukan sabung ayam, maka ia akan datang ke lokasi penyabungan ayam tersebut. Kedatangannya ini membuat peserta sabung ayam merasa gentar akan kharisma yang dipancarkannya. Dengan penuh kelembutan tanpa kemarahan, ia akan berpetuah. Bahkan kadang-kadang Syekh Abdullah akan bercerita tentang tuah (kelebihan) ayam. Banyak yang terpana dengan pengetahuan Syekh Abdullah tentang tuah ayam tersebut. Suatu yang langka pada masa itu seorang ulama memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang jauh dari objek kajiarmya. Setelah bercerita tentang segala kelebihan ayam, maka mulailah Syekh Abdullah membawa para penyabung ayam tersebut secara bertahap untuk datang ke surau. Pendekatan yang persuasif ini membuat banyak masyarakat yang memberikan apresiasi besar terhadap cara Syekh Abdullah "menaklukkan" para penyabung ayam di daerah-daerah sekitar Halaban. Cara ini juga dilakukan Syekh Abdullah terhadap para penjudi.
Disamping itu, salah satu kontribusi Syekh Abdullah yang cukup dikenang hingga sekarang, terutama di daerah Halaban adalah terobosannya dalam merobah penyampaian Khutbah Jum'at yang pada awalnya berbahasa Arab dirobah kedalam Bahasa Daerah. Suatu yang revolusioner dan sangat radikal pada masa itu. Nagari Halaban menjelang tahun 1900, yaitu ketika sedang panas-panasnya perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda di Minangkabau terutama mengenai akidah clan ibadah. Syekh Abdullah telah menganjurkan kepada masyarakat Halaban dan masyarakat dimana tempat ia berdakwah, agar penyampaian khutbah Jum'at disampaikan dalam bahasa daerah masyarakat yang mendengarkannya, karena dengan bahasa Arab orang tidak akan mengerti tentang apa yang disampaikan sang khatib. Pendapat yang dilontarkan Syekh Abdullah ini mendapat tantangan keras oleh sebagian ulama pada masanya. Akhirnya, khutbah dalam bahasa daerah di Halaban baru dilakukan sekitar tahun 1942 setelah berdirinya Muhammadiyah di Halaban berkat usaha murid-murid Syekh Abdullah. Ketika terjadi perdebatan tentang permasalahan khilafiyah terutama tentang empat pokok permasalahan yaitu fiqh, tauhid, tariqat clan ijtihad, yang terjadi antara tahun 1907-1969, Syekh Abdullah menanggapi polemik ini dengan arif dan bijaksana. Beliau tidak pernah menyalahkan salah satu pihak. Ia tidak menyukai terjadinya perpecahan dalam ummat Islam. Untuk itu, ia meluruskan pemahaman-pemahaman masalah khilafiyah tersebut kepada masyarakat dengan menggunakan hujah-hujah dari al-Qur an dan Sunnah Nabi SAW.
Kemudian salah satu karya terbesar dari Syekh Abdullah adalah Masjid Raya Halaban atau sering disebut dengan Surau Gadang. Mengingat makin banyaknya masyarakat Halaban yang melaksanakan shalat Jum'at, sedangkan surau dan masjid tidak begitu bagus daya tampungnya, maka pada tahun 1900, Syekh Abdullah berinisiatif dengan dibantu oleh masyarakat membangun masjid Raya Halaban. Masjid tersebut hingga sekarang masih ada. Setelah Syekh Abdullah meninggal dunia pada tahun 1926, ia meninggalkan warisan yang sangat berharga, suraunya di Batu Nan Banyak. Surau ini kemudian dipimpin oleh muridnya, Syarief Angku Bandaro selama dua tahun. Pada tahun 1927, Syarief Angku bandaro dan dibantu oleh pemuka-pemuka masyarakat serta murid-murid pengajian berhasil mendirikan bangunan permanen untuk kelanjutan surau Syekh Abdullah. Pada tahun itu juga, surau tersebut diresmikan menjadi "Thawalib Batu Nan Banyak Hataban". Sistem pengajaran yang pada awalnya memakai sistem halaqah diganti menjadi sistem klasikal. Murid-murid sekolah ini adalah murid-murid Syekh Abdullah terdahulu ditambah dengan murid-murid baru. Pimpinan Thawalib Batu Nan Banyak sejak mulai didirikan adalah : Syarief Angku Bandaro (1927-1937), Yazid Bustami (1937-1942) dan Jamaluddin (1943-1948).
Pada tahun 1948, madrasah ini ditutup dan dijadikan Sekolah Rakyat (SR) atas anjuran pemerintah kolonial Belanda. Kemudian pada tahun 1949 sekolah ini ditutup kembali karena terjadi Agresi Belanda ke-II. Sekolah ini hidup kembali pada tahun 1953 dibawah Ranting Muhammadiyah Halaban dengan nama Madrasah Thawalib Muhammadiyah Halaban. Pada tahun 1958, sekolah ini terpaksa kembali ditutup karena pergolakan PRRI di Sumatera Barat hingga tahun 1965. Pada tanggal 16 Maret 1966 sekolah ini dihidupkan kembali dan diresmikan dengan nama Madrasah Tsanawiyah Swasta Halaban (MTsSH). Usaha lain yang dilakukan Syekh Abdullah dalam pengembangan pendidikan selain mendirikan surau adalah mengarang kitab. Ini memperkuat kembali tesis beberapa ahli sejarah (baca : Taufik Abdullah, Azyumardi Azra, Drewwes – untuk menyebut beberapa nama diantaranya), bahwa ulama-ulama Minangkabau pasca Paderi memiliki karakteristik khas yaitu ulama yang “berbasis” pada pengembangan ideologi-keilmuan (berbeda dengan ulama pergerakan a-la Paderi).
(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang (Finally Editing)
"Syekh Abdullah adalah ulama yang ahli dalam Ushul dan Matiq serta Tauhid. Beliau pemah menulis kitab tentang Ushul Fiqh dan Itmu Tauhid. Kitabnya ini diakui para ulama pada zaman itu. Mengenai judul yang pasti tentang karangannya tersebut tidak diketahui lagi sampai sekarang. Amat disayangkan sekarang ini tidak diketahui dimana letaknya Kitab-Kitab karangan Syekh Abdullah serta koleksi kitab-kitab yang lain" (Pengakuan salah seorang keturunannya)
Abdullah, tepatnya Syekh Abdullah Halaban dilahirkan pada tahun 1846 M. di kenagarian Halaban yang terletak kira-kira 20 km dari
Pada masa kecil, Abdullah mengaji di bawah bimbingan orang tuanya. Ibu dan bapaknya mengajarkan AI-Qur'an, dasar-dasar ibadah, akhlak dan syariat Islam. Dari pendidikan rumah tangga bersama kedua orang tuanya ini, Abdullah melanjutkan pelajarannya ke pendidikan surau yang ada di Halaban waktu itu bersama saudara-saudaranya. Di surau ia mengajar mengaji sebagaimana halnya yang berlaku pada anak-anak yang telah berumur tujuh sampai sepuluh tahun. Orang tua Abdullah berharap kelak anak tersebut bisa menjadi orang shaleh, pemimpin agama yang akan menyebarluaskan ajaran agama Islam. Pada tahun 1861, ketika Syekh Abdullah berumur 15 tahun, setetah menamatkan kajinya (pelajaran) di pendidikan surau, ia mohon izin dan do'a restu orang tuanya berangkat untuk memperdalam ilmunya keluar daerah Halaban. Ketika itu dikampung keadaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi, karena belum ada satupun surau yang mampu memberikan metoda belajar yang baik dan teratur. Cara belajar tergantung pada guru yang mengajar. Kalau waktu guru lapang banyaklah waktu untuk belajar, tetapi kalau guru sibuk bisa jadi belajar tidak dilakukan. Langkah pertama ia pergi meninggalkan kampung halamannya menuju daerah-daerah di sekitar Kabupaten 50 Kota , seperti ke Batu Hampar, ke Situjuh, kemudian ke Simabur di Batusangkar, ke Lintau dan daerah daerah lainnya di Minangkabau, bahkan hingga ke Mekkah. Yang disebutkan terakhir ini merupakan perjalanan yang dianggap paling jauh ketika itu.
Tahun 1870, setelah menimba ilmu cukup intens di Mekkah, ia kembali ke kampung halamannya di Halaban dan mendirikan surau (pesantren) disana. Sekembalinya dari Mekkah ia masih terus berkelana menimba ilmu dari ulama-ulama terkenal dimana saja, terutama di ketiga Luhak (Luhak Agam, Luhak Tanah Datar clan Luhak 50 Kota) hingga sampai ke Tungka 50 Kota. Dan sejak itu pula ia dipanggil dengan nama Syekh Abdullah (Beliau Halaban). Banyak orang dari berbagai daerah di luar Halaban yang kemudian berdatangan untuk menuntut ilmu kepada Syekh Abdullah ini. Di Situjuh Tungkar, Syekh Abdullah mempunyai pengalaman yang unik daiam permulaannya menuntut ilmu. Pada awalnya Syekh Abdullah mendengar dari orang lain bahwa di Situjuh Tungkar terdapat seorang ulama yang dalam ilmunya dan ahli dalam ilmu alat (bahasa Arab). Mendengar hal tersebut, maka pada tahun 1880-an Syekh Abdullah berangkat ke tempat tinggal ulama tersebut dengan membawa seekor ayam jantan. Sesampainya dirumah sang ulama, ulama tersebut bertanya pada Syekh Abdullah, "Untuk apa kamu membawa ayam ini ?". Syekh Abdullah menjawab, "Saya ingin bertanya jawab (diskusi maksudnya: ed.) tentang masalah agama dengan Tuan guru". Ulama ini bertanya kembali, "Lalu apa hubungannya dengan ayam ini ?”. Lalu Syekh Abdullah menjawab kembali, "Nanti kalau saya tidak dapat menjawab pertanyaan Tuan Guru, maka saya akan belajar pada Tuan guru dan ayam ini akan saya sembelih".
Setelah dialog berlangsung, ternyata Syekh Abdullah tidak mampu melayani pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh utama Tungka tersebut. Akhimya ia menyatakan keinginannya untuk belajar. Nama ulama Tungka tersebut adalah Syekh Muhammad Djamil, dipanggil Beliau Tungka. Di bawah bimbingan Beliau Tungka ini, Syekh Abdullah banyak belajar tentang ilmu ushul fiqh, fiqh, dan ilmu mantiq untuk keahlian berbicara dan berbahasa. Waktu belajar dengan Beliau Tungka ini, Syekh Abdultah tidak menetap seperti biasanya dilakukan seorang murid apabila belajar pada gurunya. Ia hanya belajar dua atau tiga kali dalam seminggu dan dia kemudian kembali ke Halaban, membina suraunya disana. Begitulah, ia bolak-balik belajar di Tungka dan mengajar di Halaban. Di Tungka ini, Syekh Abdullah dikawinkan oleh gurunya dengan anaknya yang bemama Puti.
Pada tahun 1886, selain kepada Beliau Tungka, Syekh Abdullah juga belajar pada Syekh Bustami dari Lintau di Batu Balang (Kecamatan Harau sekarang). Syekh Bustami merupakan murid Tuanku Lintau (Tuanku Pasaman). la melarikan diri ke Batu Balang karena diintimidasi oleh Belanda, karena beliau ikut dalam peperangan-peperangan yang di lakukan oleh Tuanku Lintau. Di Batu Balang Syekh Bustami ini mendirikan surau dan mengajar murid-murid yang sangat banyak pula. Syekh Abdullah berguru pada Syekh Bustami hingga Syekh murid Tuanku Lintau ini wafat pada tahun 1898 (Siradjuddin Abbas, 1994: 197).
Disamping belajar kepada ulama-ulama terkenal di Luhak ini, Syekh Abdullah juga giat mengunjungi uiama-ulama terkemuka pada waktu itu untuk berdiskusi dalam masalah-masalah agama dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, la juga tidak segan-segan mengakui kealiman orang lain walaupun orang tersebut masih muda dari dirinya, seperti ia pernah mengakui ketinggian ilmu Syekh Saad Mungka (Ibid, 199). Dengan ulama-ulama terkenal pada waktu itu, ia saling berdialog dan bertukar fikiran sehingga diantara mereka terjadi sharing ilmu, saling memberi dan menerima. Syekh Abdullah tidak akan berhenti menghubungi ulama-ulama lain sebelum pertanyaan-pertanyaannya terjawab dengan baik, seperti yang disebutkan Halim Saadi dalam bukunya Mengenal Riwayat Hidup Syekh Muhammad Saad Khalidi (tidak diterbitkan) :
"Syekh Abdullah Payakumbuh guru oleh Syekh Sulaiman Ar Rasuli Candung, datang ke Koto Tuo Mungka menemui Syekh Muhammad Saad untuk menguji dan menyatakan bermacam-macam masalah agama. Setelah seminggu bertukar fikiran dengan Syekh Saad, Syekh Halaban merasa puas dan mengakui bahwa Syekh Muhammad Saad adalah ulama besar dan dalam ilmunya. Sebelumnya beliau telah mendatangi pula ulama-ulama lainnya, tetapi belum satupun dari ulama-ulama itu yang bisa menyelesaikan masalah yang diajukan".
Orang yang alim terutama dari kalangan agama, banyak menjadi dambaan ummat. Orang banyak yang bangga dan tertarik untuk mengambil Syekh Halaban sebagai menantunya atau menjadi suami, apalagi waktu itu Syekh Abdullah merupakan ulama yang baru pulang dari Mekkah. Sebuah derajat prestise yang sangat tinggi kala itu. Dari hari ke hari cerana pinang datang silih berganti. Syekh Abdullah tidak banyak menolak dalam hal ini. Ia banyak memperistri gadis-gadis waktu itu karena adanya desakan dari orang tua gadis dan juga desakan dari gurunya. Menurut penuturan keturunannya, Syekh Abdullah memiliki banyak istri, tetapi yang silsilahnya sampai sekarang dapat diketahui hanya tujuh orang, yaitu : Saejie (berasal dari Halaban), Siti (berasal dari Batu Balang)
Dari tujuh orang istrinya tersebut, Syekh Abdullah dikaruniai 9 orang anak, 4 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Dari istrinya yang pertama, Saejie ia memperoleh 1 orang anak bemama Zainal Abidin. Zainal Abidin adalah salah seorang dari anak Syekh Abdullah yang mengalir darah ulama dalam jiwanya. Setelah dewasa ia berangkat bersama ayahnya menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1890-an. Zainal Abidin menetap secara permanen di kota suci ini sampai akhir hayatnya. Sewaktu bermukim di Mekkah, Zainal Abidin pernah menjadi polisi di Mekkah dan membuat pemukiman untuk menampung jamaah haji yang berasal dari Minangkabau dan dari Indonesia. Istri Zainal Abidin bernama Saleha. Gadis yang berasal dari Tanjung Alam Batusangkar. Mereka dikaruniai 3 orang akan yakni Muhammad Shaleh, Muhammad Ghazi dan Abdullah. Muhammad Shaleh, anaknya yang tertua, pernah menjadi anggota kepolisian Mekkah. la bersama adik-adiknya melanjutkan pemukiman yang dibuat orang tuanya dan diberi nama dengan pemukiman Saleha al-Minangkabawi. Keturunan dari Muhammad Shaleh ini ada yang menjadi pegawai urusan haji di Mekkah hingga saat sekarang. Sampai sekarang hubungan mereka dengan keturunan Syekh Abdullah di Halaban, Tanjung Alam, Bukit Sikumpar dan Andalas masih terjalin dengan baik. Istrinya yang kedua, Mana, yang dinikahi Syekh Abdullah tahun 1870 dikaruniai dua orang anak yang bernama Mardiana dan Yahya. Dari istrinya yang ketiga, Puti (Anak gurunya di Tungka) yang ia nikahi tahun 1880, Syekh Abdullah tidak memperoleh keturunan. Istrinya keempatnya yang bemama Siti dari Batu Balang, dinikahi oleh Syekh Abdullah tahun 1897. Dari Siti ini, Syekh Abdullah dikaruniai seorang anak wanita yang bernama Ruqayyah. Ruqayyah ini kemudian dikawinkan oleh Syekh Abdullah dengan muridnya yang paling cerdas dan paling disayanginya, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli.
Istrinya yang kelima bernama Lanin dari Bukit Sikumpar Gadut yang dinikahinya pada tahun 1907 dan mempunyai keturunan dua orang, Sawiyah dan Burhan. Sedangkan istrinya yang keenam bernama Urai Sitawa dad Andalas yang dinikahinya tahun 1913 dan dikaruniai seorang anak laki-laki bemama Adnan. istrinya yang terakhir bemama Minsa dari Halaban yang dinikahinya tahun 1919. Dari istrinya ini, Syekh Abdullah dikaruniai anak yang bernama Juwairiyah,Latar belakang Syekh Abdullah mempunyai istri sampai tujuh orang ini karena dilatar belakangi oleh berbagai faktor yang bersifat sosial juga karena ia adalah orang jemputan. Pada umumnya istri-istri Syekh Abdullah tidak ada yang mengharapkan belanja dari beliau sebagaimana layaknya masa itu, di mana istri-istri ulama tidak terlalu mengharapkan nafkah atau belanja dari suamiya.
Sepulangnya dari menunaikan haji sekaligus menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 5 tahun, Syekh Abdullah mendirikan surau (pesantren) di Halaban, tepatnya di Batu Nan Banyak Halaban pada tahun 1870. Surau ini dikenal dengan sebutan Surau Baru. Lembaga pendidikan surau Syekh Abdullah ini maju dengan pesat. Karena banyaknya murid-murid dari luar daerah Halaban yang berdatangan untuk menuntut ilmu di Surau Baru ini, maka Syekh Abdullah memperbesar surau tersebut dan membuat rumah-rumah penampungan untuk murid-murid yang dikenal dengan sebutan Rumah Tongah (Rumah Tengah). Sebutan ini dikarenakan letak bangunan tersebut terletak di tengah-tengah bangunan yang banyak berdiri di dekatnya.
Langkah pertama yang dilakukan Syekh Abdullah dalam meningkatkan mutu pendidikan suraunya adalah mengadakan perbaikan terhadap sistem belajar. Pada mulanya sistem pendidikannya di surau ini tidak teratur, yaitu kapan saja Syekh sanggup mengajar, bila tidak sanggup maka proses belajar tidak dilakukan. Sejak itu, Syekh Abdullah mengaturnya dengan sistem _ halaqah yaitu murid-murid duduk mengelilingi gurunya dan membentuk lingkaran-lingkaran yang masing-masing dipimpin oleh guru tua atau guru bantu untuk membantu Syekh Abdullah dalam mengajar di tingkat dasar. Pengajian surau dibagi pada tiga tingkat yaitu pengajian al-Qur'an tingkat dasar, pengajian kitab dan pengajian khusus bagi murid-muridnya yang telah tamat dad pengajian kitab. Setelah seorang murid menamatkan Juz Amma dengan baik pada tingkat permulaan, barulah ia naik ke tingkat atas. Disini ia mulai mempelajari al-Quran dalam arti yang sebenamya. Selain mempelajari al-Qur'an, juga dipelajari pengajian qiraat, tajwid, ibadah dan kitab perukunan. Semuanya berlangsung dengan sistem hafalan dan bersama-sama melagukannya. Pengajian al-Qur`an ini dilakukan setelah sholat Maghrib sampai shalat Isya. Setelah menamatkan pengajian al-Qur'an, maka dilanjutkan pada pengajian kitab. Dalam pengajian kitab ini, pelajaran yang diajarkan antara lain Ilmu Nahwu, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, Ilmu Tauhid, llmu Tafsir dan lain-lain. Kitab-kitab yang dipakai antara lain Kitab Matan Ajrumiyah, Asymawi, Alfiah, Qatrun Nada untuk Nahwu, Kitab Kailani dan lain-lain untuk Ilmu Sharaf. Untuk Fiqh dipakai Kitab Fathul Qarib, Fathul Muin, fathul wahab, Mahalli dan kitab-kitab lainnya. Sedangkan untuk ilmu tafsir dipakai Tafsir Jalalin, Tafsir Baidlawi, Khazin dan kitab lainnya. Pada masa ini juga diajarkan Ilmu Mantiq, Ilmu Balaghah dan Ilmu tasauf.
Guru yang mengajar pada bagian kitab adalah Syekh Abdullah dibantu oleh beberapa orang murid yang dipercayainya. Mereka sering juga disebut dengan sebutan guru tuo atau guru bantu. Guru-guru Tuo yang terkenal membantu Syekh Abdullah seperti Sulaiman Ar-Rasuli dari Candung Bukittinggi, Muhammad Djamil Djaho dari Padang Panjang, Ibrahim Harun dari Tiakar Payakumbuh, Syarief Angku Bandaro dari Lintau dan guru-guru yang lainnya.Murid-murid Syekh Abdullah yang dianggap Syekh Abdullah cerdas yang kemudian dikenal sebagai ulama dengan kedalaman ilmu yang cukup tinggi, antara lain : Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang berasal dari Candung Bukittinggi. la belajar di surau Syekh Abdullah dari tahun 1897 hingga 1903. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli kemudian dikenal sebagai pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiah dan Perti. Syekh Muhammad Djamil Djaho yang berasal dari Djaho Padang Panjang. la belajar di surau Syekh Abdullah dari tahun 1900-1908. Syekh Ibrahim Harun dari Tiakar Payakumbuh yang belajar dari tahun 1892-1900. la adalah pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tiakar Payakumbuh. Syekh Syarief Angku Bandaro yang berasal dari Lintau Tanah Datar yang belajar dari tahun 1890-1926. la adalah pelanjut surau Syekh Abdullah setelah meninggal. Selain Surau Baru di Halaban ini, Syekh Abdullah juga mempunyai surau-surau lainnya, terutama ditempat-tempat istrinya menetap, seperti : Surau di Bukit Sikumpar Batu Payung, Gadut Luhak, Surau di Andalas, Surau di Batu Balang, Surau di Situjuh Tungkar.
Satu kebiasaan Syekh Abdullah yang masa itu yang begitu familiar dilaksanakan adalah mengadakan acara-acara peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi Besar Muhammad SAW., Had Isra' Mi'raj dan hari besar lainnya. Pada saat hari besar tersebut, Syekh Abdullah sering menyembelih sapi dan kambing, kemudian ia mengadakan makan bersama dengan para muridnya. Ketika Syekh Abdullah kembali ke kampung halamannya di Halaban setelah berpetualang menuntut ilmu selama lebih kurang 24 tahun, ia menyaksikan kondisi clan pemahaman keagamaan yang sangat memprihatinkan. Kebiasaan menyabung ayam, berjudi clan berkunjung ke makam keramat di Taram terus berlangsung. Untuk itulah ia tidak hanya berkutat di dalam pesantrennya saja (atau istilah sekarang berkutat di menara gading), akan tetapi Syekh Abdullah langsung terjun ketenga-tengah masyarakat memberikan contoh clan arahan sesuai dengan tuntunan al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Dalam kondisi seperti inilah Syekh Abdullah memulai gerakan dakwahnya. Langkah pertama yang dilakukannya adalah meluruskan keimanan dan akidah masyarakat untuk lebih sesuai dengan ajaran Islam. Syekh Abdullah menggunakan metode persuasif dan empati dalam dakwahnya. Dalam menjalankan dakwahnya, Syekh Abdullah berangkat dari satu suaru ke surau lainnya, dari satu mesjid ke mesjid lainnya. Kadang-kadang ia langsung turun dari satu kampung ke kampung lainnya disekitar Kabupaten 50 Kota.
Apabila Syekh Abdullah mendengar ada kerumunan orang yang sedang melakukan sabung ayam, maka ia akan datang ke lokasi penyabungan ayam tersebut. Kedatangannya ini membuat peserta sabung ayam merasa gentar akan kharisma yang dipancarkannya. Dengan penuh kelembutan tanpa kemarahan, ia akan berpetuah. Bahkan kadang-kadang Syekh Abdullah akan bercerita tentang tuah (kelebihan) ayam. Banyak yang terpana dengan pengetahuan Syekh Abdullah tentang tuah ayam tersebut. Suatu yang langka pada masa itu seorang ulama memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang jauh dari objek kajiarmya. Setelah bercerita tentang segala kelebihan ayam, maka mulailah Syekh Abdullah membawa para penyabung ayam tersebut secara bertahap untuk datang ke surau. Pendekatan yang persuasif ini membuat banyak masyarakat yang memberikan apresiasi besar terhadap cara Syekh Abdullah "menaklukkan" para penyabung ayam di daerah-daerah sekitar Halaban. Cara ini juga dilakukan Syekh Abdullah terhadap para penjudi.
Disamping itu, salah satu kontribusi Syekh Abdullah yang cukup dikenang hingga sekarang, terutama di daerah Halaban adalah terobosannya dalam merobah penyampaian Khutbah Jum'at yang pada awalnya berbahasa Arab dirobah kedalam Bahasa Daerah. Suatu yang revolusioner dan sangat radikal pada masa itu. Nagari Halaban menjelang tahun 1900, yaitu ketika sedang panas-panasnya perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda di Minangkabau terutama mengenai akidah clan ibadah. Syekh Abdullah telah menganjurkan kepada masyarakat Halaban dan masyarakat dimana tempat ia berdakwah, agar penyampaian khutbah Jum'at disampaikan dalam bahasa daerah masyarakat yang mendengarkannya, karena dengan bahasa Arab orang tidak akan mengerti tentang apa yang disampaikan sang khatib. Pendapat yang dilontarkan Syekh Abdullah ini mendapat tantangan keras oleh sebagian ulama pada masanya. Akhirnya, khutbah dalam bahasa daerah di Halaban baru dilakukan sekitar tahun 1942 setelah berdirinya Muhammadiyah di Halaban berkat usaha murid-murid Syekh Abdullah. Ketika terjadi perdebatan tentang permasalahan khilafiyah terutama tentang empat pokok permasalahan yaitu fiqh, tauhid, tariqat clan ijtihad, yang terjadi antara tahun 1907-1969, Syekh Abdullah menanggapi polemik ini dengan arif dan bijaksana. Beliau tidak pernah menyalahkan salah satu pihak. Ia tidak menyukai terjadinya perpecahan dalam ummat Islam. Untuk itu, ia meluruskan pemahaman-pemahaman masalah khilafiyah tersebut kepada masyarakat dengan menggunakan hujah-hujah dari al-Qur an dan Sunnah Nabi SAW.
Kemudian salah satu karya terbesar dari Syekh Abdullah adalah Masjid Raya Halaban atau sering disebut dengan Surau Gadang. Mengingat makin banyaknya masyarakat Halaban yang melaksanakan shalat Jum'at, sedangkan surau dan masjid tidak begitu bagus daya tampungnya, maka pada tahun 1900, Syekh Abdullah berinisiatif dengan dibantu oleh masyarakat membangun masjid Raya Halaban. Masjid tersebut hingga sekarang masih ada. Setelah Syekh Abdullah meninggal dunia pada tahun 1926, ia meninggalkan warisan yang sangat berharga, suraunya di Batu Nan Banyak. Surau ini kemudian dipimpin oleh muridnya, Syarief Angku Bandaro selama dua tahun. Pada tahun 1927, Syarief Angku bandaro dan dibantu oleh pemuka-pemuka masyarakat serta murid-murid pengajian berhasil mendirikan bangunan permanen untuk kelanjutan surau Syekh Abdullah. Pada tahun itu juga, surau tersebut diresmikan menjadi "Thawalib Batu Nan Banyak Hataban". Sistem pengajaran yang pada awalnya memakai sistem halaqah diganti menjadi sistem klasikal. Murid-murid sekolah ini adalah murid-murid Syekh Abdullah terdahulu ditambah dengan murid-murid baru. Pimpinan Thawalib Batu Nan Banyak sejak mulai didirikan adalah : Syarief Angku Bandaro (1927-1937), Yazid Bustami (1937-1942) dan Jamaluddin (1943-1948).
Pada tahun 1948, madrasah ini ditutup dan dijadikan Sekolah Rakyat (SR) atas anjuran pemerintah kolonial Belanda. Kemudian pada tahun 1949 sekolah ini ditutup kembali karena terjadi Agresi Belanda ke-II. Sekolah ini hidup kembali pada tahun 1953 dibawah Ranting Muhammadiyah Halaban dengan nama Madrasah Thawalib Muhammadiyah Halaban. Pada tahun 1958, sekolah ini terpaksa kembali ditutup karena pergolakan PRRI di Sumatera Barat hingga tahun 1965. Pada tanggal 16 Maret 1966 sekolah ini dihidupkan kembali dan diresmikan dengan nama Madrasah Tsanawiyah Swasta Halaban (MTsSH).
(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang (Finally Editing)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar