Salah satu laporan asing (Belanda) yang cukup tua mengenai acara basapa di Ulakan adalah tulisan Ph.S. van Ronkel, “Het Heiligdom te Oelakan” yang artinya “Tempat Keramat di Ulakan”. Van Ronkel adalah salah seorang intelektual Belanda yang pernah ditugaskan di Sumatra Barat, antara lain di Kweekschool/Sekolah Raja di Fort de Kock / Bukittinggi). Artikel itu dimuat dalam majalah Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde vol. 56 (1914): 281-316.Yang menarik dalam artikel Van Ronkel itu antara lain adalah informasi tentang sebuah naskah silsilah bertulisan tangan (handschriften) dalam aksara Arab-Melayu (Jawi). Van Ronkel mengatakan, naskah itu disebut Silsilah Syekh Abdul Rauf Singkel, guru Syekh Burhanudin, tetapi di dalamnya juga ada cerita mengenai Syekh Burhanudin sendiri. Van Ronkel melihat naskah itu di Ulakan dan berkat bantuan seorang perantara, yaitu kontrolir Belanda di Pariaman yang bernama W. Dominicus, ia dapat meminjam naskah itu dari ulama penjaga makam Syekh Burhanudin di Ulakan.

“[J]adi berpetaruhlah Syekh Ahmad al-Qushashi kepada Abdul Rauf: “Apabila sampai engkau ke negeri Acas datang orang balima, nan balima dibawa kitab, seorang orang Ulakan yaitu Syekh Burhanudin, akan diberi kitab, jikalau hendak pai naik haji ke Mekah, jangan diberi pai Syekh Burhanudin, di sananlah ilmu nan akan diputuskan, sampaikan di sanan ilmu semuhanya.” (Van Ronkel 1914:312).
Van Ronkel juga menginformasikan bahwa asal-usul Syekh Burhanudin berasal dari Pamansingan, dekat Kapeh-Kapeh, Padang Panjang. Hal itu didasarkan atas temuan kitab-kitab lama di sana. Kata Van Ronkel lagi, surau Pamansingan kemudian dipimpin oleh Tuanku nan Balinduang. Setelah wafat ia digantikan oleh anaknya yang bernama Tuanku Bakarando. Kepemimpinannya diteruskan lagi oleh anaknya yang bernama Muhammad Saliah Aia Angek yang ikut dalam perang Padri dan gugur dalam pertempuran di Bonjol. Anaknya yang bernama Tuanku Kali nan Mudo ditunjuk sebagai penggantinya, yang menurut Van Ronkel sudah tua ketika ia bertemu beliau.
Tampaknya Van Ronkel pernah datang sendiri ke Ulakan menyaksikan acara basapa yang dikunjungi oleh puluhan ribu orang. Tentang ramainya para penziarah yang mengunjungi makam Syekh Burhanudin di Ulakan dan suasana agamis selama berlangsungnya ritus basapa, Van Ronkel menulis: “Oleh karena antrean orang-orang alim, di halaman [depan mesjid] sangat susah untuk bergerak maju. Barisan-barisan perempuan yang memakai tilakoeang memadati seluruh halaman [mesjid]. Di lokasi makam [Syekh Burhanudin] yang sebenarnya kedengaran suara tahlil, kata Allahoe allahoe yang diucapkan ribuan kali dengan cara menggeleng-gelengkan kepala. Di atas makam sendiri kealiman diwujudkan dengan membaca [surat al-Fatihah dan surat Yasin] (Van Ronkel 1914:284).
Menurut Oman Fathurahman (2008:13) rumusan hakikat dan tujuan akhir ajaran tarekat Syattariyah di Sumatra Barat lebih lunak dibandingkan dengan di tempat lain di Indonesia. Saya menduga hal ini tidak lepas dari sejarah pengislaman Minangkabau yang memang berbeda pula dengan di daerah lain. Adagium “ABS-SBK” menyiratkan bahwa ada kompromi kultural dalam pengislaman Minangkabau, yang dimaksudkan untuk mencegah kembalinya tragedi berdarah selama Perang Padri. Hal itu membuat wajah Islam menjadi lebih moderat di Minangkabau.
::::: Sumber : Suryadi, peneliti di Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda. Artikel ini telah dipublikasikan pula diharian Pos Metro Padang, Selasa 16 Februari 2010 (beberapa artikel telah diizinkan untuk dishare/dipublish di blog ini atas seizin Penulis melalui komunikasi Facebook).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar