Gerak kebudayaan kembali ke surau di Minangkabau sepertinya kembali memantul ke titik mentah. Mengapa begitu? Seandainya, gerakan kebudayaan kembali ke surau merupakan sesuatu yang konkret, maka barangkali akan didapati gerakan pembangunan surau yang mewabah di berbagai tempat di Minangkabau. Ternyata tidak terjadi. Sebaliknya yang tetap banyak dan menjamur adalah pembangunan masjid. Barangkali, wacana kembali ke surau, hanya merupakan barang dagangan kampanye politik kekuasaan? Nauzubillah, sebaliknya kita jangan berprasangka buruk. Pemerintah Sumatera Barat, bukan membuat program membangun ribuan atau ratusan surau, tetapi membangun mesjid raya terbesar dengan dana miliyaran rupiah dengan menggusur sekolah yang ada di tanah tempat pembangunan itu. Sepertinya ada hal yang aneh dan “kontradiksi”, yakni; mulut mengatakan kembali ke surau, sementara perbuatan tidak ada menyinggung-nyinggung surau, perbuatan malah membangun mesjid bukan membangun surau. Namun, bukankah surau dengan mesjid sama, bahkan bukankah lebih baik mesjid daripada surau. Mengapa harus diperdebatkan pula?
Memang, surau berbeda dengan mesjid dalam konsep kebudayaan di Minangkabau. Surau letaknya pada komunitas kaum dan tuangku, sedangkan mesjid pada komunitas nagari. Mesjid jadi salah satu syarat identitas dari suatu nagari di Minangkabau, dikenal dengan isrtilah “mesjid nagari”, sedangkan surau syarat identitas suatu kaum, dikenal dengan istilah “surau kaum”. Orang nagari berkumpul di mesjidnya, sedang kaum berkumpul sepanjang malam di suraunya. Namun konsep kebudayaan ini nampaknya sudah lama digulung perubahan. Banyak kaum yang tidak lagi mempunyai surau, banyak masjid yang tidak lagi identik dengan nagari. Sampai di sini, timbul pertanyaan mengapa yang dihadirkan itu adalah wacana “kembali ke surau”? Bukankah akan lebih baik yang dihadirkan adalah wacana “kembali ke masjid”? Ketika sudah dicanangkan wacana “kembali ke masjid”, maka bukankah akan lebih cocok dengan pembangunan masjid raya mewah milayaran rupiah itu. Namun mungkin hal ini bukanlah untuk dapat dikatakan sambung menyambung menjadi satu.
Seandainya “kembali ke masjid” yang dicanangkan, maka hal ini akan mengingatkan kita dengan konsep Sidi Gazalba yang terkenal itu, yakni “masjid merupakan pusat kebudayaan”. Ternyata di Minangkabau bukan mesjid pusat kebudayaan, melainkan surau. Hal itu dibuktikan secara konseptual pada wacana “kembali ke surau”. Pusat kebudayaan Minangkabau adalah surau. Inilah jawabannya, mengapa orang Minangkabau mencanangkan “kembali ke surau”, karena “surau adalah adalah pusat kebudayan Minangkabau“. Ketika A.A. Navis mengatakan robohnya surau kami (pada cerpen Robohnya Surau Kami), artinya dia mengatakan robohnya kebudayaan Minangakabau. Timbul pertanyaan, mengapa tidak mesjid? Karena dalam sejarah kebudayaan Minangkabau, gerakan adat dan agama dibangun di surau.
Surau tidak lagi dalam pengertian yang sederhana, harfiah; tempat ibadah, tetapi merupakan akademi (seperti yang dikatakan Hamka), saya dapat mengatakan ia merupakan universitas. Ribuan bahkan ratusan naskah buku ilmu pengetahuan yang ditulis tangan ditemukan di surau (baca Kompas, 10/09/2008; tentang Sebanyak 253 Manuskrip Diselamatkan dari Kepunahan), bukan di mesjid. Seluruh tambo di Minangkabau ditulis di surau, buktinya seluruh tambo dimulai dengan salawat kepada nabi dan ditulis dengan arab melayu. Di masa Adityawarman surau digunakan sebagai tempat pendidikan negara. Inilah jawaban, mengapa AA. Navis mengahadirkan tesis “Robohnya Surau Kami” pada cerpennya yang terkenal itu. Bukan tidak mungkin, ini sudah dibaca oleh Navis bahwa robohnya surau mengisyaratkan robohnya kebudayaan Minangkabau. Mengapa begitu? Karena surau bukanlah dalam pengertian harfiah, tetapi sangat konseptual dan filosofis. Surau dapat dikatakan merupakan pusat pendidikan, sistem, ekonomi, kekuasaan dalam satu integritas spritual kebudayaan.
Adapun surau sebagai basis ekonomi membuat kita terpurangah ketika membaca buku Christen Dobbin, sedangkan tentang adat maka ketika dibaca tembo, maka isinya sesungguhnya sangat sufistik simbolik. Dengan demikian, ketika hendak menghancurkan kebudayaan Minangkabau, maka yang dihancurkan adalah surau, bukanlah masjid, rumah gadang, balai adat. Ketika menghadapai perubahan zaman penjajahan, surau secara sitem mampu mengimbangi diri menjadi madrasah dhiniyah dan thawalib. Berhasil melahirkan tokoh-tokoh. Namun surau mulai roboh secara sistematis ketika sudah merdeka. Inilah yang seharusnya menjadi pertanyaan besar. Mengapa begitu? Karena surau bukanlah dalam pengertian fisik atau materi, tetapi surau dalam pengertian konseptual kebudayaan.
Secara konseptual budaya, ia sudah dipreteli, dipisah-pisahkan dan dilumpuhkan. Secara konseptual seluruh pendidikan anak bangsa diambil oleh pemerintah, ekonomi seluruhnya di tangan pemerintah, adapun tambo divonis hanya satu persen fakta, selebihnya fiksi (dapat dibayangkan kehancuran harga diri orang Minangkabau). Secara konseptual orang Minangkabau sudah berserpihan, anak-anak mereka beberapa generasi sampai hari ini menjadi tidak tahu lagi dengan kebudayaan Minangkabau. Pendidikan bukan berbasis kebudayaan Minangkabau tetapi berbasis pendidikan Barat yang diadaptasi secara bulat-bulat oleh pemerintah Indonesia. Sehingga yang muncul secara bergelombang adalah generasi “Hanafi Salah Asuhan”. Agaknya Abdul Moeis sejak awal sudah membaca kenyataan ini. Inilah jawaban mengapah tokoh-tokoh tidak lagi lahir di tanah Minang. Oleh sebab itu, wacana “kembali ke surau”, sesungguhnya adalah kembali kepada filosofi, mind set, inti kebudayaan Minangkabau. Menyatukan kembali yang berserpihan; yakni kembali kepada paradigma pendidikan budaya sendiri, ekonomi dan sistem sosial budaya. Dalam hal ini belum menampakkan cewang di langit dan gabak di hulu, barangkali baru sebatas romantika dendang saluang.
Pusat kebudayaan sekarang sepertinya sudah terpecah-pecah, generasi pergenerasi dididik menjadi madul oleh pemerintah, artinya mereka tidak mampu mendiri. Sedangkan ekonomi terpusat kepada kaum kapitalis (ivestor), yang dipuja-puja sampai hari ini (dengan cara menyalahkan adat tradisi, terutama tanah ulayat) sementara kekuasaan pemerintah rapuh digerogoti penyakit KKN yang sangat parah. Dengan demikian tantangan memang sangat berat. Sebagian besar generasi Minang adalah generasi “Hanafi Salah Asuhan” (jika terlalu kasar untuk dikatakan malin kundang), maka bagaimana akan bicara “kembali ke surau” secara konseptual kebudayaan kepada “tubuh yang sudah berserpihan”. Maaf, hanya sebuah pesimisme.
:: (c) Fadlillah Malin Sutan. Ditulis ulang dari Harian Singgalang, 15 Januari 2008
Memang, surau berbeda dengan mesjid dalam konsep kebudayaan di Minangkabau. Surau letaknya pada komunitas kaum dan tuangku, sedangkan mesjid pada komunitas nagari. Mesjid jadi salah satu syarat identitas dari suatu nagari di Minangkabau, dikenal dengan isrtilah “mesjid nagari”, sedangkan surau syarat identitas suatu kaum, dikenal dengan istilah “surau kaum”. Orang nagari berkumpul di mesjidnya, sedang kaum berkumpul sepanjang malam di suraunya. Namun konsep kebudayaan ini nampaknya sudah lama digulung perubahan. Banyak kaum yang tidak lagi mempunyai surau, banyak masjid yang tidak lagi identik dengan nagari. Sampai di sini, timbul pertanyaan mengapa yang dihadirkan itu adalah wacana “kembali ke surau”? Bukankah akan lebih baik yang dihadirkan adalah wacana “kembali ke masjid”? Ketika sudah dicanangkan wacana “kembali ke masjid”, maka bukankah akan lebih cocok dengan pembangunan masjid raya mewah milayaran rupiah itu. Namun mungkin hal ini bukanlah untuk dapat dikatakan sambung menyambung menjadi satu.
Seandainya “kembali ke masjid” yang dicanangkan, maka hal ini akan mengingatkan kita dengan konsep Sidi Gazalba yang terkenal itu, yakni “masjid merupakan pusat kebudayaan”. Ternyata di Minangkabau bukan mesjid pusat kebudayaan, melainkan surau. Hal itu dibuktikan secara konseptual pada wacana “kembali ke surau”. Pusat kebudayaan Minangkabau adalah surau. Inilah jawabannya, mengapa orang Minangkabau mencanangkan “kembali ke surau”, karena “surau adalah adalah pusat kebudayan Minangkabau“. Ketika A.A. Navis mengatakan robohnya surau kami (pada cerpen Robohnya Surau Kami), artinya dia mengatakan robohnya kebudayaan Minangakabau. Timbul pertanyaan, mengapa tidak mesjid? Karena dalam sejarah kebudayaan Minangkabau, gerakan adat dan agama dibangun di surau.
Surau tidak lagi dalam pengertian yang sederhana, harfiah; tempat ibadah, tetapi merupakan akademi (seperti yang dikatakan Hamka), saya dapat mengatakan ia merupakan universitas. Ribuan bahkan ratusan naskah buku ilmu pengetahuan yang ditulis tangan ditemukan di surau (baca Kompas, 10/09/2008; tentang Sebanyak 253 Manuskrip Diselamatkan dari Kepunahan), bukan di mesjid. Seluruh tambo di Minangkabau ditulis di surau, buktinya seluruh tambo dimulai dengan salawat kepada nabi dan ditulis dengan arab melayu. Di masa Adityawarman surau digunakan sebagai tempat pendidikan negara. Inilah jawaban, mengapa AA. Navis mengahadirkan tesis “Robohnya Surau Kami” pada cerpennya yang terkenal itu. Bukan tidak mungkin, ini sudah dibaca oleh Navis bahwa robohnya surau mengisyaratkan robohnya kebudayaan Minangkabau. Mengapa begitu? Karena surau bukanlah dalam pengertian harfiah, tetapi sangat konseptual dan filosofis. Surau dapat dikatakan merupakan pusat pendidikan, sistem, ekonomi, kekuasaan dalam satu integritas spritual kebudayaan.
Adapun surau sebagai basis ekonomi membuat kita terpurangah ketika membaca buku Christen Dobbin, sedangkan tentang adat maka ketika dibaca tembo, maka isinya sesungguhnya sangat sufistik simbolik. Dengan demikian, ketika hendak menghancurkan kebudayaan Minangkabau, maka yang dihancurkan adalah surau, bukanlah masjid, rumah gadang, balai adat. Ketika menghadapai perubahan zaman penjajahan, surau secara sitem mampu mengimbangi diri menjadi madrasah dhiniyah dan thawalib. Berhasil melahirkan tokoh-tokoh. Namun surau mulai roboh secara sistematis ketika sudah merdeka. Inilah yang seharusnya menjadi pertanyaan besar. Mengapa begitu? Karena surau bukanlah dalam pengertian fisik atau materi, tetapi surau dalam pengertian konseptual kebudayaan.
Secara konseptual budaya, ia sudah dipreteli, dipisah-pisahkan dan dilumpuhkan. Secara konseptual seluruh pendidikan anak bangsa diambil oleh pemerintah, ekonomi seluruhnya di tangan pemerintah, adapun tambo divonis hanya satu persen fakta, selebihnya fiksi (dapat dibayangkan kehancuran harga diri orang Minangkabau). Secara konseptual orang Minangkabau sudah berserpihan, anak-anak mereka beberapa generasi sampai hari ini menjadi tidak tahu lagi dengan kebudayaan Minangkabau. Pendidikan bukan berbasis kebudayaan Minangkabau tetapi berbasis pendidikan Barat yang diadaptasi secara bulat-bulat oleh pemerintah Indonesia. Sehingga yang muncul secara bergelombang adalah generasi “Hanafi Salah Asuhan”. Agaknya Abdul Moeis sejak awal sudah membaca kenyataan ini. Inilah jawaban mengapah tokoh-tokoh tidak lagi lahir di tanah Minang. Oleh sebab itu, wacana “kembali ke surau”, sesungguhnya adalah kembali kepada filosofi, mind set, inti kebudayaan Minangkabau. Menyatukan kembali yang berserpihan; yakni kembali kepada paradigma pendidikan budaya sendiri, ekonomi dan sistem sosial budaya. Dalam hal ini belum menampakkan cewang di langit dan gabak di hulu, barangkali baru sebatas romantika dendang saluang.
Pusat kebudayaan sekarang sepertinya sudah terpecah-pecah, generasi pergenerasi dididik menjadi madul oleh pemerintah, artinya mereka tidak mampu mendiri. Sedangkan ekonomi terpusat kepada kaum kapitalis (ivestor), yang dipuja-puja sampai hari ini (dengan cara menyalahkan adat tradisi, terutama tanah ulayat) sementara kekuasaan pemerintah rapuh digerogoti penyakit KKN yang sangat parah. Dengan demikian tantangan memang sangat berat. Sebagian besar generasi Minang adalah generasi “Hanafi Salah Asuhan” (jika terlalu kasar untuk dikatakan malin kundang), maka bagaimana akan bicara “kembali ke surau” secara konseptual kebudayaan kepada “tubuh yang sudah berserpihan”. Maaf, hanya sebuah pesimisme.
:: (c) Fadlillah Malin Sutan. Ditulis ulang dari Harian Singgalang, 15 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar