Selasa, 13 September 2011

Migran Minangkabau di Semenanjung Malaysia (Draft Proposal Penelitian Kompetitif Terpadu)


Kesempatan Kerja dan Pengaruhnya terhadap Persepsi Migran Muslim Minangkabau di (Studi Kasus Migran Muslim Minangkabau di Selangor DE.




Latar Belakang Masalah

Migrasi, atau dalam bahasa lain – merantau, merupakan fenomena sosial yang dilegitimasi oleh asas normatif kultural Minangkabau (karatau madang daulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dikampuang baguno alun). Merantau merupakan konsep spesifik sosiologis kultural (specific concept of culture sociologic), khas Indonesia (Melayu-Minangkabau) yang secara sosiologis mengandung enam unsur pokok (lebih lanjut lihat Mochtar Naim, 1984: 2-3. Secara sosiologis, merantau adalah relatively moving away from one geographical location to another (David Lee, 2001: 62). Fenomena migrasi atau (khasnya : merantau) tidak terlepas dari berbagai motivasi. Secara sosiologis antropologis, merantau memiliki motivasi ekonomi (lihat Brinley Thomas, 1989: 55), ekonomi yang membudaya (culturized economic) (lihat Mochtar Naim, 1984: 48), resistensi ekonomi dan budaya (culture and economic resistention ) (lihat Mochtar Naim, 1984 : 72; Kartini Syahrir, 1988 : 77) dan resistensi politik (political resistention) (lihat Mochtar Naim, 1984 : 93; Tamrin Amal Tomagola, 1994: 38).

Secara umum, merantau dalam perspektif historis, sosiologis dan kultural Minangkabau dilatarbelakangi oleh motivasi perbaikan ekonomi dan resistensi budaya. Tujuan merantau secara sosiologis selalu berdasarkan kepada pertimbangan ekonomi, dimana tujuan utama adalah pusat-pusat sirkulasi ekonomi (Kartini Syahrir, 1988: 12) dan tujuan yang berdasarkan kepada pertimbangan asosiasi klan ataupun etnis (Brinley Thomas, 1989: 92). Kota-kota besar, pusat-pusat perdagangan dan link-link spatial (lihat Kartini Syahrir, 1988) yang dibangun oleh etnis Minangkabau merupakan tujuan orang-orang Minangkabau merantau, baik didalam negeri maupun diluar negeri. Tradisi merantau di Malaysia diasumsikan telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda (Mochtar Naim, 1984 : 77; Tamrin Amal Tomagola, 1994: 14; Wan Syahibuddin Wan Idris, 1999: 37-61). Motivasi utama pada masa itu adalah motivasi adanya resistensi politik (Mochtar Naim, 1984: 104). Setelah kemerdekaan, motivasi merantau beralih kepada motivasi ekonomi dan ini berlanjut hingga saat sekarang. Link-Link Spatial merupakan salah satu faktor dan motivasi terpenting orang minangkabau merantau ke Malaysia pasca kemerdekaan. Sehingga tidak mengherankan apabila perantau-perantau Minang membentuk enclave-enclave Malaysia.

Talcott Parsonn (1989: 77) mengatakan bahwa social enclave terbentuk karena perwujudan proteksi dan aktualisasi nilai-nilai budaya. Di Malaysia banyak ditemukan enclave-enclaveLink Spatial. Timbulnya kelas-kelas dalam lingkungan sosial Minangkabau. Perantau yang sudah dianggap sebagai WN Malaysia merupakan kelas tertinggi, sedangkan yang telah memiliki IC (identity Card) dianggap lebih berkelas dibandingkan perantau yang hanya memiliki visa apalagi yang dianggap sebagai TKI Illegal. Konsekuensi dari semua ini, terjadinya distorsi nasionalisme di beberapa kelas Minangkabau.


Kehadiran secara historis Migran Minangkabau di Malaysia, secara substantif dimotivasi oleh kesempatan kerja yang lebih luas dan fleksibel di Malaysia. Reward dan nilai tukar uang yang tinggi dibandingkan dengan reward dan nilai uang Rupiah yang berada dibawah Malaysia, memberikan potensi kehilangan nilai-nilai eksistensi manusia, termasuk didalamnya memiliki potensi kehilangan rasa nasionalisme terhadap Indonesia. Secara asumtif hal ini terlihat dari timbulnya “rasa berutang budi” secara ekonomi serta “rasa kecewa para buruh Migran Muslim Minangkabau” terhadap pemerintah Indonesia yang tidak memperhatikan keselamatan dan keberlangsungan hidup mereka di Malaysia. Artinya, para Migran Muslim Minangkabau ini justru melihat beberapa kasus kekerasan terhadap Migran-Migran Indonesia pada umumnya belakangan ini justru lebih disebabkan karena “daya tawar” politik pemerintah Indonesia lemah dibandingkan Malaysia. Sementara, Malaysia memberikan peluang kerja yang cukup – terlepas dari berbagai kasus yang berada di dalamnya – asal ketentuan administrasi antar negara dipenuhi. Opini yang terbentuk didalam negeri (baca: Indonesia) yang melihat kerajaan Malaysia sebagai sesuatu yang “telah berubah” dari masa-masa sebelumnya terhadap saudara serumpunnya (baca: Indonesia), justru tidak dianggap urgen oleh Migran Indonesia, khususnya Migran Muslim Minangkabau. Mereka justru – secara kuantitatif – masuk ke Malaysia dalam jumlah yang terus bertambah. Di satu sisi, mereka merasa sebagai orang Indonesia, namun disisi lain, mereka justru beranggapan bahwa kehidupan mereka hanya bisa berlangsung di Malaysia, dengan segala resiko yang harus mereka hadapi. Dalam konteks fenomena diatas, kesempatan kerja mampu mengalahkan rasa nasionalisme yang dipupuk secara dini dalam sistem kehidupan bernegara Indonesia. Perlakuan buruk yang diterima oleh Migran Muslim Minangkabau di Malaysia justru dianggap sebagai konsekuensi logis dari “ketidakpatuhan” mereka dan kurangnya “daya tawar” pemerintah Indonesia terhadap Malaysia.

Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, stressing atau fokus permasalahan yang ingin dijawab merupakan elaborasi dari dua konsep kunci yaitu “Lapangan Kerja” dan “Nasionalisme”. Lapangan Kerja bertumpu pada pertanyaan tentang Motivasi kerja di Malaysia serta Link Spatial yang telah terbentuk di Selangor DE. Berdasarkan kesempatan kerja yang telah mereka (maksudnya : Migran Muslim Minangkabau)
peroleh. Sedangkan Nasionalisme bertumpu pada pertanyaan mengenai persepsi Migran Muslim Minangkabau terhadap nasionalisme (ke-Indonesia-an) yang didalamnya include tentang dinamika persepsi mereka tentang pemerintah Indonesia dan Malaysia serta apakah timbul reduksi atau re-persepsi nasionalisme di kalangan Migran Muslim Minangkabau di Malaysia.

(c). Muhammad Ilham/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar