Rabu, 27 Juli 2011

Buya Oedin (1906/1907- 1984) : "Teman Jenderal Soedirman dari Kurai Taji"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa seorang putra Pariaman pernah bersahabat dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dialah Oedin, seorang akitivis Muhammadiyah dan pernah mengemban berbagai jabatan politik di Sumatra Tengah ketika Republik ini masih muda remaja. Buya Oedin (atau Udiang menurut pelafalan orang kampugnya) – begitu beliau biasa dipanggil di masa tuanya – lahir tahun 1906 (informasi lain menyebutkan bulan Agustus 1907) dari rahim Raalin, seorang pengurus Aisyiah yang tangguh di Kuraitaji. Masa remaja Oedin kecil dihabiskan di kampungnya. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 2 Sekolah Rakyat. Selanjutnya, pemuda yang sedikit ‘preman’ ini –berdasarkan cerita Buya Hamka dalam sepucuk suratnya kepada anak kelima beliau, Asdi Oedin tertanggal 11 Juli 1962 – terpilih menjadi kader Muhammadiyah selama 9 tahun di bawah gemblengan Buya A.R. Sutan Mansur, dedengkot Muhammadiyah yang kemudian terpilih menjadi ketua organisasi itu dalam kongresnya di Purwokerto tahun 1953. Berkat gemblengan A.R. Sutan Mansur, kepremanan Oedin berubah menjadi kepemimpinan. Bersama beberapa orang rekannya, Oedin mempelopori berdirinya Cabang Muhammadiyah di Kuraitaji (yang ketiga setelah Bukittinggi dan Padang Panjang) pada 10 Oktober 1929. Muhammadiyah dibawa ke Kuraitaji oleh putra daerah ini sendiri dari Yogyakarta, yaitu H. Sd. M. Ilyas, adik ipar Buya Oedin sendiri, yang kelak menjadi mertua Dr. H.M. Tarmizi Taher, mantan Menteri Agama RI di Zaman Orde Baru. Pada tahun 1937 Oedin diangkat menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta, Oedin aktif menggalang semangat pemuda di daerahnya. Beliau, yang pada waktu itu menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhamadiyah Minangkabau, giat memberi pengertian kepada masyarakat Pariaman tentang arti dan cara mengisi kemerdekaan. Pada bulan November 1945 Oedin dan rekan-rekannya menghadiri Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta. Tujuan kongres itu adalah untuk menyatukan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka mendapat banyak rintangan di jalan karena gempuran oleh pasukan Belanda. Ketika itulah Oedin berhubungan dengan Soedirman yang waktu itu mewakili pemuda Muhammadiyah Purwakarta (Banyumas). Balik ke Sumatra Barat, Oedin dan kawan-kawan aktif menyampaikan hasil kongres itu. Pada bulan Mei 1946 beliau dilantik oleh Residen Sumatra Barat, Dr. Jamil, menjadi Ketua Dewan Polisi Sumatra Barat. Awal Januari 1947 beliau diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Padang Pariaman. Beliau ikut dalam persidangan KNIP di Malang (1947). Ketika singgah di Yogyakarta Oedin bertemu lagi dengan Soedirman yang sudah menjadi Panglima Besar TNI. Sebagai anggota KNIP, beliau ditugaskan oleh Panglima Soedirman untuk mendapingin Mayjen Soeharjo dalam tugas-tugas kemasyarakatan. Kelak di suatu hari di Jakarta, Oedin bertemu secara tak sengaja di jalan dengan Jenderal Soedirman, yang kemudian mengajak sahabat lamanya itu mampir ke rumahnya. Sampai tahun 1949 Oedin terlibat dalam berbagai kegiatan politik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sumatra Barat dari rongrongan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Pasca Aksi Polisionil Belanda yang gagal itu, aktifitas Oedin dalam kancah pemerintahan Sumatra Tengah cukup beragam. Beliau diangkat menjadi pegawai tinggi tingkat 2 dan kemudian patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman (Januari 1950); patih Kabupaten Tanah Datar (Oktober 1950); Walikota Sawahlunto (Mei 1950); Bupati Kabupaten Inderagiri (Oktober 1952; Pjs Bupati Tanah Datar (Desember 1953); Bupati Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (Oktober 1954) (sebelumnya direncanakan menjadi Bupati Kab. Tanah Datar, tapi tidak jadi).

Demikianlah kisah hidup Buya Oedein yang pernah menikah empat kali dan dikaruniai beberapa orang anak. Sewaktu bersekolah di SMP 3 Kuraitaji, saya akrab dengan salah seorang cucu beliau, Fadilah Afsar. Sering kami belajar bersama di rumah beliau di Rambai, Kurai Taji. Saya paling suka melihat-lihat koleksi buku beliau yang tersusun rapi di rak-rak di perpustakaan peribadi beliau.
Foto ini mungkin dibuat sekitar tahun 1970-an atau sebelumnya. Foto ini, beserta bahan-bahan lain untuk penulisan artikel ini bersumber dari dua keturunan beliau: Marindo Palar dan Fuad Afsar. Buya Oedin meninggal di Jakarta pada 17 Juni 1984 dan dimakamkan di Perkuburan Tanah Kusir. Demikianlah riwayat singkat kehidupan seorang ‘pahlawan kecil’ yang telah ikut berjasa dalam mengisi kemerdekaan negeri ini.

Sumber : (c)
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: Marindo Palar, Jakarta).

Jumat, 01 Juli 2011

Mohammad Natsir : Ulama Politisi Minangkabau (Nilai Demokrasi dan Negara Islam)

Oleh : Muhammad Ilham

Sulit untuk dibantah, Muhammad Natsir menjadi salah satu "legenda" demokratisasi dan Islam politik Indonesia. Natsir yang dikatakan George Kahin sebagai demokrat-religius nan bersahaja (karena hanya memiliki sehelai kemeja ketika ditunjuk menjadi Menteri Penerangan tahun 1946 ini) sampai hari ini dianggap sebagai "Bapak" intelektual Islam Indonesia sekaligus figur utama dalam mengakomodasi partai a-la "barat" dengan keteguhan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan teologis (Islam). Ia bukan seperti Ba'asyir yang "mencita-citakan" negara ini seperti Taliban - sebagaimana yang pernah diungkapkan Ahmad Syafii Maarif. Natsir adalah pribadi teguh dalam menyerukan nilai-nilai demokratisasi di Indonesia, dan ini secara intens diserukannya setelah beberapa saat Soekarno mengumumkan eksperimen Demokrasi Terpimpin-nya. Ketika Masyumi berada dibawah kendali putra Alahan Panjang Minangkabau ini, partai ini mampu mengharubirukan pentas politik Indonesia, di era 1950-an. Di saat posisi Islam politik Indonesia "terdesak" pada masa Orde Baru, Muhammad Natsir kembali menjelaskan posisinya, "Indonesia sudah menjauh dari demokrasi". Bukan itu saja, Ruth Mc Vey bahkan pernah mencatat ungkapan "pedih" dari Natsir tentang sikap rezim Orde Baru terhadap keinginan Islam politik mempraktekkan demokrasi, "Mereka telah memperlakukan kami layaknya kucing-kucing kurap". Dalam konteks ini, Natsir tetap memperjuangkan demokrasi yang konon merupakan "produk" historis dan kultural "barat" sono.

Begitu banyak intelektual-intelektual avant garde Islam Indonesia yang mengalami pencerahan di dunia "barat", sebutlah misalnya Deliar Noer, M. Dawam Rahardjo, Nurcholish Madjid, M. Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, merasa perlu untuk menegaskan bahwa "guru" mereka adalah Muhammad Natsir. Bahkan Dato' Seri Anwar Ibrahim - mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia - juga memproklamirkan diri sebagai murid ideologis Natsir. Lalu dimana "kekuatan" Natsir sehingga dianggap sebagai "guru ideologi" oleh intelektual-intelektual produk Barat namun dikenal sebagai pengusung ide Islam Politik (untuk kasus Cak Nur, mungkin sedikit beda) diatas ? Jika dilihat dalam konteks ini, Natsir merupakan representasi dari figur besar yang merangkum sekaligus dua peradaban ke dalam dirinya (Islam dan Barat). Pada Islam, ia menjadikannya sebagai basis fundamental hidupnya dengan memakai khazanah Barat sebagai metodologi untuk menyimak dan menafsirkan realitas. Ini secara terang teraktualisasi di dalam partai Masyumi. Masyumi tampil sebagai sebuah partai "Barat" modern, yang amat kaku memegang prinsip-prinsip demokratis, dan ini terlihat pada reaksi Natsir terhadap Soekarno dan Soeharto. Namun, Masyumi dengan teramat jelas menegaskan posisi mereka : memperjuangkan sebuah sistem politik, bahkan menjadikan Islam menjadi dasar negara. Maka belajar dari hal ini ada satu yang mungkin bisa kita petik bahwa demokrasi dengan seluruh "perangkat keras dan lunaknya" bukan-lah untuk diperdebatkan lagi di "rumah sakit" mana ia dilahirkan. Demokrasi dan perangkat-perangkatnya tersebut adalah "tool" yang melalui ini, siapapun boleh memperjuangkan ide-ide mereka. Barat dan Timur bukanlah untuk didikotomikan, apalagi dipolitisasi-kan. Natsir telah memberikan kepada kita sebuah pelajaran bahwa ketika "barat" dan "timur" diakomodasi, akan melahirkan praktek-praktek politik yang mencerahkan.

Referensi : Ruth Mc. Vey (1989), Fachry Ali (1997). Foto :www.ircf.wordpress.com