Selasa, 02 Maret 2010

Syekh Muhammad Thaib Umar, Penggagas Inovasi Pendidikan Agama di Minangkabau

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Berbicara mengenai pendidikan, rasanya kurang afdol apabila tidak menyebut nama Syekh Muhammad Thaib Umar. Dia adalah ulama peletak dasar inovasi pendidikan agama di Sumatera Barat. Seperti diketahui, bahwa propinsi ini telah banyak melahirkan ulama dan tokoh-tokoh besar yang berjasa telah bagi agama, nusa dan bangsa. Ulama ini terlahir di Sungayang Batu Sangkar tahun 1874. Ayahnya bernama Umar bin Abdul Kadir yang juga seorang ulama terkemuka pada jamannya. Dengan latar belakang tersebut, tidaklah mengherankan apabila sejak kecil, ia sudah mendapatkan bimbingan agama secara intensif dari sang ayah. Pada usia 7 tahun, Muhammad Thaib mulai belajar huruf-huruf Alquran. Tepatnya setahun kemudian, untuk lebih meningkatkan ilmu agama, ia juga berguru ke surau milik pamannya, H Muhammad Yusuf (Engku Labai). Di tempat inilah kemudian meneruskan belajar membaca ayat-ayat dan surat-surat pendek. Ketika menginjak usia 9 tahun, orangtuanya mengirim dia belajar mengaji kepada H Muhammad Yasin di surau Tengah Sawah, Sungayang, hingga khatam Alquran. Sepanjang masa kecil hingga dewasa, beliau tidak pernah merasakan menuntut ilmu di sekolah umum. Hal tersebut memang dikarenakan adanya diskriminasi pendidikan dari pemerintah Belanda. Anak-anak pribumi sangat sulit bisa masuk sekolah umum. Maka tidak mengherankan apabila Muhammad Thaib tidak dapat membaca huruf latin.

Akan tetapi kekurangan itu tertutupi dengan kepandaiannya di bidang ilmu agama. Sebab semenjak khatam Alquran tadi, ia lantas melanjutkan upaya mengembangan ilmu agama ke beberapa ulama terkenal. Tercatat antara lain Syekh Haji Abdul Manan di surau Talago Padang Ganting Batusangkar yang kondang dengan pengajian Surah Ilmu Fikih dan Syekh M Shalih di surau Padang Kandis Suliki. Muhammad Thalib menjadi murid yang cerdas. Melihat bakat dan kesungguhan anaknya ini, sang ayah lantas berinisiatif untuk membawa beliau menimba ilmu ke tingkat lebih tinggi di Tanah Suci. Jadilah mereka pergi ke Makkah sekaligus untuk menunaikan ibadah haji. Selanjutnya Muhammad Thalib menetap di Arab Saudi selama hampir 5 tahun. Adapun di antara guru beliau tercatat nama Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama asal Minangkabau yang memperoleh tempat mengajar di Masjidil Haram. Di samping itu ada pula sejumlah ulama terkemuka lainnya.

Begitu kembali ke tanah air, dibukanya sebuah pesantren pengajian kitab di surau milik sang ayah di Batu Bayang Sungayang. Karena dari waktu ke waktu santri-santrinya bertambah banyak, maka dia memutuskan untuk membangun surau sendiri di Tanjung Pauh, Sungayang. Ketika itu, usianya baru 23 tahun. Hanya dalam waktu tidak terlalu lama setelah dibuka, surau tersebut telah berkembang pesat. Jumlah santrinya makin meningkat. Mereka tidak hanya datang dari wilayah sekitar Batusangkar, namun juga dari Bukitinggi, Padang Panjang, Payakumbuh, Solok, bahkan dari seluruh penjuru Minangkabau. Sejumlah inovasi dilakukannya pada sistem dan jumlah mata pelajaran agama. Jika sebelumnya pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab ada empat macam ilmu, yakni ilmu sharaf, nahwu, fikih, dan tafsir, lantas diperbaruinya menjadi 12 macam ilmu antara lain ilmu nahwu, sharaf, fikih, ushul fikih, tafsir, hadis, musthalah Hadis, tauhid, mantiq, ma'ani, bayan, dan juga ilmu badi'. Di samping itu juga metode pengajaran di surau itu mulai memakai kitab-kitab yang dicetak dengan letter press Arab. Padahal sebelumnya para santri terbiasa memakai kitab-kitab tulisan tangan. Pada tahun 1909, dia mendirikan madrasah baru yang berlokasi di wilayah Lantai Batu, Batu Sangkar. Namun tak lama kemudian, madrasah ini diserahkan pengelolaanya kepada para murid sementara beliau sendiri mendirikan madrasah lagi di Sungayang bernama Madras School (Sekolah Agama Islam).

Dari namanya, bisa diketahui bahwa bentuk pendidikan yang diterapkan juga agak berbeda dari pesantren atau surau. Misalnya saja, para santri tak lagi duduk bersila melingkari guru, melainkan telah menggunakan sarana bangku, meja, dan papan tulis. Bisa dikatakan, madrasah ini merupakan madrasah pertama di Sumatera Barat yang menggunakan meja kursi dalam kegiatan belajar agama. Tak hanya itu. Pun dalam mata pelajaran yang diberikan, bukan lagi terbatas pada ilmu-ilmu agama, melainkan juga ilmu umum seperti aljabar dan pelajaran bercerita. Sementara pelajaran agama meliputi ilmu sharaf, nahwu, mudahatsah (bercakap-cakap dalam bahasa Arab), imla (dikte), lagu Quran serta memperbaiki bacaan shalat dengan lagu bersama-sama waktu akan keluar madrasah. Seperti disebutkan dalam buku Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Syekh Muhammad Thaib Umar juga aktif dalam kegiatan dakwah kepada masyarakat umum. Tetapi beliau lebih banyak berdakwah melalui bidang jurnalistik dengan mengupas masalah-masalah agama pada majalah Almunir Padang -- merupakan majalah Islam pertama di Minangabau, bahkan Indonesia.

Dalam setiap kesempatan mengajar dan berdakwah, Syekh Muhammad Thaib kerap mengingatkan umat, khususnya generasi muda, agar mempelajari ilmu pengetahuan umum yang dinamainya ilmu ashiriyah (ilmu yang sesuai dengan masa). Sebab ia berpendapat, maju dan berhasilnya bangsa Barat menjajah bangsa Timur lantaran mereka mempelajari ilmu dunia yang penting untuk keperluan hidup di dunia. Dia tidak menyukai kebiasaan yang cuma mementingkan pelajaran ilmu fikih saja, sehingga mundur dalam kehidupan dunia. Jasa besar lainnya dari ulama adalah dialah yang mempelopori khutbah Jumat dan khutbah Hari Raya dalam bahasa Indonesia (kecuali rukun-rukun khutbah). Sebelumnya, para ulama beranggapan kedua hal tersebut wajib hukumnya untuk dibawakan menggunakan bahasa Arab, tanpa memperdulikan pendengarnya mengerti atau tidak. Pada hari Rabu petang tepatnya tanggal 22 Juli 1920, Syekh Muhammad Thaib meninggal dunia dalam usia 47 tahun setelah menderita penyakit tiga tahun lamanya.

(c) www.republika.co.id/berita/7567/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar