Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual. Di awali dengan pulangnya tiga ulama Minangkabau selepas menuntut ilmu di Mekah, yaitu Inyik Djambek, Inyik Rasul dan Inyik Abdullah Ahmad membawa modernisasi Islam ajaran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari Mesir. Gerakan ini tidak hanya dimotivasi oleh gerakan pembaharuan yang sudah berkembang di Mesir tapi juga oleh dorongan rivalitas terhadap golongan berpendidikan Barat yang cara material dan sosial terlihat lebih bergengsi. Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) , adalah adalah satu dari tiga ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat di awal abad ke-20, dilahirkan di Bukittinggi (), terkenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda. Masa kecilnya tidak banyak sumber yang menceritakan. Namun, yang jelas Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru (Kweekschool). Sampai umur 22 tahun ia berada dalam kehidupan parewa, satu golongan orang muda-muda yang tidak mau mengganggu kehidupan keluarga, pergaulan luas di antara kaum parewa berlainan kampung dan saling harga menghargai, walau ketika itu kehidupan parewa masih senang berjudi, menyabung ayam, namun mereka ahli dalam pencak dan silat. Semenjak berumur 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik pada pelajaran agama dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang, Pariaman dan di Batipuh Baruh. Ayahnya membawanya ke Mekah pada tahun 1896 dan bermukim di sana selama 9 tahun lamanya mempelajari soal-soal agama. Guru-gurunya di Mekah, antara lain,adalah Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh Ahmad Khatib. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Muhammad Djamil tertarik untuk mempelajari ilmu sihir kepada seorang guru dari Maroko, tapi dia disadarkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Djamil menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah.
Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djamil Djambek dihormati sebagai Syekh Tarekat. Dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak, dan belajar dengan Syekh Taher Djalaluddin. Di akhir masa studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi bidang spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim di Mekah. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang). Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesui panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan. Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855). Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo. Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.
Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djamil Djambek dihormati sebagai Syekh Tarekat. Dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak, dan belajar dengan Syekh Taher Djalaluddin. Di akhir masa studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi bidang spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim di Mekah. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang). Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesui panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan. Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855). Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo. Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir. Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya. Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama. Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan. Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing. Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah. Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu. Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) , Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) .
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo. Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek. Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya. Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau. Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908.
Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah. Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir. Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.
Gerakan pembaruan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga. Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau. Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau. Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu. Malahan, gerakan pembaharuan yang dilaksanakan oleh mereka, sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu, harta pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada pengawasan garis perempuan.
Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada Tuanku atau malin. Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini, berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah semenjanjung itu. Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai.
Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi wajib. Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai bermunculan. Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia. Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini. Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat. Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan. Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks, memang merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq. Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947).
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Sekembalinya dari Mekah, Mohammad Djamil mulai memberikan pelajaran agama secara tradisional Karena beliau memelihara dengan rapi dan teratur jambang dan jenggotnya, maka muridnya mulai menyebutnya dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek, atau Inyik Djambek. Murid-muridnya kebanyakan terdiri dari para kalipah tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Kemudian ia meninggalkan Bukittinggi dan kembali mendatangi teman-temannya dalam kehidupan parewa yang mulai ditinggalkannya sejak usia 22 tahun (1888) di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau di Kamang (1905), dan Surau Tengah Sawah (1908). Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik Djambek. Di Kamang pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan iman. Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia mengecam masyarakat yang masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia mendekati ninik mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat. Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati kedudukan perempuan. Islam adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah diungkapkan oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS. 10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul utusan terakhir untuk seluruh umat manusia. Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang demikian, hanya dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada tauhid dan ibadat. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi cara-cara beribadah telah diperintahkan. Di tradisi-tradisi baru yang tidak ada perintahnya, maka tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah. Di dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai bid’ah yang dibedakan atas dua jenis, yaitu bid’ah menurut hukum (syar’iyah) tidak dapat dibiarkan berlaku, karena itu perlu diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim dilakukan sehari-hari di bidang agama, dengan menggunakan akal dan berpegang kepada salah satu tiang hukum (Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas).
Di samping itu ada pula bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), sebagaimana ada pula bid’ah pada amalan, seperti mengucapkan niyah. Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam batas halal dan haram, serta amat ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar, sebagai sifat asli dari agama Islam. Agama juga mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia. Masalah ini ada yang mengandung ciri ‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dan bagian dari din Allah, sedangkan cara mengamalkannya bersifat duniawi. Umpamanya perintah memelihara anak yatim, menghormati orang tua, membersihkan gigi, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan individu, dan mengiautkan persaudaraan atau ukhuwah Islamiyah. Sudah mulai agak janggal pula kedengarannya bila menyebut kata-kata ini yang sudah begitu lama kita kunyah. Tetapi, yang masih sedikit sekali berjumpa pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
(c) Masoed Abidin
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama. Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan. Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing. Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah. Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu. Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) , Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) .
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo. Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek. Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya. Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau. Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908.
Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah. Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir. Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.
Gerakan pembaruan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga. Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau. Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau. Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu. Malahan, gerakan pembaharuan yang dilaksanakan oleh mereka, sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu, harta pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada pengawasan garis perempuan.
Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada Tuanku atau malin. Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini, berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah semenjanjung itu. Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai.
Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi wajib. Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai bermunculan. Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia. Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini. Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat. Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan. Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks, memang merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq. Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947).
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Sekembalinya dari Mekah, Mohammad Djamil mulai memberikan pelajaran agama secara tradisional Karena beliau memelihara dengan rapi dan teratur jambang dan jenggotnya, maka muridnya mulai menyebutnya dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek, atau Inyik Djambek. Murid-muridnya kebanyakan terdiri dari para kalipah tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Kemudian ia meninggalkan Bukittinggi dan kembali mendatangi teman-temannya dalam kehidupan parewa yang mulai ditinggalkannya sejak usia 22 tahun (1888) di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau di Kamang (1905), dan Surau Tengah Sawah (1908). Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik Djambek. Di Kamang pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan iman. Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia mengecam masyarakat yang masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia mendekati ninik mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat. Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati kedudukan perempuan. Islam adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah diungkapkan oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS. 10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul utusan terakhir untuk seluruh umat manusia. Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang demikian, hanya dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada tauhid dan ibadat. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi cara-cara beribadah telah diperintahkan. Di tradisi-tradisi baru yang tidak ada perintahnya, maka tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah. Di dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai bid’ah yang dibedakan atas dua jenis, yaitu bid’ah menurut hukum (syar’iyah) tidak dapat dibiarkan berlaku, karena itu perlu diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim dilakukan sehari-hari di bidang agama, dengan menggunakan akal dan berpegang kepada salah satu tiang hukum (Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas).
Di samping itu ada pula bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), sebagaimana ada pula bid’ah pada amalan, seperti mengucapkan niyah. Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam batas halal dan haram, serta amat ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar, sebagai sifat asli dari agama Islam. Agama juga mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia. Masalah ini ada yang mengandung ciri ‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dan bagian dari din Allah, sedangkan cara mengamalkannya bersifat duniawi. Umpamanya perintah memelihara anak yatim, menghormati orang tua, membersihkan gigi, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan individu, dan mengiautkan persaudaraan atau ukhuwah Islamiyah. Sudah mulai agak janggal pula kedengarannya bila menyebut kata-kata ini yang sudah begitu lama kita kunyah. Tetapi, yang masih sedikit sekali berjumpa pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
(c) Masoed Abidin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar