Kompas (Kamis, 16/10/2008) memberitakan hasil diskusi tentang versi Bahasa Indonesia terbitan kedua (yang pertama 1992 oleh INIS) buku Christine Dobbin yang sudah cukup klasik: Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Perang Padri (
Polemik mengenai Perang Paderi yang mencuat lagi, dengan BHH sebagai salah seorang motor penggeraknya yang utama, pada awalnya dipicu oleh republikasi buku M.O. Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (Yogyakarta: LKiS, 2006) yang edisi pertamanya (1964) telah dikritisi Hamka (1974). Bersamaan dengan itu muncul pula petisi yang menggugat gelar kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol yang dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (lihat: http://www.petitiononline.com/bonjol/petition.html). Kini tampaknya polemik itu maju selangkah lagi: judul laporan dalam Kompas tanggal 16 Oktober 2008 itu cukup kontroversial: “Korban Perang Paderi Minta Pelurusan Sejarah”. Dengan demikian, tersurat klaim dari anak cucu korban perang yang terjadi hampir duaratus tahun yang lalu itu bahwa sejarah Perang Paderi yang sudah diketahui umum selama ini “belum lurus” untuk tidak mengatakan tidak benar.
Tulisan singkat ini mengulas sedikit pandangan BHH dalam Greget Tuanku Rao (GTR) mengenai kepahlawanan Tuanku Tambusai, yang dapat ditarik benang merahnya dengan diskusi yang berlangsung di Medan seperti yang diberitakan Kompas itu. Walaupun isi buku ini ‘menjalar’ ke sana-sini, kurang terarah, dan lemah dari segi teori dan metodologi, tapi isinya yang memang penuh greget itu jelas berfokus kepada kritik terhadap kekejaman dan kebrutalan Kaum Paderi ketika mereka melakukan invasi ke Tanah Batak. Invasi itu telah ikut menyengsarakan nenek moyang BHH sendiri. Dalam GTR BHH mempertanyakan patriotisme dan kepahlawanan Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol (hlm.106-7). Tak dapat dimungkiri bahwa Perang Paderi telah meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis kepada masyarakat di tiga daerah: Sumatera Barat, Sumatera Utara (Tapanuli dan sekitarnya), dan Riau (Rokan dan sekitarnya). Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang saling berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan saudara-saudaranya dari Tanah Batak. Mulai bulan April 1821 Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat. Selanjutnya perang itu adalah perlawanan mengusir penjajah Belanda. Kepahlawanan Tuanku Tambusai lebih dihubungkan dengan episode akhir Perang Paderi. Setelah Benteng Bonjol jatuh pada 17 Agustus 1837 (lihat Teitler 2004), medan perang beralih ke daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusatnya di Benteng Dalu-dalu. Tuanku Tambusai, rekan seperjuangan Tuanku Imam Bonjol, ternyata tidak mau menyerah kepada Belanda. Ini menandakan bahwa sistem organisasi Gerakan Paderi bukan mengenal hirarki kepemimpinan dan rantai komando.
Belakangan muncul kontroversi mengenai kepahlawanan Tuanku Tambusai setelah BHH menulis dalam GTR bahwa dalam mengembangkan ajaran Wahabi di daerah Rokan dan Mandailing dan sekitarnya, panglima Paderi itu bersama para pengikutnya telah membunuhi banyak orang, tak terkecuali para pengikut Datu Bange dari Simanabun. Datu Bange adalah salah seorang kepala suku di Mandailing yang gigih melawan Tuanku Tambusai (GTR, hlm. 54-76). BHH menilai Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol tidak patriotis. Orang yang tidak patriotis tentu tidak pantas menjadi pahlawan nasional. Menurutnya, Tuanku Imam Bonjol mengatur sendiri penyerahan dirinya kepada Belanda (ini berdasarkan tafsirannya terhadap Naskah Tuanku Imam Bonjol [lihat Sjafnir Aboe Nain, 2004]). Tuanku Tambusai yang melarikan diri ke Malaysia, meninggalkan para pengikutnya, karena takut ditawan atau dibunuh Belanda, juga dianggap pengecut.
“Kita bertanya di manakah jiwa kepahlawanan seorang yang telah banyak membunuh, menculik kaum perempuan untuk dijual sebagai budak atau dijadikan gundik di kalangan bangsa sendiri? [...] Apakah seorang yang [...] tidak [mampu] mempertahankan tanah tumpah darah sampai titik darah penghabisan [...] dan menginjak-injak harkat dan martabat bangsa sendiri pantas menjadi pahlawan? [...] Seorang patriot sejati, sekalipun terpojok pastilah tetap berjuang mempertahankan bumi persada sampai titik darah penghabisan“, tulis BHH dalam GTR (hlm.106).
BHH adalah salah seorang keturunan Datu Bange. Faktor genealogi inilah yang melatari kritiknya yang penuh emosi (yang mewakili kaumnya) terhadap Tuanku Tambusai dalam GTR. “Pertanyaan ini diajukan oleh orang yang leluhurnya adalah korban kekejaman Tuanku Tambusai, ialah Datu Bange, Raja Hurlang, Bandaro dan seluruh kerabat dan rakyat Simanabun“, tulisnya dalam GTR (hlm. 107). Kalimat-kalimat subjektif dan emotif seperti itu segera menghilangkan kesan ilmiah GTR.
Setidaknya ada dua hal penting yang dapat disimak dari polemik ini: pertama, soal pengaruh etnisitas dalam penulisan sejarah (di) Indonesia; kedua, munculnya kritik terhadap prosedur dan mekanisme pencalonan dan pengangkatan seseorang menjadi pahlawan nasional. Narasi “buku sejarah” GTR merefleksikan perasaan kedaerahan (regionalisme) yang kuat, karena itu menimbulkan bias yang kentara. Ini sulitnya — tapi bukan tidak bisa dihindari — menjadi seorang yang menulis sejarah satu daerah sekaligus menjadi warga etnis daerah itu sendiri. Inilah dilema BHH yang orang Mandailing dan juga menulis sejarah tentang Mandailing. Tentu saja sejarawan yang mendalami ilmu dan metode penelitian sejarah tidak akan terpeleset ke dalam subjektifisme seperti dalam penulisan GTR. Memang tak mungkin menggunakan otak semata-mata dalam penulisan sejarah. Akan tetapi kesadaran penuh atas konvensi ilmiah ilmu sejarah akan mencegah seseorang jatuh ke dalam subjektifisme tanpa ambang batas dalam menulis buku sejarah.
Penulis GTR agak cuai terhadap konteks sosio-historis daerah Mandailing pada paruh pertama abad ke-19. Peran Belanda, rivalitas dan sentimen antar suku, pengaruh Aceh, penghijrahan orang Minangkabau yang sudah begitu lama terjadi di sepanjang pantai barat Sumatera (lihat misalnya kisah Nakhoda Muda [Drewes, 1961] dan biografi Muhammad Saleh Dt. Rangkayo Basa, 1965) dan suku pendatang lainnya di kawasan itu agak luput dari perhatian BHH. Sangat mungkin bahwa penerimaan dan penolakan ajaran yang dibawa Tuanku Tambusai di daerah Mandailing dan sekitarnya ikut dipengaruhi faktor-faktor tersebut di atas. Gerth van Wijk dalam pengantarnya terhadap Kaba Puti Balukih (Hikayat Putri Balkis) (1881) mengatakan bahwa Kaum Paderi juga berusaha mengganti sastra pagan seperti cerita mambang, peri, dan dewa-dewa dengan sastra yang bernuansa Islami. Bukan tidak mungkin faktor ini ikut menentukan pertikaian keras antara Tuanku Tambusai yang menganut Islam puritan dengan marga Babiat yang dipimpin Datu Bange yang menyembah totem harimau (hlm.13-48).
Sebaliknya, pengusulan Tuanku Tambusai menjadi pahlawan nasional juga sarat dengan kebanggan regionalisme. Pemrakarsa utamanya adalah anak keturunan Tuanku Tambusai sendiri. Salah satu di antara pemrakarsa utama adalah H Saleh Djasit, SH seorang anak keturunan Tambusai yang pernah menjadi Bupati Kabupaten Kampar. (http://www.riaumandiri.co.id/berita/380). Mereka menekankan nilai perjuangan Tuanku Tambusai yang bertahun-tahun memerangi kolonialis Belanda (1830-1839) dan tidak pernah menyerah dan tidak mau berdamai dengan Belanda (lihat: Ekmal Rusdy, Riau Pos, 30-11-2007). Sama halnya dengan cara penulisan buku “sejarah” GTR yang sangat subjektif itu, kontroversi kepahlawanan Tuanku Tambusai memberi pelajaran kepada kita bahwa di masa datang perlu studi sejarah yang lebih komprehensif terhadap seseorang yang akan diajukan sebagai pahlawan nasional, yang melibatkan tokoh akademis yang kredibel dan lintasetnis. Satu hal yang perlu dicatat dari polemik ini adalah bahwa rupanya wacana “pelurusan sejarah” sekarang meluber kemana-mana. Pada mulanya wacana itu hanya menyangkut “pelurusan sejarah” Revolusi 1965. Sekarang wacana itu melebar ke sejarah lokal seperti Perang Paderi. Pada level ini sebenarnya hubungan etnisitas ikut dipertaruhkan. Bangsa ini masih kuat tradisi lisannya. Isu apapun potensial ditelan mentah-mentah atau dijadikan komoditi politik oleh pihak-pihak tertentu. Mudah-mudahan polemik “pelurusan sejarah Perang Paderi” tidak membuat keruh hubungan antaretnis di negara multietnis ini.
(c) Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleding Talen en Culturen van Indonesiƫ, Faculteit der Letteren Universiteit Leiden, Belanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar