Kamis, 02 September 2010

Haji Abdul Karim Amrullah @ Inyiak Rasul (1879-1945)

Oleh : Muhammad Ilham

"Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul adalah orang yang berjasa dalam menegakkan fondasi pembaharuan Islam di Minangkabau melalui surau Jembatan Besi, yang kemudian berkembang menjadi Sumatra Thawalib tahun 1918. Selanjutnya, lembaga pendidikan itu melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), sebuah partai politik pada permulaan tahun 1930" (Deliar Noer)

"Abdul Karim Amrullah, bersama-sama dengan Haji Abdullah Ahmad dan Syekh Jamil Jambek, adalah penggagas pertama dan sekaligus pemuka Kaum Muda dalam menyebarkan pembaharuan Islam. Ia juga orang yang berjasa dalam membawa ajaran Muhammadiyah, sebuah organisasi pembaharu yang lahir di Yogyakarta tahun 1912, ke Minangkabau tahun 1925" (Taufik Abdullah)


Haji Abdul Karim Amrullah (selanjutnya : Abdul Karim Amrullah) lahir pada tanggal 10 Februari 1879 bertepatan dengan 17 Syafar 1296 Hijriah di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat. Pada masa kecilnya, beliau diberi nama Muhammad Rasul, namun setelah menunaikan ibadah haji, namanya diganti menjadi Abdul Karim Amrullah. Beliau juga dikenal dengan panggilan Inyiak De-er (Dr.), karena pada tahun 1926 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir dalam bidang agama. Ayahnya bernama Syekh Amrullah atau Tuanku Kisai atau dalam beberapa literatur sering ditulis dengan Syekh Amrullah Tuanku Kisa-i, seorang guru tarekat Naqsyabandiyah di Maninjau. Pada usianya yang relatif masih muda, yakni sekitar usia 10 tahun, beliau disuruh mengaji Al-Qur`an kepada Muhammad Shalih dan Haji Hud di Tarusan, Pesisir Selatan. Setahun kemudian, ia belajar berbagai ilmu agama kepada ayahnya, Syekh Amrullah di Sungai Batang, Maninjau. Pada usianya memasuki 15 tahun ia berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama atas perintah ayahnya. Dalam kepergiannya ini, ia tinggal di Mekkah selama lebih kurang 7 tahun (1894-1901) dan selama di sana ia belajar kepada beberapa orang guru, diantaranya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Muhammad Djamil Djambek (ketiga guru itu berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat), Syekh Abdul Hamid, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Shalih Bafadal, Syekh Hamid Jeddah, Syekh Sa’id Yamani.

Dari sekian gurunya, Ahmad Khatib merupakan guru yang sangat dikagumi dan disebut-sebutnya, demikian Hamka menceritakan. Setelah ia kembali dari Mekkah tahun 1901, ia dinobatkan sebagai seorang ulama muda dengan gelar Syekh Tuanku Nan Mudo, sedangkan ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah diberi gelar Syekh Tuanku Nan Tuo dengan suatu upacara. Tuanku Nan Tuo beraliran lama, sedangkan Tuanku Nan Mudo seorang pemuda yang membawa aliran baru.
Pada tahun 1904 ia kembali ke Makkah dan kembali ke kampungnya tahun 1906. Kepergian yang kedua kalinya ini, disuruh ayahnya untuk mengantar adiknya belajar di sana. Namun, kesempatan ini dimanfaatkannya untuk mengajar pada halaqah sendiri di rumah Syekh Muhammad Nur al-Khalidi di Samiyah atas izin dari Ahmad Khatib. Namun demikian, ia sering bertanya kepada gurunya, Syekh Ahmad Khatib mengenai masalah-masalah yang rumit. Di antara murid-murid Ahmad Khatib yang sama-sama berasal dari Minangkabau pada waktu beliau di Mekkah ini adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Syekh Muhammad Zain Simabur. Setelah pulang ke Minangkabau, kedua muridnya itu ikut serta mensponsori gerakan pembaharuan yang dalam sejarah intelektual Islam Minangkabau menjadi salah satu momentum penggerak sejarah yang paling signifikan.

Usaha yang pertama dilakukan setelah kepulangannya dari Makkah untuk kedua kalinya ini adalah menumpas faham taqlid, bid’ah, dan kurafat yang bercampur-baur dengan ajaran agama. Untuk itu, ia aktif memberikan pengajian, tabligh, diskusi-diskusi atau polemik-polemik dengan orang-orang yang memper-tahankannya. Hal ini dilakukannya, bukan saja di Sungai Batang, Maninjau, kampung halamannya sendiri, akan tetapi juga sampai ke Bukittinggi, Padang Panjang, Matur, Padang, dan berbagai pelosok Minangkabau.
Menurut Tamar Djaja, beliau adalah seorang yang ahli berpidato (orator) dan selalu mendapat sambutan hangat dan antusias dari para pendengarnya. Pidatonya keras, tegas, lugas dan berapi-api yang pada prinsipnya membangkitkan semangat dan kesadaran. Pidatonya selalu memberikan pencerahan dan pendewasaan berfikir pada masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukannya bersifat keras, tanpa maaf dan tanpa kompromi dalam mempertahankan kebenaran. Pengajian-pengajiannya ditandai dengan kecaman dan serangan terhadap segala per-buatan yang bertentangan dengan semangat pembaharuan, yang berdasarkan kepada al-Qur`an dan Hadits, baik dalam masalah aqidah, ibadah, maupun dalam masalah mu’amalah. Untuk itu, sasaran dakwahnya selalu mengecam dan menentang perbuatan yang berbau taqlid, bid’ah, dan khurafat. Usahanya dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta mengecam perbuatan bid’ah dilakukannya dengan tidak pandang bulu – atau dalam istilah Minangkabau : beliau tidak “tibo dimato dipiciangkan, tibo diparuik dikampihkan. Hal ini, terbukti sewaktu beliau menentang menyelenggarakan perhelatan (kenduri) selama tujuh hari dari hari kematian ayahnya (menujuh hari). Argumentasi dari penolakan beliau terhadap perbuatan yang boleh dikatakan telah “mentradisi” pada masa beliau ini adalah karena perbuatan ini merupakan perbuatan bid’ah.


Abdul Karim Amrullah adalah seorang yang sangat tidak setuju dengan ajaran tarekat, meskipun ayahnya sendiri adalah seorang Syekh tarekat Naqsyabandiyah. Perbedaan faham antara beliau dengan ayahnya mengenai ajaran tarekat, bukanlah menjadikan beliau, secara pribadi, durhaka dan melecehkan ayahnya. Demikian pula sebaliknya, ayahnya tidak merasa disaingi oleh anaknya sendiri, bahkan ia merasa bangga melihat kedalaman ilmu yang dimiliki anaknya. Dalam berbagai literatur, dinyatakan bahwa sang ayah – Tuanku Kisai – tidak pernah merasa “gagal” mendidik dan menyekolahkan anaknya hingga ke Mekkah karena berseberangan pemikiran dengannya, khususnya masalah tareqat. Beliau tidak pernah mengintervensi apalagi menganggap pemikiran Abdul Karim Amrullah harus sesuai dengan pemikiran beliau. Untuk menjelaskan posisi ajaran tarekat dalam pandangan Islam, ia menulis dua buah buku. Pertama, Izhhaar Asaathir al-Mulhidin fi Tasyabbuhihim bi al-Muhtadiin, tahun 1908, buku ini mengecam tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian yang kedua, Qathi’u Riqab al-Mulhidin fi ‘Aqaid al-Mufsidiin, tahun 1914, buku ini menentang ajaran tarekat Syatariyyah.
Menurutnya, ajaran tarekat dapat memberi peluang untuk tumbuh dan berkembangnya taqlid dan bid’ah dalam agama. Sikap patuh dan mengkultuskan guru akan mengakibatkan tidak berfungsinya akal manusia dalam memikirkan sesuatu. Akibatnya al-Qur`an dan Hadits hanya dijadikan simbol untuk mencari kebenaran. Oleh karena itu, sering terjadi polemik antara dia dengan ulama yang mempertahankan ajaran tarekat. Ulama yang mempertahankan tarekat dan senantiasa berpegang kepada sikap taqlid populer dikenal dengan nama Kaum Tua. Sedangkan ulama yang menentang ajaran tersebut populer dengan nama Kaum Muda. Pemberian nama Kaum Muda dan Kaum Tua ini, sebenarnya, berawal dari jarak usia antara kedua kelompok tersebut. Kaum Muda, pada umumnya, didominasi oleh ulama yang muda-muda (di bawah usia empat puluh tahun) dan membawa pemikiran baru, sedangkan Kaum Tua, didominasi oleh ulama yang tua-tua dan mempertahankan tradisi lama.

Sejak tahun 1911, Abdul Karim Amrullah menetap di Padang Panjang dan memimpin pengajian surau Jembatan Besi. Atas usaha dan inisiatif yang dilakukannya, pengajian surau Jembatan Besi ini semakin hari semakin berkembang dan semakin banyak muridnya. Mereka bukan saja datang dari daerah Padang Panjang, tetapi juga berasal dari berbagai daerah di seluruh pelosok Minangkabau dan bahkan ada yang dari Aceh, Medan, Riau, Palembang, dan Bengkulu. Dalam mem-berikan pelajaran, ia masih menggunakan sistem lama, yakni sistem halaqah (murid duduk di lantai beserta guru, serta mereka mengelilingi guru yang memberikan penjelasan mengenai pelajaran). Tetapi, metode yang digunakannya sudah dikembangkan ke arah kebebasan berfikir. Ia memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk mendiskusikan berbagai permasalahan keagamaan yang muncul. Dalam diskusi tersebut, masing-masing murid harus dapat meneluarkan pendapatnya yang disertai dengan alasan atau dalil Al-Qur`an dan Hadis.
Dalam proses perjalanannya, Surau Jembatan Besi tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan modern, Sumatera Thawalib, tahun 1918. Setelah itu berdirilah beberapa Sumatera Thawalib di Parabek, Padang Japang, Sungayang, Maninjau, dan lain sebagainya. Dalam perjalanannya yang panjang itu, baik Surau Jembatan Besi, maupun Sumatera Thawalib Padang Panjang, serta Sumatera Thawalib lainnya di berbagai pelosok Minangkabau telah mencetak kader-kader pembaharuan Islam yang bergerak dalam berbagai aspek kehidupan, seperti menjadi guru, mubaligh, wartawan, pedagang, dan lain sebagainya. Mereka tersebar, bukan saja di seluruh pelosok Minangkabau, tetapi juga ke daerah-daerah Sumatera lainnya, ke Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain.

Bersama-sama Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, mendirikan majalah Al-Munir, tahun 1911-1915 di Padang. Majalah ini bertujuan sebagai ”pemimpin dan memajukan anak-anak bangsa kita pada agama yang lurus dan beriktikat baik dan menambah pengetahuan yang berguna dan mencari nafkah kesenangan hidup supaya sentosa pula mengerjakan seluruh agama. Juga, untuk mempertahankan Islam terhadap segala tuduhan dan salah sangka”. Majalah dua mingguan ini memuat artikel untuk meningkatkan pengetahuan para pembacanya dan sekaligus sebagai pembawa suara kelompok Kaum Muda dalam menyuarakan berbagai pembaharuan dalam rangka perbaikan umat. Kemudian, ia juga menerbitkan majalah Al-Munir Al-Manar di Padang Panjang bersama Zainuddin Labay el-Yunusi tahun 1918.
Pada tahun 1916 Abdul Karim Amrullah melawat ke Malaya dalam rangka memperluas pandangan dan usaha penerbitan kembali majalah Al-Munir, yang sudah tidak terbit sejak tahun 1915. Ia pergi bersama-sama dengan Syekh Daud Rasyidi dan adiknya, Haji Yusuf Amrullah, serta muridnya Saleh. Namun kehadirannya di sini, ternyata mendapat tantangan dari mufti di sana, yakni Syekh Abdullah Shaleh yang sama-sama belajar di Makkah. Ia dituduh sebagai kaum Wahabi dan Kaum Muda. Tahun berikutnya, yakni tahun 1917, ia pergi melawat ke Jawa. Di Surabaya ia bertemu dengan H.O.S. Cokroaminoto, tokoh Serikat Islam, dan di Yogyakarta bertemu dengan KH. A. Dahlan, pendiri Muhammadiyah. KH. A. Dahlan sudah sering membaca tulisan-tulisannya dalam majalah Al-Munir. Pada tahun 1918, ia bersama-sama Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Djamil Djambek Bukittinggi, Zainuddin Labay el-Yunusi dan guru-guru lainnya mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) Sumatera.

Pada tahun 1925, ia melawat ke Jawa untuk yang kedua kalinya.
Di Yogyakarta, ia bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, terutama dengan H. Fakhruddin. Dalam per-temuan itu mereka saling mengungkapkan perkembangan Islam di daerah mereka masing-masing. Ia tertarik dengan organisasi Muhammadiyah, karena disamping ideologinya mengacu kepada ajaran al-Qur`an dan Hadis, juga amal usahanya mencakup berbagai aspek ajaran Islam, seperti menyelenggarakan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, melaksanakan amal sosial dengan mendirikan rumah-rumah pemeliharaan anak yatim dan fakir miskin dan lainnya. Sekembalinya ke kampung, ia menceritakan pengalamannya kepada kawan-kawannya mengenai organisasi Muhammadiyah dan amal usahanya dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Ia yakin bahwa organisasi itu dapat berguna untuk melemahkan bekas muridnya, H. Datuk Batuah dan kawan-kawan, yang aktif dalam organisasi komunis. Pada tahun itu juga ia mendirikan Muhammadiyah di Sungai Batang, Maninjau melalui lembaga Sendi Aman yang didirikan tahun 1925. Setelah Sendi Aman menjalankan misi Muhammadiyah, lembaga ini berkembang dengan cepat dan sekaligus menjadi basis pertama Muhammadiyah di Minangkabau.


Menurut Taufik Abdullah, usaha Abdul Karim Amrullah dalam memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925 merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari totalitas per-juangannya dalam pembaharuan Islam di Minangkabau. Pada tahun 1926, Abdul Karim Amrullah bersama dengan Abdullah Ahmad sebagai utusan dari Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Sumatra pergi ke Mesir untuk menghadiri kongres Islam di Kairo. Kedatangan dua utusan dari PGAI Sumatra (Indonesia) ini, yakni Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Abdullah Ahmad, di Kairo mendapat perhatian khusus dari kongres. Atas penyelidikan sebuah panitia terhadap perjuangan kedua utusan itu di tanah air mereka, maka kongres yang dipimpin oleh Syekh Husain Wali, seorang guru besar Al-Azhar, memberikan penghargaan kepada keduanya dengan gelar kehormatan Doctor (Doctor Honoris Causa) dalam bidang agama Islam. Kemudian, kedua utusan itu dibawa menghadap penganjur Mesir Saat Zaghul Pasya untuk mendengarkan nasihatnya.
Perjalanannya ke luar negeri, seperti pergi ke Malaya tahun 1916, ke Mesir tahun 1926, di samping perjalannya ke Makkah dalam rangka menuntut ilmu tahun 1894-1901 dan 1903-1906, dan juga perjalanannya ke tanah Jawa tahun 1917 dan 1925 telah menggerakkan dan memperkuat semangat pembaharuannya dalam rangka kemajuan Islam di Minangkabau. Di tambah lagi pada saat itu, sedang gencar-gencarnya ide pembaharuan Islam yang dihembuskan dari Mesir, seperti gerakan yang dilakukan oleh Jalaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida dan lainnya di Timur Tengah dan India. Semuanya itu memperkokoh keinginannya untuk mengadakan pembaharuan dengan cara kembali kepada al-Qur`an dan Hadis. Gagasan pembaharuan Islam, bukan saja disampaikannya melalui media dakwah (tabligh, pengajian) dan pendidikan sekolah, tetapi juga melalui karya-karya tulisannya yang tajam. Ia banyak menulis buku, baik yang telah diterbitkan maupun masih dalam tulisan tangan dan beberapa artikel dalam majalah Al-Munir. Ketajaman tulisannya itu menggambarkan kekokohan pendirian dan kedalaman ilmunya.

Dalam memperjuangkan Islam, ia bersama kawan-kawan menentang dilaksanakannya Ordonansi Guru di Minangkabau. Sikap keras dan tegasnya dalam menyuarakan ide pembaharuan Islam dan perbaikan kehidupan masyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan kepada kepintaran dan sikap kritis terhadap berbagai masalah kehidupaan, serta berbagai kritikan pedas yang ditujukannya kepada pemerintahan kolonial Belanda menjadikan berbagai pihak benci kepadanya.
Pada tanggal 8 Agustus 1941, ia diasingkan oleh pemerintahan kolonial Belanda ke Sukabumi. Ia ditemani oleh istrinya, Dariyah dan putra bungsunya, Abdul Wadud. Selama di pengasingan, ia tetap aktif memberikan nasihat dan fatwa kepada masyarakat, khususnya warga dan pimpinan Muhammadiyah/Aisyiyah Sukabumi. Menurut penuturan Abdullah Halim, salah seorang Pimpinan Muhammadiyah Sukabumi, kepada Hamka : ”Setelah beliau (Abdul Karim Amrullah) mendapat tempat tinggal yang tetap di rumah tuan Iskandar di Cikirai No. 8, Sukabumi saya ajaklah kaum Muhammadiyah dan Aisyiyah menziarahi beliau dan dari sehari ke sehari ramailah kaum Muhammadiyah mendatangi beliau. Saya sendiri pun menjadi muridnya yang terutama. Belum lama beliau di Sukabumi pengaruh beliau telah mendalam. Kami dari cabang Muhammadiyah mendapat instruksi (perintah) dari pengurus Besar di Yogya, supaya merapati beliau agar menambah ilmu pengetahuan. ”


Selama, lebih kurang, sembilan bulan ia di Sukabumi, ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada bulan Maret 1942, ia pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia tinggal di Gang Alhamra Sawah Besar dan kemudian pindah ke Gang Kebon Kacang IV No. 22 Tanah Abang. Sebagaimana ia tinggal di Sukabumi, di Jakarta ia juga sering memeberikan pengajian, nasihat, dan fatwa kepada jemaah dan murid-muridnya, baik di rumahnya sendiri maupun di mesjid-mesjid di sekitar tempat tinggalnya. Sementara itu, pemerintahan Jepang juga tengah mendekati orang-orang yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat untuk membina hubungan, dan mencari dukungan. Untuk itu, Abdul Karim Amrullah termasuk salah seorang yang sering didatangi oleh para pembesar Jepang, seperti Kolonel Hori (Kepala Urusan Agama), Kolonel Okubo, Ubiko, Tufik Sazaki, Abdul Hamid Ono, Abdul Mun’im Inada (tiga nama yang terakhir, katanya, beragama Islam), dan lain-lain. Kemudian beliau diangkat menjadi penasihat Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh Empat Serangkai, yakni Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara (Soerjadi Soerjaningrat), dan K.H. Mas Mansoer. Sementara itu, ia juga diangkat pemerintahan Jepang sebagai penasihat Pusat Kebudayaan dan penasihat Pusat Keagamaan (Sumubu).
Beliau semakin disegani oleh pemerintah Jepang setelah ia menyatakan secara jujur dan terus terang dalam menjelaskan masalah Sei Keirei (memberi hormat kepada kaisar Jepang, Tenno Heika, dengan membungkukkan badan ke arah Tokyo sejauh 90 derjat) dalam pandangan Islam. Secara tegas di-katakannya, jika kata Maha Esa yang dipakai penulis Wajah Semangat itu sama, tidak berarti lain dari sebutannya yang nyata, tentulah sekali-kali tidak dapat sesuai dengan ajaran Islam. Meskipun beliau dihormati dan disegani Jepang, namun karena ia tetap menyadari bahwa keberadaan tentara Jepang di Indonesia adalah untuk menyengsarakan dan menjajah bangsa Indonesia, maka beliau tetap saja benci dan tidak suka kepada Jepang. Ada konsistensi sikap Abdul Karim Amrullah dalam hal ini, dan tentunya juga konsisten dengan hal-hal lain yang dianggapnya tidak sesuai dengan substansi ajaran Islam. Hamka menjelaskan, kalau ada orang datang menganggukkan kepala meniru Jepang, maka berubah (merah) mukanya karena ia benci dengan sikap tersebut. Kemudian ia berkata “Sudah jadi Jepang pula ia”. Lebih kurang 3 tahun 2 bulan ia di Jakarta, dan dalam usia lebih kurang 66 tahun, yakni pada tanggal 2 Juli 1945 ia berpulang ke Rahmatullah. Berbagai kenyataan kehidupan yang dilalui Abdul Karim Amrullah, baik dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dengan segala seluk beluk serta ketentuan-ketentuan adat yang keras dan kehidupan agama yang butuh pembinaan, maupun pengalaman pendidikan dan perjalanannya ke beberapa daerah dan luar negeri, ternyata telah melatarbelakangi ide, gagasan, dan pemikiran keagamaannya dalam usaha pembaharuan dan perbaikan kehidupan masyarakat berdasarkan al-Qur`an dan Hadis.

Abdul Karim Amrullah, yang juga dikenal dengan Haji Rasul, merupakan salah seorang dari tiga serangkai pembaharu Islam di Minangkabau pada awal abad ke-20 M. Pada dasarnya, munculnya gagasan, ide, dan pemikiran pembaharuan yang ditawarkan oleh Abdul Karim Amrullah merupakan reaksi dan jawaban dari berbagai permasalahan umat yang muncul pada waktu itu. Kekalahan kaum Padri 1837 mengakibatkan kemunduran umat Islam di Minangkabau. Dari segi akidah, terlihat bercampurnya antara ajaran keimanan dan kemusyrikan yang berakibat kepada berkembangnya paham takhayul dan khurafat. Dari segi ibadah dan mu’amalah, semakin berkembang ajaran bid’ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Suasana keagamaan hanya terlihat sangat menonjol pada upacara kematian, kenduri pengantin, maulud nabi, israk mikraj, dan lainnya yang bersifat seremonial. Di sisi lain, berkembangnya rasa fanatik yang berlebihan kepada guru (syekh) dan imam mazhab (dalam hal ini mazhab Syafi’i), ternyata menimbulkan sikap taqlid. Kondisi yang demikian, merupakan salah satu faktor pemicu bagi para pembaharu untuk mengadakan pembersihan Islam dari daki-daki yang mengotorinya, serta menjadikan al-Qur`an dan Hadis sebagai tempat rujukannya.


Setelah gerakan Padri dikalahkan Belanda tahun 1832, gerakan pembaharuan Islam seakan-akan terhenti di Minangkabau. Namun demikian, menurut Hamka bahwa kefakuman gerakan Islam itu hanya berlangsung beberapa waktu saja. Selang beberapa tahun setelah berakhirnya gerakan Padri, timbullah periode ketekunan belajar bagi putra-putra Minangkabau untuk menyauk ilmu agama Islam ke sumbernya sendiri, yakni ke negeri Mekkah. Diantara mereka adalah Syekh Ahmad Khatib dengan beberapa orang muridnya yang berasal dari Minangkabau, seperti Syekh Taher Jalaluddin, Syekh M. Thaib Umar, Syekh M Jamil Jambek, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amrullah, dan lain-lainnya. Mereka inilah yang pada gilirannya menjadi tokoh-tokoh pembaharu di Minangkabau. Dalam istilah Azyumardi Azra, mereka berperan menjadi transmitter utama tradisi intelektual keagamaan Islam dari pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah ke Nusantara.
Gerakan pembaharuan yang dilakukan Abdul Karim Amrullah awal abad ke-20 di Minangkabau juga merupakan respons dari gelombang kebangkitan dunia Islam yang sedang didengungkan secara global (sebagai faktor eksternal). Umpa-manya, gerakkan purifikasi (pemurnian) Muhammad ibn Abd al-Wahab (1703-1792), gerakkan modernis (pembaharuan) oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), dan Muhammad Abduh (1849-1905), beserta kawan-kawan.


Media efektif yang membantu penyebaran gagasan pembaharuan itu masuk ke Indonesia adalah melalui jalur pelaksanaan ibadah haji. Umat Islam yang pergi ke tanah suci Mekkah, di samping menunaikan ibadah haji, juga sebagian mereka ada yang bermukim di sana untuk beberapa lama guna mendalami pengetahuan agama. Bahkan, diantara mereka ada yang melanjutkan petualangan intelektual mereka sampai ke Mesir. Pada waktu itu, Mesir merupakan pusat gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dikampayekan oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan kawan-kawan. Demikian pula, telah tersebarnya buku-buku dan majalah-majalah yang berwawasan pembaharuan di Indonesia, seperti Al-Urwah al-Wutsqa, Al-Manar, dan Al-Imam. Pada dasarnya, pembaharuan yang dilakukan Abdul Karim Amrullah tidak terlepas dari jaringan ulama Timur Tengah dengan kepulauan Nusantara. Dalam hal ini Azyumardi Azra mengatakan, gejolak dan dinamika pemikiran yang muncul dari hubungan dan kontak yang begitu intens melalui jaringan ulama memunculkan efek revitalisasi Islam dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatan kebanyakan kaum Muslimin Melayu-Indonesia.
Dengan demikian, ternyata pembaharuan yang dilakukan Abdul Karim Amrullah tidak terlepas dari keadaan yang mengitarinya dan suasana yang berkembang pada waktu itu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh T. Ibrahim Alfian, bahwa pemikiran seseorang selalu merefleksikan jiwa zamannya, walaupun formulasinya dapat berupa refleksi yang akomodatif, progresif, dan bahkan reaktif. Di samping itu, H.A.R. Gibb, menjelaskan bahwa tidak ada gerakan pemikiran yang terjadi tanpa adanya tantangan dan pengaruh, baik yang muncul dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Besar dan kecil atau kuat dan lemahnya keterpengaruhannya itu tergantung pada kualitas dialektik yang terjadi padanya. Abdul Karim Amrullah juga dikenal sebagai tokoh pelopor dari gerakan Kaum Muda, yang senantiasa berkonsentrasi mengadakan berbagai perubahan untuk perbaikan, terutama dalam bidang pemikiran keagamaan. Dalam perjuangannya, ia mencoba memberikan jawaban dan jalan keluar terhadap berbagai krisis dan keprihatinan kehidupan beragama di Minangkabau saat itu. Ia adalah anak seorang tokoh tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Muhammad Amrullah atau Tuanku Kisai, di Sungai Batang Maninjau. Kepergiannya ke Mekkah selama tujuh tahun (1894-1901) untuk mempelajari ilmu agama, telah mengantarkannya kepada puncak kematangan. Salah seorang guru yang sangat berjasa dalam membentuk kepri-badiannya adalah Syekh Ahmad Khatib. Kemudian, ketika kepergiannya yang kedua kalinya ke Mekkah tahun 1904-1906, Abdul Karim Amrullah membuka halaqah sendiri atas reko-mendasi gurunya itu. Sekembalinya dari Mekkah, Abdul Karim Amrullah aktif memberikan pengajian dan ceramah agama di berbagai pelosok Minangkabau. Dalam setiap ceramah dan pengajian yang dipimpinnya, ia senantiasa melontarkan kritik pedas terhadap berbagai praktek-praktek agama yang telah bercampur-baur antara keimanan dan kemusyrikan dan antara ajaran Sunnah dan bid’ah. Beliau sangat menentang praktek-praktek keagamaan yang berbau taqlid, bid’ah, dan khurafat.

Di samping itu, beliau menyerukan agar umat Islam kembali kepada al-Qur`an dan Hadis serta dapat menggunakan pemikiran cerdasnya untuk berijtihad. Untuk itu, beliau berusaha mengadakan berbagai perbaikan dalam kehidupan beragama, baik dari segi akidah dan ibadah, maupun dari segi mu’amalah, dengan berpedoman kepada ajaran al-Qur`an dan Hadis. Menurut Nourouzzaman Shiddiqi, Abdul Karim Amrullah, sebagaimana juga para pembaharu Islam Indonesia lainnya, berkeyakinan dan berpendirian bahwa pemurnian akidah, memiliki kebebasan untuk berijtihad, dan menghidupkan kembali nilai-nilai Islam akan membuat Islam mampu menjawab tantangan zaman dan memenuhi kebutuhan masa kini. Bagi mereka, slogan “kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah” bukan karena nostalgia masa lalu, yakni hendak kembali mundur ke masa kejayaan pada zaman awal Islam, melainkan merupakan satu pantulan sikap untuk menemukan kembali nilai-nilai Islam.
Sementara itu, menurut Van Ronkel, sebagaimana dikutip Karel A. Steenbrink, Abdul Karim Amrullah adalah seorang guru agama yang fanatik memperjuangkan pemurnian agama. Untuk menyebarluaskan gagasan, ide, dan pemikiran, pembaharuan yang dilakukannya, menurut Hamka, Abdul Karim Amrullah bersama-sama Abdullah Ahmad dan kawan-kawan menerbitkan majalah Al-Munir tahun 1911 di Padang. Majalah ini tersebar luas ke berbagai pelosok Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Malaya (Malaysia). Murni Djamal menyimpulkan bahwa pembaharuan yang dilakukan Abdul Karim Amrullah tercakup dalam tiga permasalahan, yakni pembersihan agama dari noda yang mengotorinya (taqlid bid’ah, dan khurafat), pembaharuan pen-didikan Islam dengan membangun Sumatra Thawalib, dan pembawa ajaran Muhammadiyah ke Minangkabau. Dalam berda’wah, Abdul Karim Amrullah senantiasa bersuara keras dan gigih dalam menegakkan agama, amar makruf nahyi mungkar.

Kebiasaannya menurut Hamka adalah pantang dibantah dan lekas marah. Sikapnya yang demikianlah, barangkali, yang dikatakan oleh James L. Peacock sebagai seorang yang bersifat keras dan punya kepribadian yang agresif serta emosional bila dibandingkannya dengan K.H.A. Dahlan, pencetus organisasi Muhammadiyah, yang orang Jawa dan lebih memiliki sifat suka kepada ketertiban dan tidak mudah tersinggung. Namun demikian, pembaharuan yang dilakukan Abdul Karim Amrullah tidak seagressif dan sekeras sifat yang terdapat pada gerakan Padri sebelumnya.
Semangat dan sepak terjang pemikiran pembaharuannya tidak pernah padam. Hal ini dilakukannya, bukan saja melalui media tabligh (ceramah) di berbagai daerah Minangkabau serta mengelola pendidikan agama bagi murid-muridnya di Surau Jembatan Besi dan Sumatra Thawalib, melainkan juga melalui karya-karya tulisnya yang tersebar luas di tengah masyarakat. Tulisannya, ada yang berbentuk buku dan ada juga berbentuk artikel yang termuat dalam majalah al-Munir. Melalui karya tulisnya itu, berbagai ide, pemikiran, nasihat, maupun fatwanya dapat dijumpai.
Hal ini dapat dijadikan pedoman dan bahan rujukan bagi masyarakat Minangkabau dan bahkan bagi umat Islam di kepulauan Nusantara (Indonesia) pada saat itu, dalam berbagai persoalan keagamaan. Dengan demikian, karya-karyanya tersebut tidak saja tersebar di pelosok Sumatra, tetapi juga di berbagai daerah di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Hal ini, ternyata memberikan warna tersendiri bagi perkembangan kehidupan beragama Islam di Minangkabau dan juga Indonesia pada umumnya. Namun demikian, saat ini, karya-karyanya tersebut, sulit dijumpai di tengah-tengah masyarakat, kecuali di beberapa perpustakaan dalam dan luar negeri saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar