Jejak Historis Kepemimpinan Paderi di Minangkabau (Ringkasan Penelitian)
Oleh : Muhammad Ilham & Rusydi Ramli
Di daerah Luhak Agam yang mayoritas menganut sistem adat Bodi Caniago tersebut, keberadaan Urang Ampek Jinih dan Jiniah Nan Ampek tetap ada, tapi sebutan atau jabatannya agak berbeda dengan panggilan dalam sistem adat Koto Piliang. Sesuai dengan mamang adat ”adat salingka nagari” masing-masing nagari tampaknya sepakat menggunakan istilah Urang Ampek Jinih tapi berbeda dalam susunan dan sebutan perangkat, misalnya pada nagari Kamang (baik daerah Kamang Mudiak maupun Kamang Hilia, dan diasumsikan juga sama untuk daerah sekitarnya) Urang Ampek Jinih itu adalah Penghulu, Tuanku, Manti dan Dubalang. Sedangkan pada Nagari Candung Koto Laweh, tidak mengenal istilah Manti dan Dubalang, tapi perangkat penghulu adalah Juaro dan Urang Mudo. Sedang Jiniah Nan Ampek adalah Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal. Kepemimpinan agama yang secara melembaga (instututionalized) terlihat pada Jiniah Nan Ampek. Pertanyaan penelitian tentang fungsi kepemimpinan agama sebagaimana yang dibentuk oleh Paderi apakah masih berfungsi sebagai mana pada masa Padri dan bagaimana eksistensinya, masih terlihat di daerah-daerah seperti Candung Koto Laweh dan Kamang (walaupun dalam prakteknya ada perbedaan-perbedaan, tapi secara substantif pengaruh Paderi tersebut masih terlihat). Dari beberapa daerah yang dijadikan objek penelitian, terdapat daerah yang memiliki konsistensi historis terhadap sistem kepemimpinan yang dibentuk oleh kaum Paderi, ada beberapa daerah yang ”berimprovisasi” dan beradaptasi dengan perkembangan waktu, namun secra substantif tentang memakai semangat dan nilai-nilai atau sistem kepemimpinan yang diterapkan kaum Paderi tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dobbin, kaum Paderi pada setiap desa yang didudukinya mewajibkan mengangkat seorang Qadhi yang berfungsi berdampingan dengan Dewan Desa (Penghulu). Kontribusinya tidak begitu signifikan dalam bidang permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan, apalagi dalam bidang politik. Kontribusinya akan signifikan ketika berhubungan dengan sosial keagamaan seperti upacara-upacara keagamaan (seperti ritual-ritual life cyrcle) maka dia-lah yang menjadi hakim agungnnya. Nagari juga wajib mengangkat seorang imam yang bertugas menguraikan secara rinci ayat-ayat al-Quran dan melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Kaum Paderi, menerapkan sistem kepemimpinan a-la mereka dengan menempatkan Qadhi dan Imam dalam posisi yang setara dengan penghulu secara intens dan telah menjadi pilot project pada masa itu yaitu daerah Kamang dan Ampek Angkek, dua daerah yang termasuk basis paling utama gerakan Paderi. Di nagari Kamang Mudiak, Qadhi dan Imam (Jinih Nan Ampek) difungsikan pada mesjid-mesjid yang disebut kemudian disebut sidang. Qadhi sebagi ketua (pimpinan) dari Jiniah Nan Ampek (Imam, Khatib dan Bilal) yang bertindak sebagai hakim dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut agama (Islam). Sebelum ada Petugas Pencatat Nikah yang ditinjuk oleh negara (baca: Pemerintah) yang biasa dikenal dengan P3NTR (sekarang Penghulu) maka Qadhi-lah yang melaksanakankan akad nikah. Bahkan Qadhi bisa bertindak sebagai Wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. Di daerah ini, Qadhi dan perangkatnya hanya berada pada tingkat sidang (masjid) atau jorong, tidak pada tingkat nagari. Sistem rekruitmen Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal sidang/masjid melalaui proses pemilihan dan diangkat oleh masyarakat dari yang biasanya diambil dari Jinih Nan Ampek pada suku-suku. Karena pada setiap suku ada jabatan Jinih Nan Ampek yang melekat pada Urang Ampek Jinih.
Menurut Hamka, apabila penghulu-nya bergelar Datuk Marajo, maka Qadhinya bergelar Qadhi (Kali) Marajo dan Imam Marajo dan seterusnya. Di daerah Magek, Kamang Hilia dan Kamang Mudiak, Angku atau Tuanku Qadi dan perangkatnya yang bertugas pada sidang (masjid) dipilih oleh masyarakat dengan memperhatikan illmu keagamaan sesuai bidangnya dan ketokohannya pada masyarakat. Kapabilitas dan kualitas menjadi seorang Qadhi begitu ”ideal” sekali, maka tidaklah mengherankan apabila pada masa-masa sebelum rezim Orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tersebut bahkan juga terlihat secara nyata pada masa akhir penjajahan Belanda, peranan Angku Kali (Qadhi) sangat kuat sekali dan disegani oleh masyarakat. Seorang Qadhi dipilih memang karena ia layak dianggap masyarakat sebagai Qadhi, baik dari segi ilmu maupun moralitasnya. Penilaian masyarakatlah yang menjadi patokan paling utama, bukan penilaian pemerintah ataupun struktur-jentera adat yang ada. Seorang Qadhi diangkat karena memang masyarakat menganggap beliau layak dalam pandangan dan pemahaman masyarakat, untuk menjadi Qadhi. Hal ini ditambah dengan keluasan wilayah ”peran”nya. Sebuah peran yang dianggap urgen oleh masyarakat. Sekarang peran ini agak berkurang disebabkan adanya Petugas pencatat Nikah dari pemerintah. Dalam perspektif teori Struktural Fungsional pada Bab sebelumnya terlihat secara gamblang bahwa menghilangkan apresiasi masyarakat atau apresiasi komunitas sosial dimana ia berkiprah bisa dilakukan dengan jalan mendisfungsikan perannya atau terjadinya perubahan suatu struktur sehingga mempengaruhi struktur yang lain. Peran dan fungsi Qadhi yang begitu signifikan dan apresiasi masyarakat yang sangat tinggi membuat Qadhi bisa memerankan fungsinya sebagai salah satu jentera Urang Ampek Jinih secara maksimal. Suaranya didengar, pendapatnya dipertimbangkan. Pribadinya dihormati, posisinya dianggap sebagai sebuah posisi yang hanya bisa diperoleh oleh orang-orang yang memiliki kualitas keilmuan dan kualitas moral tinggi.
Dalam pembagian tugas, Penghulu menyelasaiakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan adat sedangkan Qadhi dan perangkatnya bertugas dalam masalah agama. Ada job description yang jelas, adat adalah domain penghulu, sementara agama adalah domain Qadhi. Sebagai contoh kalau terjadi sumbang salah dalam nagari, maka yang memiliki kapabilitas dalam menyelesaikannya adalah Qadhi dan perangkatnya yang diawali dari suku. Artinya, terdapat ”alur-birokrasi” penyelesaian kasus. Berawal dari internal suku. Sekiranya Jinih Nan Ampek tidak bisa menyelesaikannya baru, dibawah pada Ninik Mamak pada tingkat Taboh dan kemudian baru pada tingkat Nagari. Menurut Dt. Mareko biasanya masalah ini hanya sampai pada tingkat Jinih Nan Ampek. Biasanya penyelesaian permasalahan sumbang salahsidang tersebut juga melibatkan penghulu kaum/suku atau Taboh. Karena melibatkan penghulu kaum tersebut, maka di daerah Kamang Magek tersebut, boleh dikatakan jarang sekali kasus-kasus sumbang salah sampai kepada nagari. Masjid sebagai simbol syarat bernagari (Babalai bamusajid, balanbuah batapian) yang sekaligus sebagai sentra kegiatan agama berada dibawah penguasaan Qadhi dan perangkatnya. Sekalipun pada masa pemerintahan desa terbentuk adanya penguus Masjid tapi Qadhi yang termasuk dalam kepantian masjid tetap sebagai pengendali dari kegiatan masjid, seangkan pengurus lebih mengaah pada pembangunan phisik . Sebagaimana peneliti saksikan dalam sidang perkara antar kaum dalam sebuah suku di jorong Pauh nagari Kamang Mudiak, dimana terpilih Amiruddin Dt Mareko sebagai Qadhi. Beliaulah yang menyumpah kedua belah kaum yang bertikai mengenai harta dengan meletakkan keris di atas Cerano yang diserahkan oleh kaum yang akan disidangkan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka (kedua belah pihak) siap untuk disumpah yang dilakukan penyumpahannya oleh Qadhi menurut agama dan adat dihadapan sidang. Antara lain sebagai sangsi bila berbohong dan melanggar sumapah dikatakan ”Ka ateh indak bapucuk, kabawah indak bauerek, ditangah-tangah diliriak kumbang”. Setelah sang Qadhi menyelesaikan tugasnya (yang sangat tergantung pada materi rapat) maka posisi Qadhi lepas dengan sendirinya, dan kembali lagi kepada posisi Penghulu. Qadhi sidang ini ada pada setiap sidang terutama pada sidang perkara persengketaan, baik pada tingkat suku, Toboh maupun pada tingkat Nagari. Menurut Amruddin Dt. Mareko, biasanya yang terpilih menjadi Angku Kali (Qadhi) pada sidang penghulu adalah penghulu yang dianggap mempunyai ilmu agama, mempunyai latar belakang pendidikan agama dan dianggap lebih paham tentang hukum syarak.
Dalam konteks ini, bisa dipahami bahwa secara substantif, Jabatan Kali/Qadhi yang bersifat insedentil ini merupakan kelanjutan (continuity) dari ide Paderi yang mengangkat Imam dan Qadhi pada setiap nagari yang kemudian disebut dengan Imam dan Qadhi nagari. Pada masa ini tidak ada lagi jabatan Imam dan Qadhi Nagari yang ada adalah Qadhi dan Imam pada sidang (masjid), disamping jabatan yang eksklusif-gemmeinschaaft dalam jabatan penghulu dalam suku. Secara tradisional Penghulu berfungsi sebagai pimpinan kaumnya dan sekaligus pimpinan pemerintahan dari nagari (Dewan Kerapatan Adat). Pada awal gerakannya, Paderi berusaha untuk menggantikan kepemimpinan penghulu dengan kepemimpinan agama terutama pada daerah-daerah basis perjuangannya. Kemudian struktur kepemimpinan tersebut mengalami perubahan, yakni masa Paderi periode ke-dua, masa Belanda awal melalui Perjanjian Plakat Panjang-nya, dan kemudian dengan adanya Ordonansi 27 Septeber 1918, dilanjutkan perobahan pada awal kemerdekaan dan setelah PRRI pada akhir tahun 1960-an serta pada masa Orde baru (l976) dengan menggantikan Pemerintahan Nagari dengan Desa melalui Undang-Undang Nomr 5 tahun 1976 Tentang Pemerintahan Desa. Maka difungsikannya Qadhi yang bersifat insidental tersebut pada sidang-sidang Dewan Penghulu sebagai hasil perobahan atau dalam istilah Mochtar Naim sebagai ”metamorfosis” kultural.
Menurut Dt Singgo Gayua, sebelum PRRI jabatan Qadhi adalah sebuah jabatan yang sangat berpengaruh dalam nagari, karena yang diangkat menjadi Qadhi itu adalah orang yang betul mampuni, capable dalam bidang agama baik dari segi ilmu amupun amalannya, sejalan antara Ilmu dengan martabat. Sekalipun Angku Kali/ Qadhi tugasnya hanya pada sidang/masjid tapi dalam nagari ”katonya didanga”. Qadhi tempat membicarakan seluruh hal, tempat berkeluh kesah, tempat mencari solusi dan tempat dimana persoalan-persoalan kemasyarakatan ”bermuara”. Tapi pasca PRRI, terjadi pergeseran, reduksi atau perubahan fungsi dan peran dimana Angku Kali/Qadhi hanya berfungsi di masjid saja. Nagari Candung Koto Laweh yang masuk kawasan Ampek Angkek Candung yang menurut Keebet von Benda-Beckmen adalah nagari yang memiliki tatanan sosial politik yang luar biasa rumit. Sistem pembagian wilayah dihubungkan dengan keberadaan masjid-masjid ( sidang), bertahan sebagai kombinasi pemerintahan dengan pemuka Islam dan pemangku adat, yang apakah ia digunakan sebagai pemerintahan murni teokratis selama pemerintahan Paderi.
Berbeda dengan Kamang dimana struktur adat dan pembahagian pemangku adat lebih jelas, rigid dan tertata dengan baik. Nagari Candung disebut dengan Candung 7 (tujuh) suku 12 (dua belas) hindu. Dikatakan Candung 7 (tujuh) suku disebabkan tujuh suku inilah yang secara historis membuka untuk pertama sekali menjadi daerah pemukiman. Dari pemukiman yang terbentuk ini kemudian muncul 3 (tiga) Koto yang bergabung dengn daerah asli dengan mengadakan perobahan terhadap sistim 7 (tujuh) suku menjadi 12 (dua belas) hindu yang terdiri dari 4 (empat) hindu dari masing-masing koto. Pada awal nagari ini didirikan terdapat 60 buah gadang yang masing-masing hindu terdiri dari 5 (lima) buah gadang dan setiap buah gadang dipimpin oleh seorang penghulu. Sekarang di Candung Koto Laweh terdapat 9 (sembikan) nama suku. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa di Candung Koto Laweh terdiri dari suku (suku pusako) dan hindu. Kemudian secara hirarkis-vertikal, setelah suku dan hindu, terdapat buah gadang dan dibawah buah gadang ini dinamakan dengan kaum. Suku dibentuk sesuai dengan prinsip leluhur bersama dari garis ibu dan ia dikenal melalui nama-nama puak (Koto, Caniago, Sikumbang dan lain-lain). Hindu atau hindu adat yang dulu disebut suku adat terbentuk sesuai dengan prinsip-prinsip adat dalam pengertian susunan politis yang tidak didasarkan pada leluhur garis ibu bersama. Hindu adat dinamakan berdasarkan atau menurut kelompok suku pusako yang dominan, atau menurut jumlah komponen kelompok-kelompok suku pusako. Hindu dipimpin oleh penghulu hindu dan dibantu oleh juaro yang berfungsi sebagai manti (menteri ) yang juga dibantu oeh Urang Mudo yang mendekati fungsi Dubalang atau pembantu Manti. Buah gadang merupakan sebuah kelompok keturunan dari garis ibu, terdiri dari hanya orang-orang dari satu nenek moyang menurut garis ibu. Mereka adalah orang yang sasako, sapusako dan saharato. Buah gadang kemudian bercabang lagi kedalam sub-kelompok formal yaitu kaum. Kaum dipimpin oleh mamak kaum atau masing-masing buah gadang tersebut bisa terdiri dari satu kaum atau lebih malah ada yang mencapai 13 (tiga belas) kaum. Salah satu perbedaan antara kaum adalah pada harta yan disebut harato lah babagi. Penghulu buah gadang bisa dibantu oleh penghulu Panungkek atau penghulu pembantu.
Di Candung Koto Laweh, pimpinan agama dipegang oleh Tuanku (Urang Ampek Jinih) yang terdiri dari Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal. Tuanku berkedudukan pada Sidang. Sebagaimana dikatakan oleh Benda-Bekcman, bahwa sistem pembagian wilayah dihubungkan dengan keberadaan masjid yang disebut dengan Sidang. Terdapat 4 (empat) buah Sidang, yakni Sidang Bingkudu, Sidang Tigo Alua, Sidang Sabuah Balai dan Sidang Panji. Masing-masing Sidang mempunyai persamaan dan perbedaan. Pada prinsipnya, Sidang terdiri dari Jinih Nan Ampek + Panghulu Nan Batigo + Ninik Nan Salapan. Untuk sidang 3 (tiga) sidang diluar Sidang Bingkudu yaitu sidang Tigo Alua, sidang Sabuah Balai dan Sidang Panji, angota-anggota sidangnya termasuk Penghulu sidang, akan tetapi penghulu sidang tersebut tidak bergelar Datuk yang ditunjuk secara bersama-sama secara aklamasi. Untuk kasus, Sidang Bingkudu tidak ada penghulu Sidang. Sidang langsung dipimpin oleh Qadhi. Sidang terdiri dari beberapa Umpuak kecuali Sidang 3 Alua yang terdiri dari tiga suku. Umpuak adalah sekelompok orang yang mendiami daerah yang sama yang terdiri dari beberapa suku atau buah gadang. Umpuak dipimpin oleh Angku/ Tuanku Umpuak dan dibantu oleh niniak mamak nan salapan. Sidang terpusat pada masjid-masjid tertua. Umpuak lebh identik dengan Jorong yang merupakan bahagian terbawah dari pemerintahan nagari, karena Umpuak secara teritorial berada pada Jorong. Umpuak dipimpin oleh Tuangku Umpuak sedangkan Jorong dipimpin oleh kepala Jorong. Yang dipilih menjadi Tuanku Umpuak adalah orang yang mempunyai pengetahuan Agama dan atau terlebih dahulu diberi bekal pengatahuan agama.
Fungsi Sidang adalah pelaksana masalah agama diantaranya masalah Nikah Talak dan Rujuk serta masalah Buek (aturan yang dibuat pada umpuak atau padang) dan sidang bertindak sebagai eksekutor dari aturan tersebut. Mekanisme kerja Buek Perbuatan adalah Buek dilakukan pada Umpuk atau suku (Sidang 3 Alua). Sedangkan Perbuatan dilakukan pada Sidang (eksekutor). Aturan-aturan tersebut bukan hanya mengenai masalah agama saja, akan tetapi juga mengenai masalah kampung atau nagari (masalah sosial kemasyarakatan) seperti masalah gotong royong dan sejenisnya.
Menurut Syekh H. Amran A. Shamad, salah seorang elit agama Candung Koto Laweh, masyarakat tidak akan turun dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan kalau keputusan dan pemberitahuannya tidak melalui Sidang. Bahkan pada tingkat yang lebih birokratis, sampai saat sekarang ini, akad nikah tidak akan bisa berlangsung dalam nagari kalau bukan yang melaksanakannya Qadhi Sidang, sedangkan P3NTR hanya berfungsi sebagai pencatat atau pelaksana yang sifatnya administratif. Perbedaan yang cukup mencolok dalam ”memerankan fungsi” Qadhi antara sidang Bingkudu dengan tiga sidang lainnya, memperlihatkan pegaruh Paderi justru lebih kentara di daerah Bingkudu ini. Secara historis, bisa diasumsikan bahwa daerah Bingkudu merupakan daerah yang lebih dahulu di”Paderi”kan dan/atau daerah Bingkudu merupakan daerah ”paling ujung” dari wilayah nagari Candung Koto Laweh, sehingga secara sosiologis memiliki daya ”proteksi kultural” yang jauh lebih kaku dan teguh dibandingkan daerah-daerah lain di Candung Koto Laweh yang secara geografis lebih dekat dengan pusat transportasi dan diasumsikan memiliki tingkat mobilitas sosial yang sangat tinggi. Mobilitas sosial yang tinggi berkorelasi dengan kecenderungan improvisasi yang tinggi pula dalam menerima perubahan-perubahan ataupun adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang datang. Menjadi ketua sidang adalah Qadhi dengan perangkatnya (Imam, Khatib dan Bilal) sbagai angota tetap, kemudian Angku nan batujuh sebagai anggota yakni Tuanku (Angku) dari tujuh Umpuak yang ada di Bigkudu. Masa jabatan Angku Umpuak ini tidak terbatas (seumur hidup) yakni selagi dipercaya oleh masyarakat. Jelas terlihat Sidang Buek Perbuatan ini terdiri dari pimpinan agama. Dalam rentang waktu keberadaan tatanan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Paderi, terlihat secara nyata, bahwa di daerah Kamang dan Candung Koto Laweh, substansi sistem pemerintahan (dengan peran Qadhi dan Imam yang cukup berperan dan berfungsi) berjalan sebagaimana dahulunya. Walaupun ada beberapa proses adaptasi dan inovasi. Sedangkan untuk daerah Candung Kota Laweh, fungsi Qadhi maupun sidang sangat signifikan sekali. Berbagai perubahan historis dengan segala kebijakan-kebijakan politis yang berpotensi besar mereduksi peran Qadhi tersebut, justru hal ini tidak terjadi terutama ada Sidang Bingkudu. Qadhi dan Sidang merupakan jentera sosial yang penting. Anggapan selama ini yang menganggap beberapa kebijakan politik pemerintah bisa mereduksi peran jentera kepemimpinan adat Minangkabau (khususnya kepemimpinan a-la Paderi yang dipersonifikasikan dengan Imam dan Qadhi), untuk kasus Candung Kota Laweh tidak berubah secara radikal. Substansi maupun prakteknya masih tetap berlaku sebagaimana yang berlaku pada masa-masa sebelumnya, terutama di daerah-daerah yang merupakan basis gerakan Paderi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar