Selasa, 08 Februari 2011

Kitab Nahu Syekh Paseban : Tradisi Intelektual Ulama Minangkabau

Diedit ulang : Muhammad Ilham
(c) Ahmad Taufik Hidayat


Pengembaraan para Ulama dalam menuntut Ilmu dan mengajarkan kitab-kitab yang dibawa ketika kembali, kemudian menjabarkannya dalam ranah lokal adalah bentuk-bentuk transmisi keagamaan yang mampu memproduksi keulamaan dengan standar keilmuan yang diakui oleh masyarakat dalam skala luas. Pendapat Abdurrahman Wahid ketka menyorot kebangkrutan sistem surau di Minangkabau yang dulu pernah mencetak Ulama, hemat penulis berangkat dari melemahnya tradisi keilmuan dari sisi tidak adanya bahan-bahan bacaan yang dikembangkan di Surau seperti pada masa lalu. Budaya kreatif dalam menyalin dan memproduksi manuskrip, untuk kemudian dijadikan sumber gagasan dalam melakukan penafsiran terhadap ajaran-ajaran keagamaan yang aplikatif dalam skala lokal setidaknya menjelaskan bagaimana Ulama tradisi membangun perangkat ideologi guna melahirkan secara terus menerus tradisi keilmuan, yang tentunya berujung pada lahirnya Ulama-Ulama berkelas, dengan penguasaan materi-materi yang relatif baik. Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa kelompok Islam tradisional sulit menerima perubahan, seperti digagas Nasr, jelas keliru, karena upaya memproduksi Ulama dapat dibaca sebagai salah satu cara untuk menjawab kegelisahan masyarakat terhadap perubahan sosial dalam waktu tertentu. Sumber-sumber normatif yang berbentuk manuskrip pun sesungguhnya muncul dalam kerangka yang ‘hidup’ dalam pengertian selalu berinteraksi dengan zamannya. Dari kacamata ini, sesungguhnya Ulama tradisi telah mewariskan iklim keilmuan yang kritis, dialogis dan senantiasa berkembang ke arah yang disebut oleh M. Bambang Pranowo ‘sesuatu yang akan menjadi’ (state of becoming) dan bukan ‘sesuatu yang sudah jadi’ (state of being).

Dengan kerangka semacam itu, manuskrip menjadi acuan normatif bagi Ulama tradisional dalam melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Beragam praktek keyakinan yang dijalankan oleh Ulama tradisional melalui acuan tersebut telah membentuk kerangka pergaulan yang dinamis antara Ulama dan masyarakat. Seperti tergambar dalam teks-teks yang ditulis oleh Imam Maulana, peran-peran sosial yang dimainkan Syekh Paseban dalam pergaulan lokal tidak dapat dinilai kecil, berkenaan dengan konflik dan perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Di sini praktek tasauf yang dikembangkan oleh Syekh Paseban melalui organisasi tarekat Syattariyah pada dasarnya telah berhasil membentuk konstruksi sosial yang kuat dibawah kepemimpinan Syekh.
Pada sisi lain, tasauf yang berkembang di Surau Paseban berfungsi untuk mengawal moralitas masyarakat dalam kehidupan praktis. Tasauf dengan dimensi mistik yang dibawa tidak pernah dibicarakan dalam ranah peribadatan umum, tetapi lebih kepada memberi solusi bagi hajat kehidupan praktis, seperti terapi-terapi pengobatan, resep-resep untuk masalah kehidupan sehari-hari seperti pertanian, membangun rumah, persoalan anak dan lain-lain yang merupakan pembauran tradisi lokal dengan ajaran-ajaran tasauf dari dimensi ini. Sementara pada tataran keilmuan, praktek-praktek keyakinan berupa amalan dan ritual keagamaan, seperti bacaan-bacaan tertentu, ziarah, tawasul serta amalan-amalan khas Islam tradisional dijalankan dalam rangka mempertahankan tradisi dan penghormatan terhadap para Ulama terdahulu, dengan menggunakan acuan-acuan normatif di dalam manuskrip keagamaan. Adapun praktek keyakinan yang berkembang di kalangan masyarakat dan ditengarai sebagai syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul adalah bentuk dari apresiasi masyarakat terhadap keberislaman yang kompleks yang tidak dapat diparalelkan dengan ajaran keislaman di Surau. terbukti, bahwa Ulama tradisi sendiri pada dasarnya ingin menghapuskan praktek menyimpang di tengah masyarakat. Oleh karena itu pembicaraan terhadap ideologi Islam tradisional sendiri tidak pernah sepenuhnya bisa difahami dengan dalam kerangka yang umum.



Adanya tuduhan-tuduhan yang telah dipelihara sejak dahulu oleh kelompok Islam modernis terhadap kalangan Islam tradisi sesungguhnya perlu ditelaah ulang, karena sejauh yang berhasil ditelusuri dalam penelitian ini, penerus Syekh Paseban pada dasarnya tidak mentolerir aspek-aspek kemusyrikan baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan beragama. Lembaga pendidikan yang didirikan oleh Syekh Paseban pada dasarnya dimaksudkan untuk meluruskan akidah umat dari prilaku-prilaku yang menyimpang. Dengan adanya upaya menyuarakan kembali ideologi tradisional di lingkungan komunitas Surau Paseban, merupakan momentum penting dalam rangka merajut kembali dialog antara kelompok tradisional dan kelompok modernis dalam wadah ukhuwah Islamiyah yang pernah diberlangsungkan pada masa lalu di Surau-Surau di Minangkabau. Sehingga dengan demikian semangat intelektualisme dalam Islam tetap terpelihara meskipun kesatuan ideologi dalam bermazhab tidak akan pernah dapat terwujud.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar