“Ayah hanya takut tidak bisa jawab pertanyaan Munkar Nakir!’’. Pertanyaan ini diajukan Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) kepada ayahnya mengenai soal keengganannya untuk melakukan seikere (membungkuk ke arah matahari) atas perintah tentara Jepang. Sang ayah, sebagai tokoh pergerakan dan ulama Minangkabau, Haji Karim Amrullah, yang juga kondang dengan sebutan ‘Haji Rasul’ itu, tentu saja menolak mentah-mentah perintah yang berkonotasi ‘menyembah matahari’ itu. Ia pun sadar sepenuhnya akan risikonya. Tapi, demi keyakinan terhadap nilai ‘akidah’, maka perintah memberi hormat kepada dewa matahari itu tidak dilakukannya. Keteguhan sikap Haji Karim Amrullah itulah yang kemudian oleh Hamka terus dibawa sepanjang usia. Berkali-kali dalam situasi genting ia berani menyatakan diri menolak hal apa pun yang melanggar nilai dasar agama, meskipun itu berarti membuka lebar pintu penjara.
Hamka yang lahir di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat, tepatnya di Tanah Sirah Nagari Sungai Batang pada tanggal 13 Muharram 1326 H./16 Februari 1908 M., mampu menunjukkan sikap teguh terhadap perkembangan arus zaman hingga akhir masa hidupnya. Sebagai anak manusia yang lahir di bumi Minangkabau, Hamka memang tidak sempat mengenyam pendidikan formal yang tinggi. Sekolahnya hanya dijalani selama tiga tahun. Namun, karena bakat intelektualnya yang berlebih, terutama dalam penguasaan bahasa Arab, ia kemudian tumbuh dan besar menjadi ulama yang disegani, bahkan seringkali disebut salah satu ulama besar Asia Tenggara. Darah dari pihak orang tua sebagai tokoh pembaru ajaran Islam dan perjuangan nasional kemerdekaan, membuat telinga Hamka semenjak masa kanak sudah akrab dengan berbagai pembicaraan mengenai dunia keilmuan. Diskusi yang dilakukan sang ayah bersama rekan-rekannya yang memelopori gerakan Islam Kaum Muda Mingkabau itu ternyata tanpa sadar tertanam kuat di hatinya. Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Selain sibuk berceramah, Hamka kemudian menerbitkan berbagai karya roman seperti: Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnnya Kapal van Der Wick (1939), Merantau ke Deli (1940), Di dalam Lembah Kehidupan (1940, kumpulan cerita pendek). Isi berbagai romannya itu tampak jelas terpengaruh dari pengalaman pribadinya ketika ia pergi ke Mekah dan tinggal beberapa lama menjadi guru agama di lingkungan buruh perkebunan yang ada di Sumatera bagian timur. Pada kurun waktu ini ada satu karya Hamka yang sangat penting. Buku yang diterbitkan pada tahun 1939 itu diberi judul Tasawuf Modern. Hamka dalam buku ini mengkritisi kecenderungan dari berbagai aliran tasawuf yang ‘berpretensi negatif’ terhadap kehidupan dunia. Tasawuf banyak dijadikan sebagai cara untuk mengasingkan diri dari kehidupan dunia yang sering dipandang serba ruwet dan penuh kotoran dosa. Hamka dalam buku ini berusaha merubah persepsi itu. Ia menyerukan ‘tasawuf positip’ yang tidak bersikap asketisme. Katanya, menjadi Muslim sejati bukannya menjauhkan diri dari dunia, tapi terjun secara langsung ke dalamnya. Buku Hamka ini sampai sekarang tetap laris manis di pasaran. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1942 bersamaan dengan jatuhnya koloni Hindia Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur. Posisi jabatan yang diterima pada masa sulit ekonomi ini dijalaninya selama tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1945 ia memutuskan untuk melepaskan jabatan tersebut karena pindah ke Sumatera Barat. Di sana Hamka terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949. Menjelang pengakuan kedaulatan, yakni setelah tercapainya Persetujuan Roem Royen pada tahun 1949, ia memutuskan pindah dari Sumatera Barat ke Jakarta. Kali ini Hamka merintis karir sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipegang oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Melihat kemampuan intelektualnya, menteri agama waktu itu menugaskan kepada Hamka untuk memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi Islam, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa.
Beberapa perguruan tinggi yang sempat menjadi tempat mengajarnya itu antara lain; Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan. Uniknya lagi, di tengah kesibukannya sebagai pengajar di berbagai universitas itu, Hamka sempat menulis biografi ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. Katanya, buku yang ditulisnya ini adalah sebagai kenang-kenangan kepada ayahnya yang sangat teguh hati. Apalagi bagi sang ayah sendiri, Hamka adalah buah hatinya dimana ia pernah dijuluki sebagai ‘Si Bujang Jauh’ karena begitu sering dan lamanya merantau pergi ke berbagai negeri dan daerah.
Di sela kegiatannya mengajar di berbagai universitas itu, Hamka mengulang kembali kepergiannya untuk beribadah haji ke tanah suci. Sama dengan kepergian hajinya yang dilakukan 24 tahun silam, kepergiannya ke Mekah kali ini juga disertai dengan perjalanannya ke beberapa negara yang berada di kawasan semenanjung Arabia. Hamka sendiri sangat menikmati lawatannya itu. Apalagi ketika berada di Mesir. Ia menyempatkan diri untuk menemui berbagai sastrawan kondang Mesir yang telah lama dikenalnya melalui berbagai tulisannya, seperti Husein dan Fikri Abadah. Mereka saling bertemu, bertukar pikiran dan minat dalam bidang sastera dan kehidupan umat secara keseluruhan. Sama halnya dengan kepulangan haji pertamanya, sekembalinya dari lawatannya ke berbagai negara di Timur Tengah itu, inspirasi untuk membuat karya sastera pun tumbuh kembali. Lahirlah kemudian beberapa karya roman seperti, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Bagi banyak kritikus sastera banyak diantara mereka menyebut bahwa, Hamka dalam penulisan karyanya itu banyak terpengaruh pujangga Mesir. Ini tampaknya dapat dipahami sebab ia seringkali menyatakan terkagum-kagum pada beberapa penulis karya dari negeri piramid itu, salah satunya adalah Al Manfaluthi. Usai pulang dari kunjungan ke beberapa negara Arab, pada tahun 1952 ia mendapat kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat. Hamka datang ke negara itu atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika. Ia mengunjungi berbagai tempat, seperti negara bagian California, untuk memberikan ceramah yang berkaitan dengan agama. Kunjungan ke Amerika kali ini ternyata hanya merupakan kunjungan pembuka saja. Setelah itu ia kemudian kerapkali diundang ke sana, baik atas undangan dari negara bersangkutan maupun datang sebagai anggota delegasi yang mewakili Indonesia.
Pada kurun waktu itu, Hamka kemudian masuk ke dalam Badan Konstituate mewakili Partai Masyumi dari hasil Pemilu 1955. Ia dicalonkan Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi di Jawa Tengah. Dalam badan ini Hamka bersuara nyaring menentang demokrasi terpimpin. Pada sebuah acara di Bandung, pada tahun 1958 ia secara terbuka menyampaikan pidato penolakan gagasan demokrasi terpimpin ala Soekarno itu. Namun, di tengah panas dan padatnya perdebatan, Hamka pada tahun itu juga sempat mendapat undangan menjadi anggota delegasi Indonesia untuk mengikuti Simposium Islam di Lahore. Setelah itu, kemudian dia berkunjung lagi ke Mesir. Dalam kesempatan kali ini dia mendapat kehormatan bidang intelektual sangat penting, yakni mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Di forum itu, ia menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar luar biasa dengan topik bahasan mengenai Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Dalam kesempatan ini Hamka menguraikan kebangkitan pembaharuan ajaran Islam yang terjadi di Indonesia, mulai dari munculnya gerakan Sumatera Thawalib, Muhammadiyah. Al Irsyad, dan Persatuan Islam. Gelar doktor luar biasa seperti ini ternyata diterimanya lagi enam belas tahun kemudian, yakni pada tahun 1974 dari University Kebangsaan, Malaysia. Gelar ini disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak. Seraya memberikan gelar, dalam pidatonya sang perdana menteri itu berkata bahwa,’’Hamka bukan lagi hanya milik bangsa Indonesia. Tetapi, juga telah menjadi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”
Masa Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menjadikan politik sebagai panglima. Waktu itu Soekarno menginginkan agar bangsa Indonesia betul-betul mandiri. Ia serukan gerakan untuk melawan imperialisme barat, yang disebut sebagai kekuatan neo-kolonialisme baru. Pada satu sisi ide ini berhasil cukup baik. Posisi Indonesia menjadi penting dan menjadi salah satu kekuatan sentral gerakan non blok. Namun, pada sisi yang lain perbaikan ekonomi ternyata tidak dapat berjalan baik. Pertentangan politik, terutama antara golongan nasionalis dan Islam menjadi-jadi, di mana kemudian mencapai puncaknya ketika pembicaraan mengenai konstitusi negara menjadi buntu. Baik pihak yang anti dan pendukung ide negara Islam terus saja tidak mampu berhasil mencapai kata sepakat. Dan Hamka hadir dalam percaturan perdebatan itu.
Sayangnya, Presiden Soekarno tidak sabar melihat perdebatan itu. Dengan alasan adanya ancaman perpecahan bangsa yang serius, Soekarno pada 5 Juli 1959 kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden, yang diantaranya adalah menyatakan pembubarkan Badan Konstituante dan kembali kepada konstitusi negara pada UUD 1945. Menyikapi keadaan tersebut, Hamka pada tahun yang sama, yakni Juli 1959, mengambil inisiatif menerbitkan majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat. Hamka duduk sebagai pemimpin redaksinya. Sedangkan mengenai isi majalahnya, Hamka memberi acuan untuk memuat tulisan yang menitikberatkan kepada soal-soal kebudayaan dan pengetahuan ajaran Islam. Tetapi sayangnya, majalah ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun. Majalah Panji Masyarakat dibubarkan oleh pemerintahan rezim Soekarno, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1960. Alasan pembredeilan: karena majalah memuat tulisan Dr Mohamad Hatta yang berjudul ‘Demokrasi Kita.’ Sebagai imbasnya, Hamka kemudian memutuskan diri untuk lebih memusatkan pada kegiatan dakwah Islamiyah dengan mengelola Masjid Agung Al-Azhar yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Dalam dunia politik pemuatan tulisan Hatta di majalah Panji Masyarakat itu memang membuat kehebohan besar. Perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta dalam mengelola negara terbuka dengan nyata. Dalam tulisan itu Hatta mengkritik keras sistem demokrasi terpimpin yang dijalankan karibnya, Soekarno. Menurutnya, demokrasi yang tengah dijalankannya itu bukan demokrasi. Mengapa demikian? Sebab, ada sebagian kecil orang ‘’menguasai’’ sebagian besar orang. Ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri, di mana harus ada ‘persamaan’ pada setiap manusia. Maka, demokrasi seperti itu, tulis Bung Hatta, a priori harus ditolak.
Panasnya persaingan politik pada sisi lain juga kemudian meniupkan badai fitnah kepada Hamka. Jaringan kelompok ‘politik kiri’ membuat tuduhan bahwa roman Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah merupakan plagiat dari roman sastrawan Perancis, Alphonse Karr yang kemudian disadur ke dalam bahasa Arab oleh Al Manfaluthi. Reaksi pro kontra segera saja menyergapnya. Golongan yang tidak suka akan adanya pengaruh agama di Indonesia memanfaatkan betul polemik ini untuk menghancurkan nama baiknya. Saat itu hanya HB Jassin dan kelompok budayawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu) saja yang gigih membelanya. Berbagai tulisan atas polemik ini kemudian pada tahun 1964 dikumpulkan dan diterbitkan oleh Junus Amir Hamzah dengan judul Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik. Usaha penjatuhan citra kepada Hamka ternyata tidak hanya melalui karya sastera saja. Tanpa dasar serta alasan tuduhan yang jelas, pada 27 Januari 1964 tiba-tiba saja ia ditangkap oleh alat keamanan negara. Hamka kemudian dimasukkan ke dalam tahanan tanpa ada sebuah keputusan. Ia berada di penjara bersama para tahanan politik lainnya, seperti Muchtar Lubis, sampai tumbangnya tampuk kekuasaan Soekarno. Bagi penguasa, Hamka saat itu dianggap sebagai orang berbahaya. Namun, bagi Hamka sendiri, masuknya dia ke dalam penjara malahan seringkali dikatakan sebagai rahmat Allah. Menurutnya, akibat banyaknya luang waktu dipenjara maka ia dapat menyelesaikan tafsir Alquran, yakni Tafsir Al-Azhar (30 juz). ’’Saya tidak bisa membayangkan kapan saya bisa menyelesaikan tafsir ini kalau berada di luar. Yang pasti kalau tidak dipenjara maka saya selalu punya banyak kesibukan. Akhirnya, tafsir ini sampai akhir hayat saya mungkin tidak akan pernah dapat diselesaikan,’’ kata Hamka ketika menceritakan masa-masa meringkuk di dalam penjara. Selain itu, beberapa tahun kemudian Hamka juga mengakui bahwa tafsir Alquran ini adalah merupakan karya terbaiknya.
Hamka yang wafat di Jakarta, 24 Juli 1981, meninggalkan karya pena yang sangat banyak jumlahnya. Tercatat paling tidak sekitar 118 buah yang sudah dibukukan. Ini belum termasuk berbagai cerita pendek dan karangan panjang yang tersebar di berbagai penerbitan, media massa, dan forum-forum ilmiah, serta ceramah. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam bidang keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya pada sebuah perguruan tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka (UHAMKA). Berbagai karya tulisnya yang meliputi banyak bidang kajian seperti politik, sejarah, budaya, akhlak dan ilmu-ilmu keislaman hingga kini terus dikaji oleh publik, termasuk menjadi bahan kajian dan penelitian untuk penulisan risalah tesis dan disertasi. Buku-bukunya terus mengalami cetak ulang.
(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang.
Foto : www.google.picture.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar