Ulama – meminjam bahasa sosiologi – sebagai elit sosial-keagamaan (bahkan untuk beberapa kasus memiliki fungsi dan peran yang beragam), telah menjadi icon sejarah dan budaya Sumatera Barat. Diskursus sejarah perjuangan dan sejarah kebudayaan serta sejarah intelektual Sumatera Barat, maka ulama secara personal maupun institusional merupakan bahagian penting dalam sejarah Sumatera Barat. Sejarah telah memberikan kearifan kepada kita bahwa ulama-ulama Sumatera Barat, telah memberikan ”warna” penting dalam mempengaruhi perjalanan sejarah Sumatera Barat pada masa lalu dan masa yang akan datang. Kehadiran mereka dalam ”pentas” sejarah Sumatera Barat, tidak bisa dilepaskan dari pemahaman kontekstual dan holistik. Dengan pemahaman seperti ini, akhirnya bisa didapatkan pemahaman lain bahwa kehadiran dan pengaruh ulama-ulama di Sumatera Barat saling mendukung, baik dari faktor antar personal ulama maupun keterikatan zaman. Konkritnya, pengaruh seorang ulama tidak bisa dilepaskan dari ”dukungan” zaman, area maupun jaringan guru-murid dan karya-karya intelektual mereka baik dalam bentuk karya ideologis-abstrak-normatif, ideologis-institusi maupun dalam bentuk karya tulis.
Mayoritas ulama-ulama Sumatera Barat memiliki genetic-hereditically ulama (walaupun ada beberapa diantara mereka yang berasal dari kalangan ”biasa”), namun setidaknya faktor lingkungan-keluarga memegang peranan signifikan mengkondisikan seorang individu menjadi ulama. Dalam perspektif ilmu sosial (khususnya disiplin sosiologi-antropologi) dikatakan bahwa pengaruh yang berbasiskan atau berasal dari faktor kelebihan keturunan-darah, merupakan salah satu karakteristik masyarakat tradisional (khususnya masyarakat pra-industri). Sumatera Barat, dalam konteks temporal dimana para ulama-ulama ini hidup dan berkiprah, secara sosiologis, masuk dalam kategori masyarakat tradisional-mekanik. Jadi tidaklah mengherankan apabila faktor keturunan sangat signifikan dalam masyarakat.
Kemudian, secara umum, wacana intelektual yang berkembang pada masa hidup ulama-ulama yang diteliti dalam penelitian ini adalah wacana tareqat-tasauf. Wacana inilah yang kemudian melahirkan dinamika yang dinamis bagi banyak ulama dalam melahirkan karya tulis mereka. Beberapa ulama produktif dalam menulis, mayoritas karya tulisnya mengangkatkan isu – atau setidaknya dipengaruhi – diskursus tareqat-sufiyah-tasauf. Sangat minim karya tulis para ulama-ulama yang diteliti dalam penelitian ini – bahkan boleh dikatakan hampir tidak ada – yang membahas tentang wacana politis, misalnya tentang kesadaran kebangsaan, nasionalisme atau permasalahan-permasalahan aktual pada masa itu yang memiliki keterkaitan dengan realitas sosial yang terjadi, sebagaimana yang ditulis atau menjadi ”wacana favorit” individu atau kelompok nasionalisme-sosiolisme asal Minangkabau pada masa mereka seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka dan lain-lain. Walaupun ada ulama yang menulis karya tulis dengan mengangkat isu kebangsaan dan nasionalisme tersebut, namun dalam sejarah pada masa setelah sang ulama ini meninggal, ulama ini justru dikategorikan sebagai cendekiawan-politisi, bukan ulama – atau setidaknya, politisi-nyalah yang lebih menonjol. Hampir karya tulis dari ulama-ulama produktif tersebut merupakan bentuk ”apologetik” terhadap satu kelompok ideologis-tareqat dan menghantam rasionalisasi dan argumentasi kelompok lainnya yang anti tareqat.
Wacana ideologis ini kemudian merambah ”domain” jaringan guru-murid. Seorang ulama pembela suatu tareqat, misalnya, akan meneruskan ”doktrin” dan ”semangat ideologis” ini pada murid-muridnya. Ini terlihat bagaimana murid seorang ulama anti tareqat melahirkan karya tulis seperti gurunya. Dalam konteks ini, sang murid secara ideologis menjadi representasi dan miniatur pemikiran gurunya. Dalam banyak kasus, para murid-lah yang kemudian menciptakan kondisi konflik wacana dengan para murid ”kelompok ideologis” lainnya. Pada akhirnya, para murid-murid tersebut mampu menjaga kondisi konstruktif perdebatan-perdebatan ideologis yang selama ini hanyalah terjadi diantara para guru mereka saja. Namun kondisi ini kemudian berimplikasi terhadap dinamika lahirnya karya-karya tulis dalam bentuk tulisan.
Disamping karya-karya tulis jenis ini, para ulama-ulama tersebut juga umumnya menulis ”buku pegangan Tauhid” bagi masyarakat. Mayoritas berisikan tentang keterangan-keterangan yang menyangkut perbaikan kualitas dan kuantitas ibadah dan kesadaran beragama Islam. Kemudian, disamping karya tulis dalam bentuk tulisan, para ulama-ulama ini banyak bergerak dalam bidang pendidikan. Hal ini karena mayoritas ulama-ulama tersebut menganggap bahwa perubahan masyarakat tidak bisa difasilitasi melalui dunia politik. Dunia politik pada masa ini memiliki resiko yang sangat besar. Oleh karena itu, mayoritas mereka memilih dunia edukasi dalam merespon kebutuhan masyarakat Minangkabau. Jadi tidaklah mengherankan, apabila para ulama-ulama ini memiliki icon tersendiri yaitu kalau tidak mereka memiliki sebuah institusi pendidikan tersendiri, maka mereka memiliki surau sendiri. Namun keduanya tetap memiliki kesamaan kecenderungan yaitu sama-sama menempatkan dunia edukasi atau dunia pendidikan sebagai sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan dalam rangka merubah masyarakat ke arah yang lebih baik.
Para ulama-ulama tersebut, secara umum mampu memperankan banyak fungsi mereka dalam realitas sosial. Ulama dalam penelitian ini, bukan hanya dianggap oleh masyarakat sebagai pemegang otoritas legal-kultural dalam aspek keagamaan saja, bahkan peran mereka justru melebar pada peran-peran yang lain. Bahkan ada ulama yang sekaligus menjadi seorang penghulu. Ini merefleksikan bahwa ulama-ulama Minangkabau pada zaman ulama–ulama yang diteliti ini, merupakan elit sosial yang secara sosiologis-antropologis berada dalam strata tinggi atau setidaknya kelompok sosial yang memiliki fleksibelitas dalam menjalankan peran dan fungsi mereka. Disamping itu, bisa disimpulkan, mayoritas ulama-ulama yang diteliti dalam penelitian ini memiliki ”daya tanggap” dan responsibility yang tinggi terhadap lingkungan mereka. Bahkan beberapa ulama turut serta dalam menentang penjajahan dan diskriminasi politik yang terjadi ketika mereka hidup. Walaupun ada sebahagian kecil yang memiliki ”daya tanggap” untuk kelompok ideologisnya sendiri, namun dapat dipastikan bahwa ulama-ulama tersebut bukanlah orang-orang yang hanya bersembunyi di ”menara gading”.Walaupun penelitian ini lebih dominan memakain pendekatan sejarah, dan hal ini memiliki kesan seolah-olah penelitian ini sering ”dirambah” oleh para peneliti dalam berbagai bentuk perspektif ataupun tema-topikal. Namun bukan berarti penelitian ini tidak layak lagi pada masa-masa yang akan datang untuk diteliti lagi. Dalam perspektif epistimologi ilmu, justru ”jalan yang sering dilaluilah” merupakan jalan yang paling baik. Jalan itu akan padat, kuat, bersih dan orang-orang akan selalu melihatnya. Bahkan secara ekonomis, jalan tersebut justru memberikan kontribusi ekonomis pada orang-orang yang berada disekelilingnya.Maka, dalam konteks filosofis tersebut diataslah, diharapkan pada masa-masa yang akan datang, ada penelitian yang lebih detail-komprehensif dan kolektif yang bisa dilihat dari perspektif yang lain. Bila perlu, ada penelitian yang memakai perspektif atau format topikal seperti penelitian ini, dalam upaya mencari ”sisi-sisi terang” riwayat hidup seorang ulama yang selama ini ”gelap” atau tidak terungkapkan dalam penelitian ini. Maka, penelitian ini setidaknya memberikan kontribusi epistimologis bagi penelitian selanjutnya. Selanjutnya, diharapkan pada pihak-pihak yang memiliki ikatan emosional dengan ulama-ulama yang diangkatkan dalam penelitian ini, supaya memiliki kepedulian historis menjaga dan ”merawat” peninggalan-peninggalan baik yang bersifat abstrak maupun konkrit-material. Namun semua ini tidak akan memiliki arti penting apabila usaha –usaha tersebut tidak didukung secara ikhlas dan total oleh pihak pemerintah.
(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar