Selasa, 08 Februari 2011

Peran Politik Ulama Tarekat Syattariyah Minangkabau

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam kasus Minangkabau, peran politik yang dimainkan oleh Tuanku Ismail Koto Tuo, anak Tuanku Aluma, seorang syekh Syathariyyah yang dikenal luas di Sumatera Barat) melalui organisasi Jamaah Syathariyah adalah bentuk konkrit peran politik ulama tarekat yang aktif sekali. Beliau di Koto Tuo ini selain duduk sebagai Ketua Umum Jamaah Syathariyah selama 20 tahun, ia berhasil menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Sumatera Barat utusan Golongan Karya selama 3 (tiga ) priode. Melalui kapasitasnya sebagai Ketua Jamaah Syahariyah dan kualitasnya sebagai khalifah tarekat Syathariyah dari ayahnya ia mampu memberikan suara berarti bagi Golongan Karya pada daerah-daerah kantong Syathariyah. Hal yang sama juga terjadi pada daerah tingkat II yang memiliki jamaah Syathariyah banyak. Golongan karya memberikan ruang yag secukupnya kepada ulama tarekat untuk duduk di kursi DPRD II atau paling tidak ulama-ulama dikunjungi oleh pejabat pemerintah dan diberi bantuan baik pribadi ulama itu atau suraunya. Upaya pejabat dan pengurus Golongan Karya menguasai jamaah tarekat ini ternyata efektif sekali untuk meningkatkan perolehan suaranya setiap kali Pemilihan Umum.

Perkembangan tarekat Syathariyah terus menjadi lebih kuat, ketika pemimpin tarekat Syathariyah meluaskan gerakkanya kepada gerakan sosial dan politik. Berdirinya organisasi Jamaah Syathariyah pada tahun 1970 dapat dikatakan sebagai momentum kebangkitan kaum Syathariyah di Minangkabau. Keberadaan organisasi Jamaah Syathaiyah adalah bahagian penting dari dinamika dan pergumulan kaum tarekat dalam sejarah pasang surut tarekat Syathariyah. Melembaganya kaum tarekat di masa orde baru, khususnya Jamaah Syathariyah, memiliki kaitan erat dengan upaya intensif mesin politik orde baru, Golongan Karya, untuk memperoleh dukungan dari jamaah tarekat. Karena, memang realitas sosial keagamaan yang cukup besar ketika itu adalah jamaah Syathariyah. Di sisi lain Golang Karya sangat membutuhkan potensi suara yang terdapat dilingkungan pengkut tarekat. Asumsi yang sering dipakai adalah apabila satu organisasi politik mendapat dukungan dan restu dari pemuka tarekat–di Minangkabau dipanggil dengan sebutan Tuanku–hampir dapat dipastikan para pengikutnya langkah guru (Tuanku) tersebut.


Beralihnya pergerakan kelompok tarekat Syathariyah di Minangkabau dari murni keagamaan, kepada gerakan sosial politik adalah bahagian dari arus balik pemahaman ajaran Syathariyah yang cendrung fatalistik. Misalnya saja ketika ada ungkapan dalam tarekat "bahwa hamba dimuka Tuhan, bagaikan mayat dihadapan orang yang memandikannya". Manusia dikatakan tidak memiliki daya bila berhadapan dengan kekuasaan Tuhan. Ada juga menyebut bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih dan mewujudkan perbuatan atau tindakkannya. Pengaruh ajaran zuhd ( yang sering diartikan sebagai membenci dan meninggalkan kehidupan duniawi) adalah paham yang sering juga memarginalkan kaum Syathariyah dalam dinamika masyarakat. Kecanggungan penganut Syathariyah berhadapan dengan alam moderen yang dihembus oleh pemerintah orde baru, dengan program pembangunannya, telah dengan nyata menimbulkan perubahan berarti dilingkungan pengikut dan pemimpin tarekat. Masalahnya disini, bukanlah semata-mata berkenaan dengan aspek doktrinal teoritis, akan tetapi ia terkait dengan pola pemahaman terhadap doktri tersebut dalam realitas kehidupan. Jejak sejarah dinamika tarekat Syathariyah di Minangkabau memiliki pasang surut sejarah.


Perkembangan politik nasional di masa orde baru (1968-1999) yang dimotori oleh Golongan Karya dijadikan pilihan tempat bernaung untuk memantapkan keberadaan tarekat ini. Ketika Pemilihan Umum pertama di masa Orde Baru, tahun 1971, dengan 10 partai politik, pemuka tarekat Syathariyah menetapkan pilihannya pada Golongan Karya. Golongan Karya sebagai partai pemerintah sangat berkepentingan dengan ulama dan pemuka tarekat. Kerena, memang pengaruh ulama dan pemimpin tarekat dapat diandalkan dalam mengumpulkan suara. Buah catur politik yang dimainkan Golangan Karya dapat diterima oleh pimpinan dan penganut tarekat Syathariyah di Minangkabau dengan disetujuinya pelembagaan tarekat Syathariyah pada satu organisasi. Jamaah Syathariyah disepakati sebagai satu-satunya wadah pengamal,penganut dan semua jamaah Syatahriyah.
Oganisasi kaum tarekat yang dinamakan dengan Jamaah Syathariyah ini kemudian berkembang luas. Sejak didirikan tahun 1970 sampai sekarang Jamaah Syathariyah sudah berdiri di beberapa daerah. Tahun 1976 Jamaah Syathariyah sudah berdii di Propinsi Riau. Tahun 1980-an Jamaah Syathariyah mensoponsori berdiri Ikatan Pemuda Syafi'iyah Syathariyah( 1986), Kesatuan Santri Syafi'iyah Syathariyah (1988). Tahun 1994 berdiri pula Ikatan Mahasiswa Syafi'iyah Syathariyah. Yurisman, dalam Gerakan dakwah Jamaah Syathariyah di Sumatera Barat 1970-1995, Tesis PPS IAIN IB Tahun 1999, menuliskan bahwa sejak akhir tahun 1995, jamaah Syathariyah mengembangkan struktur organisasinya ke tingkat kecamatan dan tingkat nasional. Tahun 1995 Jamaah Syathariyah berdri di Propinsi Riau. Tahun 1997 Jamaah Syathariyah diresmikankan Dewan Pimpinan Wilayah Propinsi Sumatera Utara.


Gerakan tasawuf yang muncul dalam bentuk tarekat, dalam perjalanan sejarah tidak saja mencerahkan dan menguatkan mental ruhaniyah ummat Islam, akan tetapi juga terlibat aktf dalam gerakan sosial politik. Tumbuh dan berkembang organisasi Jamaah Syathariyah, sebawai wadah berhimpun pengikut dan pengamal terkat Syathariyah di Minangkabau adalah bukti kuatnya pengaruh sosial politik dilingkungan kaum tarekat. Beralihnya gerakan kaum tarekat dari keagamaan kepada gerakan sosial politik membawa dampak positif dan negatif. Positifnya menjadikan mobilitas vertikal kaum tarekat semangkin kuat. Misalnya duduknya Syekh tarekat sebagai anggota legislatif (DPRD II dan DPRD I) di daerah. Negatifnya, kaum tarekat menjadi kelompok yang "pemain politik" yang bukan tidak mungkin dalam bertindak tidak lagi mengikuti spirit moral ajaran tasawuf dan tarekat.

Referensi : Duski Samad (2006)

Kitab Nahu Syekh Paseban : Tradisi Intelektual Ulama Minangkabau

Diedit ulang : Muhammad Ilham
(c) Ahmad Taufik Hidayat


Pengembaraan para Ulama dalam menuntut Ilmu dan mengajarkan kitab-kitab yang dibawa ketika kembali, kemudian menjabarkannya dalam ranah lokal adalah bentuk-bentuk transmisi keagamaan yang mampu memproduksi keulamaan dengan standar keilmuan yang diakui oleh masyarakat dalam skala luas. Pendapat Abdurrahman Wahid ketka menyorot kebangkrutan sistem surau di Minangkabau yang dulu pernah mencetak Ulama, hemat penulis berangkat dari melemahnya tradisi keilmuan dari sisi tidak adanya bahan-bahan bacaan yang dikembangkan di Surau seperti pada masa lalu. Budaya kreatif dalam menyalin dan memproduksi manuskrip, untuk kemudian dijadikan sumber gagasan dalam melakukan penafsiran terhadap ajaran-ajaran keagamaan yang aplikatif dalam skala lokal setidaknya menjelaskan bagaimana Ulama tradisi membangun perangkat ideologi guna melahirkan secara terus menerus tradisi keilmuan, yang tentunya berujung pada lahirnya Ulama-Ulama berkelas, dengan penguasaan materi-materi yang relatif baik. Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa kelompok Islam tradisional sulit menerima perubahan, seperti digagas Nasr, jelas keliru, karena upaya memproduksi Ulama dapat dibaca sebagai salah satu cara untuk menjawab kegelisahan masyarakat terhadap perubahan sosial dalam waktu tertentu. Sumber-sumber normatif yang berbentuk manuskrip pun sesungguhnya muncul dalam kerangka yang ‘hidup’ dalam pengertian selalu berinteraksi dengan zamannya. Dari kacamata ini, sesungguhnya Ulama tradisi telah mewariskan iklim keilmuan yang kritis, dialogis dan senantiasa berkembang ke arah yang disebut oleh M. Bambang Pranowo ‘sesuatu yang akan menjadi’ (state of becoming) dan bukan ‘sesuatu yang sudah jadi’ (state of being).

Dengan kerangka semacam itu, manuskrip menjadi acuan normatif bagi Ulama tradisional dalam melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Beragam praktek keyakinan yang dijalankan oleh Ulama tradisional melalui acuan tersebut telah membentuk kerangka pergaulan yang dinamis antara Ulama dan masyarakat. Seperti tergambar dalam teks-teks yang ditulis oleh Imam Maulana, peran-peran sosial yang dimainkan Syekh Paseban dalam pergaulan lokal tidak dapat dinilai kecil, berkenaan dengan konflik dan perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Di sini praktek tasauf yang dikembangkan oleh Syekh Paseban melalui organisasi tarekat Syattariyah pada dasarnya telah berhasil membentuk konstruksi sosial yang kuat dibawah kepemimpinan Syekh.
Pada sisi lain, tasauf yang berkembang di Surau Paseban berfungsi untuk mengawal moralitas masyarakat dalam kehidupan praktis. Tasauf dengan dimensi mistik yang dibawa tidak pernah dibicarakan dalam ranah peribadatan umum, tetapi lebih kepada memberi solusi bagi hajat kehidupan praktis, seperti terapi-terapi pengobatan, resep-resep untuk masalah kehidupan sehari-hari seperti pertanian, membangun rumah, persoalan anak dan lain-lain yang merupakan pembauran tradisi lokal dengan ajaran-ajaran tasauf dari dimensi ini. Sementara pada tataran keilmuan, praktek-praktek keyakinan berupa amalan dan ritual keagamaan, seperti bacaan-bacaan tertentu, ziarah, tawasul serta amalan-amalan khas Islam tradisional dijalankan dalam rangka mempertahankan tradisi dan penghormatan terhadap para Ulama terdahulu, dengan menggunakan acuan-acuan normatif di dalam manuskrip keagamaan. Adapun praktek keyakinan yang berkembang di kalangan masyarakat dan ditengarai sebagai syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul adalah bentuk dari apresiasi masyarakat terhadap keberislaman yang kompleks yang tidak dapat diparalelkan dengan ajaran keislaman di Surau. terbukti, bahwa Ulama tradisi sendiri pada dasarnya ingin menghapuskan praktek menyimpang di tengah masyarakat. Oleh karena itu pembicaraan terhadap ideologi Islam tradisional sendiri tidak pernah sepenuhnya bisa difahami dengan dalam kerangka yang umum.



Adanya tuduhan-tuduhan yang telah dipelihara sejak dahulu oleh kelompok Islam modernis terhadap kalangan Islam tradisi sesungguhnya perlu ditelaah ulang, karena sejauh yang berhasil ditelusuri dalam penelitian ini, penerus Syekh Paseban pada dasarnya tidak mentolerir aspek-aspek kemusyrikan baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan beragama. Lembaga pendidikan yang didirikan oleh Syekh Paseban pada dasarnya dimaksudkan untuk meluruskan akidah umat dari prilaku-prilaku yang menyimpang. Dengan adanya upaya menyuarakan kembali ideologi tradisional di lingkungan komunitas Surau Paseban, merupakan momentum penting dalam rangka merajut kembali dialog antara kelompok tradisional dan kelompok modernis dalam wadah ukhuwah Islamiyah yang pernah diberlangsungkan pada masa lalu di Surau-Surau di Minangkabau. Sehingga dengan demikian semangat intelektualisme dalam Islam tetap terpelihara meskipun kesatuan ideologi dalam bermazhab tidak akan pernah dapat terwujud.







Rabu, 02 Februari 2011

Jejak Historis Kepemimpinan Paderi di Minangkabau (Ringkasan Penelitian)

Oleh : Muhammad Ilham & Rusydi Ramli

Di daerah Luhak Agam yang mayoritas menganut sistem adat Bodi Caniago tersebut, keberadaan Urang Ampek Jinih dan Jiniah Nan Ampek tetap ada, tapi sebutan atau jabatannya agak berbeda dengan panggilan dalam sistem adat Koto Piliang. Sesuai dengan mamang adat ”adat salingka nagari” masing-masing nagari tampaknya sepakat menggunakan istilah Urang Ampek Jinih tapi berbeda dalam susunan dan sebutan perangkat, misalnya pada nagari Kamang (baik daerah Kamang Mudiak maupun Kamang Hilia, dan diasumsikan juga sama untuk daerah sekitarnya) Urang Ampek Jinih itu adalah Penghulu, Tuanku, Manti dan Dubalang. Sedangkan pada Nagari Candung Koto Laweh, tidak mengenal istilah Manti dan Dubalang, tapi perangkat penghulu adalah Juaro dan Urang Mudo. Sedang Jiniah Nan Ampek adalah Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal. Kepemimpinan agama yang secara melembaga (instututionalized) terlihat pada Jiniah Nan Ampek. Pertanyaan penelitian tentang fungsi kepemimpinan agama sebagaimana yang dibentuk oleh Paderi apakah masih berfungsi sebagai mana pada masa Padri dan bagaimana eksistensinya, masih terlihat di daerah-daerah seperti Candung Koto Laweh dan Kamang (walaupun dalam prakteknya ada perbedaan-perbedaan, tapi secara substantif pengaruh Paderi tersebut masih terlihat). Dari beberapa daerah yang dijadikan objek penelitian, terdapat daerah yang memiliki konsistensi historis terhadap sistem kepemimpinan yang dibentuk oleh kaum Paderi, ada beberapa daerah yang ”berimprovisasi” dan beradaptasi dengan perkembangan waktu, namun secra substantif tentang memakai semangat dan nilai-nilai atau sistem kepemimpinan yang diterapkan kaum Paderi tersebut.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Dobbin, kaum Paderi pada setiap desa yang didudukinya mewajibkan mengangkat seorang Qadhi yang berfungsi berdampingan dengan Dewan Desa (Penghulu). Kontribusinya tidak begitu signifikan dalam bidang permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan, apalagi dalam bidang politik. Kontribusinya akan signifikan ketika berhubungan dengan sosial keagamaan seperti upacara-upacara keagamaan (seperti ritual-ritual life cyrcle) maka dia-lah yang menjadi hakim agungnnya. Nagari juga wajib mengangkat seorang imam yang bertugas menguraikan secara rinci ayat-ayat al-Quran dan melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Kaum Paderi, menerapkan sistem kepemimpinan a-la mereka dengan menempatkan Qadhi dan Imam dalam posisi yang setara dengan penghulu secara intens dan telah menjadi pilot project pada masa itu yaitu daerah Kamang dan Ampek Angkek, dua daerah yang termasuk basis paling utama gerakan Paderi. Di nagari Kamang Mudiak, Qadhi dan Imam (Jinih Nan Ampek) difungsikan pada mesjid-mesjid yang disebut kemudian disebut sidang. Qadhi sebagi ketua (pimpinan) dari Jiniah Nan Ampek (Imam, Khatib dan Bilal) yang bertindak sebagai hakim dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut agama (Islam). Sebelum ada Petugas Pencatat Nikah yang ditinjuk oleh negara (baca: Pemerintah) yang biasa dikenal dengan P3NTR (sekarang Penghulu) maka Qadhi-lah yang melaksanakankan akad nikah. Bahkan Qadhi bisa bertindak sebagai Wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. Di daerah ini, Qadhi dan perangkatnya hanya berada pada tingkat sidang (masjid) atau jorong, tidak pada tingkat nagari. Sistem rekruitmen Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal sidang/masjid melalaui proses pemilihan dan diangkat oleh masyarakat dari yang biasanya diambil dari Jinih Nan Ampek pada suku-suku. Karena pada setiap suku ada jabatan Jinih Nan Ampek yang melekat pada Urang Ampek Jinih.

Menurut Hamka, apabila penghulu-nya bergelar Datuk Marajo, maka Qadhinya bergelar Qadhi (Kali) Marajo dan Imam Marajo dan seterusnya. Di daerah Magek, Kamang Hilia dan Kamang Mudiak, Angku atau Tuanku Qadi dan perangkatnya yang bertugas pada sidang (masjid) dipilih oleh masyarakat dengan memperhatikan illmu keagamaan sesuai bidangnya dan ketokohannya pada masyarakat. Kapabilitas dan kualitas menjadi seorang Qadhi begitu ”ideal” sekali, maka tidaklah mengherankan apabila pada masa-masa sebelum rezim Orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tersebut bahkan juga terlihat secara nyata pada masa akhir penjajahan Belanda, peranan Angku Kali (Qadhi) sangat kuat sekali dan disegani oleh masyarakat. Seorang Qadhi dipilih memang karena ia layak dianggap masyarakat sebagai Qadhi, baik dari segi ilmu maupun moralitasnya. Penilaian masyarakatlah yang menjadi patokan paling utama, bukan penilaian pemerintah ataupun struktur-jentera adat yang ada. Seorang Qadhi diangkat karena memang masyarakat menganggap beliau layak dalam pandangan dan pemahaman masyarakat, untuk menjadi Qadhi. Hal ini ditambah dengan keluasan wilayah ”peran”nya. Sebuah peran yang dianggap urgen oleh masyarakat. Sekarang peran ini agak berkurang disebabkan adanya Petugas pencatat Nikah dari pemerintah. Dalam perspektif teori Struktural Fungsional pada Bab sebelumnya terlihat secara gamblang bahwa menghilangkan apresiasi masyarakat atau apresiasi komunitas sosial dimana ia berkiprah bisa dilakukan dengan jalan mendisfungsikan perannya atau terjadinya perubahan suatu struktur sehingga mempengaruhi struktur yang lain. Peran dan fungsi Qadhi yang begitu signifikan dan apresiasi masyarakat yang sangat tinggi membuat Qadhi bisa memerankan fungsinya sebagai salah satu jentera Urang Ampek Jinih secara maksimal. Suaranya didengar, pendapatnya dipertimbangkan. Pribadinya dihormati, posisinya dianggap sebagai sebuah posisi yang hanya bisa diperoleh oleh orang-orang yang memiliki kualitas keilmuan dan kualitas moral tinggi.

Dalam pembagian tugas, Penghulu menyelasaiakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan adat sedangkan Qadhi dan perangkatnya bertugas dalam masalah agama. Ada job description yang jelas, adat adalah domain penghulu, sementara agama adalah domain Qadhi. Sebagai contoh kalau terjadi sumbang salah dalam nagari, maka yang memiliki kapabilitas dalam menyelesaikannya adalah Qadhi dan perangkatnya yang diawali dari suku. Artinya, terdapat ”alur-birokrasi” penyelesaian kasus. Berawal dari internal suku. Sekiranya Jinih Nan Ampek tidak bisa menyelesaikannya baru, dibawah pada Ninik Mamak pada tingkat Taboh dan kemudian baru pada tingkat Nagari. Menurut Dt. Mareko biasanya masalah ini hanya sampai pada tingkat Jinih Nan Ampek. Biasanya penyelesaian permasalahan sumbang salahsidang tersebut juga melibatkan penghulu kaum/suku atau Taboh. Karena melibatkan penghulu kaum tersebut, maka di daerah Kamang Magek tersebut, boleh dikatakan jarang sekali kasus-kasus sumbang salah sampai kepada nagari. Masjid sebagai simbol syarat bernagari (Babalai bamusajid, balanbuah batapian) yang sekaligus sebagai sentra kegiatan agama berada dibawah penguasaan Qadhi dan perangkatnya. Sekalipun pada masa pemerintahan desa terbentuk adanya penguus Masjid tapi Qadhi yang termasuk dalam kepantian masjid tetap sebagai pengendali dari kegiatan masjid, seangkan pengurus lebih mengaah pada pembangunan phisik . Sebagaimana peneliti saksikan dalam sidang perkara antar kaum dalam sebuah suku di jorong Pauh nagari Kamang Mudiak, dimana terpilih Amiruddin Dt Mareko sebagai Qadhi. Beliaulah yang menyumpah kedua belah kaum yang bertikai mengenai harta dengan meletakkan keris di atas Cerano yang diserahkan oleh kaum yang akan disidangkan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka (kedua belah pihak) siap untuk disumpah yang dilakukan penyumpahannya oleh Qadhi menurut agama dan adat dihadapan sidang. Antara lain sebagai sangsi bila berbohong dan melanggar sumapah dikatakan ”Ka ateh indak bapucuk, kabawah indak bauerek, ditangah-tangah diliriak kumbang”. Setelah sang Qadhi menyelesaikan tugasnya (yang sangat tergantung pada materi rapat) maka posisi Qadhi lepas dengan sendirinya, dan kembali lagi kepada posisi Penghulu. Qadhi sidang ini ada pada setiap sidang terutama pada sidang perkara persengketaan, baik pada tingkat suku, Toboh maupun pada tingkat Nagari. Menurut Amruddin Dt. Mareko, biasanya yang terpilih menjadi Angku Kali (Qadhi) pada sidang penghulu adalah penghulu yang dianggap mempunyai ilmu agama, mempunyai latar belakang pendidikan agama dan dianggap lebih paham tentang hukum syarak.

Dalam konteks ini, bisa dipahami bahwa secara substantif, Jabatan Kali/Qadhi yang bersifat insedentil ini merupakan kelanjutan (continuity) dari ide Paderi yang mengangkat Imam dan Qadhi pada setiap nagari yang kemudian disebut dengan Imam dan Qadhi nagari. Pada masa ini tidak ada lagi jabatan Imam dan Qadhi Nagari yang ada adalah Qadhi dan Imam pada sidang (masjid), disamping jabatan yang eksklusif-gemmeinschaaft dalam jabatan penghulu dalam suku. Secara tradisional Penghulu berfungsi sebagai pimpinan kaumnya dan sekaligus pimpinan pemerintahan dari nagari (Dewan Kerapatan Adat). Pada awal gerakannya, Paderi berusaha untuk menggantikan kepemimpinan penghulu dengan kepemimpinan agama terutama pada daerah-daerah basis perjuangannya. Kemudian struktur kepemimpinan tersebut mengalami perubahan, yakni masa Paderi periode ke-dua, masa Belanda awal melalui Perjanjian Plakat Panjang-nya, dan kemudian dengan adanya Ordonansi 27 Septeber 1918, dilanjutkan perobahan pada awal kemerdekaan dan setelah PRRI pada akhir tahun 1960-an serta pada masa Orde baru (l976) dengan menggantikan Pemerintahan Nagari dengan Desa melalui Undang-Undang Nomr 5 tahun 1976 Tentang Pemerintahan Desa. Maka difungsikannya Qadhi yang bersifat insidental tersebut pada sidang-sidang Dewan Penghulu sebagai hasil perobahan atau dalam istilah Mochtar Naim sebagai ”metamorfosis” kultural.

Menurut Dt Singgo Gayua, sebelum PRRI jabatan Qadhi adalah sebuah jabatan yang sangat berpengaruh dalam nagari, karena yang diangkat menjadi Qadhi itu adalah orang yang betul mampuni, capable dalam bidang agama baik dari segi ilmu amupun amalannya, sejalan antara Ilmu dengan martabat. Sekalipun Angku Kali/ Qadhi tugasnya hanya pada sidang/masjid tapi dalam nagari ”katonya didanga”. Qadhi tempat membicarakan seluruh hal, tempat berkeluh kesah, tempat mencari solusi dan tempat dimana persoalan-persoalan kemasyarakatan ”bermuara”. Tapi pasca PRRI, terjadi pergeseran, reduksi atau perubahan fungsi dan peran dimana Angku Kali/Qadhi hanya berfungsi di masjid saja. Nagari Candung Koto Laweh yang masuk kawasan Ampek Angkek Candung yang menurut Keebet von Benda-Beckmen adalah nagari yang memiliki tatanan sosial politik yang luar biasa rumit. Sistem pembagian wilayah dihubungkan dengan keberadaan masjid-masjid ( sidang), bertahan sebagai kombinasi pemerintahan dengan pemuka Islam dan pemangku adat, yang apakah ia digunakan sebagai pemerintahan murni teokratis selama pemerintahan Paderi.

Berbeda dengan Kamang dimana struktur adat dan pembahagian pemangku adat lebih jelas, rigid dan tertata dengan baik. Nagari Candung disebut dengan Candung 7 (tujuh) suku 12 (dua belas) hindu. Dikatakan Candung 7 (tujuh) suku disebabkan tujuh suku inilah yang secara historis membuka untuk pertama sekali menjadi daerah pemukiman. Dari pemukiman yang terbentuk ini kemudian muncul 3 (tiga) Koto yang bergabung dengn daerah asli dengan mengadakan perobahan terhadap sistim 7 (tujuh) suku menjadi 12 (dua belas) hindu yang terdiri dari 4 (empat) hindu dari masing-masing koto. Pada awal nagari ini didirikan terdapat 60 buah gadang yang masing-masing hindu terdiri dari 5 (lima) buah gadang dan setiap buah gadang dipimpin oleh seorang penghulu. Sekarang di Candung Koto Laweh terdapat 9 (sembikan) nama suku. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa di Candung Koto Laweh terdiri dari suku (suku pusako) dan hindu. Kemudian secara hirarkis-vertikal, setelah suku dan hindu, terdapat buah gadang dan dibawah buah gadang ini dinamakan dengan kaum. Suku dibentuk sesuai dengan prinsip leluhur bersama dari garis ibu dan ia dikenal melalui nama-nama puak (Koto, Caniago, Sikumbang dan lain-lain). Hindu atau hindu adat yang dulu disebut suku adat terbentuk sesuai dengan prinsip-prinsip adat dalam pengertian susunan politis yang tidak didasarkan pada leluhur garis ibu bersama. Hindu adat dinamakan berdasarkan atau menurut kelompok suku pusako yang dominan, atau menurut jumlah komponen kelompok-kelompok suku pusako. Hindu dipimpin oleh penghulu hindu dan dibantu oleh juaro yang berfungsi sebagai manti (menteri ) yang juga dibantu oeh Urang Mudo yang mendekati fungsi Dubalang atau pembantu Manti. Buah gadang merupakan sebuah kelompok keturunan dari garis ibu, terdiri dari hanya orang-orang dari satu nenek moyang menurut garis ibu. Mereka adalah orang yang sasako, sapusako dan saharato. Buah gadang kemudian bercabang lagi kedalam sub-kelompok formal yaitu kaum. Kaum dipimpin oleh mamak kaum atau masing-masing buah gadang tersebut bisa terdiri dari satu kaum atau lebih malah ada yang mencapai 13 (tiga belas) kaum. Salah satu perbedaan antara kaum adalah pada harta yan disebut harato lah babagi. Penghulu buah gadang bisa dibantu oleh penghulu Panungkek atau penghulu pembantu.

Di Candung Koto Laweh, pimpinan agama dipegang oleh Tuanku (Urang Ampek Jinih) yang terdiri dari Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal. Tuanku berkedudukan pada Sidang. Sebagaimana dikatakan oleh Benda-Bekcman, bahwa sistem pembagian wilayah dihubungkan dengan keberadaan masjid yang disebut dengan Sidang. Terdapat 4 (empat) buah Sidang, yakni Sidang Bingkudu, Sidang Tigo Alua, Sidang Sabuah Balai dan Sidang Panji. Masing-masing Sidang mempunyai persamaan dan perbedaan. Pada prinsipnya, Sidang terdiri dari Jinih Nan Ampek + Panghulu Nan Batigo + Ninik Nan Salapan. Untuk sidang 3 (tiga) sidang diluar Sidang Bingkudu yaitu sidang Tigo Alua, sidang Sabuah Balai dan Sidang Panji, angota-anggota sidangnya termasuk Penghulu sidang, akan tetapi penghulu sidang tersebut tidak bergelar Datuk yang ditunjuk secara bersama-sama secara aklamasi. Untuk kasus, Sidang Bingkudu tidak ada penghulu Sidang. Sidang langsung dipimpin oleh Qadhi. Sidang terdiri dari beberapa Umpuak kecuali Sidang 3 Alua yang terdiri dari tiga suku. Umpuak adalah sekelompok orang yang mendiami daerah yang sama yang terdiri dari beberapa suku atau buah gadang. Umpuak dipimpin oleh Angku/ Tuanku Umpuak dan dibantu oleh niniak mamak nan salapan. Sidang terpusat pada masjid-masjid tertua. Umpuak lebh identik dengan Jorong yang merupakan bahagian terbawah dari pemerintahan nagari, karena Umpuak secara teritorial berada pada Jorong. Umpuak dipimpin oleh Tuangku Umpuak sedangkan Jorong dipimpin oleh kepala Jorong. Yang dipilih menjadi Tuanku Umpuak adalah orang yang mempunyai pengetahuan Agama dan atau terlebih dahulu diberi bekal pengatahuan agama.

Fungsi Sidang adalah pelaksana masalah agama diantaranya masalah Nikah Talak dan Rujuk serta masalah Buek (aturan yang dibuat pada umpuak atau padang) dan sidang bertindak sebagai eksekutor dari aturan tersebut. Mekanisme kerja Buek Perbuatan adalah Buek dilakukan pada Umpuk atau suku (Sidang 3 Alua). Sedangkan Perbuatan dilakukan pada Sidang (eksekutor). Aturan-aturan tersebut bukan hanya mengenai masalah agama saja, akan tetapi juga mengenai masalah kampung atau nagari (masalah sosial kemasyarakatan) seperti masalah gotong royong dan sejenisnya.

Menurut Syekh H. Amran A. Shamad, salah seorang elit agama Candung Koto Laweh, masyarakat tidak akan turun dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan kalau keputusan dan pemberitahuannya tidak melalui Sidang. Bahkan pada tingkat yang lebih birokratis, sampai saat sekarang ini, akad nikah tidak akan bisa berlangsung dalam nagari kalau bukan yang melaksanakannya Qadhi Sidang, sedangkan P3NTR hanya berfungsi sebagai pencatat atau pelaksana yang sifatnya administratif.
Perbedaan yang cukup mencolok dalam ”memerankan fungsi” Qadhi antara sidang Bingkudu dengan tiga sidang lainnya, memperlihatkan pegaruh Paderi justru lebih kentara di daerah Bingkudu ini. Secara historis, bisa diasumsikan bahwa daerah Bingkudu merupakan daerah yang lebih dahulu di”Paderi”kan dan/atau daerah Bingkudu merupakan daerah ”paling ujung” dari wilayah nagari Candung Koto Laweh, sehingga secara sosiologis memiliki daya ”proteksi kultural” yang jauh lebih kaku dan teguh dibandingkan daerah-daerah lain di Candung Koto Laweh yang secara geografis lebih dekat dengan pusat transportasi dan diasumsikan memiliki tingkat mobilitas sosial yang sangat tinggi. Mobilitas sosial yang tinggi berkorelasi dengan kecenderungan improvisasi yang tinggi pula dalam menerima perubahan-perubahan ataupun adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang datang. Menjadi ketua sidang adalah Qadhi dengan perangkatnya (Imam, Khatib dan Bilal) sbagai angota tetap, kemudian Angku nan batujuh sebagai anggota yakni Tuanku (Angku) dari tujuh Umpuak yang ada di Bigkudu. Masa jabatan Angku Umpuak ini tidak terbatas (seumur hidup) yakni selagi dipercaya oleh masyarakat. Jelas terlihat Sidang Buek Perbuatan ini terdiri dari pimpinan agama. Dalam rentang waktu keberadaan tatanan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Paderi, terlihat secara nyata, bahwa di daerah Kamang dan Candung Koto Laweh, substansi sistem pemerintahan (dengan peran Qadhi dan Imam yang cukup berperan dan berfungsi) berjalan sebagaimana dahulunya. Walaupun ada beberapa proses adaptasi dan inovasi. Sedangkan untuk daerah Candung Kota Laweh, fungsi Qadhi maupun sidang sangat signifikan sekali. Berbagai perubahan historis dengan segala kebijakan-kebijakan politis yang berpotensi besar mereduksi peran Qadhi tersebut, justru hal ini tidak terjadi terutama ada Sidang Bingkudu. Qadhi dan Sidang merupakan jentera sosial yang penting. Anggapan selama ini yang menganggap beberapa kebijakan politik pemerintah bisa mereduksi peran jentera kepemimpinan adat Minangkabau (khususnya kepemimpinan a-la Paderi yang dipersonifikasikan dengan Imam dan Qadhi), untuk kasus Candung Kota Laweh tidak berubah secara radikal. Substansi maupun prakteknya masih tetap berlaku sebagaimana yang berlaku pada masa-masa sebelumnya, terutama di daerah-daerah yang merupakan basis gerakan Paderi.