Rabu, 05 Mei 2010

Jaringan Ulama Pasaman : Sebuah Pengantar Epistimologis

Di edit oleh : Muhammad Ilham

(Penelitian ini dilakukan oleh "adik-adik" mahasiswa, tepatnya sahabat-sahabat mahasiswa saya Fakultas Ilmu Budaya - Adab IAIN Padang yang tergabung dalam Tim Inventarisasi Naskah Melayu-Islam Minangkabau yang dalam usia "muda" yang belum menyelesaikan gerbang akhir perkuliahan, namun memiliki ikhtiar akademik luar biasa. Bagi saya, dosennya, mereka adalah orang-orang tercerahkan. Semoga kedepan, mereka mampu melahirkan penelitian yang lebih komprehensif. Tapi, ikhtiar mereka, sesederhana apapun, mereka pantasdiberi apresiasi ::: beberapa bahagian, terutama catatan kaki, saya hilangkan dengan tujuan menjaga orisinalitas penelitian ini)

Berbicara mengenai Islam Minangkabau, maka kita akan menemui berbagai dinamika sosial keagamaan hingga beragam pergolakan pemikiran. Titik sentral dari berbagai dinamika tersebut, tentunya tidak akan terlepas dari peran dan posisi seorang ulama yang menjadi “sosok kharismatik” dalam suatu kawasan daerah tertentu, niscaya ulama yang menjadi panutan dan menjadi tokoh yang selalu didengar serta dipatuhi memang menjadi realitas di masa-masa keemasan surau tersebut. Ulama mempunyai peran besar dalam mentranfer keilmuan Islam kepada generasi selanjut-nya, sebagai warasatul anbiya’ (=pewaris para Nabi), selain itu ulama juga menepati posisi signifikan dalam kehidupan sosial masyarakat, ulama menjadi tauladan, tutur katanya didengar, suruhnya dikerjakan, masyarakat sangat segan dan ta’zhim akannya, itulah nominasi figur ulama yang sebenar, alim­-nya masyhur, pengajarannya tersohor dan murid-muridnya banyak, maka ulama masa lalu, sebagai mata rantai keilmuan Islam, menjadi contoh dekat masa keemasan Ulama di Minangkabau.

Dengan demikian, mengkaji ulama, apakah dari segi biografinya, jaringan keilmuannya hingga peninggalan tulisan yang pernah ditinggalkannya, sangat penting, demi untuk meneladani hingga merekontruksi jalannya agama Islam di Minangkabau, negeri emas ini. Jika Hamka mengatakan “berjalan ke depan dengan satu ketika menghadap ke belakang” dalam bukunya “Adat Minangkabau menghadapi Revolusi”, maka dalam pekerjaan agama mesti kita menjemputnya ke belakang, tidak hanya berjalan ke depan dan cuma menatap masa lalu, kita malah mesti menjemputnya ke belakang, untuk dibawa berjalan ke depan. Sebab kita tidak akan bisa menyaingi tegaknya agama di masa lalu, di mana Adat benar-benar di-sandi-kan kepada Syara’ dan Syara’ benar-benar di-sandi­-kan kepada Kitabullah, di mana surau-surau menjamur seantero Minangkabau, ulama-ulamanya yang masyhur terbilang alim pulang pergi silih berganti mengaji ke Mekkah, orang-orang siak dekat dan jauh berdatangan manjalang guru, kecuali dengan menjemput kejayaan Islam itu kembali (=meneladani dan menjadikannya cermin).

Masih menjadi buah bibir orang tua-tua bahwa dulu di mana ada ulama besar, orang-orang siak ramai berdatangan menuntut ilmu agama, tak hanya dari dekat, bahkan dari negeri yang jauh-jauh, dari daratan Malaya. Maka didirikan di sekitar surau guru itu puluhan surau-surau kecil sebagai pondok orang-orang siak. Di malam hari suasana semakin mempesona, puluhan hingga ratusan damar terpasang di tiang surau-surau tersebut, sebagai bintang-bintang yang kilau gemilau dilangit nan hitam, suara dari surau-surau itu terdengar bergemuruh; bunyi orang-orang men-daras kaji. Seperti itulah di masa lalu. Meski zaman mesti berubah, namun tidak seharusnya semua ditinggalkan buat kenangan atau diubah, yang “ilmu” mesti diteruskan kepada generasi selanjutnya, karena ulama yang sebenar-benarnya itu ialah ibarat lautan ilmu, tiadakan habis ilmu itu untuk dituntut. Maka terkenallah ulama-ulama Besar di Minangkabau, seumpama Syekh Burhanuddin Ulakan (wafat sekitar ), Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi Batu Hampar (wafat 1899), Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Mufti Syafi’iyah di Mekkah, wafat 1915) dan banyak lagi lainnya. Kalau di masa modern ini masyhur al-‘Allamah Syekh Muhammad Yasin al-Fadani al-Makki (wafat 1990), ulama besar di Mekkah, icon intelektual dunia, ahli hadist yang diakui, musnid dunya, pemegang tradisi sunni dan Syekh Tarikat Sufiyah keturunan Padang, terbilang pula sebagai pendiri perguruan Islam terkemuka “Darul Ulum” di Mekkah.

Begitu pentingnya kajian terhadap ulama masa lalu, terkait dengan pengembaraannya menuntut ilmu, aktifitas pengajaran di surau hingga warisan-warisan intelektual yang mereka tinggalkan dan yang tak ternilai harganya naskah-naskah tua, maka di sini penulis (Tim Naskah) mencoba merangkai jaringan, mata rantai keilmuan ulama-ulama Minangkabau tersebut, hingga peninggalan-peninggalan berupa naskah-naskah yang mesti dilestarikan. Maka di sini kami akan menfokuskan arah studi kepada jaringan ulama di Pasaman, daerah yang merupakan wilayah rantau bagi Minangkabau. Di samping itu wilayah ini mempunyai keunikan tersendiri, yaitu terletak antara kultur budaya Minangkabau dan kultur budaya Batak. Maka kajian terhadap jaringan ulama dan peninggalan-peninggalannya di daerah ini sangat menarik dan menantang, apalagi ulama-ulama yang pernah diam dan mengajar ilmu Agama lewat surau di daerah ini terkenal masyhurnya, koneksi intelektualnya tidak hanya pada tingkat lokal saja, tapi juga kosmopolitan, mempunyai jaringan keilmuan dengan Haramain (Mekkah dan Madinah). Dengan kenyataan ini, tak sulit bagi kita untuk menarik kesimpulan bahwa ulama-ulama di wilayah ini mempunyai kedalaman ilmu dan memiliki pengaruh luas di Minangkabau tentunya. Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa posisi daerah Pasaman yang terletak antara kultur Minangkabau dengan kultur Batak, hal tersebut sedikit banyaknya telah membawa dampak sosial masyarakat yang sangat kentara. Misalnya dalam penggunaan Bahasa, masyarakatnya kadang kala menggunakan Bahasa Minang, ada kalanya mereka berkomunikasi dengan Bahasa Mandailing. Namun bagi daerah-daerah yang sangat dekat dengan perbatasan teritorial dengan Sumatera Utara, maka akan tampak penggunaan Bahasa Mandailing yang lebih di utamakan. perpaduan unsur-unsur budaya tidak hanya sampai di situ, adapula sebahagian kecil masyarakat pedalamannya yang kurang memahami Islam dengan baik masih mengamalkan praktek-praktek singkretis yang kebanyakan diadobsi dari sisa-sisa agama pagan dulu, adapula yang diadobsi dari negeri tetangga, Sumut. Tentu hal tersebut merupakan suatu tantangan tersendiri bagi Islam.

Secara geografis, wilayah Pasaman berbatasan dengan daerah Agam. Limapuluh kota dan Sumatera Utara. Tentunya Pasaman mendapat pengaruh khusus dari daerah-daerah tersebut. Agam tercatat dalam sejarah sebagai tempat awal embrio Paderi dimulai. Limapuluh Kota tercatat sebagai jalur dagang melalui sungai-sungai ke daerah Siak, jalan masuk Islam ke Minangkabau menurut salah satu teori. Sedangkan daerah Sumatera Utara – yang berbatas dengan Pasaman- sendiri masih banyak yang masih memegang kepercayaan lama. Maka dengan mengakarnya Islam di daerah ini – Pasaman - akan menumbuhkan satu step of psycology, kondisi jiwa untuk mempertahankan Islam dari berbagai hal yang berseberangan dengan akidah, dari pengaruh wilayah-wilayah sekitar yang masih berpegang pada mistic lama. Ibaratkan kita, jika berada di wilayah yang dihuni oleh muslim belaka tanpa ditemui sikap-sikap yang bertentangan dengan akidah, tentu kondisi jiwa akan stabil, tidak bersusah payah untuk mempertahankan keyakinan. Namun jika kita berada di daerah yang dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan yang salah, bentuk singkretis, maka kita tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan akidah dari segala penyelewengan itu, rasa ghirah Islam akan terpupuk, dan hasrat hati untuk berdakwah akan bergelora. Sudah menjadi hukum kausalitas, kalau seorang selalu tegar ditimpa oleh berbagai kesukaran dalam menegakkan prinsip, maka jika satu saat dihadapkan pada hal yang sama, dia tidak akan tergoyahkan lagi, kuat seperti baja. Seperti itulah kaum muslimin di daerah Pasaman, mereka akan teguh menghadapi berbagai dinamika masyarakat dan tradisi lama yang berseberangan dengan Islam. Iman mereka akan kuat, sebab sudah terbiasa dengan hal tersebut. Sehingga masyhurlah kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol. Berpuluh-puluh tahun beliau sanggup mempertahankan Bonjol dari Belanda, memagari mesjid dari para serdadu kompeni. Ketika para tentara Belanda mengepung Tuanku Imam di Bonjol, cuma dengan satu tebasan pedang, delapan kompeni tersungkur. Dapat kita nyatakan bahwa tebasan pedang itu bukanlah sekedar kuatnya fisik beliau, tiada termakan oleh akal beliau membuat para serdadu itu tersungkur dengan satu kali tebasan. pastinya pedang beliau bergerak karena kekuatan Iman. Maka ulama-ulama yang mendiami wilayah ini –Pasaman- terkenal kuat memegang akidah, tiadakan tergoyahkan. Selain aspek sosio-kultural yang membuat mereka kuat memegang agama itu, mereka –para ulama tersebut- mempunyai kualitas intelektual yang tinggi, pandai memfahamkan agama, kuat menjalankan syari’at serta mampu mengamalkan hakikat. Pokok utama ialah “Tauhid”, maka pokok ini dikuasai betul.

Hingga beberapa dekade awal abad ke XX, Mekah merupakan tempat yang ramai dikunjungi untuk menuntut ilmu, selain untuk berhaji. Zawiyah-zawiyah termayhur banyak berdiri disekitar Mesjidil Haram, para Syekh-syekh ternama banyak yang membuka pengajian di kawasan Mesjid sendiri. Sehingga Mekah sejak dahulunya menjadi pusat ibadah dan ilmu pengetahuan, malah mungkin lebih dikenal ketimbang al-Azhar. Al-Haramain merupakan tempat berkumpulnya kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia, beberapa banyak ulama-ulama yang datang ke Mekkah buat mengajar sekaligus memperoleh barokah di kota suci tersebut. Banyak dari kalangan muslim yang mengidolakan Mekah untuk tempat menuntut ilmu, walaupun hanya beberapa waktu saja, mengambil berkah istilahnya. Adapula yang hidup menahun di sana, memenuhi dada dengan ilmu, kemudian pulang dengan membawa berbagai ijazah tanda telah diakui keulamaannya. Hingga muncul pameo ditengah-tengah masyarakat, kalau belum mengaji ke Mekah, ilmunya belum sempurna, keulamaannya belum sah. Begitulah posisi Mekah bagi kalangan penuntut ilmu dan Muslim umumnya.

Dengan mengunjungi berbagai halaqah dan Zawiyah Sufi di Mekkah saat itu, yang banyaknya menjamur seantero tanah haram, para penuntut ilmu akan dihidangkan dengan berbagai ilmu pengetahuan agama, dari berbagai Mazhab, berbagai ulama dengan bidang keilmuannya masing-masing (takhussus) dan dari berbagai penjuru dunia. Sehingga dapat dikatakan mereka –para penuntut ilmu itu- telah bersinggungan dengan Jaringan Ulama Internasional, dengan pusatnya kala itu ialah Mekkah dan Madinah. Posisi mereka setelah pulang ke kampung halamannya –Pasaman- menjadi ulama terkemuka, dan ilmu yang mereka bawa pulang, tersimpan dalam sudur, bukan sekedar ilmu yang di dapat lingkungan bawah, kalangan lokal, lebih dari itu ilmu yang mereka peroleh ialah pengetahuan agama yang kosmopolitan sebagaimana jaringan global yang mereka bentuk ketika menuntut ilmu dari berbagai Syekh terkemuka di Haramain. Di samping itu, keilmuan mereka mencapai keotentikan yang bisa diuji, lewat sanad keilmuan dari para musnid, ulama-ulama besar di Mekkah dan Madinah. Dengannya mata rantai keilmuan itu bersambung (musalsil), tiada terputus (munqathi’), sampai kepada tokoh-tokoh ulama salaf yang shaleh, hingga sampai kepada Rasulullah.

Sudah menjadi tradisi tersendiri di Minangkabau, apabila ada seorang siak yang telah alim, apatah lagi yang telah pula menimba ilmu di Mekkah dan mendapat ijazah, maka masyarakat atau kaum sukunya akan bergotongroyong membuatkan surau buatnya untuk mengajar agama. Sampai beberapa dekade awal abad ke-20 tradisi itu masih berlaku. Hingga terkemukalah Minangkabau menjadi gudang ulama, setiap kampung dan pelosok-pelosok negeri mesti berdiri sebuah surau atau lebih, dengan berdirinya surau itu sendiri maka mesti ada ulama di daerah itu. Dari surau-surau itulah jaringan keulamaan lokal selanjutnya dibentuk. Surau kala itu menjadi lembaga pendidikan Islam paling populer kala itu, bahkan sampai sekarang nampaknya para peneliti merasa kewalahan menguak sisi keilmuan surau ini, bagaimana dan seperti apa posisi surau, sehingga dari lembaga yang sering disindir sebagai sebuah perguruan kuno ini lahir tokoh-tokoh besar, bukan hanya di negerinya sendiri, bahkan kemasyhuran mereka terbilang dikalangan penuntut ilmu dari negeri yang jauh-jauh. Kita takkan lupa sosok ulama semisal Syekh Abdurrahman Batu Hampar (kakek Moh. Hatta, wafat 1899) yang terkenal ini, suraunya besar ibarat sebuah perkampungan khusus bagi orang siak yang datang dari berbagai pelosok Minangkabau, tidak sampai disana cabang keilmuan yang diajarkannya begitu berbekas dikalangan murid-muridnya, keistiqamahan mereka bisa diuji.

Periode keemasan Surau itu terjadi karena adanya sinergi antara tiga komponen pendidikan surau tersebut. Pertama, ulama yang menjadi pengajar utama; kedua, orang siak (santri) yang menuntut ilmu dan ketiga keilmuan Islam yang diajarkan. Apabila ketiga komponen itu saling berkorelasi dengan baik maka akan terciptalah suatu lingkungan pendidikan agama tradisional yang baik, sedang untuk tempat belajar (=surau) maka dia akan tercipta sendirinya ketika ketiga komponen itu saling berhubungan kuat. Maka tak akan lama mendirikan komplek surau-surau besar bergonjong yang sekian tingkatnya, bila komunitas ulama dan orang siak terbentuk. Selain itu, antara ulama dan orang siak tercipta suatu hubungan rohani yang erat, tercipta oleh ADAB yang terpasang. Maka akan sangat aib dikalangan mereka bila ada salah satu murid yang melanggar pituah guru, apatah lagi bila menyalahi guru. Sangat disayangkan bila orang-orang modern masa kini ada yang memandangkan orang-orang malin dulu itu sangat keterlaluan patuhnya kepada guru, hingga dilengketkanlah kepada mereka istilah “meng-kultus-kan guru”, sikap membabi buta kepada guru, sebuah istilah yang tidak sepatutnya dilontarkan oleh mulut orang yang bijaksana akan ilmu pengetahuan. Dan dalam agama sendiri, hormat kepada guru termasuk salah syarat utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Maka dengan adanya “Tali Rohani” antara guru dengan guru, guru dengan murid dan murid dengan murid itulah yang membentuk jaringan keilmuan yang kokoh antara satu ulama dengan ulama lainnya.

Selain itu, sisi lain keberhasilan surau di masa lalu ialah karena terciptanya kondisi belajar yang kondusif, sang ulama merasa berkewajiban mengajarkan ilmunya dan orang siak merasa berkewajiban belajar ilmu agama. Di samping terbentuk karena ADAB (kode etik ilmu pengetahuan) yang memang dipatuhi secara penuh, hal ini juga tercipta karena masing-masing komponen dari mulanya memang berniat khalis. Sang ulama hanya berniat semata-mata untuk mengajar, tanpa mengharap sepeserpun hasil jerih payahnya. Sedang orang-orang siak datang menemui sang ulama dari tempat yang jauh dengan berjalan kaki semata-mata ilmu menimba ilmu, bahkan ada yang berjalan berhari-hari hanya untuk mendengar sepatah dua patah kata dari seorang ulama yang masyhur tersohor. Walau keadaannya seperti itu, zaman kala itu kehidupan masih susah, tak ada terdengar seorang ulama yang miskin dan tak makan karena tak ada kerja selain mengajar, tak ada terdengar keluarga sang ulama (yang kebanyakannya berpoligami) berantakan karena tak ada ringgit rupiah. Yang terjadi malah sebaliknya, banyak ulama-ulama surau masa lalu yang hidupnya lebih dari berkucupan, sawah ladang menjadi, anak dan istri diperbelanjai secara penuh. Bahkan ada ulama-ulama itu yang memberi makan murid-muridnya dan memberi mereka pakaian, salah satunya yang terdapat pada surau Syekh Daud Durian Gunjo Pasaman, dimana seketika Syekh Daud (1854-1939) masih hidup beliaulah yang memberi makan dan pakaian murid-muridnya yang menetap di surau Beliau setiap hari, padahal Syekh Daud kerjanya cuma mengajar dan mengurung diri dalam kelambunya mengamalkan Naqsyabandi (Suluk) saja, tak mungkin pula hal itu dari sedekah dari orang-orang siak, tidak termakan logika. Lebih dari itu, Syekh Daud bahkan banyak mendirikan rumah gadang untuk keluarganya, sebuah pekerjaan yang butuh dana besar. Dan hampir-hampir semua surau di Minangkabau sampai pertengahan abad ke-20 memperoleh kehidupan yang mapan, makmur diistilahklan orang. Begitulah keadaannya, mereka –ulama ulama- yang dekat dengan Tuhannya.

Demikianlah ulama-ulama Minangkabau masa lalu, termasuk ulama-ulama Pasaman, yang merupakan icon jaringan ulama dari yang bersifat lokal hingga yang bersifat kosmopolitan (internasional), mereka merupakan ulama-ulama yang teguh berilmu, mempunyai sanad intelektual dari Haramain, central cosmos-nya ilmu pengetahuan Islam. Sampai mereka di kampung halamannya mereka membuka surau, dan lewat surau itulah mereka membentuk jaringan guru-murid yang kokoh. Apabila murid-murid ini telah alim pula dikemudian hari, maka hubungan guru-murid itu menjadi sebuah jaringan ulama lokal. Bahkan surau menjadi pijakan awal jaringan ulama lokal, dan selanjutnya mereka –alumni surau- berkecimpung dalam jaringan ulama kosmopolitan di Mekkah. Banyak ulama surau yang memesankan kepada muridnya untuk menyempurnakan ilmu di Mekkah, bergaul dengan ulama manca negara, membentuk koneksi intelektual internasional. Maka menelusuri jejak ulama tersebut menjadi semua kemestian, apatah lagi bagi kita –Minangkabau- yang pernah “Jaya” dengan ulamanya, jika hendak kembali menegakkan Adat basandi Syara’-Syara’ basandi Kitabullah, Babaliak ka surau. Menelusuri jejak Ulama, silsilah ilmu mereka, berati mengkaji keilmuan mereka yang luar biasa dalamnya; yang mereka tuangkan dalam naskah-naskah Tua, kearifan ulama, warisan yang mesti dijaga oleh KITA.

(c) Tim Inventarisasi Naskah FIB-Adab IAIN Padang/2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar