Sabtu, 01 Mei 2010

Syekh Khatib Muhammad Ali (1863-1936) : "Sang Ulama Apologetik"

Oleh : Muhammad Ilham

Syekh Khatib Muhammad Ali (selanjutnya disebut Syekh Khatib) dilahirkan di daerah Koto Baru Muara Labuh, Kecamatan Sungai Pagu Solok pada tahun 1863 M./1279 H. Ayahnya bernama Abdhul Muthalib dan ibunya bernama Niyan. Abdul Muthalib, ayah Syekh Khatib, dikenal sebagai seorang guru mengaji di surau dan juga dianggap sebagai seorang ulama terpandang di Muara Labuh pada masanya. Dalam bimbingan ayahnya inilah, masa-masa kecil dan remaja Syekh Khatib Muhammad Ali dibentuk menjadi manusia yang berkarakter dengan pondasi pengetahuan agama yang cukup kuat. Bimbingan pendidikan tradisional (surau) dilalui Syekh Khatib pada masa kecil hingga remaja. Pada tahun 1301 H. dalam usia 21 tahun, Syekh Khatib berangkat ke Mekkah dengan tujuan untuk menuntut ilmu dan menunaikan ibadah haji. Keberangkatannya ini, beliau ditemani oleh istrinya yang pertama yang bernama Ummi. Selama lebih kurang enam tahun, Syekh Khatib menuntut ilmu kepada ulama-ulama di Mekkah. Pada tahun 1307 H. ia kembali ke kampung halamannya, Muara Labuh.

Setelah berada di Muara Labuh selama tiga tahun, pada tahun 1310 H. untuk yang kedua kalinya, Syekh Khatib berangkat lagike Mekkah. Keberangkatannya yang kedua ini, beliau ditemani oleh istrinya yang kedua, Felem. Di Mekkah, kembali Syekh Khatib belajar tentang pengetahuan Islam kepada guru-guru besar di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi di Medinah. Beliau belajar pada ulama-ulama memiliki pengaruh dan nama besar pada mas itu diantaranya Syekh Utsman Fauzi al-Khalidi Jabal Qais, Syekh Sa'udasy Mekkah, Syekh Ahmad Ridwan Madinah dan Syekh Akhmad Khatib al-Minangkabawi. Setelah menuntut ilmu selama lima tahun, pada tahun 1315 H., Syekh Khatib (setelah keberangkatannya yang kedua ini) pulang ke Muara Labuh setelah meraih beberapa ijazah seperti Ijazah Tareqat Naqsyabandiah-Khalidiyah dari Syekh Utsman Fauzi al-Khalidi Jabal Qais, Ijazah Ilmu dari Syekh Haji Muhammad Adlani bin Haji Muhammad Thayyib. Ijazah dari Syekh Ahmad Khatib al-­Minangkabawi serta Ijazah Qira'ah Nan Tujuh dari Syekh Maulana Sa'udasy. Melihat guru-guru tempat Syekh Khatib mendalami ilmu agama serta ijazah yang diperolehnya, maka Syekh Khatib mendalami berbagai disiplin ilmu agama Islam secara intens dalam bidang ilmu tasauf, tauhid dan qira’at al-Qur’an.


Pada tahun 1905, Syekh Khatib memutuskan untuk menetap di Padang, tepatnya di daerah Parak Gadang. Di Padang ini, Syekh Khatib bertemu dengan teman-teman seperjuangannya ketika sama-sama menuntut ilmu di Mekkah diantaranya Syekh Thaib Seberang Padang dan Syekh Haji Muhammad Yatim Kampung Jawa Padang. Di daerah Parak Gadang ini pulalah kemudian Syekh Khatib mendirikan surau. Surau ini disamping sebagai tempat berdakwah dan beribadah, juga menjadi tempat edukasi, sarana pendidikan untuk mengajar para murid-murid yang berguru pada Syekh Haji Muhammad Ali. Pada tahun 1923, Syekh Khatib mendirikan sekolah. Institusi pendidikan kemudian diberinya nama Madrasah Irsyadiyah. Syekh Haji Muhammad Ali mendirikan sekolah ini setelah ia melakukan kunjungan ke Madrasah al-irsyadiyah asy-Syurkati di Jakarta. Dari hasil kunjungan ”komparatif-edukatif”, beliau kemudian terinspirasi untuk mendirikan sekolah sejenis. Selanjutnya, Syekh Khatib mengadopsi sistem pendidikan yang diberlakukan di Madrasah al-Irsyadryah asy-Syurkati seperti menggunakan sistem klasikal dimana Syekh Khatib langsung menjadi kepala madrasah tersebut.


Sekitar pertengahan abad ke XX M., tareqat Naqsyabandiah menyebar dan mendapat tempat di Minangkabau. Pada perjalanan selanjutnya, tareqat ini mendapat tantangan dari beberapa ulama Minangkabau sendiri, diantaranya Syekh Ahmad Khatib. Syekh Ahmad Khatib bersama murid-muridnya mengatakan bahwa ajaran-ajaran dan amalan-amalan yang ada dalam tareqat Naqsyabandiah banyak mengandung bid'ah dan syirik. Untuk membuktikan keseriusannya dalam menentang ajaran tareqat Naqsyabandiah ini, pada tahun 1906­1908, Syekh Ahmad Khatib menulis tiga buah buku yang berisikan tentang tantangan terhadap tareqat Naqsyabandiah. Buku ini kemudian menjadi sumber dan muara bagi semua polemik anti Naqsyabandiah setelah itu. Penolakan Syekh Ahmad Khatib terhadap tarekat Naqsyabandiah ini juga disuarakan oleh murid-muridnya seperti DR.H. Abdul Karim Amrullah, H. Abduliah Ahmad clan Syekh Muhammad Djamil Djambek bersama-sama dengan dua orang murid DR.H. Abdul Karim Amrullah yaitu Syekh Daud Rusydi dan Tuanku Syekh Abbas (Nazwar, 1983: 41). Syekh Ahmad Khatib beserta murid-muridnya ini dikenal dengan sebutan Kaum Muda. Sedangkan ulama-ulama yang mempertahankan keberadaan tarekat Naqsyabandiah, diantaranya Syekh Muhammad Sa'ad Mungka, Syekh Sulaiman ar-Rasuli Canduang, Syekh Muhammad Jamil Jaho clan Syekh Khatib Muhammad Ali dikenal dengan sebutan Kaum Tua.
Serangan-serangan dari Kaum Muda, dijawab dengan risalah­-risalah apologetik oleh Syekh Khatib Muhammad Ali dan Syekh Muhammad Sa'ad Mungka. Dalam risalah ini, mereka ingin membuktikan bahwa ritual-ritual dalam tarekat Naqsyabandiah diambil dari al-Qur'an dan Hadits. Menurut pandangan Syekh Khatib Muhammad Ali, orang pertama yang meletakkan dasar tarekat Naqsyabandiah adafah Abu Bakar ash-Shiddiq yang didapatkan nya dari Rasulullah SAW. Rasulullah sendiri memperolehnya dari malaikat Jibril langsung dari Allah SWT. Maka dari khalifah Abu Bakar ash-­Shiddiq turun kepada khalifah-khalifah yang lainnya. Dan khalifah Khalid mengambil seluruh ajaran yang ada dalam tarekat Naqsyabandiah dengan jalan itiba' (mengikuti) dan kita tidak harus mengetahui dalil-dalilnya, karena ahli tareqat Naqsyabandiah merupakan ulama-ulama kepercayaan Allah SWT. Ilmu-ilmu mereka telah memperoleh ijazah, tidak meniru-niru saja seperti mualim-mualim baru (sebutan untuk Kaum Muda) yang memperoleh ilmu pengetahuan hanya dengan membaca buku saja, demikian kata Syekh Khatib Muhammad Ali.

Sebenamya, pertentangan yang terjadi antara ulama-ulama yang menolak dan ulama-ulama yang mempertahankan ajaran tareqat Naqsyabandiah di Minangkabau berawal dari pertanyaan yang diajukan oleh Syekh Abdullah Ahmad kepada gurunya Syekh Ahmad Khatib di Mekkah. Dalam pertanyaan tersebut terdapat masalah rabithah, apakah ada syara' dalam melakukan rabithah tersebut. Rabithah menurut Syekh Khatib Muhammad Ali terbagi dua yaitu rabithah kubur dan rabithah guru. Rabithah kubur merupakan sarana untuk ingat kepada Allah SWT dan menghadirkan hati kepada­Nya serta merefleksikan ajaran bahwa tidak ada seorang manusia yang tidak mati.
Sementara itu, rabithah guru merupakan wasilah/perantara untuk sampal kepada Allah SWT dan bukan menyembah guru. Sedangkan menekurkan kepala kepada guru tidak boleh melebihi batas sujud dan ruku'. Rabithah dalam tareqat Naqsyabandiah menurut Syekh Khatib Muhammad All semata-mata dilakukan karena Allah SWT dan tidak ada unsur-unsur penyembahan kepada guru. Sedangkan rabithah guru hanya untuk menjadikan guru sebagai perantara yang tidak membekasi terhadap i'tikad yang dituju yakni Allah SWT semata-mata dan sedikitpun tidak ada i'tikad mempertuhankan guru apalagi menyembahnya. Sementara itu, rabithah kubur dilakukan agar seseorang menyadari bahwa dirinya pasti mati, dimandikan, dikafani dan dikubur. Dunia yang fana ini akan ditinggaikan. Dari sini, maka hati akan selalu ingat kepada Allah SWT dan selalu ingat pula akan mati.

Secara umum dalam berbagai risalah apologetiknya, Syekh Khatib Muhammad All mengatakan bahwa amalan tarekat Naqsyabandiah yang lazim dikerjakan sebenarnya banyak sekali tujuan yang dapat diperoleh antara lain membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dapat mewujudkan sifat ingat kepada Allah SWT dengan melalui zikir. Dari sifat ini akan timbul rasa takut kepada Allah SWT dan pada gilirannya mampu meminimalisir keinginan akan pengaruh duniawi ini. Keutamaan tarekat Naqsyabandiah menurut Syekh Khatib Muhammad Ali adalah orang yang mengamalkan ajarannya akan lembut hatinya dan cinta untuk untuk mengikuti Rasululiah dan Khalifah AI-Rasyidin demi mengharapkan keridhaan dari Allah SWT dan segala perbuatannya di dunia ini. Secara umum, dalam berbagai risalah yang bertujuan' untuk membela ajaran tarekat Naqsyabandiah, Syekh Khatib Muhammad Ali ingin menyampaikan bahwa tidak ada sama sekali tujuan negatif yang terselip dalam ajaran-ajaran tarekat Naqsyabandiah sehingga dapat menggelincirkan atau menjerumuskan ummat Islam dalam kesesatan. Apapun yang diamalkan dalam tarekat Naqsyabandiah, pada prinsipnya bersumber kepada al­-Qur'an dan Hadits.


Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas sebelumnya, Syekh Khatib Muhammad Ali belaJar pada Syekh Ahmad Khatib di Mekkah. Syekh Ahmad Khatib dikenal sebagai ulama terkemuka yang menekankan kepada murid-muridnya tanggung jawab kepada Allah SWT untuk menegakkan hukum Islam dengan berbagai cara seperti berdakwah, berpidato, menulis buku, menerbitkan majalah-majalah, brosur-brosur, serta mengajar di pusat-pusat pendidikan Islam. Pada umumnya, mayoritas ulama yang pernah belajar di Mekkah dan setelah menamatkan pendidikannya akan pulang ke kampung halamannya dan mendirikan atau membentuk sebuah pengajian yang bersifat permanen. Di Minangkabau tempat yang umum untuk melakukan hal ini biasanya adalah surau. Setelah mereka pulang ke kampung halaman mereka masing-masing, kemudian mereka akan membuka pengajian di surau mereka masing-masing.


Begitu juga halnya dengan Syekh Khatib Muhammad Ali. Sekembalinya dari menuntut ilmu di Mekkah, dia mendirikan sarana pendidikan, sebuah surau untuk mengajar dan mendidik. Surau yang didirikan oleh Syekh Khatib Muhammad Ali masih menggunakan sistem halaqah yang umum dipakai pada waktu itu. Dalam sistem halaqah ini, pelajaran yang diberikan oleh guru kepada murid-muridnya dalam bentuk duduk bersila clan membentuk garis melingkar. Sedangkan guru membaca suatu kitab dalam ilmu tertentu, kemudian menterjemahkannya dan menjelaskan maksudya serta menjawab pertanyaan dari para murid. Sistem ini belum mengenal pembagian kelas. Para pelajar juga tidak ditentukan tentang batas waktu, berapa lama dia harus belajar dalam sebuah surau. Tingkatan pelajar hanya ditentukan kepada tingkatan kitab yang dipelajarinya. Ia
pun boleh pindah ke surau lain, kapan ia kehendaki. Seleksi dan evaluasi belajar bersifat alami yaitu siapa yang rajin dan cerdas akan mendapatkan ilmu pengetahuan dengan cepat begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu dari beratus-ratus pelajar dari sebuah surau tidak akan banyak jumlah mereka yang berhasil, akan tetapi jumlah yang sedikit itu memang benar-benar dapat diandalkan.

Syekh Khatib Muhammad Ali, ketika pulang ke Minangkabau (Muara Labuh), ia pun mendirikan surau sebagai sarana tempat mendidik dan mengajar dengan memakai sistem halaqah yang pada waktu itu menjadi sistem yang mayoritas di pakai di Minangkabau. Namun dalam perkembangannya selanjutnya, walaupun Syekh Khatib Muhammad Ali dianggap sebagai seorang tradisionalis tetapi secara lahiriah ia adalah seorang moderat. Kemoderatan tersebut terlihat ketika di Parak Gadang Padang, Syekh Khatib Muhammad Ali mendirikan madrasah yang bersifat formal yaitu Madrasah al­-Irsyadiyah pada tahun 1923. Dalam prakteknya, Madrasah al ­Irsyadiyah menggunakan sistem klassikal.
Ide untuk mendirikan Madrasah al-lrsyadiyah ini berawal dari ketika ia menghadiri Kongres I Syarikat Islam (SI) di Surabaya dan studi banding ke Pulau Jawa pada tahun 1913. Salah satu yang kesan yang menarik perhatian Syekh Khatib Muhammad Ali adalah Madrasah al-Irsyadiyah Syekh asy-Syurkatib Jakarta. Ketertarikannya terhadap lembaga pendidikan ini kemudian membuatnya berkeinginan untuk mempelajari berbagai metode pendidikan lembaga tersebut. Syekh Khatib Muhammad Ali selanjutnya mempelajari sistem dan metode pengajaran di lembaga ini yang telah menggunakan sistem klassikal dengan memakai bangku, meja, papan tulis dan lain sebagainya. Disamping itu lembaga pendidikan ini juga telah mempunyai metode yang mantap dan kurikulum yang terarah dengan baik, efektif dan praktis.

Di Minangkabau pada masa ini telah mulai berkembang beberapa lembaga pendidikan formal. Lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut antara lain adalah Madrasah Adabiyah di Padang yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1909, Diniyah School yang didirikan oleh Mahmud Yunus pada tahun 1918 dan Thawalib di Padang Panjang yang didirikan oleh H. Abdul Karim Amrullah pada tahun 1912 serta madrasah-madrasah lainnya. Geliat yang dilakukan oleh Kaum Muda dalam mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di Minangkabau dan pengalaman Syekh Khatib Muhammad All ketika berkunjung ke Jawa ini sungguh memberikan inspirasi yang cukup berkesan bagi Syekh Khatib Muhammad Ali.
Keinginannya untuk merenovasi sistem pendidikan di Minangkabau semakin besar. Namun sayang, suasana politik pada waktu itu tidak mengizinkan Syekh Khatib Muhammad Ali merealisasikan keinginannya tersebut. Baru pada tahun 1923 Syekh Khatib Muhammad Ali berhasil mendirikan madrasah atau sekolah gaya modem yang diberinya nama Madrasah at-Irsyadiyah. Syekh Khatib Muhammad Ali tidak hanya memperhatikan bagaimana agar dana dan pembiayaan finansial Madrasah al­--Irsyadiyah bisa lancar. Bagi murid yang tidak mampu, maka oleh Syekh Khatib Muhammad Ali tidak dikenakan iuran. Asal mau belajar, datanglah demikian kata Syekh Khatib Muhammad Ali. Uang tidak perlu, yang penting adalah semangat dan perhatian untuk belajar. Dengan mempraktekkan sistem klassikal, di Madrasah ini Syekh Khatib Muhammad Ali memberikan dasar Bahasa Arab yang kuat pada anak didiknya, karena ia merasa dengan menguasai dasar ini, maka setiap murid akan dapat mempelajari dan menelaah ajaran Islam dari kedua sumber aslinya yaitu al-Qur'an dan Hadits serta dapat membaca buku-­buku yang menggunakan Bahasa Arab.

Pengenalan terhadap bahasa Arab tersebut dapat dilihat dari buku-buku yang digunakan oleh Syekh Khatib Muhammad Ali seperti buku karangannya yang berjudul Faraid al-'Aliyah al-Jaliyah fi Huruf il-Hilaiyah yang berisikan tentang pengenalan huruf-huruf hijaiyah serta tanda baca dalam bahasa Arab. Untuk mengembangkan pendidikan dan pengajaran Islam di tengah-tengah masyarakat, disamping mempergunakan sarana-sarana pendidikan formal dan sarana ibadah, maka timbul ide untuk membentuk organisasi yang kemudian dikenal dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). PERTI didirikan pada tanggal 5 Mei 1928 di Candung Bukittinggi. Syekh Khatib Muhammad Ali merupakan salah seorang ulama yang mempelopori berdirinya PERTI bersama-sama dengan kawan-kawan seperjuangannya (dikenal dengan Kaum Tua) pada tahun 1928.


Diantara ulama-ulama yang mempelopori berdirinya PERTI tersebut selain Syekh Khatib Muhammad Ali adalah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang (Suliki) dan lain-lain. Pada prinsipnya, ulama­-ulama dari Kaum Tua ini menyatukan diri dan membentuk organisasi seperti PERTI adalah merupakan tanggapan terhadap Kaum Muda yang mendirikan organisasi untuk menyatukan mereka yaitu Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) yang didirikan di Padang pada tahun 1920. Dalam perkembangan sejarahnya, pada tahun 1945 PERTI yang merupakan organisasi sosial keagamaan kemudian memasuki kancah perpolitikan Indonesia pra-Kemerdekaan dengan beralih menjadi partai politik. Namun sayang, ketika PERTI yang dipelopri oleh Syekh Khatib Muhammad Ali bersama rekan-rekannya dari ulama-­ulama Kaum Tua berobah menjadi Partai Politik, Syekh Khatib Muhammad Ali tidak dapat menyaksikannya karena putra Muara Labuh ini telah berpulang kerahmatullah pada tanggal 30 Juli 1936 M./10 Jumadil Awal 1355 H. dan dimakamkan di komplek masjid Istighfar Parak Gadang, sebuah masjid hasil karya dan perjuangannya.


Disamping sebagai pendidik dan ulama, Syekh Khatib Muhammad Ali juga dikenal sebagai penulis. Semasa hidupnya, Syekh Khatib Muhammad Ali telah menerbitkan tiga buah buku dan risalah utama, yaitu : Risalah Naqsyabandiah Fi Asas Ishfhitah al-Naqsyabandiah min al-Dhikr il-Khafi wal Rabithah wa/ Muraqabah wa Dafil t'tirab bi Dhalik. Risalah apologetik yang berisikan tulisan-tulisan mengenai tareqat Naqsyabandiah tentang zikir diam-diam, rabithah dan pendekatan diri kepada Allah SWT ini ditulis dalam bahasa Arab oleh Sayyid Muhammad Mahdi al-Qurdi dan diterjemahkan oleh Syekh Khatib Muhammad Ali yang kemudian diterbitkan pada tahun 1326 H. Saduran Miftah al-Ma'iyah (Kunci Serta Merta) yang merupakan karangan Abdul al-Ghani Ismail al-Nubulusi dan.diterbitkan di Padang (tanpa tahun). Miftah al-Din Lil Mubtabi (Kunci Agama Bagi Pemula). Buku yang merupakan karangan murni Syekh Khatib Muhammad All ini ditebitkan di Mesir pada tahun 1328 H.


Disamping karya tulis diatas, Syekh Khatib Muhammad All juga mengarang buku Burhanul Haq yang berisikan tentang jawaban-­jawaban seputar konflik antara kaum tua dan kaum muda mengenai masalah-masalah khilafiyah. Buku ini sangat komplit dan meref-leksikan sosok serta pemikiran Syekh Khatib Muhammad Ali sehingga menjadi bacaan yang sangat diminati (Edwar, 1981: 45-46). Hal ini tentunya membuat nama Syekh Khatib Muhammad Ali semakin harum dan diperhitungkan di Minang kabau pada masa itu dan menjadi sosok terpenting tarekat Naqsya-bandiah Minangkabau. Syekh Khatib Muhammad Ali juga mengarang beberapa buah buku ringkas diantaranya : Manaqib Syekh Haji Musthafa al-Khalidy, Masalatut Thalibin Nikahi, Miftahuddin Mubtadi', Irsyadiyah fil `Ulumin Nahwiyah, Nazam Ya'kub wa Yusuf, Risalatul Mau'iuati Tazkirati, dan Irsyadiyah fil Ushuli dan lain-lainnya. Semua buku yang dikarang oleh Syekh Khatib Muhammad Ali berjumlah lebih kurang 30 buah. Namun sayang, buku-buku clan risalah yang dikarang Syekh Khatib Muhammad Ali ini tersebar luas dalam bentuk manuskrip maupun dalam bentuk buku yang kini hampir semuanya tidak dapat ditemukan lagi.


Periode pertama Syekh Khatib ke Mekkah ini, tidak didapatkan data nama guru-guru tempat beliau mendalami ilmu agama Islam. Terlihat disini bahwa Syekh Khatib tidak memfokuskan belajar pada satu bidang saja atau belajar dengan mengikuti mainstream aliran ilmu agama pada waktu (dengan memakai parameter pro-anti tareqat). Hal ini dikarenakan Syekh Khatib belajar pada ulama-ulama tareqat dan anti-tareqat. Syekh Utsman Fauzi al-Khalidi Jabal Qais, misalnya, merupakan mahaguru tareqat Naqsyabandiah-Khalidiyah pada masa itu dan memiliki murid-murid yang banyak tersebar di berbagai wilayah dunia Melayu dan Nusantara. Sementara Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi merupakan ”otak ideologis” para ulama-ulama pembaharu Islam Minangkabau yang memposisikan pemikirannya berseberangan dengan para pembela tareqat.
Daerah ini dianggap sebagai “enclave tua” atau daerah tua secara historis di Kota Padang. Letaknya bersebelahan dengan Pondok (Kampung Cina) dan Kampung Nias.

Secara historis, keinginan Syekh Khatib untuk mendirikan sekolah (madrasah) memiliki motivasi yang sama dengan keinginan para ulama Minangkabau yang mendirikan beberapa institusi pendidikan yaitu motivasi agama dan nasionalisme.
Pendirian sekolah menimbulkan golongan baru di dalam masyarakat Sumatera Barat, yaitu "Golongan Intelektual Barat", yang merupakan orang cerdik pandai. Kebanyakan mereka bekerja pada pemerintahan Belanda dan mendapat beberapa fasilitas. Pada dasarnya mereka tidak memperoleh perlakuan yang wajar dari pemerintah Hindia Belanda. Mereka adalah aparat bagi Belanda dalam memantapkan pemerintahan dan memperkuat kedudukannya. Di antara golongan Intelektual Barat itu ada yang sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan Belanda dan hidup menurut cara orang Belanda. Sementara itu ada golongan yang tidak bersedia bekerja sama dengan Belanda dan menentang kekuasaan Belanda dan orang Barat. Tetapi sebaliknya mereka mengangungkan adat kebiasaan dan kebudayaan Timur.

Dari golongan inilah muncul tokoh pergerakan nasional Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan. Mereka tidak puas melihat sistem pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Belanda, walaupun telah diselenggarakan pendidikan untuk rakyat. Mereka mengharapkan pendidikan yang lebih sesuai dengan keadaan dan kebutuhan rakyat. Pendidikan Barat belum tentu sesuai bagi rakyat Indonesia. Apa yang datang dari Barat itu tidak selamanya selaras dengan kehidupan rakyat Sumatera Barat. Sebaiknya pendidikan yang diberikan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pendidikan yang mereka dambakan itu lebih terasa lagi kebutuhannya setelah melihat usaha yang dilakukan beberapa pemimpin di Jawa yang mendirikan sekolah swasta sebagai reaksi terhadap ketidak cocokan unsur pendidikan Barat yang dilaksanakan di Indonesia. Keinginan itu tidak mungkin tercapai kalau sekiranya bangsa Belanda masih berkuasa karena itu, cara memperoleh pendidikan yang baik harus menyingkirkan bangsa Belanda dari Indonesia. Karena pada waktu itu kekuasaan Belanda masih kuat, maka usaha pertama mereka adalah menyusun kekuatan dari orang yang sehaluan dengan tujuan terakhir kemerdekaan Indonesia. Sementara itu mereka berusaha agar rakyat Sumatera Barat mendapat pendidikan dengan sebanyak-banyaknya. Keinginan yang demikian melahirkan pendidikan Nasional yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Golongan ini memperjuangkan nasib untuk mendapat kehidupan yang layak seperti bangsa lain.


Sedangkan bila dilihat dari motivasi agama, rasionalisasinya adalah bahwa waktu itu orang Sumatera Barat yang sebahagian besar menganut agama Islam masih menjalankan praktek yang sebetulnya dilarang oleh agama Islam. Apabila keadaan yang demikian tetap dibiarkan, maka umat Islam Sumatera Barat tetap tertinggal dari perkembangan zaman. Bagi para pembaharuan perkembangan Agama Islam dengan pergerakan kemerdekaan, merupakan perpaduan yang menimbulkan semangat melaksanakan pembaharuan di bidang pendidikan Islam. Mereka melihat hasil pendidikan Barat yang diberikan pemerintah Hindia Belanda tidak begitu mendatangkan manfaat, hasil pendidikan itu telah menghilangkan moral ke-Timuran. Keadaan itu jika dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan kehidupan orang Sumatera Barat yang pada umumnya menganut agama Islam. Oleh karena itu, mereka berusaha mengimbangi dengan mengadakan pembaharuan pendidikan Islam bagi anak Sumatera Barat. Pendidikan Islam tersedia untuk semua anak, baik mereka yang tergolong berpangkat, pegawai Belanda, maupun berasal dari orang kebanyakan. Supaya dapat dengan segera memberikan pendidikan menurut cara Barat, mereka memberikan kemudahan dalam memasuki sekolah Islam tersebut seperti yang dilakukan oleh Muhammadiah.


Dengan demikian sekolah yang bercorak Islam dengan cepat dapat berkembang ke seluruh daerah Sumatera Barat sampai ke daerah yang terpencil sekalipun. ltulah sebabnya perkumpulan politik Islam yang mengasuh sekolah mendapat sambutan dari rakyat Sumatera Barat. Usaha dari tokoh pembaharu pendidikan Islam itu mendapat dukungan dan sambutan dari masyarakat Sumatera Barat, karena sudah lama mereka nantikan. Pada mulanya pemerintah Belanda tidak menaruh kecurigaan kepada usaha ini, karena kelihatannya hanya bergerak di bidang pendidikan. Kemudian setelah mereka mengikuti kegiatan politiknya, barulah langkah mereka itu dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda. Pendidikan Pergerakan nasional di Sumatera Barat dimulai dengan lembaga pendidikan Islam yang dipelopori oleh Syekh-Syekh Islam, yaitu ulama Islam yang telah membawa faham baru dari Mekah dan Mesir. Sedangkan lembaga pendidikan pergerakan nasional yang bukan bercorak Islam kemudian munculnya di Sumatera Barat. Lebih lanjut lihat Ahmad Muzakki, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar