Jumat, 14 Mei 2010

Zainuddin Labay el-Yunusi (lahir : 1890) : Sosok Ulama Pembaharu yang Unik

Oleh : Muhapril Musri
Edit : Muhammad Ilham

Keunikannya terletak pada suatu kenyataan bahwa ia tidak mempunyai pendidikan yang teratur dan sistematis, namun mampu melahirkan ide-ide cemerlang dan berhasil menata sistem pendidikan Islam ke arah yang lebih moderen serta mampu pula melahirkan generasi pendidik yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan Islam pada masa berikutnya. Sekalipun Zainuddin Labay produk pendidikan tradisional (surau), namun memiliki wawasan inovatif, dan moderen. Ide-ide pembaharuannya – terkesan – mampu melampaui zamannya. Bahkan pemikiran-pemikiran revolusionernya sering “berseberangan” dengan tradisi sosial masyarakat waktu itu. Ia merupakan sosok ulama, pembaharu dan pendidik umat yang dipandang berhasil dalam menata sistem pendidikan Islam dan menyadarkan kevakuman dinamika umat terhadap ajaran agamanya.

Zainuddin Labay el-Yunusi, lahir di sebuah “rumah gadang” (rumah adat lima ruang) yang terletak di jalan menuju Lubuk Mata Kucing Kenagarian Bukit Surungan, Padang Panjang tahun 1890 M atau bertepatan dengan tanggal 12 Rajab 1308 H. Ia lahir dari pasangan Syeikh Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafi’ah. Ayahnya Syekh Muhammad Yunus al-Khalidiyah adalah seorang ulama terkenal, dan memegang jabatan sebagai qadhi di daerah Pandai Sikat. Kakeknya bernama Imaduddin, juga seorang ulama terkenal, pemimpin aliran tarikat Naqsyabandiyah dan ahli ilmu falak (hisab) di daerahnya. Bila ditelusuri lebih jauh silsilah keturunannya dari pihak ayah, maka akan diperoleh suatu gambaran bahwa ia mempunyai hubungan pertalian darah dengan Haji Miskin salah seorang tokoh “harimau nan salapan” dalam gerakan Paderi.

Ibunya bernama Rafi’ah, juga seorang wanita yang taat beragama. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal pada sekolah tertentu, karena waktu itu jenjang pendidikan formal masih tertutup bagi anak perempuan, khususnya di Minangkabau. Akan tetapi ia bisa membaca al-Quran, membaca dan menulis huruf Arab. Ada kemungkinan ini berkat bimbingan kakaknya Kudi Urai, yang sangat menyangi dan memanjakannya. Silsilah keturunan Zainuddin Labay dari pihak ibu berasal dari nagari IV Angkat Candung Agam. Tidak diketahui secara pasti siapa kakek dan buyutnya di pihak ibu. Namun dari data yang diperoleh ternyata bahwa ibunya berasal dari keluarga yang taat beragama juga. Sebab, daerah IV Angkat Candung merupakan daerah tempat lahirnya ulama-ulama besar Minangkabau seperti, Ahmad Khatib, Syeik Sulaiman Arrasuli, dan lain-lain. Dilihat dari garis keturunannya sebagaimana diterangkan di atas, maka nampaklah bahwa Zainuddin Labay, berasal dari keturunan ulama, cendekiawan muslim, taat beragama serta pelopor gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau. Ayahnya, Syeikh Muhammad Yunus, di samping sebagai seorang qadhi di Pandai Sikat, juga tercatat sebagai penganut dan tokoh aliran tarikat Naqsyabandiyah di Minangkabau, mengikuti jejak kakeknya Syeikh Imaduddin yang juga penganut aliran tarikat Naqsyabandiyah.


Ketokohan ayahnya dalam tarikat ini, dapat dilihat dari gelar “khalidiyah” yang dipanggilkan di belakang nama Muhammad Yunus, menunjukkan bahwa dia adalah penganut tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Martin van Bruinssen, mencatat bahwa Syeikh Muhammad Yunus, merupakan salah seorang khalifah tarikat Naqsyabandiyah yang terpenting dan paling berpengaruh di daerah Koto Lawas kenagarian Batipuh.
Latar belakang keluarga, dalam perjalanan karir seorang Zainuddin Labay, sebagaimana di atas, menurut hemat penulis, sangat mempengaruhi keberhasilannya menggapai cita-cita pembaharuan. Suatu fakta yang sulit dibantah adalah pada umumnya mereka yang tampil sebagai ulama dan tokoh agama adalah mereka berasal dari keturunan ulama dan keluarga taat beragama. Beberapa orang di antaranya dapat disebut seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh Abdul Karim Amrullah, Syeikh Abdullah Ahmad, Zainuddin Labay, Rahmah el-Yunusi, dan lain-lain. Mereka berasal dari keturunan ulama dan keluarga yang taat menjalankan ajaran agama. Berangkat dari kenyataan ini dapat dikatakan, mereka yang berasal dari keturunan ulama lebih sering mendapat pengajaran berupa penanaman nilai-nilai yang harus dijadikan pedoman di dalam hidup baik ketika ia belajar agama di surau ayahnya maupun ketika mereka berada di lingkungan keluarga, ketimbang mereka yang berasal dari keluarga biasa.

Pendidikan Zainuddin Labay el-Yunusi, sama dengan yang dialami oleh kebanyakan orang Islam seusianya. Pendidikan awal yang dilaluinya tentu saja pendidikan infomal (di dalam keluarga) dan pendidikan agama yang diberikan ayahnya. Pada usia 8 (delapan) tahun, Zainuddin Labay, dimasukkan ayahnya ke sekolah pemerintah (HIS), namun ia hanya belajar sampai kelas IV. Kemudian ia keluar dari sekolah tersebut karena dalam banyak hal ia tidak setuju dengan pola pendidikan kolonial yang tidak akomodatif terhadap pendidikan agama Islam. Setidak-tidaknya, ada dua hal yang menyebabkan Zainuddin Labay keluar dari sekolah pemerintah (HIS). Pertama, di sekolah pemerintah tidak dimasukan mata pelajaran agama karena pihak pemerintah (Belanda), sehingga sekolah terkesan sekuler dan hanya untuk kepentingan duniawi semata. Kedua, bahwa tujuan dari pemerintah Belanda mendirikan sekolah bukan untuk kepentingan rakyat, akan tetapi hanya untuk kepentingan kolonial Belanda itu sendiri, yakni untuk mempersiapkan calon-calon tenaga pegawai terdidik yang akan ditempatkan dalam birokrasi lokal termasuk penyediaan personil dalam urusan tanam paksa kopi. Pengetahuan yang diberikan di sekolah-sekolah pemerintah itu nantinya juga merupakan bagian dari upaya membentuk warga negara yang “baik” dan secar berangsur-angsur mereka juga akan diperbelandakan, dalam arti mencontoh gaya hidup Eropa. Sehingga hasilnya terkesan lebih menguntungkan pihak penjajah. Untuk itu, Zainuddin Labay, memutuskan untuk tidak lagi belajar di sekolah pemerintah tersebut.
Setelah keluar dari sekolah pemerintah, Zainuddin kembali belajar dengan ayahnya memperdalam ilmu-ilmu agama. Waktu-waktu senggang dipergunakan untuk belajar mandiri dan membaca. Masa 2 (dua) tahun belajar dengan ayah tercinta dirasakannya tidak begitu lama, sebab ayahnya dipanggil Yang Mahakuasa. Akibatnya pendidikan Zainuddin terbengkalai di saat ia sedang sangat memerlukan pendidikan untuk masa depannya.

Setelah ayahnya meninggal, Zainuddin Labay sempat menjadi “parewa” (istilah yang diberikan kepada anak-anak yang tidak menentu pekerjaannya). Kerjanya sehari-hari adalah bermain layang-layang, meniup serunai yang terbuat dari batang padi, bersalung, bermain rabab, dan lain-lain sebagainya. Suatu pekerjaan yang sering dilakukan anak-anak yang tidak sekolah. Bila perut terasa lapar, segera pulang untuk makan dan kemudian pergi lagi. Kondisi seperti ini berlangsung selama dua tahun.
Keinginannya untuk belajar agama muncul kembali setelah ia mendengar ada seorang ulama yang sangat dalam ilmunya di Sungai Batang, suatu daerah yang terletak di pinggiran Danau Maninjau. Ulama itu adalah H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), yang baru saja kembali dari Makkah. Tetapi karena daerah “danau” (istilah yang masyhur waktu itu) terlalu jauh dan alat transportasi ke sana sangat sulit, ibu Zainuddin Labay, Ummi Rafi’ah, keberatan melepas anaknya “merantau” (belajar) ke daerah danau tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa alat transportasi yang digunakan pada masa itu hanya bendi. Untuk sampai ke Sungai Batang itu, orang harus ke Bukittinggi terlebih dahulu. Dari sana barulah orang naik bendi ke Sungai Batang setelah melewati “kelok 44” Maninjau. Umumnya orang berangkat ke sana pagi dan sore harinya baru sampai di Sungai Batang. Dapat dibayangkan betapa sulitnya hubungan transportasi ke daerah tersebut, ditambah lagi dengan kondisi jalan yang sangat rawan dan terjal, pada hal jarak antara Bukittinggi dan Maninjau tidak begitu jauh.

Gagal meneruskan pelajaran agama ke “danau”, tahun 1910, Zainuddin Labay, menyampaikan keinginannya untuk pergi belajar kepada salah seorang ulama moderen di Padang, yang bernama Dr. H. Abdullah Ahmad (1878-1933). Keinginan Zainuddin ini diperkenankan oleh ibunya dan ia diberi biaya sebanyak 20 gulden serta bekal hidup lainnya untuk belajar ke Padang. Tapi hanya delapan hari ia belajar dengan Abdullah Ahmad di Padang, kemudian Zainuddin kembali ke Padang Panjang. Biaya 20 gulden yang diberi oleh ibunya untuk biaya dan bekal hidupnya selama menuntut ilmu dibelikannya kepada buku-buku, majalah dan koran-koran berbahasa asing. Agar pendidikan Zainuddin tidak terbengkalai, ibunya menyarankan agar ia pergi belajar kepada Syeikh Abbas Abdullah (1883-1957, di Padang Japang Payakumbuh, seorang ulama yang sealiran dengan Syeikh Abdul Karim Amrullah dan Dr. H. Abdullah Ahmad. Anjuran ibunya diterima dan kemudian, ia pergi ke Padang Japang Payakumbuh dan belajar di surau Syeikh Abbas Abdullah, dari tahun 1911-1913.


Selama dua tahun Zainuddin belajar di Padang Japang, Syeikh Abbas Abdullah melihat bakat dan kecerdasan yang dimiliki Zainuddin melebihi kemampuan yang dimiliki oleh kawan-kawanya yang lain. Untuk itu ia diangkat menjadi guru bantu. Bahkan tidak jarang terjadi perdebatan sengit antara ia dengan gurunya tersebut dalam hal keilmuan. Karena hal-hal yang belum ia pelajari telah diajarkannya kepada murid-murid yang lain. Sekalipun demikian, Zainuddin tidak lama melanjutkan pelajarannya, karena tahun 1914, ia harus pulang ke Padang Panjang dan tidak kembali lagi ke Padang Japang. Latar belakang pendidikan yang dilalui Zainuddin Labay sebagaimana dipaparkan di atas, memang relatif pendek dan tidak sistematis. Pola pendidikannya yang tidak sistematis dan tidak teratur tersebut menurut hemat penulis, setidak-tidaknya dipengaruhi oleh sikap dan kepribadiannya yang unik namun berpotensi untuk maju. Dikatakan unik, karena dalam proses pendidikan yang dilaluinya, tidak dijalaninya menurut semestinya. Itu terlihat ketika ia belajar di sekolah gubernemen (pemerintah Belanda) hanya sampai kelas IV. Bahkan ketika ia belajar dengan Syeikh Abbas Abdullah (Padang Japang), sempat terjadi kericuhan kecil antara ia dengan gurunya karena tidak mengindahkan peraturan dan disiplin belajar. Belajar dengan Syeikh Abdullah Ahmad di Padang, hanya menghabiskan waktunya selama seminggu kemudian kembali lagi ke Padang Panjang.


Dengan latar belakang pendidikan seperti itu, didukung oleh ketajaman intelektual, keuletan serta wawasanya yang jauh ke depan, Zainuddin dapat merombak kekolotan sistem pendidikan yang sedang berkembang waktu itu. Di atas reruntuhan dan puing-puing kekolotan itu dibangunnya gagasan-gagasan pembaharuan yang kelak membawa perubahan besar di bidang pendidikan Islam. Eksistensi tiga orang guru yang berhaluan moderen, yakni Haji Rasul, Abbas Abdullah dan Abdullah Ahmad, serta peranan mereka dalam riwayat pendidikan Zainuddin Labay, tampaknya, sangat berpengaruh besar. Sebab merekalah yang paling bertanggung jawab mengajarkan dan menyebarkan pemikiran-pemikiran moderen di lembaga pendidikan di mana mereka mengajar. Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang pernah mereka timba di Timur Tengah, disebarluaskan kembali di tanah air
. Zainuddin Labay, termasuk orang yang menerima pemikiran-pemikiran moderen dari ketiga tokoh ulama pembaharu tersebut. Karena Zainuddin pernah belajar di surau mereka bahkan sempat menjadi guru bantu. Zainuddin Labay tidak pernah belajar kepada ulama-ulama tradisional kecuali kepada ayahnya. Itupun hanya sebatas pengetahuan tentang dasar-dasar agama dan waktunya pun tidak terlalu lama. Dengan demikian pengaruh pemikiran moderen lebih banyak ia terima ketimbang pemikiran-pemikiran keagamaan yang bercorak tradisional.

Kiprah Zainuddin Labay sebagai seorang tokoh modernis telah kelihatan ketika ia masih berusia muda. Dalam konteks yang lebih sederhana, cikal bakal Zainuddin sebagai seorang modernis dapat dilihat dari cara ia menyusun namanya sendiri, yakni “Zainuddin Labay el-Yunusi”. Gelar “Labay”, yang dipakai dibelakang namanya bukanlah gelar kehormatan yang diberikan oleh ninik mamak dan ulama kepadanya, akan tetapi gelar itu ia sendiri yang melekatkan kepada dirinya dan semua orang disuruh memanggil nama tersebut, hingga terkenalah nama tambahan itu dibelakang nama Zainuddin hingga akhir hayatnya bahkan sampai saat ini. Ketika menjadi guru bantu di surau Jembatan Besi, Zainuddin Labay mulai menampakkan potensi dirinya sebagai seorang pembaharu. Tidak puas dengan ilmu yang diperolehnya ketika belajar di lembaga pendidikan tradisional surau, ia mencoba mengadakan koresponden dengan tokoh-tokoh luar negeri. Buku-buku keluaran Mesir dan Timur Tengah lainnya dipesan langsung. Sehingga koleksi buku-bukunya tidak hanya terbatas kepada buku-buku terbitan dalam negeri akan tetapi juga terbitan luar negeri, terutama buku-buku tafsir, hadis, fiqh, sejarah, dan lain-lain.


Sebagai seorang yang menginginkan pembaharuan dan perubahan-perubahan di dalam masyarakat, ia sangat mengagumi tokoh-tokoh kharismatik. Salah satu tokoh yang sangat ia kagumi adalah Mustafa Kamil (1874-1908), seorang tokoh nasionalis berkebangsaan Mesir. Ia banyak membaca sejarah hidup Mustafa Kamil, bahkan dalam mengajarpun Zainuddin sering menceritakan riwayat hidup tokoh ini. Untuk lebih dekat dengan tokoh idolanya ini, dalam beberapa kesempatan, Zainuddin sering mengadakan koresponden dengan tokoh kebangsaan Mesir tersebut. Sehingga hubungan keduanya semakin erat, meskipun mereka tidak pernah bertatap muka secara langsung. Kontak antara Zainuddin Labay dengan Mustafa Kamil ternyata tidak berlangsung lama, karena tahun 1908, Musthafa Kamil meninggal dunia di saat penjajah Inggris masih bercokol di Mesir.


Kekaguman Zainuddin Labay terhadap Musthafa Kamil dan ide nasionalismenya itu, disebabkan oleh karena bangsa Mesir dan bangsa Indonesia mengalami nasib yang sama, yakni sama-sama ditindas oleh penjajah bangsa Barat. Mesir dijajah oleh Inggris dan Perancis sedangkan Indonesia dijajah oleh Belanda. Sebagai bangsa yang berberadab dan berbudaya, Mesir dan Indonesia sama-sama berkeinginan melepaskan diri dari cengkraman kaum penjajah. Sebagai manusia, mereka juga ingin maju sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia. Penjajahan mengakibatkan kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan. Untuk melepaskan diri dari keadaan tersebut, berbagai upaya harus dilakukan agar masyarakat bisa maju, cakrawala berfikir semakin luas dan terbebas dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Sebagai seorang yang memiliki pemikiran cemerlang didukung pula oleh usia yang masih muda, Zainuddin Labay, mulai menuangkan berbagai pemikirannya dalam bentuk tulisan. Kiprah Zainuddin dalam kegiatan jurnalistik ini diawali dengan menulis beberapa artikel di majalah al-Munir, pimpinan Abdullah Ahmad di Padang. Tulisan-tulisannya selalu mendapat tempat yang baik dan sambutan hangat di kalangan para pembaca. Artikel-artikel yang ditulis Zainuddin dalam majalah ini pada umumnya merupakan pencerminan dari pemikiran pembaharuannya. Ia sangat antusias membela dan mempertahankan pendapat tokoh-tokoh pembaharu yang tergolong kaum muda dari serangan para ulama tradisional (kaum tua).


Gencarnya polemik antara kaum tua dan kaum muda tentang soal-soal agama, memotivasinya untuk lebih kuat mempertahankan dan membela pendirian kaum muda yang tertuang di dalam berbagai tulisan di majalah al-Munir. Bahkan dalam kesempatan yang sama, Zainuddin Labay bersama Abdul Majid Sidi Sutan memotori terbitnya majalah al-Akhbar sebagai pembela utama pendirian al-Munir dari serangan-serangan ulama tradisional Didorong oleh semangat ingin menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan pengajaran serta ide-ide pembaharuan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat, didukung pula oleh pengalamannya dalam dunia jurnalistik. Setelah mengadakan pendekatan dengan jam’iyyah Thawalib di Padang Panjang, pada tahun 1918 (dua tahun setelah al-Munir terbakar), Zainuddin Labay dapat menerbitkan kembali majalah yang sama dengan nama al-Munir el-Manar. Sebagai pembawa misi pembaharuan dan penyebar ilmu pengetahuan dan pegajaran, al-Munir el-Manar telah dapat membuktikan bahwa ia merupakan media cetak yang dapat mengisi kevakuman berfikir umat dan menjadi jembatan untuk menuju kehidupan moderen yang disinari ilmu pengetahuan. Al-Munir el Manar juga merupakan sebagai media diskusi jarak jauh antara kaum modernis dengan masyarakat pembaca dari berbagai daerah. Sehingga persoalan-persoalan yang muncul berkaitan dengan agama dan masyarakat dapat ditelaah secara mendalam dan diberikan jawaban sesuai dengan proporsinya.
Kecintaan Zainuddin Labay terhadap ilmu pengetahuan dan pembaharuan tidak saja terbatas pada penerbitan majalah saja akan tetapi juga mendirikan sebuah taman bacaan yang dapat dijangkau oleh masyarakat, yakni “biblieothec Zainaro”. Buku-buku yang tersedia di perpustakaan ini terdiri dari bermacam-macam judul dan disiplin ilmu. Akibatnya kantor al-Munir el-Manar dan perpustakaan “Zainaro” ramai dikunjungi orang terutama para pelajar yang ingin menambah wawasan pengetahuannya. Bahkan Hamka, mengakui, bahwa pada masa remajanya, ia banyak memperoleh pelajaran dan pengalaman mengarang dari Zainuddin Labay dan melampiaskan “nafsu baca”-nya di perpustakaan “Zainaro” tersebut.

Dalam bidang agama, Zainuddin Labay, termasuk kepada barisan “kaum muda”, yang mempunyai pemikiran maju ketimbang ulama-ulama tradisonal. Kedudukan Zainuddin labay dalam barisan kaum muda ini dapat dilihat dari sikapnya yang menentang perbuatan-perbuatan bid’ah. Ketika ayahnya meninggal dunia, kepada pihak keluarga ayahnya yang datang dari Pandai Sikek dan masyarakat yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau bertakziah, ia menyampaikan sebuah pernyataan yang dianggap bertentangan dengan tradisi yang berkembang waktu itu. Ia menyampaikan kepada para petakziah bahwa di atas kuburan ayahnya tidak akan dibangun tempat untuk berziarah, yang memungkinkan orang beramal tidak sesuai dengan ajaran Islam murni. Walaupun ayahnya seorang ulama besar dan tokoh kharismatik dalam tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, tidak serta merta ia mengikuti pemahaman keagamaan ayahnya tersebut. Paham-paham moderen yang berorientasi pemurnian ajaran Islam yang dihembuskan oleh guru-gurunya lebih menyentuh jiwanya ketimbang paham tradisional yang lebih berorientasi bid’ah dan khurafat. Bila dihubungkan sampai ke atas, sikap keras tersebut merupakan warisan dari datuknya Haji Miskin, salah seorang tokoh gerakan Paderi dari Pandai Sikek.


Sisi lain dari aktivitas Zainuddin Labay sebagai seorang tokoh modernis adalah mendirikan sebuah kafetaria yang diberi nama “Buffet Merah”. Kafe ini sengaja dibuka dan dikelola sebagai sebuah unit usaha koperasi. Diharapkan dari kehadiran kafe ini sebahagian hasil usahanya dapat dimanfaatkan untuk membantu eksisnya lembaga pendidikan Islam yang saat itu tumbuh subur di Padang Panjang. Di samping itu kafe sederhana ini juga sebagai arena untuk membuka mata masyarakat terhadap berbagai perkembangan aktual di dalam dunia internasional (politik) serta masalah-masalah yang timbul di dalam masyarakat. Ini sesuai dengan ucapan yang pernah dilontarkannya bahwa “jika ingin mengaji agama secara mendalam datanglah ke Diniyah School atau ke Sumatera Thawalib, tapi jika ingin mengkaji masalah politik, di Buffet Merah kita bertemu”.


Berdirinya “Buffet Merah” sebagai sebuah unit usaha ekonomi dan tempat pemecahan masalah-masalah politik, menurut hemat penulis ada sasaran yang ingin dicapai oleh Zainuddin Labay. Setidak-tidaknya ada dua hal yang menjadi tujuan utamanya, pertama, kafe ini didirikan dengan tujuan sebagai arena untuk membuka wawasan masyarakat terhadap berbagai masalah-masalah aktual yang terjadi baik di dunia Internasional, politik maupun soal-soal kemasyarakatan lainnya. Sasaran kedua, adalah dapat membantu kelangsungan hidup sekolah-sekolah Islam yang ada di Padang Panjang terutama Diniyyah School dan Thawalib. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang baru didirikan, sekolah-sekolah Islam tersebut perlu dana untuk penunjang kegiatan belajar-mengajarnya. Untuk itu perlu dicarikan biaya melalui usaha-usaha yang halal dan terhormat.


Ketika asisten residen Tanah Datar (tuan Luhak) menawarkan bantuan (subsidi) untuk membiayai kelangsungan hidup sekolah yang baru didirikannya, secara tegas Zainuddin Labay menolak tawaran itu, karena ia melihat di balik bantuan itu ada tujuan lain yang terselip di dalam misi asisten residen tersebut yang nota bene adalah kaki tangan kolonial Belanda. Dalam bahasa yang sangat diplomatis namun tegas, Zainuddin Labay menyatakan penolakannya terhadap jasa baik tersebut “biarlah Diniah School hidup dan tumbuh bersama masyarakatnya”.
Ramainya “Buffet Merah” dikunjungi masyarakat pada dasarnya bukanlah terletak pada pokok permasalahan yang didiskusikan, akan tetapi kharisma Zainuddin Labay yang membuat orang ramai datang ke sana. Salah satu prinsip yang selalu dipakai Zainuddin Labay dalam menyebarkan ide pembaharuannya adalah mengajak orang (ke dalam Islam) secara bijaksana dan pengajaran yang baik. Kenyataan ini dapat dilihat dari cara ia mengajak orang untuk shalat. Dalam suatu kesempatan di Buffet Merah, ketika orang sedang ramai dan asyik mendengar cerita yang dibacakan Zainuddin Labay dari sebuah buku yang berjudul “Rokombole”, beduk shalat Ashar berbunyi. Zainuddin secara spontan menutup buku cerita tersebut dan menyampaikan kepada pendengar, “mari kita shalat ke masjid Jembatan Besi… dan setelah shalat cerita kita sambung lagi”. Oleh karena orang sangat simpati kepadanya, semua yang ada di kafe tersebut pergi shalat, kecuali anak-anak kecil yang tinggal untuk menjaga buffet itu.

Dilihat dari aktifitasnya sebagai tokoh modernis, nyatalah bahwa Zainuddin Labay, memang mempunyai naluri yang luar biasa. Aktifitas-aktifitas yang dilakukannya mencerminkan suatu cita-cita luhur dan agung. Di saat orang seusianya belum bisa berbuat apa-apa untuk kemajuan umat, bangsa dan agama, ia telah dapat melakukannya. Bahkan dibandingkan dengan guru-guru yang sealiran dengannya, ia terlihat lebih maju dan pemikiran moderennya melebihi pemikiran moderen guru-gurunya. Karena pemikirannya yang brilyan itu, oleh Hamka, ia disebut sebagai seorang “filosof muda”, yang terlahir ke dunia sebelum masanya. Penilaian Hamka, akan terlihat jelas lagi dari beberapa karya tulisnya di majalah al-Munir, pimpinan Abdullah Ahmad, al-Munir el-Manar, maupun karya tulisnya dalam bentuk buku dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.


Aktifitasnya dalam hal ini telah nampak ketika ia mulai menyumbangkan tulisan-tulisannya pada majalah al-Munir yang dipimpin Abdullah Ahmad di Padang. Setelah penerbitan majalah ini terhenti tahun 1916, karena musibah kebakaran, atas inisiatif sendiri tahun 1919 dapat melanjutkan kembali penerbitan majalah serupa di Padang Panjang, dengan nama al-Munir el-Manar. Di samping itu untuk bacaan masyarakat dan kepentingan pendidikan serta memenuhi kurikulum sekolah-sekolah agama khususnya Diniyah School, ia menerbitkan pula buku-buku teks dan buku-buku bacaan. Berbekal pengalaman yang sudah ada itu, perlu dilihat karya-karya tulis Zainuddin Labay yang mencakup berbagai macam tema dan disipli ilmu.


Karya-karya tulis Zainuddin Labay tersebut dapat diklasifikasikan kepada beberapa kelompok.
Karya tulis yang dimuat dalam majalah al-Munir di Padang dari tahun 1915 sampai tahun 1916 dan majalah al-Akhbar. Karya tulis yang dimuat dalam majalah al-Munir el-Manar di Padang Panjang dari tahun 1919 sampai tahun 1922. Karya tulis dalam bentuk buku-buku teks pelajaran pada Diniyah School. Buku-buku ini meliputi berbagai macam disiplin ilmu, seperti tauhid (aqidah), fiqh, bahasa Arab, akhlak, tajwid al-Qur’an, sejarah. Buku-buku tersebut mulai ditulis semenjak tahun 1915 sampai tahun 1924. Buku-buku terebut adalah Adabul Fatah, terdiri dari dua jilid. Jilid pertama ditulis tahun 1914 dan jilid yang kedua ditulis tahun 1915. Buku ini berisikan etika (tatakrama) dalam berprilaku, terutama bagi kaum wanita. Empat Serangkai, ditulis tahun 1919, terdiri dari empat jilid dengan menggunakan bahasa Arab Melayu. Buku ini secara umum berisi tentang pelajaran fiqh, tauhid dan akhlak bagi murid-murid Diniyah School kelas satu. Al-‘Aqâid al-Dîniyyah (1924), terdiri dari dua jilid berisi pelajaran-pelajaran tentang dasar-dasar tauhid dengan menggunakan bahasa Arab. Dicetak pertama kali pada tahun 1924 beberapa bulan sebelum penulisnya meninggal dunia.

Mabâdi al-Arabiyyah (1930)
, terdiri dari dua jilid dan dipakai sebagai buku pegangan bagi murid-murid Diniyyah School. Buku ini berisi pelajaran tata bahasa Arab. Mabâdi al-Awwaliyyah (t.t.), adalah karya lain yang juga memuat pelajaran tata bahasa Arab (khususnya ilmu nahw). Pelajaran fiqh secara lengkap disusun dalam sebuah karya yang diberi judul al-Durûs al-Fiqhiyyah (1937). Penulisan buku ini direncanakan sebanyak 4 jilid, namun yang terselesaikan hanya 3 jilid saja. Di samping itu untuk memenuhi kebutuhan akan materi pelajaran membaca al-Qur’an, disusun pula buku Irsyâd al-Murîd ilâ ‘Ilm al-Tajwîd (1951). Buku yang berjudul Apa Benarkah Tuahnya Bermenantu, dimaksudkan untuk memotivasi para orang tua agar memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk menyelesaikan pendidikannya sebelum ia terburu-buru dikawinkan. Dengan demikian buku ini merupakan motivasi bagi orang tua agar tidak cepat-cepat mengawinkan anaknya. Di bawah bimbingan Zainuddin Labay, murid-murid Diniyah School juga menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Tunas Diniyah (1922) sebagai ajang kreasi bagi murid-murid untuk menuangkan pemikiran mereka.


Pada dasarnya keberhasilan Zainuddin Labay mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam moderen sangat erat kaitannya dengan pengalamannya semenjak ia mulai menjadi guru bantu di surau Syeikh Abbas Abdullah, di Padang Japang dan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, merupakan modal dasar baginya untuk memulai sebuah gagasan baru dalam dunia pendidikan dan pengajaran agama Islam. Sebagai seorang yang berpikiran moderen dan maju, di samping berkarya melalui media pers, ia sangat berkeinginan mewujudkan cita-citanya untuk merubah sistem pendidikan Islam. Kondisi pendidikan umat Islam jauh tertinggal dibanding dengan pendidikan pemerintah Belanda.
Ia menginginkan perubahan sistem pendidikan Islam yang selama ini diselenggarakan dengan cara tradisional dan sudah ketinggalan zaman. Duduk di lantai melingkar diganti dengan meja dan kursi; guru dan murid sama-sama duduk di kursi. Guru hendaknya berada di depan murid-murid, jangan berkeliling sambil bersandar di tiang masjid. Media belajar sebaiknya digunakan papan tulis dan kapur tulis dan harus ada rencana pelajaran yang teratur. Pakaian sekolah murid-murid harus diatur sedemikian rupa dan mereka tidak boleh berpakaian seenaknya. Untuk menentukan kehadiran murid-murid, harus ada absen dan jika suatu ketika seorang murid tidak bisa hadir di sekolah harus ada surat keterangan (sakit, izin dan lain-lainnya). Untuk menilai kemampuan murid-murid menyerap pelajaran yang diberikan, harus ada evaluasi akhir dan setiap akhir tahun harus ada kenaikan tingkat (kelas). Cita-cita itu menjadi spirit di dalam jiwanya dan pada setiap kesempatan mengajar di surau Jembatan Besi, ia selalu mengemukakan keinginannya itu kepada murid-muridnya. Ia melihat di mana-mana belum ada sekolah agama seperti apa yang ia cita-citakan itu. Pola dan sistem pengajaran di surau dirasakan tidak berkembang. Setelah cita-cita besar ini dirasakan sudah mantap dan telah mendapat dukungan dari sebahagian murid-murid surau Jembatan Besi, maka pada tanggal 10 Oktober 1915, Zainuddin Labay mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam baru yang diberi nama Diniyah School, dengan sistem berkelas. Sekolah ini menerima murid-murid laki-laki dan perempuan, diajar dalam kelas yang sama dalam waktu yang sama serta dengan guru yang sama. Pola semacam ini dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah “ko-edukasi”.

Obsesi besar yang dicanangkan Zainuddin Labay dalam dunia pendidikan Islam, ternyata telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan yang dibangunnya tidak hanya memberikan sumbangan bagi penataan aspek kelembagaan dan aspek kurikulum saja, akan tetapi juga mampu melahirkan generasi dan kader-kader berkualitas dan memiliki reputasi baik dalam lapangan pendidikan maupun dalam bidang-bidang lain. Beberapa orang di antaranya dapat disebut antara lain, seperti Rahmah el-Yunusiyah (adik kandung Zainuddin Labay dan pendiri Diniyah Putri).Kiprahnya dalam bidang pendidikan Islam masih bisa dilihat sampai sekarang. Lembaga pendidikan yang didirikannya tetap diminati masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura. Atas jasanya dalam pengembangan pendidikan Islam, pada tahun 1956, rektor universitas al-Azhar, Kairo menganugerahkan gelar “Syaikhah” kepadanya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum memberikan penghargaan sebagai pahlawan nasional dalam bidang pendidikan Islam walaupun usulan untuk itu sudah lama dilakukan.


Hamka, adalah tokoh yang banyak kiprahnya dalam sejarah Islam di Indonesia. Mantan ketua MUI dan pendiri Yayasan pendidikan al-Azhar Jakarta ini juga seorang penulis produktif. Selama hidupnya, Hamka telah menghasilkan ratusan karya tulis baik dalam bentuk buku maupun tulisannya yang tersebar di berbagai majalah dan koran. Salah satu karyanya yang sangat monumental adalah Tafsir al-Azhar 30 jilid. Karya-karyanya yang lain meliputi bermacam-macam disiplin keilmuan, seperti sastra, sejarah, fiqh, tasawuf, dan lain-lain. Walaupun ia belajar dengan Zainuddin Labay hanya dua tahun, namun Zainuddin Labay telah berjasa menanamkan nilai pendidikan dan membuka wawasannya tentang dunia luar. Reputasi Hamka sebagai seorang pemimpin Islam tidak hanya terbatas di dalam negeri saja, akan tetapi juga diakui oleh pihak luar. Ini dapat dilihat dari penghargaan yang diterimanya dari beberapa negara tetangga, seperti gelar doktor Honoris Causa dari universitas al-Azhar, Kairo tahun 1968 dan dari universitas Kebangsaan Malaysia, tahun 1974. Di samping itu juga aktif dalam berbagai pertemuan organisasi Islam sedunia, seminar Islam, dan lain-lain.


Murid Zainuddin Labay lainnya yang berpengaruh dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia adalah Prof. Mukhtar Yahya, menjadi guru besar pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan juga pernah menjabat direktur Islamic College Padang tahun 1931. Salah satu karyanya tulisnya menjadi rujukan bagi insan akademis adalah Sejarah Kebudayaan Islam, terjemahan dari buku Ahmad Syalaby (Kairo, Mesir). Generasi lain adalah Tajuddin, MS, mantan pengurus PMDS pertama. Menjadi aktivis gerakan buruh sedunia. Jured Luthan, ketua PMDS pertama dan besar usahanya dalam perjuangan kebangsaan melawan penjajah Belanda. Meninggal di Madiun, Jawa Timur sebagai perintis kemerdekaan. Jamaluddin Ibrahim, aktivis PMDS dan mantan sekretaris PARI di Singapura. Meninggal ketika dalam tahanan Belanda tahun 1940 di Cisarua Bogor sebagai perintis kemerdekaan. Ayun Sibiran, sekretaris PMDS pertama dan pengelola Bibliothec Zainaro. Aktif dalam pergerakan menentang penjajah Belanda. Meninggal di Rangkas Bitung, Jawa Barat sebagai perintis kemerdekaan. Jamaluddin Tamim, guru Diniyah School, salah seorang aktivis PMDS yang diburu Belanda. Tahun 1927, mendirikan Partai Rakyat Indonesia di Bangkok bersama Tan Malaka. Tokoh-tokoh tersebut di atas adalah sebagian dari beberapa orang generasi yang pernah belajar dengan Zainuddin Labay. Umumnya mereka berkiprah pada lapangan pendidikan di samping aktivitas lainnya. Walaupun Zainuddin Labay tidak bisa menyaksikan hasil perjuangan mereka, namun segenap insan pendidikan tidak akan pernah melupakan jasa-jasanya yang sangat mulia itu. Namanya tetap akan dikenang sebagai seorang inspirator sekaligus pembaharu pendidikan Islam.

1 komentar:

  1. buku belajar ilmu tadjwid karangan labay el-yunusi pdf. bisa di posting pak?

    BalasHapus