Senin, 10 Mei 2010

Surau Bintungan Tinggi : Tokoh, Tradisi dan Naskah Kuno


Oleh : Yulfira Riza, M.Hum
Edit : Muhammad Ilham

Hadirnya lembaga surau tidak diragui lagi telah memberi identitas sendiri terhadap Islam di Minangkabau. Surau tidak hanya identik sebagai pusat ibadah, tetapi lebih daripada itu. Surau juga menempati posisi sebagai pusat keilmuan Islam sebab di sana ada Tuanku/Syekh yang memberi pelajaran siang dan malam. Di sana ada murid-murid yang mengikuti mengajian dalam jumlah yang besar, di sana ada referensi-referensi yang lengkap dalam bentuk-bentuk naskah tertulis. Di samping itu, surau juga menempati posisi yang kuat bagi pengajaran adat dan sosial kemasyarakatan. Di surau diajarkan seluk beluk adat yang akan dijadikan pakaian hidup sekaligus menjadi nadi perjuangan melawan penjajah dulunya dan sebagai tempat bermusyawarah. Begitu komplit fungsi dari surau ini, sehingga tak berlebihan bila dikatakan bahwa Islam di Minangkabau tak bisa dilepaskan dari keberadaan surau itu sendiri, di masa lalu pastinya.

Awal dari kebangkitan surau ini, dimulai dari keberhasilan surau Tanjung Medan Ulakan dalam mendidik para intelektual Islam dalam jumlah yang banyak pada kala itu. Di samping letaknya yang strategis di pesisir barat Sumatera, keberhasilan inipun pastinya didukung oleh dedikasi keilmuan yang tinggi dan kharisma Syekh Burhanuddin sebagai pendirinya. Ribuan murid datang silih berganti ke Ulakan, membahas ajaran Islam secara mendalam dan konprehensif, sehingga banyak yang lulus dengan prediket yang baik. Nantinya mereka-mereka inilah yang menjadi perpanjangan tangan dari sang guru untuk mengajar Islam ke daerah-daerah mereka, yaitu melalui surau. Disamping mengajar syari’at secara dalam, Syekh Burhanuddin secara khusus juga membentang kaji hakikat kepada murid-murid pilihan. Bertasawwuf dengan membersihkan hati sanubari. Membai’at ala tarekat Syathariyah, mengajar tata cara dekat dengan Allah, hingga merasa benar-benar dekat dengan Allah. Lulusnya seseorang dalam bertarekat ini ditandai dengan diangkatnya sebagai khalifah, yang berarti telah mempunyai otoritas mengajar tarekat kepada murid-murid yang baru.

Gaya khas pendidikan tradisional yang dijalankan di Surau Ulakan begitu sangat terkenal kala itu. Seantero daratan melayu tak ada yang meragui ketokohan Syekh Burhanuddin. Ribuan murid yang datang dan lulus dari lembaga Ulakan ini membuktikan betapa besar kejayaan kaum intelektual kala itu. Begitupun dari banyaknya khalifah yang diangkat di Ulakan. Mereka membawa satu bentuk warna setelah mereka yang keluar dari Ulakan. Merekalebih meresapi nilai-nilai agama, jauh dari penyelewengan prilaku. Kongkritnya, lebih konservatif. Banyak pulalah diantara ulama yang lahir dari Surau Ulakan yang mempunyai nama besar dan ketokohan yang kuat. Mereka hadir sebagai cermin dari kasih sayang kepada guru yaitu cermin dari kepribadian Syekh Burhanuddin sendiri. Di antara sekian banyak hasil didikan Ulakan yang berhasil, maka Syekh Bintungan Tinggi adalah yang menonjol di antaranya. Syekh Bintungan Tinggi atau Syekh Abdurrahman adalah satu di antara sederetan khalifah-khalifah Syekh Burhanuddin yang tersohor. Namanya melambung, semasyhur Surau yang beliau pimpin, Surau Bintungan Tinggi. Di samping darah beliau yang asli dari keturunan Khalifah ke-3 Syekh Burhanuddin, Syekh Abdurrahman Ulakan, keberhasilan beliau sangat ditentukan oleh kealiman dan ketinggian ilmu serta kepahaman yang dalam, juga prestasi beliau sebagai khalifah dalam Tarekat Syatariyah, tarekat yang berkembang pesat kala itu.

Kemasyhuran Surau Bintungan Tinggi telah menjadi buah bibir para penuntut ilmu zaman itu, banyak sekali diantara mereka yang menyampaikan niatnya menuntut ilmu di Surau Bintungan Tinggi, bersufaha dengan guru Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi. Bukan hanya yang datang dari selingkung alam Minangkabau, namun ada juga dari negeri jauh, Bengkulu, Sumatera Utara, Riau misalnya. Konon kabarnya murid-murid beliau mencapai ribuan orang banyaknya. Dengan adanya tradisi mengaji yang berkembang di Bintungan Tinggi masa itu, maka banyak pulalah kegiatan salin menyalin, yang dikenal dengan istilah kuttab. Salinan materi ajaran Islam itu dalam bentuk naskah, tulisan tangan dengan aksara Arab tanpa mengenal titik dan koma. Tradisi menyalin secara manual ini merupakan konsekensi logis karena kala itu belum ada mesin cetak untuk mencetak kitab-kitab pelajaran.Eksistensi Surau Bintungan Tinggi dan tradisi pewarisan naskah-naskah kuno begitu sangat menarik untuk ditelusuri dan dikaji. Dengan kajian tersebut akan nampak jelas bagaimana kedudukan surau dalam membentuk pribadi-pribadi muslim yang berilmu kala itu, dan berbekas hingga sekarang. Dengan deskripsi naskah tersebut nantinya akan terbuka cakrawala berpikir dalam menggali khazanah Islam yang kaya di Minangkabau, ranah nan tacinto ini.

Bintungan Tinggi, sebuah daerah yang terletak di Nagari Padang Bintungan Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman. Berbicara tentang keadaan geografis Bintungan Tinggi, maka kita tidak akan terlepas dari bahasan daerah Pariaman, karena memang Bintungan Tinggi adalah satu unit kecil daerah Pariaman. Seperti halnya muslim tradisional lain, maka masyarakat Bintungan Tinggi dalam ajarannya merupakan warisan dari Ulakan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh para Ahli, bahwa Ulakan sangat taat mengikuti mazhab Syafi’i, hal ini tercermin dari setiap amalan ibadah yang selalu berlandaskan konsep yurisprudensi Syafi’iyah. Begitupun dengan kitab-kitab yang diajarkan, merupakan referensi wajib mengunakan referensi dari ulama-ulama Syafi’iyyah. Begitu halnya dengan Bintungan Tinggi, mereka yang secara umumnya berkiblat ke Ulakan memang pemegang teguh mazhab Syafi’i. dalam hal ini tak ada tawar menawar, apakah merupakah kepatuhan kepada guru ataupun karena faham Syafi’iyah sebagai mazhab yang pertama kali masuk ke nusantara, pastinya mereka sangat menjunjung dan mentaati menjunjung konsep hukum Syafi’iyyah, sampai saat ini. Karakteristik mazhab Syafi’iyah disebutkan oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin al Khatib di dalam Risalah Mizānul Qulūb-nya

Dengan memperhatikan faham keagamaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat tersebut, maka kita dapat mengkategorikan mereka kepada kelompok sunni yang konservatif. Mereka hidup rukun dengan Islam modernis, dengan menghindari masalah-masalah khilafiyah yang dapat merusak tatanan masyarakat. Begitulah mereka yang taat dalam tradisi Ahl Sunnah wal Jama’ah. Istilah Ahl Sunnah wal Jama’ah bukan salah satu kelompok, tetapi Ahl Sunnah lebih merupakan paham keagamaan yang cenderung meletakkan al Qur’an dan Sunnah sebagai pokok, disesuaikan dengan konteks empat mujtahid, dalam artian empat mazhab. Dengan demikian bagi mereka yang berpegang kepada salah satu mazhab, berarti dia adalah seorang Ahlussunnah.

Dengan memperhatikan faham keagamaan tersebut, maka jelaslah bahwa Bintungan Tinggi adalah pemegang tradisi dalam ahl Sunnah wal Jam’ah, pemegang teguh mazhab. Di samping ituada satu bentuk khas lain yaitu Tarekat Syathariyah. Umumnya surau-surau yang ada di daerah Pariaman, Ulakan, adalah surau-surau yang menjadi basis Tarekat Syathariyah, tak terkecuali Surau Bintungan Tinggi. Bahkan kepopuleran Surau Bintungan Tinggi dalam Tarekat ini lebih menonjol. Tarekat Syathariyah adalah salah satu Tarekat yang berkembang pesat di Minangkabau di samping Tarekat Naqsyabandiyah dan sedikit Tarekat Samaniyah. Mengenai tarekat itu sendiri, tarekat didefenisikan sebagai jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan dikerjakan oleh sahabat-sahabat Nabi, Thabi’in dan Tabi’ Tabi’in turun menurun sampai kepada guru-guru/ulama-ulama sambung menyambung dan rantai berantai sampai pada masa kita ini. Hamka mengungkapkan bahwa Tarekat laksana pesantren kita sekarang ini. Di satu tempat tertentu duduklah murid menghadapi gurunya. Guru itu diberi gelar Syekh. Selain dari mempelajari syari’at-syari’at agama, yang sangat dipentingkan di dalamnya ialah melalui perantaraan guru, dipelajari wirid tertentu untuk menuju jalan Tuhan (suluk). Begitulah Tarekat, maka terdapat perbedaan Kaifiyyat (cara) dalam tarekat-tarekat itu. Sesuai dengan perbedaan nama dan siapa yang menelorkan ajarannya. Tarekat Syathariyyah yang dinisbahkan kepada Syekh Abdullah as Syatthar, mempunyai amalan yang lebih khas dibanding dengan Tarekat lain. Ada ritual zikir dan beberapa aspek lain yang berhubungan dengan Zuq, yang lebihnya yaitu adanya pengajian Nur Muhammad.

Ada perbedaan di kalangan para ahli mengenai tarekat mana yang terlebih dahulu masuk ke Sumatera Barat. Ada yang mengungkapkan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang pertama masuk ke daerah ini. Di antara para sarjana yang meng-aminkan hal tersebut. Namun Schieke, Martin van Bruinessen dan A. Steenbrink mengungkapkan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah baru masuk sekitar 1850-an. Sedangkan menurut sumber-sumber lokal ditambah dengan fakta kembalinya Syekh Burhanuddin dari Aceh ke Minangkabau menegaskan bahwa Tarekat Syathariyah adalah jenis Tarekat pertama yang masuk ke Sumatera Barat. Tarekat Naqsyabandiyah itu sendiri baru masuk sekitar 127 tahun kemudian. Ketokohan Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi sebagai seorang ulama kharismatik dan terkenal, dibarengi dengan relasi yang kuat antara pribadi beliau dengan keberadaan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan membuat surau yang beliau pimpin menjadi surau yang besar pada periode-periode keemasan-nya abad ke-20. Surau Bintungan Tinggi masih dirasakan eksistensinya sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam sampai saat ini. Sejak didirikan pada tahun 1283 H/1864 H, surau Bintungan Tinggi telah memainkan peranan penting penyebaran Agama Islam. Banyak murid-murid yang berdatangan dari berbagai pelosok negeri untuk menimba ilmu di Bintungan Tinggi. Tercacat pada periode awal keberadaan surau Bintungan tinggi terdapat tak kurang dari seribu orang murid yang mengaji kepada Syekh Bintungan Tinggi, yang mana murid-murid surau kala itu dikenal dengan panggilan pakih. Murid-murid ini berdiam di surau-surau kecil beratap rumbia di sekitar komplek surau Bintungan Tinggi. Banyaknya surau-surau kecil ini tak kurang dari 15 surau.

Pada tahun 1327 H/ 1908, surau Bintungan Tinggi tersebut diperbaharui atas dorongan dan bantuan moril dan materi dari keluarga besar Syekh Bintungan Tinggi. Maka dibangunlah surau baru dengan lebih besar dari surau pertama. Ukurannya yaitu 11,5 x 11,5 m dari bahan kayu yang berkualitas baik. Pembangunan bangun surau baru ini diserahkan kepada arsitek pribadi Syekh Bintungan Tinggi, yaitu Tuanku Khatib Koto Baru. Bangunan surau yang baru ini disamping gaya arsitekturnya yang merupakan perpaduan antara seni bangunan Islam dengan seni Bangunan Minangkabau, juga dilapisi dengan ukiran aka cino saganggang. Dalam hal ukiran dan hiasan tonggak tuo terletak perpaduan budaya Luak dengan budaya Pesisir, berupa hiasan dengan motif flora yang telah distilir. Sebuah hal yang nyata bagi kita bahwa setiap ilmu pengetahuan pasti diwarisi melalui tulisan. Tulisan-tulisan itu terpelihara dalam lembar-lembar naskah dan diwarisi secara turun temurun serta dijadikan materi pokok ilmu pengetahuan. Siti Baroroh Barid menjelaskan naskah-naskah kuno dengan “Karya-karya tulisan masa lampau merupakan peninggalan yang mampu menginformasikan buah pikiran, buah perasaan dan informasi mengenai segi kehidupan yang pernah ada.” Begitu hal surau Bintungan Tinggi, sebagai basis penyebaran Islam masa lalu, surau Bintungan Tinggi menjadi salah satu pusat naskah-naskah kuno. Hal itu adalah konsekwensi logis dari adanya pengajaran agama yang berkembang dalam lembaga pendidikan surau, mulai dari periode awal sampai masa pudarnya eksistensi surau.

Sebagaimana yang telah kami ungkapkan pada pembahasan terdahulu, bahwa surau Bintungan Tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang mempunyai banyak jaringan dengan surau-surau lainnya, maka sudah pasti surau Bintungan Tinggi banyak menyimpan karya-karya tulisan pada masa lampau, sebelum dikenalnya kitab-kitab edisi cetak sekarang. Kitab-kitab yang dipelajari di surau-surau tradisional umumnya dikenal dengan kitab kuningkitab gundul. Penamaan kitab Kuning ini sendiri disamping warna kertasnya yang biasa berwarna kuning, juga ada simbolnya tersendiri. Menurut analisa penulis, warna kuning yang biasa menjadi kertas standar kitab-kitab kuno tersebut memberikan kemudahan bagi siapa saja yang membaca dan menelaahnya. Letak kemudahannya ialah warna kuning tersebut tidak menjemukan mata serta membuat mata kantuk jika melihatnya. Sedangkan istilah kitab gundul mengacu pada tulisannya sendiri, yaitu bahasa Arab yang tak mengenal harkat, titik dan koma.

Disamping itu semua, pemakaian kitab-kitab kuning dilembaga pendidikan tradisional menyiratkan paham keagamaan dari lembaga tersebut. Seperti halnya Indonesia, kitab kuning biasanya identik dengan mazhab Syafi’I dengan I’tiqat ahl sunnah-nya. Hal ini sesuai dengan paham keagamaan yang diamalkan di surau-surau tuo, bermazhab Syafi’i. begitupun Bintungan Tinggi. Adapun sistem yang dipakai di lembaga-lembaga tradisional ini ada beberapa cara. Pertama, seorang murid mendatangi seorang guru yang akan membacakan beberapa baris Qur’an atau kitab-kitab bahasa Arab dan menerjemahkan kedalam bahasa daerah. Pada gilirannya, murid mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata sepersis mungkin seperti yang dilakukan gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa sehingga para murid diharapkan mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu kalimat bahasa Arab. Sistem kedua, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan baik arti maupun keterangan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.

Melihat kepada dua sistem pengajaran tradisional ini, maka pengajaran kitab di Bintungan Tinggi dapat dikategorikan kepada sistem yang kedua. Hal ini diidentifikasi dari adanya catatan-catatan kecil yang terdapat disekitar teks asli naskah-naskah kunonya. Cacatan-cacatan tersebut berkisar tentang terjemahan, catatan gramatikal Arab atau keterangan-keterangan pribadi dari penyalin. Keberadaan naskah-naskah kuno itu sendiri berkaitan erat dengan proses belajar mengajar di Bintungan Tinggi. Terdapat banyak naskah di hiasi oleh cacatan-cacatan penyalin, yang tak lain ialah santri yang sedang mengaji kitab tersebut secara tekun. Mengenai naskah-naskah kuno yang terdapat di Surau Bintungan Tinggi sebahagian besarnya adalah naskah-naskah berbahasa Arab dan sebahagian lainnya ditulis dengan aksara Arab Melayu ( Arab Pegon ). Naskah tersebut berisi tentang ilmu-ilmu keislaman, diantaranya al Qur’an, Tafsir, Fiqih, Nahwu dan Sharaf, Sejarah dan kisah-kisah. Melihat gambaran keberadaan naskah-naskah tersebut, maka semakin besar realitasnya bahwa dahulu surau Bintungan Tinggi adalah surau besar yang mengajarkan Islam secara komplit. Menurut hasil penelitian M. Yusuf, di Surau Bintungan Tinggi tersebut terdapat sebanyak 36 naskah kuno. Naskah-naskah tersebut didokumentasi dengan cara memotret lembaran-lembaran manuskrip dan menyimpan foto-foto dokumentasi dalam bentuk cakram padat ( compact disk ).

Naskah-naskah kuno di Bintungan Tinggi tersebut masih dapat ditemui dengan terawat di Surau Bintungan Tinggi, disimpan dalam rungan khusus di bagian mihrab surau Bintungan Tinggi. Naskah-naskah itupun dibungkus dengan rapi, diberi nomor dan kode penaskahan, serta ditulis dekripsi singkatnya, hasil kerja keras bapak M. Yusuf dan para ahli lainnya. Sebagai hasil karya ulama terdahulu, maka kita masih berbangga hati, kekayaan Minang masih terpelihara. Walaupun keberadaan surau Bintungan Tinggi tidak se-eksis dahulu, yaitu pada masa Syekh Abdurrahman, sang guru, namun keberadaan peninggalan-peninggalan beliau berupa surau dan naskah-naskah kuno masih terpelihara dengan baik. Bahkan untuk surau itu sendiri telah banyak turun dana pemerintah dalam pemugarannya dan termasuk salah satu situs cagar budaya No. 169/BCB-BMB. Sedangkan naskah-naskah itu sendiri masih terpelihara dengan baik, apalagi setelah penelitian yang dilakukan oleh para Filolog Minangkabau, keinginan untuk melestarikan naskah tersebut semakin terwujud dengan baik.

(c) Yulfira Riza (artikel tidak diposting secara lengkap. Artikel lengkap di publish di Jurnal Khazanah Edisi 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar