
Ditepian danau Maninjau, tepatnya disebuah nagari kecil ketika itu, nagari Koto Baru Tigo, Djalaluddin "kecil" dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1882. la lahir dari keluarga religius. Ayahnya bernama Imam Mentari, seorang guru tarekat Naqsyabandiah berasal dari suku Koto sedangkan ibunya bernama Kambutiyah, wanita sederhana darisuku Piliang. Sang ayah, Imam Mentari, dikenal sebagal pengikut tarekat Naqsyabandiah yang cukup terpandang dan sangat disegani di kampung halamannya. Dari kecil ia membimbing Ludin (panggilan Syekh Haji Djalaluddin waktu kecil) untuk mendapatkan pendidikan agama secara dini dan intens. Ludin dibimbing ayahnya lebih serius ketika ia berusia 12 tahun. Ditepian Danau Maninjau, Ludin menikmati dinamika religius dan kultural masa kecilnya. Intelektualitas Djalaluddin, sebenamya telah terpupuk dan terlihat dari kecenderungannya sejak kecil meraup ilmu pengetahuan secara antusias. Ludin ketika kecil dikenal sebagai "pribadi kecil" yang haus akan ilmu. Sejak kecil hingga dewasa, Ludin dijuluki oteh teman-temannya "Kutu Buku". Sebuah julukan yang menunjukkan bagaimana Ludin adalah anak yang sangat rajin membaca. Ia sangat menyukai buku-buku agama disamping buku-buku umum, sehingga tidaklah mengherankan apabila kelak ia dikenal sebagai ulama yang memiliki pengetahuan dan wawasannya begitu luas tentang agama. Kemampuannya dalam adu argumen dan produktifitasnya dalam menulis (untuk ukuran zamannya) sebenamya merupakan akumulasi kelebihan seorang pribadi besar yang tidak hanya terbentuk seketika, akan tetapi merupakan sebuah proses panjang dari kecil. Pribadi Ludin "kecil" hingga Syekh Haji Djalaluddin merupakan pribadi yang senantiasa dan selalu "belajar" sepanjang hidupnya. Pada tahun 1917 dalam usia 35 tahun, Djalaluddin menikah dengan seorang gadis, Rafiqah namanya. Rafiqah berasal dari keluarga sedehana di nagari Tanjung Batung Koto Baru Maninjau. Ukuran usia yang cukup tua kala itu untuk membina rumah tangga. Menurut beberapa orang murid dan keluarganya, keterlambatan Djalaluddin membina keluarga karena "masa remaja" yang banyak dihabiskannya untuk belajar sehingga keinginan untuk berkeluarga ternafikan oleh keinginan untuk terus menuntut ilmu. Pada waktu itu Rafiqah berusia 20 tahun, Mereka dikaruniai 3 orang anak, yaitu : Zahara yang sekarang berdomisili di Palembang, anaknya yang kedua berdomisili di Lampung dan yang ketiga Saituni yang sekarang berdomisili di Malaysia.
Tahun 1926 istrinya Rafiqah meninggal dunia. Satu tahun kemudian (1927), Syekh Haji Djalaluddin menikah untuk kedua kalinya dengan gadis senagari dengannya yang bernama Nursiam. Gadis sederhana dari keluarga sederhana. Pada waktu itu Nursiam berumur 24 tahun. Dari perkawinannya yang kedua ini dia memperoleh lima orang anak, yakini Abdul Halim Jalal, sekarang menjadi seorang pengusaha di Jakarta, anak kedua bernama Habibah, seorang akademisi, yang sekarang ini mengelola Universitas Panca Budi di Medan. Kemudian anak yang ketiga, Alida, berdomisili di Malaysia, bersama kakaknya lain Ibu, Sartuni. Anak keempat adalah Aruati, seorang guru Sekolah Dasar di Jakarta serta anaknya yang terakhir bernama Nasrul Djalal, menjadi seorang wiraswastawan di Jakarta.
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, pendidikan awal didapatkan Syekh Haji Djalaluddin dari bimbingan ayahnya, Imam Mentari dan pendidikan keluarga serta bimbingan adat kaumnya. Sebagai seorang anak guru tarekat, Syekh Haji Djalaluddin telah dididik untuk mendalami ilmu agama dan juga diperkenalkan dengan tarekat Naqsyabandiah sejak ia berusia dini, 12 tahun. Interaksi yang cukup intens dengan tarekat Naqsyabandiah sejak usia dini membuat Djalaluddin "kecil" sangat mencintai amalan dan ajaran-ajaran tarekat, khususnya tarekat Naqsyabandiah. Meskipun untuk itu ia ditertawakan oleh orang lain, tetapi ia mempunyai keinginan dan kemauan yang kuat untuk "bertemu" dengan Allah SWT melalui pelaksanaan-pelaksanaan ritual dan kontemplasi sebagaimana halnya ditemui dalam "dunia" tarekat. Untuk memenuhi keinginan dan hasrat hatinya, pada usia 13 tahun ia berguru kepada Imam Sati, seorang guru tarekat Naqsyabandiah.
Setelah mengenal ilmu-ilmu agama yang dominan diketahuinya melalui media tarekat, Syekh Haji Djalaluddin "kecil" dimasukkan oleh ayahnya ke Sekolah Rakyat (SR) di nagarinya. Di Sekolah Umum ini, Djalaluddin tergolong anak yang pintar. Kebiasaan untuk selalu mencintai ilmu pengetahuan membuat ia tidak kesulitan dalam mendalami pelajaran di sekolah. Djalaluddin belum merasa puas dengan ilmu-ilmu yang diperolehnya, apalagi ilmu agama. Setelah berusia dua puluh tahun, Djalaluddin diantar oeh Imam Sati untuk mempelajari ilmu tarekat kepada Syekh Abdullah di Koto Baru Maninjau. Sejak itu mulailah Djalaluddin berpetualang dari satu guru ke guru lainnya. Setelah belajar dari Syekh Abdullah di Koto Baru, ia juga berguru pada Syekh Muhammad Said Bonjol di Pasaman. Atas usulan dari para gurunya ini, Djalaluddin kemudian berangkat ke Aceh untuk belajar kepada Syekh Abdul Djalil. Perjalanan avountourir-nya ini digambarkan Syekh Haji Djalaluddin kemudian dalam majalah Sinar Harapan. la mengatakan :
Ketika Djalaluddin berada di Aceh, ia juga menuntut ilmu di lembaga formal yakni di Sekolah Guru. Setelah kemerdekaan, oleh Pemerintah Indonesia ia diangkat menjadi guru Sekolah Rakyat di Pariaman, kemudian dipindahkan ke Kamang Bukittinggi. Ketika bertugas di Pariaman, Syekh Haji Djalaluddin rajin mengikuti pengajian-pengajian yang diberikan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, ulama kharismatik Minangkabau kala itu, yang datang kesana atas permintaan masyarakat. Setelah pindah ke Kamang Bukittinggi, Syekh Haji Djalaluddin banyak bergaul dengan pemimpin Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan ulama-ulama tarekat. Dengan ulama-ulama tarekat tersebut, ia juga belajar lebih dalam tentang tarekat Naqsyabandiah. la juga pernah menjabat sekretaris umum PERTI dan menjadi "tangan kanan" H. Siradjuddin Abbas, terutama dalam mengasuh majalah Soearti sebagai redaktur. Bahkan ia akrab dengan sesepuh PERTI Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Syekh Haji Djalaluddin pernah menggantikan ulama kharismatik ini memberikan pengajian di masjid Gobah Tilatang Kamang. Pengalaman yang sangat mengesankan bagi Syekh Haji Djalaluddin dalam usahanya menuntut ilmu terutama ilmu mengenai tarekat Naqsyabandiyah adalah ketika ia ditalkin oleh Syekh All Ridha Jabal Qudis di Mekkah. Syekh Haji Djalaluddin mengatakan :
Kiprah politik terlihat nyata ketika Syekh Haji Djalaluddin berusaha menyatukan pengikut-pengikut tarekat, terutama tarekat Naqsyabandiah di Minangkabau dalam sebuah organisasi yang diberinya nama Persatuan Penganut Tarekat Islam (PPTI). Rencana untuk mendirikan organisasi ini sebenarnya telah dimulai oleh Syekh Haji Djalaluddin sejak tahun 1920, namun baru tahun 1945 niat tersebut terwujud. Rencana ini dimulai ketika PERTI mengadakan konperensi yang dilaksanakan di Bukittinggi pada tanggal 24 s/d 26 Desember 1945. Pertemuan ini dihadiri ulama-ulama PERTI dan guru-guru tarekat. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan Syekh Haji Djalaluddin untuk menemui utusan ulama-ulama PERTI dan guru-guru tarekat yang sepaham dengannya. Usahanya ini berhasii. Sehari sebelum Konperensi PERTI dilaksanakan, tanggal 23 Desember 1945 bersama-sama dengan teman-temannya yang sepaham dengan beliau membentuk Persatuan Tarekat Islam Malaya (PTIM). Pengambilan nama Malaya didasarkan kepada kenyataan bahwa dukungan yang paling banyak didapatkan oleh Syekh Haji Djalaluddin adalah dukungan dari ulama-ulama dan guru-guru tarekat clad Malaya. Namun supaya tidak terkesan diskriminatif clan tidak nasionalis, pada akhirnya PTIM dirobah menjadi Persatuan Penganut tarekat Islam (PPTI).
Dibawah kepemimpinan Syekh Haji Djalaluddin, perubahan organisasi PPTI dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik tentu saja membawa implikasi positif bagi perkembangan PPTI yang pada mulanya hanya merupakan organisasi yang bersifat lokal, dan ini tertuang dalam misi PPTI diantaranya :
Ketika revolusi fisik berlangsung, PPTI ikut serta dalam memikul tanggung jawab dengan membentuk barisan perjuangan rakyat yang dinamakan Barisan Tentara Allah, sebuah nama yang sangat perenialis. Kontribusi organisasi ini dalam melawan penjajah cukup berarti. Barisan Tentara Allah ini dikomandani langsung oleh Syekh Haji Djalaluddin.. Dalam perjuangan pada masa revolusi fisik tersebut, banyak anggota PPTI yang gugur, diantaranya : Syekh Ismail al-Khalidi, gugur di Palangki Sijunjung, Haji Ibrahim, gugur di Padang Sibusuk, Haji Umar, gugur di Lubuk Basung, Bahar Munaf, gugur di Tabing Padang, Singa Barantai, gugur pada waktu Agresi Belanda II dan Zainuddin, gugur di Batu Sangkar.
Setelah 15 tahun PPTI berstatus sebagai partai politik, akhirnya PPTI kembali khittah yang pertama yaitu kembali menjadi organisasi sosial keagamaan. Hal ini disebabkan karena keluamya himbauan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyederhanakan jumlah partai-partai di Indonesia. Maka PPTI yang semula partai politik berubah menjadi Persatuan Pengamal Tarekat Islam. Aspirasi politik mereka salurkan kepada Golongan Karya (Golkar), suatu hal yang logis clan pragmatis pada waktu itu. Sejak tahun 1975, PPTI mengalami konflik internal. Hal ini disebabkan karena Syekh Haji Djalaluddin sudah sepuh (waktu itu beliau berusia 89 tahun). Akibatnya ada sebagian anggota dari PPTI ingin kembali ke nama semula, Persatuan Penganut Tarekat Islam dan dilain pihak lahir pula nama Persatuan Pembela Tarekat Islam. Untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang berkonflik tersebut, akhirnya Golkar (organisasi peserta pemilu yang salah satu onderbouw nya adalah PPTI) terpaksa "turun tangan" dan menyatukan kembali dalarn Persatuan Pembina Tarekat Islam (PPTI juga). Namun perpecahan internal tersebut, walaupun telah mampu didamaikan oleh Golkar, tetap menjadi potensi yang potensial. Hal ini terlihat kejayaan PPTI selama dibawah kepemimpinan Syekh Haji Djalaluddin tidak mampu dilakukan kembali oleh para penggantinya. Syekh Haji Djalaluddin sebagai pendiri PPTI memimpin organisasi ini dengan berbagai dinamika, berbagai suka duka, dan berbagai "trik politik" yang pada dasarnya sebagai perwujudan kecintaan beliau terhadap Islam dan organisasi yang dipimpinnya, sejak mulai berdiri hingga tahun 1975. Karena sudah dianggap sepuh, pimpinan PPTI diambil alih oleh Azwar St. Amiruddin, dari kalangan famili Syekh Haji Djalaluddin.
Dalam bukunya yang berjudul Seribu Satu Wasiat Terakhir, Syekh Haji Djalaluddin mengemukakan silsilah tarekat Naqsyabandiah. Silsilah ini menjadi justifikasi bagi Syekh Haji Djalaluddin untuk mengembangkan ajaran tarekat tersebut. Ia mengatakan bahwa rahasia tarekat ini diturunkan oleh Allah SWT, dengan perantaraan malaikat Jibril kepada : Nabi Muhammad SAW. Rasul terakhir yang kemudian beliau turunkan kepada : 2. Abu Bakar Shiddiq, kemudian diturunkan kepada : 3. Salman al-Faritsi, 4. Qasim bin Muhammad bi Abu Bakar Shiddiq, 5. Imam Ja'far ash-Shadiq, 6. Abu Yazid at-Busthami, 7. Abu Hasan al-Kharqani, 8. Abu Ali al-Farmadzi, 9. Abu Ya'kub al-Hamadani, 10. Syekh Abdul Khaliq, 11. Syekh Arif Rijukari al-Riwy, 12. Syekh Mahmud Arifin Faghnawi, 13. Syekh Azizan al-Ramithani, 14. Syekh Muhammad Baba Samatsi, 15. Syekh Amir Syahid Khulal al-Bukhari, 16. Syekh Bahauddin Naqsyabandi, 17. Syekh Muhammad Alauddin Athari, 18. Syekh Ya'kub Jarmi, 19. Syekh Ubaidillah Shamarzhandy, 20. Syekh Muhammad Zahidi, 21. Syekh Darwisy Muhammad, 22. Syekh Muhammad Khaujuki Amakanaki, 23. Syekh Muhammad Baki Billahi, 24. Syekh Muhammad Faruqi, 25. Syekh Muhammad Ma'shum, 26. Syekh Syaffuddin, 27. Syekh Nur Muhammad Badaawani, 28. Syekh Muhammad Habibullah, 29. Syekh Abdullah Dahlawiy, 30. Syekh Khalid Khurdy, istiqomah di Jabal Qubis, 31. Syekh Abdullah Affandi, istiqomah di Jabal Qubis, 32. Syekh Sulaiman Khuni, istiqomah di Jabal Qubis, 33. Syekh Sulaiman Zuhdi, istiqomah di Jabal Qubis, 34. Syekh Ali Ridha, istiqomah di Jabal Qubis, 35. Semoga Allah melimpahkan pula tarekat ini kepada Syekh Haji Jalaluddin, 36. Siapa-siapa yang dikehendaki Allah SWT.
Disamping menyusun silsilah diatas untuk memperkuat legitimasinya daiam menyebarkan dan mensosialisasikan tarekat Naqsyabandiah, salah satu keunikan dad Syekh Haji Jalaluddin adalah memberikan gelar Doktor Rohani kepada khalifah. Doktor Rohani ini diberikan kepada khalifah yang telah berhasil mendalami falsafah Tauhid Ma'rifatullah. Suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh guruguru tarekat lainnya. Gelar ini diberikan Syekh Haji Jalaluddin kepada beberapa orang anggota PPTI, diantaranya : 1. Syekh Abdul Rahman Qodir (62 tahun) dari Majene Sulawesi Selatan, 2. Syekh Muhammad Ali daeng
Syekh Haji Jalaluddin juga menyandang gelar kehormatan tersebut pada tahun 1953 dalam Kongres PPTI yang dilaksanakan di Medan. Kongres ini dibuka oleh Menteri Agama RI, KH. Syaifuddin Zuhri. Sebagai tamu kehormatan, ia diminta untuk mengalungkan gelar Doktor Rohani berupa bintang emas, padahal Menteri Agama tidak mengetahui adanya pemberian gelar tersebut. Kemudian parlemen RI mengetahui permasalahan ini meminta pertanggungjawaban dari Menteri Agama RI yang telah mengalungkan bintang emas Doktor Rohani kepada Syekh Haji Jalaluddin, karena pemberian gelar tersebut berbeda dengan cara-cara yang biasa dilakukan atau diberikan oleh suatu perguruan tinggi. Kemudian pada akhimya kontroversi ini diredam dan diselesaikan.
Walaupun Syekh Sulaiman ar-Rasuli (teman Syekh Haji Jalaluddin ketika sama-sama di PERTI) telah memberikan nasehat clan teguran secara pribadi kepada Syekh Haji Jalaluddin, bahkan Syekh Haji Jalaluddin pemah mengakui kesalahannya di depan Syekh Sulaiman ar-Rasuli, namun Syekh Haji Jalaluddin balik menuding dan menuduh Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang mengarang Tabligh Amanah memutarbalikkan fakta. Menurut Syekh Haji Jalaluddin, Syekh Sulaiman ar-Rasuli memutar balikkan keterangan-keterangan clan susunan tulisannya serta memotong keterangan-keterangan tersebut disana-sini. Hal ini, kata Syekh Haji Jalaluddin justru memberikan gambaran yang tidak sebenarnya dari apa yang dimaksudkan. Keseriusan Syekh Haji Jalaluddin dalam membela pendapatnya terlihat ketika ia menjanjikan untuk memberikan hadiah bagi orang yang dapat membatalkan ajaran tarekat Naqsyabandiah.
Akan tetapi uang hadiah yang dijanjikan oleh Syekh Haji Jalaluddin tersebut tidak pernah diberikan kepada siapapun. Hal ini karena tidak pemah dibentuk Dewan Juri untuk menetapkan siapa yang menang dan siapa yang kalah, walaupun banyak tulisan-tulisan yang menyanggah buku-buku karangan Syekh Haji Jalaluddin tersebut. Ketegangan antara Syekh Haji Jalaluddin dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli serta para pengikutnya, bahkan terkesan meluas. Pertentangan yang terjadi bukan lagi pertentangan pemikiran antara dua figur ini tapi sudah meluas kepada konflik pemikiran lintas organisasi yaitu pertentangan pemikiran antara PERTI dengan PPTI, sama-sama berasal dari Kaum Tua Minangkabau. Walaupun Syekh Haji Jalaluddin mendapat kritikan dari ulama-ulama Kaum Tua Minangkabau, ia berhasil menyatukan pengikut tarekat Naqsyabandiah dalam organisasi PPTI yang kemudian berobah menjadi partai politik, suatu prestasi yang cukup mengagumkan. Tapi sayang, Syekh Haji Jalaluddin tidak mampu mengembangkan ketokohannya serta organisasi yang dipimpinnya secara maksimal di Minangkabau. Ketokohan Syekh Haji Jalaluddin justru banyak diterima di luar Minangkabau.
Buku-buku karangan Syekh Haji Djalaluddin yang diterbitkan sekarang (pada umumnya terbitan anumerta setelah Syekh Haji Djalaluddin wafat: ed.) telah ditransliterasikan dari ejaan Arab Melayu kepada EYD (ejaan yang disempurnakan). Buku-buku tersebut diterbitkan oleh organisasi PPTI di Ujung Pandang (Makasar sekarang), Sulawesi Selatan antara lain :
As salam.
BalasHapusSaya mahu bertanya, di mana saya boleh mendapat buku-buku karangan Syekh Haji Djalaluddin ini. Saya berada di Malaysia.
Anak dan cucunya gak ada yang ikut tarekat ya...?
BalasHapusAssalamu'alaikum...
BalasHapusSaya adalah murid dari prof.H.Djalaluddin, dimanakah saya bisa memiliki buku karya kakek guru saya tsb?
Mohon dibalas Y....