Senin, 01 November 2010

Hj. Aisyah Aminy : Perempuan Baja Vokalis Senayan (2)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Malang melintang di dunia politik yang penuh godaan duniawi, sikap hidup Aisyah Aminy tetap konsisten. Idealismenya tak lekang dan jiwanya yang religius tak tergoyahkan. Dia politisi perempuan religius yang ditempa sejak kecil oleh keteladanan orangtuanya. Meski usianya sudah lebih dari 70 tahun, Hj Aisyah Aminy SH tetap terlihat sehat, prima dan lebih muda dari usianya. Bicaranya tetap lantang dan jernih, tak berubah seperti saat ia masih menjalani hari-harinya di parlemen. Perempuan Minang ini, selama tiga dasawarsa dikenal sebagai tokoh perempuan nasional yang menjalani berbagai peran politik dan sosial bersama tokoh-tokoh nasional lainnya. Perempuan kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat dan anak ketujuh dari delapan bersaudara, itu sejak kecil dididik dalam lingkungan yang sangat religius. Maklumlah, selain orangtuanya yang memang dekat dengan ajaran agama, di daerahnya banyak berdiri perguruan agama terkenal seperti Perguruan Diniyah dan Diniyah Puteri, Sumatera Thawalib dimana Buya HAMKA dan KH Zarkasyi-pimpinan Pondok Pesantren Gontor-pernah menimba ilmu, HIS Muhammadiyah, Kulliyatul Muballighien, Muballighot dan Madrasah Irsyadun Irsyad. Ayahnya, H Muhamad Amin, berperan sangat penting dalam mendidik anak-anaknya. Sang ayah dan ibu Aisyah, Hj. Djalisah, meski tidak berpendidikan formal akan tetapi selalu memberikan teladan yang baik bagi mereka.

Dari sang ayahlah Aisyah dan saudara-saudaranya belajar menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan moralitas. Itu sebabnya, selama malang melintang di dunia politik yang penuh intrik dan godaan duniawi, nama Aisyah Aminy tidak pernah dikaitkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Kejujuran ayahnya yang bekerja sebagai pedagang itu begitu membekas dalam kenangan Aisyah. Suatu hari, tuturnya, ada seorang pembeli yang lupa mengambil uang kembalian dan pergi begitu saja. Ayahnya menyuruh Adnan, anak keempatnya, untuk mengejar si pembeli dan memberikan uang kembalian itu. Ayahnya juga selalu membersihkan timbangannya sebelum digunakan lagi agar takaran barangnya tepat dan ia tidak mengurangi hak orang lain. H Muhammad Amin adalah seorang otodidak. Ia bisa membaca karena sering memperhatikan huruf-huruf dan angka-angka yang tertera pada kemasan barang yang dijualnya. Dengan semangat belajar yang tinggi, dirangkainya satu demi satu huruf-huruf itu sampai ia pun menjadi lancar membaca. Bersama isterinya, H Muh Amin juga menambah pengetahuan agamanya dengan mengikuti ceramah-ceramah agama, yang antara lain diberikan oleh Dr H Karim Amarullah (ayah Buya HAMKA).

Semangat belajarnya itu ditularkan kepada anak-anaknya. Semua anaknya bersekolah, bahkan ada yang sampai ke Jawa. Sampai saat ini, yang masih aktif selain Aisyah adalah Rahmah Aminy, kakak Aisyah yang keenam. Rahmah menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta. Adik Aisyah, si bungsu Dr. Wardiyah Aminy pernah memimpin poliklinik Departemen Agama dan saat ini masih berpraktik dokter di Rumah Sakit Rawamangun Jakarta. Sedangkan kakak keempat Aisyah, Adnan Syamny sempat dikirim Pak Natsir ke Pakistan untuk mempelajari UUD Pakistan pada awal kemerdekaan. Kakaknya yang kelima, Rusli Aminy, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan pernah menjadi dosen di Trisakti dan UPN.

Dari ayahnya, Aisyah belajar tentang kejujuran, semangat menimba ilmu, dan sikap religius. Maka dari ibunya, ia belajar kedisplinan dan tanggung jawab. Aisyah tidak boleh meninggalkan sholat lima waktu dan tidak lupa mengerjakan pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawabnya. Aisyah muda tidak pernah mendengar orangtuanya berkata dengan lisan bahwa mereka mendukung penuh kegiatannya berorganisasi sejak masih duduk di perguruan Diniyah Puteri Bahagian B (setingkat SMP). Tetapi mereka menunjukkan dengan tindakan. Kebiasaan Aisyah setiap liburan sekolah, adalah pulang kampung ke Nagari Magek Kabupaten Agam. Ia diminta teman-temannya untuk memimpin kegiatan bagi masyarakat di desanya yang kebanyakan tidak berpendidikan. Timbullah ide, ia dan teman-temannya kemudian mengundang guru-guru dari kota untuk memberikan ceramah pada penduduk. Buya HAMKA pun pernah diundangnya. Maka, tampaklah dukungan orangtuanya, dengan menyediakan kamar di rumah mereka untuk menginap para penceramah, menjamunya dengan baik, sampai menyediakan fasilitas bagi anak-anak muda yang melakukan kegiatan positif tersebut. Dedikasi Aisyah Aminy tidak terbatas hanya di parlemen. Pada usia 70-an pun ia masih memperjuangkan persamaan gender yang dirasakannya berjalan lambat. Sejak muda, Aisyah sudah dikenal sebagai perempuan yang ingin diperlakukan sejajar dengan kaum laki-laki. Kalau ada teman laki-laki yang meremehkan kemampuannya, serta merta ia akan menunjukkan bahwa pendapat itu salah. Hal itu dilakukannya dengan elegan dan terbukti bahwa ia memang mampu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar