Di saat dunia politik dimonopoli kaum laki-laki, ia tampil ke depan. Bukan saja seorang parlementarian yang terampil berdebat, ia juga seorang pejuang gender yang tak kenal lelah. Siapapun yang melek politik, pasti mengenal nama Hj. Aisyah Aminy, SH, di kancah perpolitikan Tanah Air. Bertahun-tahun berkecimpung di dunia partai dan legislatif, perempuan ini punya banyak nama julukan. Singa Betina dari Senayan, Perempuan Baja dari Senayan, Vokalis DPR dan sebagainya.
Politisi wanita kawakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menerima anugerah Bintang Jasa Utama dari pemerintah pada HUT Kmerdekaan RI ke-59 17 Agustus 2004. Walau sudah memasuki usia anugerah di atas 70 tahun, wanita kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat 1 Desember 1931 ini masih tetap lantang memperjuangkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya termasuk jatah kuota 30 persen perempuan di parlemen. Dia, bersama tokoh-tokoh wanita lainnya mendirikan Kaukus Perempuan untuk tujuan dimaksud. Ia tampak tak keberatan. Dalam pemikirannya hanyalah bagaimana dirinya dapat mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin untuk bangsa dan negara. Selain kiprahnya di dunia politik melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang turut dibesarkannya, ia juga punya peran yang sangat besar di bidang emansipasi perempuan. Ketika isu gender baru mencuat, nama Aisyah bahkan sudah duluan disebut-sebut sebagai salah satu pelopor kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah publik.
Hal itu tidak mengherankan, karena sejak baru belajar berorganisasi, Aisyah sudah merasakan ketidakseimbangan peran perempuan di luar bidang domestik atau rumah tangga. Aisyah ingin perempuan juga punya kesempatan yang sama dalam segala bidang. Maka, ia pun berjuang memasukkan pasal-pasal kesetaraan gender dalam berbagai rancangan undang-undang maupun dalam prinsip-prinsip partainya yang bernafaskan Islam. Aisyah dididik keluarganya dalam lingkungan yang religius, yang terus terbawa dalam setiap tindakan, prinsip dan pemikirannya sampai masa tuanya. Sejak muda, Aisyah sudah belajar berorganisasi. Di masa perang kemerdekaan, seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Penolong Kecelakaan Korban Perang (BPKKP), bahkan menjadi wartawan perang Sumatera Tengah. Kemudian, Aisyah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang dideklarasikan 5 Februari 1947 di kampus Universitas Islam Yogyakarta (sekarang Universitas Islam Indonesia/UII) dimana ia menuntut ilmu.
Dedikasinya untuk kemajuan bangsa diwujudkan dengan menyisihkan waktu menjadi guru di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Puteri Yogyakarta. Tahun 1955, ia juga mengajar di SMA Puteri Yogyakarta dan menjadi dosen di Universitas Tjokroaminoto Yogyakarta dua tahun kemudian. Meski sibuk mengajar, perkuliahannya tidak terganggu. Tahun 1957, ia lulus dan menjadi perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum). Aisyah juga dikenal dekat dengan para tokoh nasional. Selain dengan Mr. Mohammad Roem, di mana Aisyah menjadi anggota tim advokasinya, juga dekat dengan Buya HAMKA.
Pada bulan April, ia bersama Anwar Haryono SH, Djamaludin Datuk Singo Mangkuto SH, Dr a Halim, Hasjim Mahdan SH, Harjono Tjitrosubono SH, Hadely Hasibuan SH, Padmo Susanto SH, Sudjono SH, Suroto SH, Drs Syarif Usman, Dr AM Tambunan SH dan Thamrin Manan SH, mendirikan lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LP HAM). Kiprah di parlemenPada tanggal 20 Februari 1968, Presiden Soeharto mengesahkan berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai ini menampung aspirasi ormas-ormas Islam, misalnya Muhammadiyah, Jamiyatul Wasliyah, Gasbindo, Persatuan Guru-guru Agama Seluruh Indonesia, bahkan Wanita Islam. Sejak awal, Aisyah terlibat dalam pembentukan Parmusi yang saat itu ketua umumnya adalah Moh. Roem. Aisyah masuk dalam kepengurusannya sampai 1970, saat kepemimpinan diambil-alih J Naro. Tahun 1973, empat partai Islam (termasuk Parmusi) difusikan ke dalam PPP. Karena keaktifan Aisyah di Parmusi, kemudian PPP, membawanya ke kancah perpolitikan di Senayan, sebagai anggota MPR RI periode 1977-1987. Bersama fraksinya ketika itu, Aisyah ikut menentang Rancangan Ketetapan MPR No. II tahun 1978. Alasannya, jika Rantap itu menjadi Tap MPR, masyarakat akan mengkeramatkan Pancasila secara berlebihan dan mengesampingkan agama yang dianutnya. Periode 1987-1992, Aisyah menjadi anggota DPR/MPR RI. Ia duduk di Komisi II yang membidangi masalah politik dalam negeri dan pertanahan. Di masa jabatannya ini, Aisyah banyak melontarkan kritik terhadap pemerintah, di antaranya disampaikan langsung dalam dialognya dengan Menteri Dalam Negeri, agar pemerintah tidak memaksa rakyat memilih Golkar. Memang, akibat pemaksaan kehendak ini, dampaknya sangat terasa terhadap PPP. Dari soal mempersulit mengambil rapor anak sampai teror dialami para kader PPP. Hal inilah yang ditentang Aisyah ketika itu. Sebab, jelas-jelas terlihat ada upaya pengerdilan PPP secara sistematis, sehingga sulit mengembangkan partai dan merekrut kader-kader baru.
Aisyah dan partainya juga menentang keharusan pegawai negeri memilih Golkar dan larangan pemerintah kepada partai-partai politik untuk berkiprah di desa-desa, kecuali Golkar. Bukan Aisyah namanya kalau ia tidak berusaha untuk mengembangkan pemikirannya di tataran yang lebih tinggi. Pada proses penyiapan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Aisyah sering diundang Sekjen Wakahamnas. Di masa Orde Baru, GBHN selalu berasal dari presiden. Begitu GBHN masuk dalam tingkat pembahasan di MPR, akan sulit mengubahnya. Sebelumnya ide-ide tentang GBHN ini didiskusikan dulu pada pertemuan terbatas dengan ormas, partai-partai politik, kalangan birokrasi dan kalangan kampus oleh Wakahamnas. Lewat pembahasan-pembahasan itulah Aisyah berusaha memasukkan ide-idenya ke dalam GBHN. Namun saking sulitnya, kalau pun ide-ide itu masuk, hanya sebatas hal-hal yang umum dan bukan hal-hal strategis. Salah satu yang disoroti Aisyah dan fraksinya ketika itu adalah Trilogi Pembangunan, yakni pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. F-PP menginginkan GBHN menitikberatkan pada pemerataan. Tapi pemerintah malah menitikberatkan pertumbuhan, yang ditandai dengan pembangunan di kota-kota besar dengan peningkatan sampai tujuh persen. Padahal, menurut Aisyah, daerah-daerah justru sangat tertinggal pertumbuhannya dan perekonomiannya sangat rendah. Itulah sebabnya, ia lebih setuju jika yang dikedepankan adalah pemerataan. Aisyah bahkan mengangkat isu transmigrasi yang ketika itu sedang digalakkan pemerintah. Menurutnya, sentralisasi pembangunan di Jawa membuat program transmigrasi tidak berhasil, karena lebih banyak orang daerah yang datang ke Jawa dibandingkan orang Jawa yang bertransmigrasi ke daerah.
Masih belum cukup, perempuan yang pernah menjadi anggota Komnas HAM ini mengkritik masalah pertanahan, dimana pemerintah seringkali mengambil paksa tanah rakyat tanpa ganti rugi. Juga dikritiknya gaji pegawai negeri yang rendah. Gaji yang tidak mencukupi kebutuhan ini menjadi pemicu korupsi. Masih dipercaya Tahun 1992-1997, Aisyah dipercaya lagi sebagai anggota DPR/MPR RI dan duduk di Komisi I. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan dipercaya sebagai ketua Komisi I yang ketika itu membidangi pertahanan, keamanan, luar negeri dan penerangan.Periode 1997-1999, ia kembali dipercaya sebagai ketua Komisi I. Hal ini amat berkesan bagi dirinya, karena komisi ini terkenal 'berat' dan ia adalah perempuan pertama yang menjadi ketua komisi ini. Apalagi dirinya berasal dari partai Islam, yang seringkali menimbulkan kesan kurang memberikan kesempatan pada kaum perempuan. Selama di Komisi I, Aisyah banyak melontarkan kritik, saran dan gugatan. Suaranya yang lantang dan argumentasinya yang tajam dalam rapat-rapat komisi maupun rapat pleno sangat dikenal. Bahkan, orang tidak perlu melihat siapa yang berbicara, karena sudah mengenal suara dan gaya bicaranya. Aisyah mengkritik tindakan represif TNI di Aceh dan Papua, tempat-tempat perjudian yang di-backing pejabat dan aparat keamanan, peredaran Narkoba, bahkan UU Pers, khususnya Peraturan Menteri Penerangan No. 10 tahun 1984 yang memasung kebebasan pers, juga undang-undang perfilman yang menyulitkan para sineas berkreasi. Ia bahkan dengan berani mengkritik kenetralan TNI/Polri (dulu masih bernama ABRI) yang kala itu sangat memihak Golkar. Tak tanggung-tanggung, kritik itu disampaikan langsung saat pertemuan pimpinan partainya dengan Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno.
Kawan-kawannya mengenal Aisyah sebagai anggota Dewan yang sering turun langsung ke daerah. Di sana, ia bertemu langsung dengan rakyat dan mendengarkan keluhan mereka. Semua itu tidak hanya diendapkan, melainkan langsung didiskusikan dan dicari solusinya bersama kawan-kawannya di DPR. Setelah tidak menjadi ketua Komisi I DPR/MPR, periode 1999-2004, Aisyah dipercaya F-PP duduk dalam Badan Pekerja MPR sebagai wakil ketua Panitia Ad Hoc II, yang mempersiapkan rancangan ketetapan-ketetapan selain GBHN dan Perubahan UUD 1945. Mencermati peristiwa-peristiwa sejarah di Indonesia, tampaklah bahwa Aisyah Aminy selalu hadir di dalamnya sebagai komponen yang ikut berjuang dan berperan serta. Ia menjadi saksi sejarah sejak zaman penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Ia pejuang kemerdekaan, aktivis di masa Orde Lama, ikut meletakkan dasar Orde Baru sekaligus mengkritisinya. Ia menjadi saksi pergantian lima presiden Republik Indonesia, sejak zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Puteri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Aisyah Aminy adalah perempuan baja yang tegar dan konsisten dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakininya.
Politisi wanita kawakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menerima anugerah Bintang Jasa Utama dari pemerintah pada HUT Kmerdekaan RI ke-59 17 Agustus 2004. Walau sudah memasuki usia anugerah di atas 70 tahun, wanita kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat 1 Desember 1931 ini masih tetap lantang memperjuangkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya termasuk jatah kuota 30 persen perempuan di parlemen. Dia, bersama tokoh-tokoh wanita lainnya mendirikan Kaukus Perempuan untuk tujuan dimaksud. Ia tampak tak keberatan. Dalam pemikirannya hanyalah bagaimana dirinya dapat mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin untuk bangsa dan negara. Selain kiprahnya di dunia politik melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang turut dibesarkannya, ia juga punya peran yang sangat besar di bidang emansipasi perempuan. Ketika isu gender baru mencuat, nama Aisyah bahkan sudah duluan disebut-sebut sebagai salah satu pelopor kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah publik.
Hal itu tidak mengherankan, karena sejak baru belajar berorganisasi, Aisyah sudah merasakan ketidakseimbangan peran perempuan di luar bidang domestik atau rumah tangga. Aisyah ingin perempuan juga punya kesempatan yang sama dalam segala bidang. Maka, ia pun berjuang memasukkan pasal-pasal kesetaraan gender dalam berbagai rancangan undang-undang maupun dalam prinsip-prinsip partainya yang bernafaskan Islam. Aisyah dididik keluarganya dalam lingkungan yang religius, yang terus terbawa dalam setiap tindakan, prinsip dan pemikirannya sampai masa tuanya. Sejak muda, Aisyah sudah belajar berorganisasi. Di masa perang kemerdekaan, seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Penolong Kecelakaan Korban Perang (BPKKP), bahkan menjadi wartawan perang Sumatera Tengah. Kemudian, Aisyah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang dideklarasikan 5 Februari 1947 di kampus Universitas Islam Yogyakarta (sekarang Universitas Islam Indonesia/UII) dimana ia menuntut ilmu.
Dedikasinya untuk kemajuan bangsa diwujudkan dengan menyisihkan waktu menjadi guru di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Puteri Yogyakarta. Tahun 1955, ia juga mengajar di SMA Puteri Yogyakarta dan menjadi dosen di Universitas Tjokroaminoto Yogyakarta dua tahun kemudian. Meski sibuk mengajar, perkuliahannya tidak terganggu. Tahun 1957, ia lulus dan menjadi perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum). Aisyah juga dikenal dekat dengan para tokoh nasional. Selain dengan Mr. Mohammad Roem, di mana Aisyah menjadi anggota tim advokasinya, juga dekat dengan Buya HAMKA.
Pada bulan April, ia bersama Anwar Haryono SH, Djamaludin Datuk Singo Mangkuto SH, Dr a Halim, Hasjim Mahdan SH, Harjono Tjitrosubono SH, Hadely Hasibuan SH, Padmo Susanto SH, Sudjono SH, Suroto SH, Drs Syarif Usman, Dr AM Tambunan SH dan Thamrin Manan SH, mendirikan lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LP HAM). Kiprah di parlemenPada tanggal 20 Februari 1968, Presiden Soeharto mengesahkan berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai ini menampung aspirasi ormas-ormas Islam, misalnya Muhammadiyah, Jamiyatul Wasliyah, Gasbindo, Persatuan Guru-guru Agama Seluruh Indonesia, bahkan Wanita Islam. Sejak awal, Aisyah terlibat dalam pembentukan Parmusi yang saat itu ketua umumnya adalah Moh. Roem. Aisyah masuk dalam kepengurusannya sampai 1970, saat kepemimpinan diambil-alih J Naro. Tahun 1973, empat partai Islam (termasuk Parmusi) difusikan ke dalam PPP. Karena keaktifan Aisyah di Parmusi, kemudian PPP, membawanya ke kancah perpolitikan di Senayan, sebagai anggota MPR RI periode 1977-1987. Bersama fraksinya ketika itu, Aisyah ikut menentang Rancangan Ketetapan MPR No. II tahun 1978. Alasannya, jika Rantap itu menjadi Tap MPR, masyarakat akan mengkeramatkan Pancasila secara berlebihan dan mengesampingkan agama yang dianutnya. Periode 1987-1992, Aisyah menjadi anggota DPR/MPR RI. Ia duduk di Komisi II yang membidangi masalah politik dalam negeri dan pertanahan. Di masa jabatannya ini, Aisyah banyak melontarkan kritik terhadap pemerintah, di antaranya disampaikan langsung dalam dialognya dengan Menteri Dalam Negeri, agar pemerintah tidak memaksa rakyat memilih Golkar. Memang, akibat pemaksaan kehendak ini, dampaknya sangat terasa terhadap PPP. Dari soal mempersulit mengambil rapor anak sampai teror dialami para kader PPP. Hal inilah yang ditentang Aisyah ketika itu. Sebab, jelas-jelas terlihat ada upaya pengerdilan PPP secara sistematis, sehingga sulit mengembangkan partai dan merekrut kader-kader baru.
Aisyah dan partainya juga menentang keharusan pegawai negeri memilih Golkar dan larangan pemerintah kepada partai-partai politik untuk berkiprah di desa-desa, kecuali Golkar. Bukan Aisyah namanya kalau ia tidak berusaha untuk mengembangkan pemikirannya di tataran yang lebih tinggi. Pada proses penyiapan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Aisyah sering diundang Sekjen Wakahamnas. Di masa Orde Baru, GBHN selalu berasal dari presiden. Begitu GBHN masuk dalam tingkat pembahasan di MPR, akan sulit mengubahnya. Sebelumnya ide-ide tentang GBHN ini didiskusikan dulu pada pertemuan terbatas dengan ormas, partai-partai politik, kalangan birokrasi dan kalangan kampus oleh Wakahamnas. Lewat pembahasan-pembahasan itulah Aisyah berusaha memasukkan ide-idenya ke dalam GBHN. Namun saking sulitnya, kalau pun ide-ide itu masuk, hanya sebatas hal-hal yang umum dan bukan hal-hal strategis. Salah satu yang disoroti Aisyah dan fraksinya ketika itu adalah Trilogi Pembangunan, yakni pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. F-PP menginginkan GBHN menitikberatkan pada pemerataan. Tapi pemerintah malah menitikberatkan pertumbuhan, yang ditandai dengan pembangunan di kota-kota besar dengan peningkatan sampai tujuh persen. Padahal, menurut Aisyah, daerah-daerah justru sangat tertinggal pertumbuhannya dan perekonomiannya sangat rendah. Itulah sebabnya, ia lebih setuju jika yang dikedepankan adalah pemerataan. Aisyah bahkan mengangkat isu transmigrasi yang ketika itu sedang digalakkan pemerintah. Menurutnya, sentralisasi pembangunan di Jawa membuat program transmigrasi tidak berhasil, karena lebih banyak orang daerah yang datang ke Jawa dibandingkan orang Jawa yang bertransmigrasi ke daerah.
Masih belum cukup, perempuan yang pernah menjadi anggota Komnas HAM ini mengkritik masalah pertanahan, dimana pemerintah seringkali mengambil paksa tanah rakyat tanpa ganti rugi. Juga dikritiknya gaji pegawai negeri yang rendah. Gaji yang tidak mencukupi kebutuhan ini menjadi pemicu korupsi. Masih dipercaya Tahun 1992-1997, Aisyah dipercaya lagi sebagai anggota DPR/MPR RI dan duduk di Komisi I. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan dipercaya sebagai ketua Komisi I yang ketika itu membidangi pertahanan, keamanan, luar negeri dan penerangan.Periode 1997-1999, ia kembali dipercaya sebagai ketua Komisi I. Hal ini amat berkesan bagi dirinya, karena komisi ini terkenal 'berat' dan ia adalah perempuan pertama yang menjadi ketua komisi ini. Apalagi dirinya berasal dari partai Islam, yang seringkali menimbulkan kesan kurang memberikan kesempatan pada kaum perempuan. Selama di Komisi I, Aisyah banyak melontarkan kritik, saran dan gugatan. Suaranya yang lantang dan argumentasinya yang tajam dalam rapat-rapat komisi maupun rapat pleno sangat dikenal. Bahkan, orang tidak perlu melihat siapa yang berbicara, karena sudah mengenal suara dan gaya bicaranya. Aisyah mengkritik tindakan represif TNI di Aceh dan Papua, tempat-tempat perjudian yang di-backing pejabat dan aparat keamanan, peredaran Narkoba, bahkan UU Pers, khususnya Peraturan Menteri Penerangan No. 10 tahun 1984 yang memasung kebebasan pers, juga undang-undang perfilman yang menyulitkan para sineas berkreasi. Ia bahkan dengan berani mengkritik kenetralan TNI/Polri (dulu masih bernama ABRI) yang kala itu sangat memihak Golkar. Tak tanggung-tanggung, kritik itu disampaikan langsung saat pertemuan pimpinan partainya dengan Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno.
Kawan-kawannya mengenal Aisyah sebagai anggota Dewan yang sering turun langsung ke daerah. Di sana, ia bertemu langsung dengan rakyat dan mendengarkan keluhan mereka. Semua itu tidak hanya diendapkan, melainkan langsung didiskusikan dan dicari solusinya bersama kawan-kawannya di DPR. Setelah tidak menjadi ketua Komisi I DPR/MPR, periode 1999-2004, Aisyah dipercaya F-PP duduk dalam Badan Pekerja MPR sebagai wakil ketua Panitia Ad Hoc II, yang mempersiapkan rancangan ketetapan-ketetapan selain GBHN dan Perubahan UUD 1945. Mencermati peristiwa-peristiwa sejarah di Indonesia, tampaklah bahwa Aisyah Aminy selalu hadir di dalamnya sebagai komponen yang ikut berjuang dan berperan serta. Ia menjadi saksi sejarah sejak zaman penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Ia pejuang kemerdekaan, aktivis di masa Orde Lama, ikut meletakkan dasar Orde Baru sekaligus mengkritisinya. Ia menjadi saksi pergantian lima presiden Republik Indonesia, sejak zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Puteri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Aisyah Aminy adalah perempuan baja yang tegar dan konsisten dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakininya.
Sumber : Buku Tokoh Wanita Indonesia (2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar