Minggu, 07 November 2010

Syekh Taher Djalaluddin Al-Falaki (1869-1956) : Ulama Besar Semenanjung Malaysia Keturunan Minangkabau

Ditulis ulang : Muhammad Ilham (c) Tim Peneliti FIBA

"Kehadiran Thahir Djalaluddin, menurut Roff, telah menarik perhatian para ulama kaum tua di Semenanjung. Mayoritas para ulama tua ini merasa tersaingi dan terkesan kehadiran ahli falak ini menggerogoti otoritas dan domain keilmuan mereka" (William Roff)


Syekh Thahir Djalaluddin Al-Azhari Al-Falaki (selanjutnya disebut Thahir Djalaluddin) pada waktu kecil memiliki nama Muhammad Thahir. Beliau lahir di nagari Ampek Angkek Canduang, Bukittinggi pada tanggal 7 Desember 1869. Beliau kembali ke Rahmatullah pada tanggal 26 Oktober 1956 di Kuala Kangsar Perak, Malaysia. Secara genetik, Thahir Djalaluddin merupakan keturunan ”darah biru ulama”. Ayahnya bernama Muhammad, yang biasa dipanggil dengan Syekh Cangkiang. Gelar Syekh ini menunjukkan bahwa ayah Thahir Djalaluddin merupakan seorang ulama. Sementara itu, kakeknya bernama Ahmad Djalaluddin dengan gelar Tuanku Sami’, seorang kadi pada masa Paderi. Thahir Djalaluddin merupakan saudara sepupu dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sementara itu, ibu Thahir Djalaluddin, Limbak Urai, merupakan kakak dari Gandam Urai, ibu dari Syekh Ahmad Khatib. Thahir Djalaluddin memiliki empat orang saudara yaitu Aishah, Maryam, Muhammad Amin dan Halimah. Ketika beliau berumur 2 tahun, ayah Thahir Djalaluddin meninggal dunia dan enam tahun kemudian sang ibu-pun menyusul ke rahmatullah. Sejak itu, beliau diasuh oleh adik ibunya, Limbak Urai.

Thahir Djalaluddin mempunyai enam orang istri yang dinikahinya dalam waktu yang berbeda. Istri pertama beliau bernama Aishah binti Haji Mustafa yang dinikahinya ketika beliau pertama sekali tinggal di Kuala Kangsar. Dengan aishah ini, Thahir Djalaluddin dikaruniai enam orang anak yang bernama Rahmah, Muhammad Al-Johary, Ahmad, azizah, Hamid dan Hamdan. Sedangkan lima orang lagi istri beliau merupakan keturunan Minangkabau yang dinikahinya ketika Thahir Djalaluddin berkunjung ke Minangkabau. Dengan istri-nya yang lima orang keturunan Minangkabau tersebut, Thahir Djalaluddin tidak dikaruniai anak. Sampai akhir hayatnya, Thahir Djalaluddin tetap menjaga perkawinannya dengan istrinya yang pertama Aishah binti Haji Mustafa. Pada tahun 1880, Thahir Djalaluddin berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu Islam menyusul kakak sepupunya yang terlebih dahulu ke Mekkah. Syekh Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah tahun 1871. Di Mekkah ini, beliau belajar selama 13 tahun (dari tahun 1880-1893), termasuk belajar pada kakak sepupunya Syekh Ahmad Khatib. Karena Thahir Djalaluddin belum merasa puas selama belajar di Mekkah, Thahir Djalaluddin berangkat ke Mesir dan melanjutkan studinya di Al-Azhar selama 3 tahun (1895-1898). Kemudian beliau kembali lagi ke Mekkah dan bergabung sambil belajar dengan sepupunya yang pada waktu itu telah diangkat menjadi Guru dan Imam Mazhab Syafei di Masjidil Haram.
Limbak Urai merupakan istri dari Abdul Lathif Khatib Nagari yang merupakan tokoh di kampung halaman Thahir Djalaluddin ketika itu.Pada tahun 1898, beliau kemudian meninggal Mekkah dan menetap di Malaya. Intensitas kegiatan Thahir Djalaluddin kemudian selanjutnya terfokus di daerah Perak, Johor dan Singapura. Kalau tidak mendapat tantangan dari beberapa ulama tua-tradisionalis di Perak, beliau berkemungkinan besar diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak.

Ketika Thahir Djalaluddin berada di Mesir, beliau sempat menjadi anggota Majelis A’la Al-Azhar. Pada waktu ini, pamor Muhammad Abduh sedang naik dalam blantika pemikiran pembaharuan dunia Islam. Thahir Djalaluddin banyak menerima pemikiran-pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh yang bagi Thahir Djalaluddin sangat mencerahkan dan mengesankan. Dalam sejarah ulama-ulama Minangkabau, Thahir Djalaluddin merupakan ulama satu-satunya yang berkesempatan bersentuhan atau berinteraksi dengan dinamika pemikiran pembaharuan Islam di Mesir yang ”dikomandani” oleh Muhammad Abduh pada akhir abad ke-19 M. Ayah Hamka, Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) dan Haji Abdullah Ahmad pernah diundang pada tahun 1926 ke Kongres Internasional di Mesir untuk membahas khilafah dan sekaligus menerima penghargaan akademik Doktor Honoris Causa pada Kongres ini atas kontribusi mereka dalam pengetahuan keIslaman yang diakui oleh ulama Timur Tengah. Akan tetapi, mereka berdua ini tidak pernah belajar di Mesir se-intens Thahir Djalaluddin. Bahkan guru Thahir Djalaluddin, Syekh Ahmad Khatib, juga tidak pernah belajar di Mesir.

Setelah delapan tahun berada di Malaya, pada tahun 1906 Thahir Djalaluddin menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura. Latar belakang lahirnya majalah ini adalah keinginan Thahir Djalaluddin untuk mentransfer dan mensosialisasikan reformasi pemikirannya ke seluruh penjuru Melayu-Nusantara. Dalam majalah ini dimuat beragam artikel yang tidak hanya terfokus pada artikel-artikel ke-Islam-an saja, tapi juga memuat masalah perkembangan ilmu pengetahuan populer dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia yang pada prinsipnya memiliki keterkaitan dengan dunia Islam, serta juga memberikan inspirasi bagi kemajuan berfikir ummat Islam agar tidak ketinggalan dalam berkompetisi dengan dunia barat.
Dalam masalah ini, terutama yang bersangkutan dengan agama, Al-Imam seringkali merujuk majalah Al-Manar (majalah yang didirikan dan dipimpin oleh Muhammad Abduh) dan pendapat-pendapat dari Muhammad Abduh sendiri. Majalah ini terbit dua kali dalam sebulan yang mendapat apresiasi serta respon positif dan antusias di dunia Melayu-Indonesia. Disamping berbagai isu populer dan bersifat pencerahan, artikel yang menyerang tareqat juga sering dimuat dalam Al-Imam. Bahkan, secara terang-terangan Thahir Djalaluddin menyerang gerakan dan praktek tareqat. Suatu hal yang umum bagi ulama-ulama (khususnya yang berasal dari Minangkabau) murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan ”dipetakan” sebagai ulama pembaharu dalam dinamika dan dialektika sejarah pembaharuan Islam Indonesia.

Dari hasil penelusuran dan penyelidikan yang pernah dilakukan oleh beberapa orang, baik yangdietrbitkan dalam bentuk buku atau karya ilmiah yang tidak dipublikasikan, terlihat bahwa tulisan ataupun penelitian tentang Thahir Djalaluddin belum banyak dilakukan. Diantara yang pernah menulis tentang Thahir Djalaluddin adalah Hamka dalam bukunya Ayahku, sebagai tambahan (sumplemen) pada penerbitan ketiga yang dicetak pada tahun 1963. Bahan-bahan tulisannya tersebut diperoleh Hamka langsung dari Thahir Djalaluddin ketika Hamka bertemu dengan beliau pada tahun 1955 dan tahun 1956. Ketika membahas majalah Al-Imam, Hamka mendeskripsikan peranan Thahir Djalaluddin yang sangat signifikan. Thahir Djalaluddin juga diceritakan oleh Hamka bahwa ketika menjadi pengarang dan editor majalah Al-Imam tersebut, beliau melakukan perjalanan bolak-balik dari Semenanjung Malaya ke Mekkah dan Mesir. Ketika beliau meninggalkan Semenanjung Malaya, beliau menyerahkan kewenangan editornya pada sahabatnya, Abbas bin Muhammad Thaha, seorang keturunan Minangkabau yang lahir dan besar di Singapura. Hamka juga menuliskan bagaimana Thahir Djalaluddin, disamping berdakwah bersama para murid dan sahabat-sahabatnya, beliau juga menghempuskan semangat anti-kolonialisme.


Sementara itu, William Roff pernah menyinggung peranan Thahir Djalaluddin dalam reformasi dunia Islam Melayu-Indonesia dalam bukunya yang bertitelkan The Origins of Malay Nationalism pada tahun 1967 yang diterbitkan oleh Oxford University Press. Karyanya tersebut kemudian diterbitkan pada tahun 1974 di Kuala Lumpur dan edisi cetak-kedua diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 1994. Indonesianist Harry J. Benda bertindak sebagai penulis Pengantar pada buku edisi cetak kedua ini. Dalam buku ini, Roff mengemukakan bagaimana peranan Thahir Djalaluddin sebagai reformis Islam di Semenanjung dengan langkah-langkah gerakan menjadi editor utama dan mendirikan majalah Al-Imam bersama para sahabatnya. Kehadiran Thahir Djalaluddin, menurut Roff, telah menarik perhatian para ulama kaum tua di Semenanjung. Mayoritas para ulama tua ini merasa tersaingi dan terkesan kehadiran ahli falak ini menggerogoti otoritas dan domain keilmuan mereka. Roff juga menjelaskan bagaimana usaha-usaha ulama dari kaum tua yang berupaya untuk menghambat pencalonan Thahir Djalaluddin menjadi Mufti Perak.


Selanjutnya, Hamka juga pernah menulis tentang Thahir Djalaluddin dalam sebuah makalahnya yang dipresentasikan dalam Seminar Islam di Minangkabau. Tulisan yang dimuat dalam buku Islam dan Adat Minangkabau dan diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1985, menekankan pembahasannya pada peranan dua tokoh penting yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Thahir Djalaluddin beserta murid-muridnya dan implikasinya terhadap kemajuan Islam. Hamka memberika porsi tiga halaman pada perjalanan intelektual Thahir Djalaluddin dari kampung halamannya ke Mekkah, Mesir dan Semenanjung Malaya. Dalam makalah ini juga diceritakan bahwa Thahir Djalaluddin pernah kawin dengan salah seorang dara Minang ketika beliau pulang ke Minangkabau pada waktu pertama kali tahun 1923. Kedatangan Thahir Djalaluddin pada waktu itu cukup memberikan dampak yang signifikan terhadap semangat reformasi. Beliau berkeliling ke berbagai tempat di Minangkabau dan menghembuskan semangat perjuangan, bernuansa politis, menentang penjajah, akan tetapi tidak memakai pendekatan dan pemikiran ”komunis” yang pada masa itu lagi trend di Minangkabau, melainkan dari pendekatan Tauhid Islam. Keluarganya menjodohkan beliau dengan dara Minang asal Padang Panjang dengan harapan agar beliau betah tinggal di Minangkabau. Tetapi, tahun 1928, beliau kembali ke Singapura. Tahun 1928, beliau kembali lagi ke Minangkabau dan kemudian ditangkap oleh Belanda serta ditahan selama 6 bulan di penjara Bukittinggi dan Muara Padang. Ketika beliau pulang untuk yang kedua kalinya tersebut, Thahir Djalaluddin bersama-sama dengan HAKA dan Abdullah Ahmad, bersatu dalam menumpas paham komunis yang dikembangkan oleh salah seorang murid HAKA, Haji Datuk Batuah di Thawalib Padang Panjang.

Deliar Noer dalam disertasi Doktornya di Cornell University, Ithaca New York dengan judul The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 yang diterbitkan untuk kali pertamanya oleh Oxford University Press tahun 1973 juga menyinggung sedikit tentang Thahir Djalaluddin. Deliar Noer memfokuskan kontribusi Thahir Djalaluddin dalam memberikan pencerahan dan kedewasaan berpolitik masyarakat Minangkabau melalui majalah Al-Imam, dimana Thahir Djalaluddin merupakan salah satu ”tokoh kunci” majalah yang diterbitkan di Singapura ini. Disamping Deliar Noer, tulisan mengenai Thahir Djalaluddin juga pernah disinggung oleh Akhria Nazwar dalam bukunya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi : Ilmuan Islam di Permulaan Abad Ini. Sedangkan fokus mengenai majalah Al-Imam juga ditulis oleh Mahmud Yusuf dalam tesisi S2-nya yang berjudul Majalah Al-Imam Singapura : Suatu Studi Mengenai Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam pada Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1994. Kemudian Bachtiar Djamily, putra Syekh Muhammad Djamil Djaho, juga menulis buku tentang Riwayat dan Perjuangan Syekh Thaher Djalaluddin Al-Falaki Al-Azhari. Buku tersebut dicetak pertama sekali di Malaysia oleh penerbit Ashmah Publisher Kuala Lumpur tahun 1994 dan kemudian dicetak di Indonesia oleh Percetakan Kreasi Jaya Utama.


(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar