Secara tradisional, ada dua arena pembentukkan karakter masyarakat Minangkabau, Surau dan lapau. Keduanya sangat berpengaruh besar dalam perkembangan mental masyarakat ini.
Surau adalah lambang kesakralan mencerminkan sikap relijius, sopan santun serta kepatuhan kepada Allah, sedangkan lapau mencerminkan aspek keduniawiyan (profan) yang mengandung kekerasan, keberanian. Kecendrungan perkembangan anak-anak suku Minangkabau ditentukan dari banyaknya porsi waktu yang mereka habiskan sebagai bagian hidupnya sehari-hari dari tempat ini. jika seorang anak lebih banyak berada di lapau tanpa pernah mengaji di Surau, maka orang menyebut mereka parewa. Sebaliknya, jika waktu yang dihabiskan oleh seseorang lebih banyak di Surau, maka orang itu disebut urang siak atau pakiah. Karena itu, dari aspek mental keagamaan, bagi masyarakat tradisional Minang, terutama kaum pria-nya, fungsi Surau jauh lebih penting dalam membentuk karakter mereka di kemudian hari. Selain untuk memperoleh informasi keagamaan, juga dijadikan ajang bersosialisasi. Semenjak berumur 6 tahun, kaum pria telah akrab dengan lingkungan Surau. Struktur bangunan rumah tradisional orang Minang yang dikenal dengan rumah gadang memang tidak menyediakan kamar bagi anak laki-laki. Karena itu, setelah berumur 6 tahun, anak laki-laki di Minangkabau seperti terusir dari rumah induk. Hanya pada maktu siang hari mereka boleh bertempat di rumah guna membantu keperluan sehari-hari. Sedangkan pada waktu malam, mereka harus menginap di Surau. Selain karena tidak disediakan tempat, mereka juga merasa risih untuk berkumpul dengan urang sumando (suami dari kakak/adik perempuan) dan mendapat ejekan dari orang-orang karena masih tidur dengan ibu. Dalam ucapan yang khas, lalok di bawah katiak mande. Di Surau mereka bukan sekedar menginap. Banyak aktifitas penting yang mereka lakukan di sana. Belajar silat, adat istiadat, randai, indang menyalin tambo dilaksanakan berbarengan dengan aktifitas keagamaan seperti belajar tarekat, mengaji, shalat, salawat, barzanji dan lainnya. Karakter pembentukan Islam tradisional sesungguhnya berangkat dari aktifitas seperti ini.
Demikian besar fungsi Surau bagi perkembangan generasi muda Minang pada masa lalu. Karena itu sungguh sebuah ironi, bila lembaga yang demikian strategis akhirnya mengalah pada perubahan. Surau mewadahi proses lengkap dari sebuah regenerasi masyarakat Minang, sesuatu yang sulit dicari tandingannya dalam kultur manapun di dunia ini. Segala kebutuhan yang bersifat praktis, skill, kebijaksanaan, tutur kata dan tata krama yang diperlukan orang Minang pada masa dewasanya sebagian besar diperoleh di Surau. Adat budaya yang mengacu pada konsepsi alam takambang jadi guru yang melahirkan kebijkasanaan sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang), adalah bentuk kearifan yang diperoleh melalui pelatihan terpadu yang mengintegrasikan antara konsepsi ideologis dengan norma-norma budaya dan praktis lewat lembaga semacam Surau. Masyarakat tardisional yang di-back up oleh adat sangat kaya dengan prinsip-prinsip hidup semacam ini, sekedar menyebut contoh, misalnya untuk memberi i’tibar terhadap sikap tawadhu’ ada ungkapan ilmu padi, makin barisi makin marunduak.
Seiring dengan berkembangnya Islam, Surau menjadi aset yang dapat dipergunakan untuk menyebarkan dan mengenalkan konsep-konsep dasar Islam. Kedatangan Syekh Burhanuddin di penghujung abad ke-17 dengan mendirikan Surau di daerah Ulakan Pariaman menjadi titik awal dari terbentuknya karakter tradisional Islam hampir di seluruh wilayah penyebaran maupun pengaruhnya. Hal itu disebabkan karena kemampuan Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh Burhanuddin sangat mengakomodasi tradisi lokal. Aspek-aspek tasauf yang dikandung dalam ajaran ini—sebagaimana halnya dengan pengalama-pengalaman awal islamisasi di wilayah nusantara—memudahkan diterimanya Islam, karena memiliki kesamaan-kesamaan dengan ajaran Hindu/Budha yang telah terlebih dahulu dipraktekkan. Kedekatan emosional masyarakat Minang dengan Surau menjadi faktor kunci lestarinya pemahaman tradisional di ranah Minang dan buah dari sebuah interaksi antara dua kultur yang saling berdialog. Sudut pandang kelompok modernis terhadap Surau tradisional sesungguhnya melepaskan ikatan-ikatan kultural ini yang telah terjalin demikian lama sehingga memunculkan bentuk-bentuk Islam tradisi yang mapan di wilayah Minangkabau.
Ada narasi sejarah yang terpenggal dari sudut pandang seperti ini, meskipun pada tataran kebutuhan praktis yang bersifat temporal, pembaharuan yang digaungkan Islam modernis patut diapresiasi juga. Pemaksaan atas narasi besar Islam Arabia (ideologisasi Islam seolah-olah hanya tipikal Arab-lah yang benar) di gelanggang persemaian Islam kultural tentu sulit diterima, apapun alasannya. Ada sekian proses-proses penyesuaian dalam narasi kecil Islam nusantara yang tidak harus dinilai sebagai bid’ah, kafir, jumud dan seterusnya. Dengan demikian, Surau dalam kerangka demikian—meminjam sebutan yang digunakan Nurcholish Madjid untuk Pesantren di Jawa—tidak hanya identik dengan makna keislaman, namun juga mengandung keaslian (indigenous) yang berangkat dari kearifan lokal. Dengan kata lain, masyarakat Minangkabau juga memiliki kearifan tersendiri ketika Islam hadir dan mengidentifikasi diri terhadap unsur lokal. Kemampuan Tarekat Syattariyah melakukan pendekatan dengan cara sufistik terhadap membuat islamisasi yang terjadi di wilayah Minangkabau tidak mengancam fondasi dasar masyarakat Minang, bahkan memperkaya elemen-elemen kultural yang ada.
Dari perspektif ini,Taufik Abdullah melihat bahwa pembentukan tradisi—sebagai sesuatu yang dilestarikan dari masa lampau—lebih dari sekedar persoalan legitimasi, namun juga menyangkut persoalan otoritas dan kewenangan. Sesuatu yang disebutnya sebagai paradigma kultural untuk melihat dan memberi makna terhadap kenyataan, yang tumbuh dari proses seleksi, dimana harapan berbenturan dengan kenyataan, dan kebebasan ekspresi harus mencari bentuk terbaik dengan keharusan-keharusan sturktural. Pada saaat itu, tradisi dapat dianggap sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang mengarahkan sifat dan corak komunitas. Dengan kata lain, menurut Abdullah, tradisi telah memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal. Mengikatkan diri kepada sumber atau person-person masa lalu adalah sebuah keharusan bagi tarekat Syattariyah bila ingin memperkenalkan Islam dalam struktur adat yang sudah terbentuk. Bukankah terbentang jarak yang sangat jauh antara wilayah Minangkabau dengan pusat Islam di Timur Tengah? Dan disepakati oleh para ahli sejarah bahwa pengenalan Islam ke wilayah ini bukan dengan wajah kekerasan. Lalu bagaimana Islam mengidentifikasi diri jika tidak dengan melakukan penyesuaian pada taraf tertentu terhadap tradisi yang diyakini secara kolektif oleh masyarakat lokal, sebagaimana ia harus mengidentifikasi diri sebagai bagian otentik dari dunia Islam meskipun terpencil ? Sebagai kelanjutan dari menguatnya posisi agama dalam struktur adat Minangkabau, maka berakibat pula pada menguatnya kedudukan ulama dan guru-guru agama. Di bawah pengelolaan ulama-ulama tradisional, Surau-Surau melanjutkan peran-peran lamanya sebagai pusat pencerdasan masyarakat dengan warna tradisional yang kental.
:: Tulisan lengkap yang merupakan ringkasan dari Disertasi A. Taufik Hidayat diterbitkan dalam Jurnal Tabuah Edisi Januari-Juni 2011 (Redaktur : Muhammad Ilham)
Surau adalah lambang kesakralan mencerminkan sikap relijius, sopan santun serta kepatuhan kepada Allah, sedangkan lapau mencerminkan aspek keduniawiyan (profan) yang mengandung kekerasan, keberanian. Kecendrungan perkembangan anak-anak suku Minangkabau ditentukan dari banyaknya porsi waktu yang mereka habiskan sebagai bagian hidupnya sehari-hari dari tempat ini. jika seorang anak lebih banyak berada di lapau tanpa pernah mengaji di Surau, maka orang menyebut mereka parewa. Sebaliknya, jika waktu yang dihabiskan oleh seseorang lebih banyak di Surau, maka orang itu disebut urang siak atau pakiah. Karena itu, dari aspek mental keagamaan, bagi masyarakat tradisional Minang, terutama kaum pria-nya, fungsi Surau jauh lebih penting dalam membentuk karakter mereka di kemudian hari. Selain untuk memperoleh informasi keagamaan, juga dijadikan ajang bersosialisasi. Semenjak berumur 6 tahun, kaum pria telah akrab dengan lingkungan Surau. Struktur bangunan rumah tradisional orang Minang yang dikenal dengan rumah gadang memang tidak menyediakan kamar bagi anak laki-laki. Karena itu, setelah berumur 6 tahun, anak laki-laki di Minangkabau seperti terusir dari rumah induk. Hanya pada maktu siang hari mereka boleh bertempat di rumah guna membantu keperluan sehari-hari. Sedangkan pada waktu malam, mereka harus menginap di Surau. Selain karena tidak disediakan tempat, mereka juga merasa risih untuk berkumpul dengan urang sumando (suami dari kakak/adik perempuan) dan mendapat ejekan dari orang-orang karena masih tidur dengan ibu. Dalam ucapan yang khas, lalok di bawah katiak mande. Di Surau mereka bukan sekedar menginap. Banyak aktifitas penting yang mereka lakukan di sana. Belajar silat, adat istiadat, randai, indang menyalin tambo dilaksanakan berbarengan dengan aktifitas keagamaan seperti belajar tarekat, mengaji, shalat, salawat, barzanji dan lainnya. Karakter pembentukan Islam tradisional sesungguhnya berangkat dari aktifitas seperti ini.
Demikian besar fungsi Surau bagi perkembangan generasi muda Minang pada masa lalu. Karena itu sungguh sebuah ironi, bila lembaga yang demikian strategis akhirnya mengalah pada perubahan. Surau mewadahi proses lengkap dari sebuah regenerasi masyarakat Minang, sesuatu yang sulit dicari tandingannya dalam kultur manapun di dunia ini. Segala kebutuhan yang bersifat praktis, skill, kebijaksanaan, tutur kata dan tata krama yang diperlukan orang Minang pada masa dewasanya sebagian besar diperoleh di Surau. Adat budaya yang mengacu pada konsepsi alam takambang jadi guru yang melahirkan kebijkasanaan sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang), adalah bentuk kearifan yang diperoleh melalui pelatihan terpadu yang mengintegrasikan antara konsepsi ideologis dengan norma-norma budaya dan praktis lewat lembaga semacam Surau. Masyarakat tardisional yang di-back up oleh adat sangat kaya dengan prinsip-prinsip hidup semacam ini, sekedar menyebut contoh, misalnya untuk memberi i’tibar terhadap sikap tawadhu’ ada ungkapan ilmu padi, makin barisi makin marunduak.
Seiring dengan berkembangnya Islam, Surau menjadi aset yang dapat dipergunakan untuk menyebarkan dan mengenalkan konsep-konsep dasar Islam. Kedatangan Syekh Burhanuddin di penghujung abad ke-17 dengan mendirikan Surau di daerah Ulakan Pariaman menjadi titik awal dari terbentuknya karakter tradisional Islam hampir di seluruh wilayah penyebaran maupun pengaruhnya. Hal itu disebabkan karena kemampuan Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh Burhanuddin sangat mengakomodasi tradisi lokal. Aspek-aspek tasauf yang dikandung dalam ajaran ini—sebagaimana halnya dengan pengalama-pengalaman awal islamisasi di wilayah nusantara—memudahkan diterimanya Islam, karena memiliki kesamaan-kesamaan dengan ajaran Hindu/Budha yang telah terlebih dahulu dipraktekkan. Kedekatan emosional masyarakat Minang dengan Surau menjadi faktor kunci lestarinya pemahaman tradisional di ranah Minang dan buah dari sebuah interaksi antara dua kultur yang saling berdialog. Sudut pandang kelompok modernis terhadap Surau tradisional sesungguhnya melepaskan ikatan-ikatan kultural ini yang telah terjalin demikian lama sehingga memunculkan bentuk-bentuk Islam tradisi yang mapan di wilayah Minangkabau.
Ada narasi sejarah yang terpenggal dari sudut pandang seperti ini, meskipun pada tataran kebutuhan praktis yang bersifat temporal, pembaharuan yang digaungkan Islam modernis patut diapresiasi juga. Pemaksaan atas narasi besar Islam Arabia (ideologisasi Islam seolah-olah hanya tipikal Arab-lah yang benar) di gelanggang persemaian Islam kultural tentu sulit diterima, apapun alasannya. Ada sekian proses-proses penyesuaian dalam narasi kecil Islam nusantara yang tidak harus dinilai sebagai bid’ah, kafir, jumud dan seterusnya. Dengan demikian, Surau dalam kerangka demikian—meminjam sebutan yang digunakan Nurcholish Madjid untuk Pesantren di Jawa—tidak hanya identik dengan makna keislaman, namun juga mengandung keaslian (indigenous) yang berangkat dari kearifan lokal. Dengan kata lain, masyarakat Minangkabau juga memiliki kearifan tersendiri ketika Islam hadir dan mengidentifikasi diri terhadap unsur lokal. Kemampuan Tarekat Syattariyah melakukan pendekatan dengan cara sufistik terhadap membuat islamisasi yang terjadi di wilayah Minangkabau tidak mengancam fondasi dasar masyarakat Minang, bahkan memperkaya elemen-elemen kultural yang ada.
Dari perspektif ini,Taufik Abdullah melihat bahwa pembentukan tradisi—sebagai sesuatu yang dilestarikan dari masa lampau—lebih dari sekedar persoalan legitimasi, namun juga menyangkut persoalan otoritas dan kewenangan. Sesuatu yang disebutnya sebagai paradigma kultural untuk melihat dan memberi makna terhadap kenyataan, yang tumbuh dari proses seleksi, dimana harapan berbenturan dengan kenyataan, dan kebebasan ekspresi harus mencari bentuk terbaik dengan keharusan-keharusan sturktural. Pada saaat itu, tradisi dapat dianggap sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang mengarahkan sifat dan corak komunitas. Dengan kata lain, menurut Abdullah, tradisi telah memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal. Mengikatkan diri kepada sumber atau person-person masa lalu adalah sebuah keharusan bagi tarekat Syattariyah bila ingin memperkenalkan Islam dalam struktur adat yang sudah terbentuk. Bukankah terbentang jarak yang sangat jauh antara wilayah Minangkabau dengan pusat Islam di Timur Tengah? Dan disepakati oleh para ahli sejarah bahwa pengenalan Islam ke wilayah ini bukan dengan wajah kekerasan. Lalu bagaimana Islam mengidentifikasi diri jika tidak dengan melakukan penyesuaian pada taraf tertentu terhadap tradisi yang diyakini secara kolektif oleh masyarakat lokal, sebagaimana ia harus mengidentifikasi diri sebagai bagian otentik dari dunia Islam meskipun terpencil ? Sebagai kelanjutan dari menguatnya posisi agama dalam struktur adat Minangkabau, maka berakibat pula pada menguatnya kedudukan ulama dan guru-guru agama. Di bawah pengelolaan ulama-ulama tradisional, Surau-Surau melanjutkan peran-peran lamanya sebagai pusat pencerdasan masyarakat dengan warna tradisional yang kental.
:: Tulisan lengkap yang merupakan ringkasan dari Disertasi A. Taufik Hidayat diterbitkan dalam Jurnal Tabuah Edisi Januari-Juni 2011 (Redaktur : Muhammad Ilham)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar