Rabu, 21 Juli 2010

Naskah Otobiografi Syekh Djalaluddin Faqih Saghir (1161 H/1748 M-1180 H/1766 M) - Bagian Pertama

Oleh: Rusydi Ramli & Muhammad Ilham

Sumber : Rusydi Ramli, Gerakan Paderi Versi Pelaku : Bedah Naskah Syekh Jalaluddin Faqih Saghir, Padang: IAIN Press, 2001

::: Transkripsi Naskah (hal. 1 - 7 dari 79 halaman)

Mukaddimah


Alamat surat keterangan daripada saya Fakih Saghir `Alamiyat Tuanku Samiang Syekh Jalaluddin Ahmad Kota Tuho jua adanya wa Allah : Wabihi nasta`ina bi `inayati yaitu cerita yang dimulai dangan* perkataan yang fasihat, yang terbit daripada hati yang suci lagi haning* lagi* jernih, dituliskan dangan faal yang khalas daripada segala ihwal, dipesertakan dangan muka yang manis lagi dihiasi dangan sebaik2 mukadimah, serta baik nazam dan tertib seperti intan yang ditatah dangan lembaganya lagi dipersalokan* dangan seindah2 johar dan mutiara; dikeluarkan dangan perkataan yang tidak kazib dan khianat hanya semata2 khilaf dan lupa, dan perkataan yang sedikit2 adanya.

Asal Mula Kembang Ilmu Agama di Pulau Andalas

Bahwa inilah cerita daripada saya, Fakih Saghir `Alamiyat Tuanku Samiang Syekh Jalaluddin Ahmad Kota Tuho adanya. Akan halnya cerita ini peri menyatakan asal kembang ilmu syari`at dan hakikat, dan asal teguh larangan dan pegangan, dan asal berdiri agama Allah dan agama Rasullah daripada awalnya lalu kepada akhirnya, lalu kepada perang hitam dan putih hingga keluar Kompeni Wolanda ke Tanah Darat ini adanya. Maka adalah saya, Fakih Saghir, mendengar cerita daripada saya punya bapa´, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat. Karena cerita ini adalah ia setengah daripada adab dan tertib wara` orang mengambil petuah jua adanya. Ya`ni adalah seorang aulia Allah yang kutub,* lagi kasyaf,* lagi mempunyai keramat, yaitu orang Tanah* Aceh, Tuan Syekh Abdul Rauf orang masyhurkan. Telah ia mengambil ilmu daripada Tuan Syekh Abdul Kadir al-Jailani. Itu pun ia mengambil tempat di negeri Medinah, tempat berpindah* Nabi kita Muhammad Rasullah sallallahu `alaihi wasallam, yaitu bimbing mehafazkan ilmu syari`at dan hakikat; ialah menjadi pintu ilmu sebelah pulau Aceh ini.

Maka telah disampaikan Allah maksudnya itu, maka disuruhlah oleh Tuan Syekh Abdul Kadir al-Jailani mengembang ilmu itu ke negeri pulau Andalas bumi Sumantera ini. Maka digarakkan* Allah berlayarlah ia di kepala tempurung menjalang* negeri Aceh adanya. Maka kemudian dari itu turunlah ilmu tarikat ke nagari Ulakan kepada aulia Allah yang mempunyai keramat lagi memunyai darjat yang a`la, ialah pergantungan ilmu tahkik, ikutan dunia akhirat oleh segala makhluk yang sebelah tanah ini.

Maka berpindahlah tarikat ke Paninjauan lalu kepada Tuanku di Mansiang nan Tuho sekali2, serta ia memakaikan tertib majlis lagi wara` seperti Tuanku di Ulakan jua halnya. Maka dimasyhurkan orang pula Tuanku nan Tuho dalam nagari Kamang. Ia telah mehafazkan ilmu alat. Dan Tuanku di Lembah serta Tuanku di Puar yang mempunyai keramat, yang beroleh limpah daripada Tuanku di Paninjauan, orang Empat Angkat jua adanya. Maka ada pula Tuanku ditompang di Tanah Rao datang di negeri Mekah Medinah membawa ilmu mantik dan ma`ni. Maka berpindah pulalah ilmu itu kepada aulia Allah yang kasyaf lagi keramat* `Alamiyat* Tuanku nan Kecil dalam nagari Kota Gadang adanya. Maka ada pula lagi Tuanku di Sumani´ datang di negeri Aceh mehafazkan hadith dan tafsir dan ilmu fara´id. Telah masyhur ia dalam Luhak nan Tigo ini adanya. Adapun asal ilmu saraf ialah Tuanku di Talang dan asal ilmu nahu yang tiga itu ialah Tuanku di Selayo yang sangat alamiyat ahlul-nuhat yang ada keduanya dalam nagari Kubung Tigo belas adanya. Adapun saya, Fakih Saghir, adalah saya bertemu dangan Tuanku di Mansiang nan Tuho sekali2 dan Tuanku nan Keramat dalam nagari Kota Gadang pada masa umur saya kecil; dan Tuanku di Sumani´ serta saya mengambil ilmu pula adanya.

Tuanku Nan Tuo, Perhimpunan Ilmu Agama


Fihak kepada Tuanku nan Tuho dalam nagari Kota Tuho, ialah mengambil ilmu daripada Tuanku di Kamang, dan Tuanku* di Sumani´, dan Tuanku di Kota Gadang, dan Tuanku di Mansiang nan Tuho sekali, dan Tuanku di Paninjauan jua. Maka berhimpunlah ilmu mantik dan ma`ni, hadith dan tafsir, dan beberapa kitab yang besar2 dan sekalian yang pehasilkan ilmu syariat dan hakikat kepada Syekh kita Tuanku nan Tuho dalam nagari Kota Tuho semuhanya. Maka telah masyhurlah khabar Tuanku ulama yang kasyaf mehafazkan sekalian kitab, mehimpunkan sekalian faidah ilmu syariat dan hakikat, dan menyatakan perbedaan antara kafir dan Islam. Maka sebab itu banyaklah orang yang rindu dendam datang ke nagari Kota Tuho mengambil ilmu, mehafazkan sekalian kitab dan meminta´ petuah keputusan ilmu syariat dan hakikat. Maka ramailah tiap2 dusun dan puriah* dalam nagari Empat Angkat dan sukar mehinggakan ribu dan laksa luhuk dan lahak. Maka banyaklah orang yang jadi alim dan ulama yang kasyaf dalam Luhak nan Tigo ini, lalu ke Tanah Rao dan tiap2 taluk rantau dan sekalian nagari dalam pulau Aceh ini. Semuhanya itulah asal kembang ilmu dalam tanah ini adanya.


Kelakuan Orang Agama


Fihak kepada kelakuan orang agama semuhanya, ialah mengerjakan lalim aniaya, menyamun dan menyakar, melaka´ dan melakus, maling dan mencuri, menyabung dan bejudi, minum tuak dan minum kilang, memakan sekalian yang haram, merabut dan merampas, tidak* berbezo halal dan haram, larangan dan pegangan, dan mau berjual orang; dan jikalau ibunya dan syaudaranya* sekalipun, dan banyaklah orang dagang dirampasnya dan dijualnya. Itu pun Tuanku nan Tuho mendirikan larangan dan pegangan serta Tuanku2 yang lainnya. Maka sebab banyak orang terjual dan dirampas orang serta lama zaman, maka sangatlah lalah payah Tuanku menuntut orang nan terjual dan orang nan kena´* rampas itu. Dan banyaklah silang selisih, gaduh2 kelahi, dan bantah* dan berparang2; tetapi tidak me´alahkan nagari adanya.


Tuanku Nan Tuo, Pernaungan Anak Dagang


Saya Fakih Saghir seperti demikian pula, sebab ada jua saya menurut daripada saya punya* bapa´. Lagi saya dijadikan kepala bermulut oleh Tuanku2 nan Tuho* beperda`wakan orang nan ditangkap orang dan orang nan dirampas. Di mana-di mana larangan itu dibinasakan orang. Dan serta lama zaman berapa berapalah orang dagang dirampas orang dan ditangkap orang tidak jua boleh hilang melainkan kembali jua hanya, dan berhutang jua orang nan menangkap dan orang nan rampas itu, atau dialahkan kampungnya atau diparangi nagarinya. Maka sebab itu sangatlah takut orang menangkap orang dagang dan orang menjalang dia. Dan jikalau kanak2 yang kecil dan perempuan dan masuk nagari yang berlawanan sekalipun tidak jua boleh cala binasa adanya. Maka sempurnalah teguh larangan pegangan orang dagang dan orang memakaikan sembahyang. Dan jikalau fakir yang hina sekalipun dan syantosalah* ia pergi dan datang dan perjalanannya ke kiri dan ke kanan ke mana ke mana ia pergi dalam Luhak nan Tigo ini dan sekalian taluk rantau lalu ke tanah Rao jua adanya. Itulah asalnya orang dagang dan orang memakaikan sembahyang, larangan, `alim namanya. Maka terlebih sangatlah masyhur Tuanku nan Tuho ulama yang pengasih lagi penyayang, tempat pernaungan segala anak dagang, ikutan segala sidang imam syari`at ahlulsunah dan ahluljamaah sultan alim* aulia´ Allah `alaihi al-darajat wa-l-ratibat fi'ddarain.


Fakih Saghir-Tuanku Nan Renceh Mufakat Menegakkan Agama

Maka dalam masa itu jua, adalah saya, Fakih Saghir, berhimpun dangan Tuanku nan Renceh dalam mesjid Kota Hambalau di nagari Candung Kota Lawas jua adanya. Telah saya duduk bersanang2 mehafazkan ilmu fiqh. Itu pun saya telah dimasyhurkan orang pandai memafhumkan ilmu fiqh pada masa saya muda umur sekali2. Maka sebab itu banyaklah orang berhimpun2 kepada tempat itu, mengambil ilmu mehafazkan kitab fiqh itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa itu ialah ilmu fiqh.


Maka sebab beberapa kali tamat saya me´ajarkan ilmu fiqh itu, mengertilah saya apa2 perkataan yang sabit dalam kitab itu, ya`ni ialah mensucikan segala anggota daripada najis dan lata, dan memandikan sekalian badan daripada segala hadnya; dan wajib atas Islam mendirikan rukun yang lima itu, yaitu me`ikrarkan kalimat yang dua patah serta mentasdikkan dia, dan mendirikan sembahyang yang lima* pada segala waktu,* dan mendatangkan zakat* kepada segala fakir dan miskin, dan puasa pada bulan Ramadan, dan naik haji atas kuasa, dan menyatakan berjual dan memali* dan yang harus dijual dan dibali,* dan menyatakan sendiri dan besyarikat, dan menyatakan sekalian akadnya sahnya dan* batalnya, dan menyatakan membahagikan arta kepada segala warisnya, dan menyatakan nikah dan idah serta segala akadnya, dan wajib nafakah atas perempuan dan atas segala karib, dan menyatakan segala hukum sahnya dan batalnya, dan mehukum antara segala mahanusia dangan adil, dan menyuruh mereka itu dangan berbuat baik dan menagah daripada berbuat jahat. Inilah setengah kenyataan perkataan yang sabit dalam ilmu fiqh adanya. Maka sebab itu jua digarakkan Allah terbitlah dalam pikir hati saya, Fakih Saghir, yaitu hendak mendirikan agama Allah dan agama Rasullah, dan membaiki tertib dan wara`, dan membuangkan sekalian perbuatan yang jahat dan perangai yang kaji,* dan berbaiki tempat dan mesjid dan sekalian pekerjaan yang dik.´.f.n.y* syara` pula adanya. Maka setelah itu jua mufakatlah saya dangan Tuanku nan Renceh hendak mendirikan pekerjaan itu. Itu pun* Tuanku nan Renceh terlebih sangat berahi dan berapa2 kali mufakat, beria2* jua sambil duduk bersanang2 mehafazkan ilmu. Pada masa itu ia lai* dimasyhurkan orang dangan Khatib Jobahar* adanya (Bersambung .... )

Naskah Otobiografi Syekh Djalaluddin Faqih Saghir - Bagian Kedua

Oleh : Rusydi Ramli & Muhammad Ilham

Tuanku Nan Renceh Pulang ke Kamang

Maka telah lama sedikit antaranya, maka Tuanku nan Renceh kembali pulang ke nagarinya. Telah ia menegahkan orang mengambil tuak dan meminum dia. Telah ada pula seorang lagi Tuanku menanti, Malin gelarnya. Iapun suka lagi kuat lagi berani, sempurna pehaluan mendirikan pekerjaan itu. Ia bersama2 menegahkan orang meminum tuak, dan menyuruhkan orang sembahyang. Maka sebab itu terbitlah kelahi dan bantah, tetapi tidak dangan parang, hanya semata2 gaduh2 saja baharu. Maka dimasyhurkan oranglah seorang Tuanku nan Gapu´ dan seorang pula Tuanku nan Renceh, sebab kecil tubuhnya. Itu pun Tuanku nan Renceh mehimpunkan tempat mesjidnya dan membaiki tempat supaya nak berahi hati mendirikan agama, serta ia berkekalan menyuruhkan orang sembahyang jua adanya.

Madrasah Fakih Saghir Diserang


Saya, Fakih Saghir, pun seperti demikian pula. Adalah saya mendirikan jema`at berempat orang; seorang saya, dan bapa´ saya, seorang pula orang lainnya, serta saya punya syaudara, ialah nan dimasyhurkan orang* Tuanku di Kubu Sanang. Pada masa itu ia lai bernama Khatib Jobahar. Maka bersungguh2lah saya menyuruhkan orang sembahyang hingga sampai berdiri jema`at dua belas orang, dan menyuruhkan orang menunaikan zakat serta membahagikan kepada segala fakir dan miskin. Pada masa dahulu ada jua orang menunaikan zakat tetapi sedikit2; tidak dibahagikan antara segala fakir dan miskin, melainkan dihimpunkan saja supaya diambil faidah barang apa2 maksudnya, dan menyuruhkan orang maulud akan nabi salla l-lahu `alaihi wasallam* serta membaiki tertibnya, dan tertib orang memakaikan agama Islam.


Sebab banyak2 terbit hujat dan burhan daripada saya banyaklah asung fitnah dalam nagari, dan banyak* pulalah bantahan mereka itu. Maka jadilah saya dibuangkan orang, dan berapa2 kali disarangnya* saya punya mendrasah.* Dan karena sangat karas* bantahan mereka itu, sangatlah lahir benar pekerjaan agama, dan banyaklah orang memakaikan agama Islam. Dan masyhurlah pekerjaan itu kepada tiap2 nagari serta ia mengambil dalil akan hukumnya. Sungguhpun ada pekerjaan seperti demikian semuhanya Tuanku nan Tuho jua menjadi tiang sendi adanya.


Haji Miskin Pulang Dari Makkah


Maka sekira2 empat tahun lamanya mendirikan agama itu, digarakkan Allah datanglah Tuanku Haji Miskin di negeri Mekah Medinah. Kemudian sempurna hajinya, ia mendapat ke nagari Batu Tebal, sebab ada masa dahulu, sebalum ia pergi haji, adalah ia diam pada nagari itu, karena ia mengambil ilmu daripada saya punya bapa´ masa dahulunya. Maka daripada karena banyak mendengar khabar daripada hal pekerjaan orang Mekah Medinah, bertambah2lah berahi hati mendirikan agama Allah dan agama Rasullah, dan bersungguh2lah orang mendirikan sembahyang hingga sempurna jema`at empat puluh orang.
Maka telah lama sedikit antaranya, pulanglah Tuanku Haji Miskin ke nagari Pandai Sikat, dan bersungguh2 ia mendirikan agama serta ia berbaiki tempat adanya. Maka terlebih sangat pulalah masyhur pekerjaan Tuanku Haji Miskin, dan banyaklah orang mendirikan agama pada barang mana nagari adanya. Maka daripada mula2 pulang Tuanku Haji Miskin di negeri Mekah Medinah hingga orang ketumbuhan banyak habis, sembilan tahun kamariah lamanya.

Haji Miskin Pindah ke Luhak Lima Puluh, Tuanku Nan Tuo Dilarang Masuk Aia Tabik


Kemudian maka berpindahlah Tuanku Haji Miskin kepada Luhak Lima Puluh.Telah ia mengambil tempat di dalam mesjid Sungai Landai namanya dalam nagari Air Terbit jua adanya, serta ia bersungguh2 mendirikan agama Allah dan agama Rasullah. Maka lama sedikit antaranya, banyaklah asung fitnah dalam nagari itu, karena ia hendak meminasakan pekerjaan Tuanku Haji Miskin jua maksudnya. Maka sebab itu pun Tuanku nan Tuho berjalan menjalang Tuanku Haji Miskin akan menolong pekerjaannya itu, supaya nak karas agama Allah dan agama Rasullah, serta beberapa orang mengiringi, sekira2 empat puluh orang banyaknya. Maka tempo Tuanku nan Tuho datang hampir nagari Air Terbit itu, maka ditegahkan oranglah Tuanku masuk ke dalam nagari itu, karena sangatlah takutnya kepada Tuanku adanya. Dan adalah masa dahulu Tuanku nan Tuho me´alahkan nagari Taram namanya, sebab ada Tuanku2 dalam nagari Taram itu menyalahi ilmu Tuanku di Ulakan jua adanya.


Itulah sebab sangat takut orang Air Terbit dimasuki nagarinya. Itu pun Tuanku nan Tuho berkeliling ke nagari Mungo Handalas namanya. Maka berhimpunlah ke sana tiap2 nagari dalam Ranah Lima Puluh, serta Tuanku di Luhak pula adanya ialah menolong pekerjaan Tuanku nan Tuho, sebab ada ia mengambil ilmu masa dahulunya. Maka tetaplah Tuanku pada nagari itu sekira2 empat hari lamanya, dan banyaklah daya dan upaya menegahkan Tuanku masuk ke nagari Air Terbit itu jua.
Maka daripada menilik sangat sukar pekerjaan itu, terbitlah dalam fikir hati saya, Fakih Saghir, maka kata saya, "Wah Tuanku, ampunlah saya di bawah tapak kaki Tuanku. Fihak kepada pekerjaan kita ini sangatlah karasnya. Tidak sepatubnya* orang punya bicara seperti demikian, fikir hati saya. Sekarang seboleh2nya hendaklah Tuanku maafkan, biarlah saya punya bicara." Itu pun Tuanku memaafkan pula sekarang itu jua adanya. Maka kata saya, "Fakih Saghir memohonkan ampun", serta saya berdiri mendatangkan sembah seperti adat orang Melayu jua halnya, ya`ni, "Ampunlah saya kepada Penghulu2 dan Tuanku2, Imam dan Khatib, dan segala pilih* hulubalang dalam Luhak Ranah Lima Puluh ini semuhanya. Adapun Tuanku datang sekarang ke nagari ini bukan berbuat hiru hara kejahatan,* melainkan menyuruhkan kamu berbuat baik dan menagahkan* kamu berbuat jahat, dan beperdamaikan kamu daripada kelahi dan bantah, dan menyusun mufakat kamu orang Lima Puluh supaya nak sanang mereka itu semuhanya. Itulah halnya. Maka bagaimanalah* bicara kamu. Tidak sepatubnya pekerjaan kamu seperti ini rupanya. Adakah tidak tahu kamu akan bahwa sungguhnya Syekh kita ini aulia Allah Sultan Alam namanya? Dan tidak pulakah tahu kamu akan besar keramatnya dan bekas kerajaannya?"

Maka tidak suatu jua jawab daripada mereka itu semuhanya, melainkan semata2 gaduh2 daripada sangat takut dan gemetar* tulang, sebab nagari akan binasa saja hal adanya.
Hanya kata berkata sama sendirinya, yaitu kata mereka itu, "Sekarang kini jua sebab perkataan Fakih Saghir ini, hampirlah binasa nagari kita ini semuhanya, seperti nagari Taram masa dahulunya pula halnya." Itulah sebabnya saya dinamai orang Fakih Saghir pula adanya. Sekarang itu pun Tuanku berdiri* hendak berjalan ke nagari Air Terbit. Sekalian mereka itu pun berganding2 di kiri* dan di kanan serta hiru2 hati mereka itu semuhanya. Setelah disampaikan Allah Tuanku hampir nagari Air Terbit itu pun, keluarlah orang nagari Air Terbit itu semuhanya, serta ia membawa alat persembahan; dalamnya itu beberapa hadiah dan sedekah. Setelah sampai* mereka itu* di hadapan Tuanku sekalian, mereka itu pun sujud semuhanya, ialah menyusun jari nan sepuluh, menjujung* tapak kaki Tuanku, serta ia memohonkan ampun.

Maka kata seorang yang arif bijaksana, "Wah Tuanku, ampunlah kami di bawah tapak kaki duli hadirat Tuanku. Segala salah beribu kali ampun, segala* kafir beribu kali* tobat. Tuanku jua mempunyai maaf. Apa2 Tuanku punya hukum, kami pun suka menurut. Tidak kami mendalih mendarita lagi. Dan jikalau mengucap kalimat yang dua patah dan memakaikan syariat Islam sekalipun, telah kami sukakan jua semuhanya." Sekarang itu pun Tuanku telah memaafkan serta ia meminta´kan doa kepada Allah dan kepada Rasullah, itulah halnya. Ketika itu jua Tuanku pun diangkat orang persilaan lalu berdiri hendak berjalan, serta mereka itu semuhanya lagi bersuka2 serta bersanang fihak perjalanannya. Maka setelah sampai Tuanku serta mereka itu masuk ke dalam nagari Air Terbit dan tidak melihat mereka itu apa2 pekerjaan hiru hara kejahatan, suka2lah hati mereka itu semuhanya dan kata berkata sama sendiri mereka itu, yaitu, "Sebaik2nyalah kita membayar pula dan nazar meminta´ doa selamat kepada Tuhan subhanahu wata`ala, serta kita menerimakan apa2 Tuanku punya hukum adanya."


Maka sebab itu mufakatlah segala penghulu2 dalam nagari itu sekira2 sepuluh hari lamanya, ialah hendak memotong kerbau serta* ia mehasilkan alat jambar hidangan, dan mehasilkan hadiah dan nafakah akan halas* tobat, dan mehiasi tempat dan mesjid, labuh dan tepian, dan tempat permedanan pula adanya. Maka setelah sudah mufakat mereka itu dan lah* hasil pekerjaan mereka itu, maka mereka itu memotong kerbau sembilan ekor banyaknya, serta mereka itu mehimpunkan orang Ranah Lima Puluh barang sekira2 patubnya.*
Pada hari itu jua mereka itu minum dan makan serta mereka itu mehantarkan hadiah dan nafkah akan halas tobat, ialah Tuanku me´ajarkan kalimat yang dua patah. Sekalian mereka itu pun mengucap semuhanya, yaitu kalimat asyhadu an la ilaha illa 'Llah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulu'Llah jua adanya.

Maka setelah sempurna minum makan mereka itu, dan mengucap kalimat yang dua patah serta mentasdikkan dia, lagi suka pula mereka itu menyempurnakan sekalian rukun Islam yang lima itu semuhanya, ketika itu jua mesyuaratlah seorang yang cerdik cendakia* yang lebih canai bilang pandai, ialah Tuan Khatib Betuah, orang Limbukan yang dimasyhurkan orang pada masa itu Engku Besar adanya, ya`ni kesudah2an mesyhuwarat* yang dipersembahkannya itu. "Adapun penghulu nan belima orang serta orang nan lima suku dalam nagari Air Terbit ini dan serta orang nan lima buah nagari yang ada dalam pelintah* penghulu nan belima itu, sekarang kini ialah kami* ‘hitam nan tidak bekuran lai, putih nan tidak behata´* lai’, putih, putih, putih, seputih2nya." Itulah asalnya dapat nama hitam dan putih; tetapi tidak dihadapkan kepada siapa2 yang hitam dan siapa2 yang putih, hanya semata2 me`ibaratkan daripada fihak sangat bersungguh2 menurut hukum Tuanku saja hanya. Kemudian daripada sempurna pekerjaan seperti demikian itu, pulanglah Tuanku nan Tuho ke nagari Empat Angkat. Daripada hal keadaannya duduk bersanang2 tetapi pada masa yang sedikit hal adanya.


::: Transliterasi naskah 71 halaman lagi, lebih lanjut lihat
Rusydi Ramli, Gerakan Paderi Versi Pelaku : Bedah Naskah Syekh Jalaluddin Faqih Saghir, Padang: IAIN Press, 2001 atau hubungi ilhamfadli@hotmail.com dan rusydiramli52@gmail.com

Rabu, 14 Juli 2010

Naskah Kuno Islam Minangkabau : "Dari Kegiatan Penyuluhan Masyarakat"

Oleh : Muhammad Ilham

Minangkabau dikenal sebagai salah satu epicentrum naskah-naskah Islam klasik di Indonesia. Naskah-naskah tersebut ditulis oleh ulama-ulama terdahulu tentang berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, ajaran, dan syair. Di antaranya berisi tentang ketuhanan, ajaran budi pekerti, sejarah, cerita rakyat (dongeng, legenda), teknologi tradisional, mantra, silsilah, jimat, syair, politik, pemerintahan, undang-undang, hukum adat, pengobatan tradisional, dan hikayat. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, karya-karya ulama daerah itu banyak terlupakan. Naskah-naskah yang mereka tulis hanya sebagian yang berhasil dibukukan. Sisanya, tak sempat disusun menjadi sebuah buku. Karena minimnya perhatian terhadap karya-karya klasik ulama tersebut, sebagian besar hilang dan tak jelas rimbanya. Sebagian lagi, naskah mereka ada yang berada di luar negeri, seperti Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.



Dalam konteks diataslah, maka tim Naskah Kuno Islam Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang menurunkan Tim Penyuluh Pelestarian Naskah Keagamaan Sumatera Barat di Kabupaten 50 Kota beberapa waktu yang lalu. Beranggotakan dosen-dosen muda dan mahasiswa pencinta Naskah. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan penyuluhan tentang bagaimana melakukan perawatan terhadap naskah-naskah lama keagamaan yang masih tersimpan di masyarakat. Oleh karena itu sasaran penyuluhan ini adalah masyarakat pemilik naskah di daerah-daerah sentra naskah di Sumatera Barat. Untuk tahun ini FIB-Adab memilih Kabupaten 50 Kota sebagai obyek penyuluhan, karena daerah ini dianggap banyak memiliki peninggalan naskah-naskah keagamaan. Daerah sasaran penyuluhan kali ini adalah nagari Tabek Panjang, Koto Baru Simalanggang dan di nagari Taram (terutama Surau Tuo Taram).



Tim dalam kegiatan ini, disamping melakukan pencerahan terhadap pemilik naskah tentang pemeliharaan dan perawatan naskah, dan pentingnya naskah sebagai warisan budaya lokal, juga membantu pengklassifikasian naskah-naskah sesuai dengan kontennya masing, serta melakukan pendokumentasian naskah-naskah yang ditemui. Dari pengklassifikasian yang dilakukan oleh tim terdapat bervariasi peninggalan naskah yang ditemukan, yaitu a.l. mushaf al-Quran, kitab Tafsir, kitab Fiqh, Mujarrabaat, Maulud al-Barzanji, kitab ilmu Nahu dan lain-lain sebagainya. Dijelaskan juga bahwa hampir semua kitab-kitab itu dalam keadaan rusak, karena kurang terawat.


Kegiatan penyuluhan ini adalah merupakan bagian dari program pengabdian kepada masyarakat yang telah dirancangkan oleh Fakultas sejak beberapa waktu yang lalu. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai kontribusi nyata FIB-A dalam rangka pelestarian naskah-naskah keagamaan lokal yang menjadi asset kebudayaan Islam yang sangat berharga. FIB-Adab sebagai fakultas yang membidangi budaya Islam, merasa perlu mengadakan kegiatan penyuluhan ini, karena banyak sekali naskah-naskah lama keagamaan yang tersimpan di masyarakat yang tidak mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya, bahkan akhir-akhir ini ada kecendrungan masyarakat menjual naskah tersebut kepada kolektor luar negeri. Karena itu FIB-Adab untuk beberapa tahun ke depan akan memprogram kegiatan yang sama untuk beberapa daerah yang ada di Sumatera Barat.

(c : Foto by Labor Sejarah FIBA IAIN Padang)

Jumat, 02 Juli 2010

Syekh Djalaluddin (lahir : 1882) : "Sang Apologetik"

Oleh : Muhammad Ilham (c) Tim Peneliti FIBA-IAIN Padang

"Barang siapa yang dapat membatalkan ajaran tarekat Naqsyabandiah dalam buku ini, akan diberikan hadiah 1.000 Gulden” (Syekh Djalaluddin)

Ditepian danau Maninjau, tepatnya disebuah nagari kecil ketika itu, nagari Koto Baru Tigo, Djalaluddin "kecil" dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1882. la lahir dari keluarga religius. Ayahnya bernama Imam Mentari, seorang guru tarekat Naqsyabandiah berasal dari suku Koto sedangkan ibunya bernama Kambutiyah, wanita sederhana darisuku Piliang. Sang ayah, Imam Mentari, dikenal sebagal pengikut tarekat Naqsyabandiah yang cukup terpandang dan sangat disegani di kampung halamannya. Dari kecil ia membimbing Ludin (panggilan Syekh Haji Djalaluddin waktu kecil) untuk mendapatkan pendidikan agama secara dini dan intens. Ludin dibimbing ayahnya lebih serius ketika ia berusia 12 tahun. Ditepian Danau Maninjau, Ludin menikmati dinamika religius dan kultural masa kecilnya. Intelektualitas Djalaluddin, sebenamya telah terpupuk dan terlihat dari kecenderungannya sejak kecil meraup ilmu pengetahuan secara antusias. Ludin ketika kecil dikenal sebagai "pribadi kecil" yang haus akan ilmu. Sejak kecil hingga dewasa, Ludin dijuluki oteh teman-temannya "Kutu Buku". Sebuah julukan yang menunjukkan bagaimana Ludin adalah anak yang sangat rajin membaca. Ia sangat menyukai buku-buku agama disamping buku-buku umum, sehingga tidaklah mengherankan apabila kelak ia dikenal sebagai ulama yang memiliki pengetahuan dan wawasannya begitu luas tentang agama. Kemampuannya dalam adu argumen dan produktifitasnya dalam menulis (untuk ukuran zamannya) sebenamya merupakan akumulasi kelebihan seorang pribadi besar yang tidak hanya terbentuk seketika, akan tetapi merupakan sebuah proses panjang dari kecil. Pribadi Ludin "kecil" hingga Syekh Haji Djalaluddin merupakan pribadi yang senantiasa dan selalu "belajar" sepanjang hidupnya. Pada tahun 1917 dalam usia 35 tahun, Djalaluddin menikah dengan seorang gadis, Rafiqah namanya. Rafiqah berasal dari keluarga sedehana di nagari Tanjung Batung Koto Baru Maninjau. Ukuran usia yang cukup tua kala itu untuk membina rumah tangga. Menurut beberapa orang murid dan keluarganya, keterlambatan Djalaluddin membina keluarga karena "masa remaja" yang banyak dihabiskannya untuk belajar sehingga keinginan untuk berkeluarga ternafikan oleh keinginan untuk terus menuntut ilmu. Pada waktu itu Rafiqah berusia 20 tahun, Mereka dikaruniai 3 orang anak, yaitu : Zahara yang sekarang berdomisili di Palembang, anaknya yang kedua berdomisili di Lampung dan yang ketiga Saituni yang sekarang berdomisili di Malaysia.

Tahun 1923 dalam usia 41 tahun, Djalaluddin pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Saat berada di Makkah inilah Djalaluddin di talkin oleh Syekh Ali Ridha Jabal Qubis. Dengan ditalkinnya, maka Djalaluddin menganggap bahwa ia telah syah dan memiliki legalitas menjadi pengikut tarikat Naqsyabandiah. Disamping itu telah boleh dan berhak memakai gelar Syekh. Syekh Haji Djalaluddin, sebuah gelar prestisius dan bentuk pengakuan tertinggi bagi orang-orang yang memiliki kemampuan pengetahuan agama yang tinggi. Disamping itu gelar Syekh pada masa itu membutuhkan justifikasi atau legalitas dari pusat agama Islam. Belum lengkap posisi dan peran penting seorang ulama apabila belum memilki gelar Syekh yang dianugerahkan dari Makkah al-Mukarramah. Pulang dari tanah suci, Syekh Haji Djalaluddin kemudian berusaha secara maksimal untuk menyebarkan dan mensosialisasikan ajaran-ajaran tarikat Naqsyabandiah di kampungnya. Tanggung jawab moral gelar Syekh yang diembannya dari Syekh Ali Ridha Jabal Qubis menuntut beliau secara konsisten menegakkan eksistensi tarikat Naqsyabandiah ini di Minangkabau. Dan sebagai langkah awal sepulangnya dari Mekkah, ia mulai dari kampung halamannya.

Tahun 1926 istrinya Rafiqah meninggal dunia. Satu tahun kemudian (1927), Syekh Haji Djalaluddin menikah untuk kedua kalinya dengan gadis senagari dengannya yang bernama Nursiam. Gadis sederhana dari keluarga sederhana. Pada waktu itu Nursiam berumur 24 tahun. Dari perkawinannya yang kedua ini dia memperoleh lima orang anak, yakini Abdul Halim Jalal, sekarang menjadi seorang pengusaha di Jakarta, anak kedua bernama Habibah, seorang akademisi, yang sekarang ini mengelola Universitas Panca Budi di Medan. Kemudian anak yang ketiga, Alida, berdomisili di Malaysia, bersama kakaknya lain Ibu, Sartuni. Anak keempat adalah Aruati, seorang guru Sekolah Dasar di Jakarta serta anaknya yang terakhir bernama Nasrul Djalal, menjadi seorang wiraswastawan di Jakarta.


Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, pendidikan awal didapatkan Syekh Haji Djalaluddin dari bimbingan ayahnya, Imam Mentari dan pendidikan keluarga serta bimbingan adat kaumnya. Sebagai seorang anak guru tarekat, Syekh Haji Djalaluddin telah dididik untuk mendalami ilmu agama dan juga diperkenalkan dengan tarekat Naqsyabandiah sejak ia berusia dini, 12 tahun. Interaksi yang cukup intens dengan tarekat Naqsyabandiah sejak usia dini membuat Djalaluddin "kecil" sangat mencintai amalan dan ajaran­-ajaran tarekat, khususnya tarekat Naqsyabandiah. Meskipun untuk itu ia ditertawakan oleh orang lain, tetapi ia mempunyai keinginan dan kemauan yang kuat untuk "bertemu" dengan Allah SWT melalui pelaksanaan-pelaksanaan ritual dan kontemplasi sebagaimana halnya ditemui dalam "dunia" tarekat. Untuk memenuhi keinginan dan hasrat hatinya, pada usia 13 tahun ia berguru kepada Imam Sati, seorang guru tarekat Naqsyabandiah.


Setelah mengenal ilmu-ilmu agama yang dominan diketahuinya melalui media tarekat, Syekh Haji Djalaluddin "kecil" dimasukkan oleh ayahnya ke Sekolah Rakyat (SR) di nagarinya. Di Sekolah Umum ini, Djalaluddin tergolong anak yang pintar. Kebiasaan untuk selalu mencintai ilmu pengetahuan membuat ia tidak kesulitan dalam mendalami pelajaran di sekolah. Djalaluddin belum merasa puas dengan ilmu-ilmu yang diperolehnya, apalagi ilmu agama. Setelah berusia dua puluh tahun, Djalaluddin diantar oeh Imam Sati untuk mempelajari ilmu tarekat kepada Syekh Abdullah di Koto Baru Maninjau. Sejak itu mulailah Djalaluddin berpetualang dari satu guru ke guru lainnya. Setelah belajar dari Syekh Abdullah di Koto Baru, ia juga berguru pada Syekh Muhammad Said Bonjol di Pasaman. Atas usulan dari para gurunya ini, Djalaluddin kemudian berangkat ke Aceh untuk belajar kepada Syekh Abdul Djalil. Perjalanan avountourir-nya ini digambarkan Syekh Haji Djalaluddin kemudian dalam majalah Sinar Harapan. la mengatakan :
"Guru saya yang pertama tempat mempelajari tarekat yaitu Syekh Abdul Djalil di negeri Samalanga Aceh. Selanjutnya saya mempelajari tarekat tersebut pada Syekh Muhammad Haris di Banten yang mana beliau tersebut dibuang Belanda ke Bukittinggi. Kemudian saya arungi lagi lautan tarekat di Suralaya Tasikmalaya Jawa Barat, yakni saya bergaul dengan seorang anak muda Abah” (Syekh Muda Haji Ahmad Syahibulwafa Tajul Arfin)".

Ketika Djalaluddin berada di Aceh, ia juga menuntut ilmu di lembaga formal yakni di Sekolah Guru. Setelah kemerdekaan, oleh Pemerintah Indonesia ia diangkat menjadi guru Sekolah Rakyat di Pariaman, kemudian dipindahkan ke Kamang Bukittinggi. Ketika bertugas di Pariaman, Syekh Haji Djalaluddin rajin mengikuti pengajian-pengajian yang diberikan oleh Syekh Sulaiman Ar-­Rasuli, ulama kharismatik Minangkabau kala itu, yang datang kesana atas permintaan masyarakat. Setelah pindah ke Kamang Bukittinggi, Syekh Haji Djalaluddin banyak bergaul dengan pemimpin Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan ulama-ulama tarekat. Dengan ulama-ulama tarekat tersebut, ia juga belajar lebih dalam tentang tarekat Naqsyabandiah. la juga pernah menjabat sekretaris umum PERTI dan menjadi "tangan kanan" H. Siradjuddin Abbas, terutama dalam mengasuh majalah Soearti sebagai redaktur. Bahkan ia akrab dengan sesepuh PERTI Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Syekh Haji Djalaluddin pernah mengganti­kan ulama kharismatik ini memberikan pengajian di masjid Gobah Tilatang Kamang. Pengalaman yang sangat mengesankan bagi Syekh Haji Djalaluddin dalam usahanya menuntut ilmu terutama ilmu mengenai tarekat Naqsyabandiyah adalah ketika ia ditalkin oleh Syekh All Ridha Jabal Qudis di Mekkah. Syekh Haji Djalaluddin mengatakan :
"Tahun 1923, saya cuti selama 10 bulan diluar tanggungan negara yaitunya untuk menunaikan ibadah haji dan juga untuk menziarahi kuburan ibu saya, saya bernazar jika sampai ke Mekkah wajib atas saya mengulang sekali lagi menerima talkin tarekat Naqsyabandiah. Kalau tidak disebabkan nazar yang syah, Syekh Ali Ridha Jabal Qudis, tidak bersedia untuk mentalkinkan tarekat Naqsyabandiah kepada saya".

Kiprah politik terlihat nyata ketika Syekh Haji Djalaluddin berusaha menyatukan pengikut-pengikut tarekat, terutama tarekat Naqsyabandiah di Minangkabau dalam sebuah organisasi yang diberinya nama Persatuan Penganut Tarekat Islam (PPTI). Rencana untuk mendirikan organisasi ini sebenarnya telah dimulai oleh Syekh Haji Djalaluddin sejak tahun 1920, namun baru tahun 1945 niat tersebut terwujud. Rencana ini dimulai ketika PERTI mengadakan konperensi yang dilaksanakan di Bukittinggi pada tanggal 24 s/d 26 Desember 1945. Pertemuan ini dihadiri ulama-ulama PERTI dan guru-­guru tarekat. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan Syekh Haji Djalaluddin untuk menemui utusan ulama-ulama PERTI dan guru-guru tarekat yang sepaham dengannya. Usahanya ini berhasii. Sehari sebelum Konperensi PERTI dilaksanakan, tanggal 23 Desember 1945 bersama-sama dengan teman-temannya yang sepaham dengan beliau membentuk Persatuan Tarekat Islam Malaya (PTIM). Pengambilan nama Malaya didasarkan kepada kenyataan bahwa dukungan yang paling banyak didapatkan oleh Syekh Haji Djalaluddin adalah dukungan dari ulama-ulama dan guru-guru tarekat clad Malaya. Namun supaya tidak terkesan diskriminatif clan tidak nasionalis, pada akhirnya PTIM dirobah menjadi Persatuan Penganut tarekat Islam (PPTI).
PPTI selanjutnya berobah status menjadi Partai Politik. Perubahan ini beradasarkan himbauan Wakil Presiden Republik Indonesia, Drs. Muhammad Hatta pada tanggal 23 November 1945 yang memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk mendirikan partai-partai politik sesuai dengan alam demokrasi pada saat itu. PPTI yang berstatus sebagai organisasi sosial keagamaan kemudian berobah menjadi partai politik dengan nama Partai Politik Tarekat Islam (PPTI).

Dibawah kepemimpinan Syekh Haji Djalaluddin, perubahan organisasi PPTI dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik tentu saja membawa implikasi positif bagi perkembangan PPTI yang pada mulanya hanya merupakan organisasi yang bersifat lokal, dan ini tertuang dalam misi PPTI diantaranya :
Karena status partai-partai politik dalam suatu negara adalah bersifat nasional, maka mau tak mau PPTI harus meningkatkan levetnya sebagai partai nasional. PPTI harus melebarkan sayapnya ke seluruh Indonesia serta harus membentuk Dewan-Dewan Pengurus Daerah dan juga harus memperbanyak anggotanya, terutama di luar Minangkabau. Karena PPTI merupakan organisasi atau partai politik yang bersifat nasional, maka PPTI harus memindahkan pusat kegiatannya dari Bukittinggi ke Jakarta. Pemin­dahan pusat PPTI ini ke Jakarta baru dapat dilaksanakan sepenuhnya setelah Pemilihan Umum pertama tahun 1955. Sejak itu Dewan Pengurus yang berada di Bukit tinggi berubah menjadi Dewan Pengurus daerah. PPTI harus mampu menyiapkan kader-kader politik dan organisatomya harus berbobot karena kompetisi yang sangat kompetitif untuk memasuki lembaga eksekutff dan legislatif. PPTI harus memelihara, menjaga dan memegang teguh kepribadian sebagai partai politik dan tidak mudah terpengaruh dengan gelombang-gelombang politik.

Ketika revolusi fisik berlangsung, PPTI ikut serta dalam memikul tanggung jawab dengan membentuk barisan perjuangan rakyat yang dinamakan Barisan Tentara Allah, sebuah nama yang sangat perenialis. Kontribusi organisasi ini dalam melawan penjajah cukup berarti. Barisan Tentara Allah ini dikomandani langsung oleh Syekh Haji Djalaluddin.. Dalam perjuangan pada masa revolusi fisik tersebut, banyak anggota PPTI yang gugur, diantaranya : Syekh Ismail al-Khalidi, gugur di Palangki Sijunjung, Haji Ibrahim, gugur di Padang Sibusuk, Haji Umar, gugur di Lubuk Basung, Bahar Munaf, gugur di Tabing Padang, Singa Barantai, gugur pada waktu Agresi Belanda II dan Zainuddin, gugur di Batu Sangkar.
Dalam kurun waktu 10 tahun sejak berdirinya PPTI, anggota PPTI telah bertambah. Dengan bertambahnya para anggota PPTI ini otomatis banyak dibentuk cabang-cabang PPTI di beberapa daerah diantaranya : Kalimantan, Sulawesi Selatan, Tapanuli Selatan dan Tanjung Karang, Lampung. Syekh Haji Djalaluddin mengklaim bahwa pada tahun 1952 anggota PPTI telah berjumlah 5.000.000 orang, bahkan tahun 1954 telah mencapai 7.500.000 orang. Puncak dari perjuangan politik PPTI terlihat ketika PPTI masuk kedalam lembaga DPRS/MPRS Pusat di Jakarta setelah Pemilihan Umum I tahun 1955. Syekh Haji Djalaluddin berhasil menduduki "kursi" yang merupakan jatah dari PPTI. "Kepandaian dan insting politik" Syekh Haji Djalaluddin juga cukup tinggi. Syekh Haji Djalaluddin berhasil menjalin hubungan balk dengan Presiden Soekarno. Salah satu usahanya dalam menyebarkan tarekat Naqsyabandiah adalah memberikan nama Tarekat Sukarnowiyah. Suatu usaha yang bisa dilihat dari dua sisi, pragmatis dan keluwesan dalam berpolitik. Hal ini membuat banyak khalifah-khalifah tarekat Naqsyabandiah mengakui keunggulan Syekh Haji Djalaluddin dan kemudian masuk PPTI dengan alasan keamanan. Jiwa "kompromis" juga terlihat ketika Syekh Haji Djalaluddin menjalin hubungan baik dengan organisasi Muhammadiyah. Syekh Haji Djalaluddin menghibahkan tanahnya untuk dibangun sebuah masjid yang kemudian diberi nama Baitul Jalal (Rumah Syekh Haji Djalaluddin). Sejak berdiri tahun 1957, masjid tersebut dikelola oleh organisasi Muhammadiyah yang berlokasi di Aua Tajungkang Bukittinggi.

Setelah 15 tahun PPTI berstatus sebagai partai politik, akhirnya PPTI kembali khittah yang pertama yaitu kembali menjadi organisasi sosial keagamaan. Hal ini disebabkan karena keluamya himbauan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyederhanakan jumlah partai-partai di Indonesia. Maka PPTI yang semula partai politik berubah menjadi Persatuan Pengamal Tarekat Islam. Aspirasi politik mereka salurkan kepada Golongan Karya (Golkar), suatu hal yang logis clan pragmatis pada waktu itu. Sejak tahun 1975, PPTI mengalami konflik internal. Hal ini disebabkan karena Syekh Haji Djalaluddin sudah sepuh (waktu itu beliau berusia 89 tahun). Akibatnya ada sebagian anggota dari PPTI ingin kembali ke nama semula, Persatuan Penganut Tarekat Islam dan dilain pihak lahir pula nama Persatuan Pembela Tarekat Islam. Untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang berkonflik tersebut, akhirnya Golkar (organisasi peserta pemilu yang salah satu onderbouw nya adalah PPTI) terpaksa "turun tangan" dan menyatukan kembali dalarn Persatuan Pembina Tarekat Islam (PPTI juga). Namun perpecahan internal tersebut, walaupun telah mampu didamaikan oleh Golkar, tetap menjadi potensi yang potensial. Hal ini terlihat kejayaan PPTI selama dibawah kepemimpinan Syekh Haji Djalaluddin tidak mampu dilakukan kembali oleh para penggantinya. Syekh Haji Djalaluddin sebagai pendiri PPTI memimpin organisasi ini dengan berbagai dinamika, berbagai suka duka, dan berbagai "trik politik" yang pada dasarnya sebagai perwujudan kecintaan beliau terhadap Islam dan organisasi yang dipimpinnya, sejak mulai berdiri hingga tahun 1975. Karena sudah dianggap sepuh, pimpinan PPTI diambil alih oleh Azwar St. Amiruddin, dari kalangan famili Syekh Haji Djalaluddin.


Dalam bukunya yang berjudul Seribu Satu Wasiat Terakhir, Syekh Haji Djalaluddin mengemukakan silsilah tarekat Naqsyabandiah. Silsilah ini menjadi justifikasi bagi Syekh Haji Djalaluddin untuk mengembangkan ajaran tarekat
tersebut. Ia mengatakan bahwa rahasia tarekat ini diturunkan oleh Allah SWT, dengan perantaraan malaikat Jibril kepada : Nabi Muhammad SAW. Rasul terakhir yang kemudian beliau turunkan kepada : 2. Abu Bakar Shiddiq, kemudian diturunkan kepada : 3. Salman al-Faritsi, 4. Qasim bin Muhammad bi Abu Bakar Shiddiq, 5. Imam Ja'far ash-Shadiq, 6. Abu Yazid at-Busthami, 7. Abu Hasan al-Kharqani, 8. Abu Ali al-Farmadzi, 9. Abu Ya'kub al-Hamadani, 10. Syekh Abdul Khaliq, 11. Syekh Arif Rijukari al-Riwy, 12. Syekh Mahmud Arifin Faghnawi, 13. Syekh Azizan al-Ramithani, 14. Syekh Muhammad Baba Samatsi, 15. Syekh Amir Syahid Khulal al-Bukhari, 16. Syekh Bahauddin Naqsyabandi, 17. Syekh Muhammad Alauddin Athari, 18. Syekh Ya'kub Jarmi, 19. Syekh Ubaidillah Shamarzhandy, 20. Syekh Muhammad Zahidi, 21. Syekh Darwisy Muhammad, 22. Syekh Muhammad Khaujuki Amakanaki, 23. Syekh Muhammad Baki Billahi, 24. Syekh Muhammad Faruqi, 25. Syekh Muhammad Ma'shum, 26. Syekh Syaffuddin, 27. Syekh Nur Muhammad Badaawani, 28. Syekh Muhammad Habibullah, 29. Syekh Abdullah Dahlawiy, 30. Syekh Khalid Khurdy, istiqomah di Jabal Qubis, 31. Syekh Abdullah Affandi, istiqomah di Jabal Qubis, 32. Syekh Sulaiman Khuni, istiqomah di Jabal Qubis, 33. Syekh Sulaiman Zuhdi, istiqomah di Jabal Qubis, 34. Syekh Ali Ridha, istiqomah di Jabal Qubis, 35. Semoga Allah melimpahkan pula tarekat ini kepada Syekh Haji Jalaluddin, 36. Siapa-siapa yang dikehendaki Allah SWT.

Disamping menyusun silsilah diatas untuk memperkuat legitimasinya daiam menyebarkan dan mensosialisasikan tarekat Naqsyabandiah, salah satu keunikan dad Syekh Haji Jalaluddin adalah memberikan gelar Doktor Rohani kepada khalifah. Doktor Rohani ini diberikan kepada khalifah yang telah berhasil mendalami falsafah Tauhid Ma'rifatullah. Suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh guru­guru tarekat lainnya. Gelar ini diberikan Syekh Haji Jalaluddin kepada beberapa orang anggota PPTI, diantaranya : 1. Syekh Abdul Rahman Qodir (62 tahun) dari Majene Sulawesi Selatan, 2. Syekh Muhammad Ali daeng Tula (62 tahun) dari Makassar Sulawesi Selatan, 3. Syekh Muda fansuri (30 thn) dad Banjarmasin, 4. Syekh Muda Darkasyi (40 thn) dari Banjarmasin, 5. Syekh Muda La Beranti (50 thn) dari Sulawesi Tenggara,
6. Syekh Muda La Ode Abdul Halim, dari Sulawesi Tenggara, 7. Syekh Zakaria Syach (61 thn) dari Curup Bengkulu, 8. Syekh Khalid Syach (50 thn) dari Kalimantan, 9. Syekh Mustari M. (27 thn) dari Makassar, 10. Syekh Haji Sobarna (73 thn) dari Cianjur Jawa Barat, 11. Syekh Haji Muhammad Yunus (50 thn) dari Tanjung Karang Lampung, 12. Syekh Muda Abdul Latief (60 thn) dari Lampung, 13. Syekh Haji Mustafa Zuhri (70 thn) dari Sulawesi Selatan, dan 14. Syekh Muda Khatib Berlian (60 thn) dari Sulawesi Selatan.

Syekh Haji Jalaluddin juga menyandang gelar kehormatan tersebut pada tahun 1953 dalam Kongres PPTI yang dilaksanakan di Medan. Kongres ini dibuka oleh Menteri Agama RI, KH. Syaifuddin Zuhri. Sebagai tamu kehormatan, ia diminta untuk mengalungkan gelar Doktor Rohani berupa bintang emas, padahal Menteri Agama tidak mengetahui adanya pemberian gelar tersebut. Kemudian parlemen RI mengetahui permasalahan ini meminta pertanggungjawaban dari Menteri Agama RI yang telah mengalungkan bintang emas Doktor Rohani kepada Syekh Haji Jalaluddin, karena pemberian gelar tersebut berbeda dengan cara-cara yang biasa dilakukan atau diberikan oleh suatu perguruan tinggi. Kemudian pada akhimya kontroversi ini diredam dan diselesaikan.
Dalam menyebarkan tarekat Naqsyabandiah, Syekh Haji Jalaluddin banyak melakukan inovasi-inovasi terhadap ajaran-ajaran tarekat tersebut. Pengikut-pengikut Syekh Haji Jalaluddin mayoritas berada di luar Minangkabau seperti di Sulawesi Selatan, Kalimantan, Jawa Barat dan Lampung. Kalau kita lihat jumlah orang yang mendapatkan gelar Doktor Rohani dari Syekh Haji Jalaluddin, pada umumnya berasal dari luar Minangkabau. Di Minangkabau sendiri, pemikiran Syekh Haji Jalaluddin tidak mendapat tempat di tengah­-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan ajaran-ajaran tarekat yang ditulis Syekh Haji Jalaluddin, menurut utama-ulama Minangkabau pada masa itu, banyak mengandung kesalahan. Pernah para ulama-ulama yang berasal dari PERTI mengadakan konperensi untuk mengeluarkan keputusan mengenai kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh Syekh Haji Jalaluddin. Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan rekan-rekannya menerbitkan Tabligh Amanah hasil dari konpresensi yang mereka adakan tersebut dan memutuskan : Bahwa buku-buku yang dikarang oleh pengarang tersebut (maksudnya buku-buku yang dikarang Syekh Haji Jalaluddin: ed.) yang berkenaan dengan tarekat banyak mengandung kesalahan. Bahwa yang membaca buku-buku itu haram atas orang-arang yang belum dapat membedakan antara yang salah clan yang benar yang tersebut dalam buku-buku itu. Adapun membaca buku-buku agama fain seperti Kristen tidaklah haram, karena sudah diketahui salahnya. Adapun buku-buku tersebut seumpama musang berbulu ayam. Bahwa menaruhkan (menyimpan: ed.) buku-buku tersebut adalah haram jikalau tidak dicoret mana­-mana yang salah. Wajib memberikan kepada orang lain yang betum tahu bahwa isi buku tersebut banyak mengandung kesalahan.

Walaupun Syekh Sulaiman ar-Rasuli (teman Syekh Haji Jalaluddin ketika sama-sama di PERTI) telah memberikan nasehat clan teguran secara pribadi kepada Syekh Haji Jalaluddin, bahkan Syekh Haji Jalaluddin pemah mengakui kesalahannya di depan Syekh Sulaiman ar-Rasuli, namun Syekh Haji Jalaluddin balik menuding dan menuduh Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang mengarang Tabligh Amanah memutarbalikkan fakta. Menurut Syekh Haji Jalaluddin, Syekh Sulaiman ar-Rasuli memutar balikkan keterangan-keterangan clan susunan tulisannya serta memotong keterangan-keterangan tersebut disana-sini. Hal ini, kata Syekh Haji Jalaluddin justru memberikan gambaran yang tidak sebenarnya dari apa yang dimaksudkan. Keseriusan Syekh Haji Jalaluddin dalam membela pendapatnya terlihat ketika ia menjanjikan untuk memberikan hadiah bagi orang yang dapat membatalkan ajaran tarekat Naqsyabandiah.


Akan tetapi uang hadiah yang dijanjikan oleh Syekh Haji Jalaluddin tersebut tidak pernah diberikan kepada siapapun. Hal ini karena tidak pemah dibentuk Dewan Juri untuk menetapkan siapa yang menang dan siapa yang kalah, walaupun banyak tulisan-tulisan yang menyanggah buku-buku karangan Syekh Haji Jalaluddin tersebut. Ketegangan antara Syekh Haji Jalaluddin dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli serta para pengikutnya, bahkan terkesan meluas. Pertentangan yang terjadi bukan lagi pertentangan pemikiran antara dua figur ini tapi sudah meluas kepada konflik pemikiran lintas organisasi yaitu pertentangan pemikiran antara PERTI dengan PPTI, ­sama-sama berasal dari Kaum Tua Minangkabau. Walaupun Syekh Haji Jalaluddin mendapat kritikan dari ulama-ulama Kaum Tua Minangkabau, ia berhasil menyatukan pengikut tarekat Naqsyabandiah dalam organisasi PPTI yang kemudian berobah menjadi partai politik, suatu prestasi yang cukup mengagumkan. Tapi sayang, Syekh Haji Jalaluddin tidak mampu mengembangkan ketokohannya serta organisasi yang dipimpinnya secara maksimal di Minangkabau. Ketokohan Syekh Haji Jalaluddin justru banyak diterima di luar Minangkabau.
Dari penjelasan sebelumnya, telah dipaparkan bahwa Syekh Haji Djalaluddin merupakan seorang ulama yang sangat produktif dalarn mengeluarkan pemikiran-pemikirannya melalui tulisan. Hal ini terlihat dari buku-buku yang karangannya yang banyak diterbitkan.

Buku-buku karangan Syekh Haji Djalaluddin yang diterbitkan sekarang (pada umumnya terbitan anumerta setelah Syekh Haji Djalaluddin wafat: ed.) telah ditransliterasikan dari ejaan Arab Melayu kepada EYD (ejaan yang disempurnakan). Buku-buku tersebut diterbitkan oleh organisasi PPTI di Ujung Pandang (Makasar sekarang), Sulawesi Selatan antara lain :
Tulisan-tulisan beliau yang berserakan datam Majalah Sinar Keemasan, kemudian dibukukan menjadi dua jilid. Buku-buku ini berisikan tentang amalan-amalan dalam tarekat Naqsyabandiah berupa suluk, wasilah, rabithah, tawajjuh dan juga dijelaskan bagaimana pula teknik pengamalan zikir dan silsilah tarekat tersebut sampai kepada nabi Muhammad SAW. sebagai tokoh sentral tarekat tersebut. Buku Penutup Umur (BPU) dan Seribu Satu Wasiat Terakhir. Buku ini berisi tentang tasuf dan tarekat. Riwayat bangkai Berjalan Orang Mati Kembali Hidup. Dalam buku ini diceritakan bagaimana eksistensi kehidupan manusia di dunia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Apabila manusia lalai dan tidak lagi melaksanakan zikir lagi pada Allah SWT., maka ia dipandang sebagai bangkai berjalan, sebab keberadaan manusia di bumi senantiasa dipenuhi oleh zikir sebagai manifestasi ketundukan dan rasa patuh manusia kepada penciptanya. Poiitik Syetan (Ibtis) Memperdaya Ummat Manusia, isinya tentang bagaimana tipu daya yang dilakukan oleh syetan untuk menjerumuskan manusia agar jauh dari jalan Allah SWT clan diuraikan pula cara-cara untuk mengantisipasi godaan-godaan syetan tersebut. Wasiat Suami Istri Untuk Mendapatkan Anak Sholeh. Dalam buku ini Syekh Haji Djalaluddin memberikan nasehat apa-apa yang harus dilakukan oleh pasangan suami istri untuk mendapatkan anak sholeh dalam suatu perkawinan serta bagaimana membentuk keluarga yang sakinah. Pertahanan Tarekat Naqsyabandiah, merupakan buku apo/ogefik yang berisikan tentang pembelaan yang dilakukan oleh Syekh Haji Djalaluddin dari kritikan-kritikan dan kecaman-kecaman yang datang dari ulama-ulama tarekat, khususnya ulama-ulama Minangkabau, seperti Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Rahasia Mutiara Tarekat Naqsyabandiah, memuat uraian tentang tarekat Naqsyabandiah. llmu Ketuhanan Yang Maha Esa, juga berisikan tentang uraian tarekat Naqsyabandiah. Buku-buku karangan Syekh Haji Djalaluddin ini dikenal sebagai karya tulis yang banyak mengundang kritkan, baik yang bersifat apologetik maupun polemik.