Senin, 24 Mei 2010

Dari Surau Jembatan Besi hingga Perguruan Islam Thawalib Padang Panjang

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Jauh sebelum tahun 1900, sudah berjalan lama pengajian di Surau Jembatan besi Padang Panjang di bawah asuhan Syekh Abdullah, merupakan salah satu di antara pengajian-pengajian cara lama yang banyak tersebar di Minangkabau. (Catatan : Pada mulanya terdapat di tempat itu hanya jembatan kayu yang pakai atap, kemudian diganti dengan jembatan besi. Itulah pertama kali adanya jembatan besi di Padang Panjang dan terkenal Surau Jembatan Besi , yang kemudian menjadi pusat pertumbuhan Ulama dan Zuama Islam yang bertebaran ke seluruh Indonesia). Pada tahun 1907 Syekh Abdullah pindah mengajar ke Padang, dan pimpinan pengajian Surau Jembatan Besi pindah kepada Syekh Daud Rasjidi (ayahanda dati H.M.D. Dt. Palimo Kayo) dan murid-murid pengajian bertambah-tambah mendapat kunjungan dari negeri-negeri sekelilingnya dan pelajaran kitab-kitab Arab meningkat. Berhubung dengan keberangkatan Syekh Daud Rasjidi ke Makkah al Mukarramah untuk memperdalam pengetahuannya dengan Syekh Ahmad Chatib, sementara digantikan oleh kakak beliau Syekh Abdul Lathif Rasjidi (ayahanda H. Mukhtar Luthfi). Tidak lama kemudian pada tahun 1901pimpinan Surau Jembatan Besi pindah ke tangan Syekh Abdul Karim Amarullah yang waktu itu terkenal dengan sebutan Inyiak Haji Rasul (ayahanda dari HAMKA).

Di bawah asuhan Syekh Abdul Karim Amarullah, pengajian Surau Jembatan Besi bertambah maju, pelajaran kitab-kitab Arab bertambah meningkat, penuntut-penuntut ilmu agama (yang wktu itu terkenal dengan sebutan orang siak) bertambah banyak berdatangandari sekeliling Minangkabau dan juga dari daerah-daerah lain, Tapanuli, Aceh, Bengkulu, Malaya, Siam, dan lain tempat. Pada tahun 1912 jiwa ber-organisasi bertiup kencang menghidupkan kebathinan penuntut-penuntut ilmu Surau Jembatan Besi, maka terbentuklah satu organisasi dari guru-guru dan pelajar pengajian Surau Jembatan Besi, mulanya bernama SUMATERA THUWAILIB dan kemudian bernama Sumatera Thawalib. Organisasi tersebut pada tahun 1914 telah berubah bentuk , pengajian Surau Jembatan Besi mendekati bentuk Sekolah, terdiri atas tujuh kelas, dengan kitab-kitab yang lebih teratur untuk setiap kelas dengan Pimpinan Guru Besar Syekh Abdul Karim Amarullah dan Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim selaku wakil Guru Besar dan dibantu oleh guru-guru dibawahannya, dan pengawasan dari Pengurus Sumatera Thawalib yang ketika itu diketuai oleh Engku Hasjim Tiku dan dibimbing oleh Zainuddin Labay El Junusy yang baru saja pulang dari Padang Panjang. Pengajian Surau Jembatan Besi semakin maju dan ramai, walaupun masih duduk bersela di kelas masing-masing.

Pada tahun 1915 Zainuddin Labay El Junusy menciptakan suatu system Perguruan Islam yang terbaru bernama Diniyyah School atau Madrasah Diniyyah, yang lebih banyak memasukkan pelajaran-pelajaran ilmu umum, telah menyebabkan Perguruan Sumatera Thawalib semakin hebat berlomba atas kebajikan. Kemajuan Perguruan Islam bertambah meningkat dengan Sumatera Thawalib yang lebih menjurus kepada ‘Alim Ulama ahli fiqih, sedang Madrasah Diniyah mengikutsertakan ilmu Umum. Sehingga kedua-duanya merupakan kader Alim Ulama yang intelek. Modernisasi Pengajian surau-surau yang telah dimulai oleh Surau Jembatan Besi tersebut sudah menjalar ke tempat lain, dan bertumbuhanlah Sumatera Thawalib di Parabek di bawah pimpinan Syekh Ibrahim Musa, di Padang Japang di bawah pimpinan dua orang bersaudara Syekh Mushtafa ‘Abdullah dan Syekh Abbas ‘Abdullah, di Sungayang di bawah pimpinan Syekh Muhammad Thaib, di Maninjau di bawah pimpinan Syekh Abdul Rasjid dan lain-lain. Masing-masingnya berlomba-lomba untuk lebih maju, sehingga pelajar-pelajar pun semakin bertambah membanjir, juga yang berdatangan dari luar pulau Sumatera dan juga Malaya dan Siam.

Pada tahun 1918 Sumatera Thawalib Padang Panjangmelangkah maju lagi ke depan, di samping meningkatkan pelajaran dalam Perguruan Thawalib, juga mulai mengadakan penerbitan Majalah Al Munir dipimpin oleh Zainuddin Labay El Junusy dibantu oleh Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim, memuat karangan-karangan yang berisi : Pelajaran atau nasehat Agama, menjawab pertanyaan-pertanyaan, memberantas khurafat, tahkyul dan bid’ah, serta sejarah dll. Untuk kesempurnaan dan memupuk perkembangan ilmu karang mengarang (menulis), Sumatera Thawalib mengadakan Debating Club sekali seminggu yang diikuti oleh guru-guru dan pelajar-pelajar Thawalib yang sudah agak besar. Dalam Debating Club diasuh dan diasah mengarang, berpidato, berdebat, dan berlatih mengemukakan suatu pandangan dan mempertahankan pendapa-pendapat masing-masing. Dan disamping usaha penerbitan majalah Al Munir itu diadakan perpustakaan untuk mengumpulkan surat-surat Kabar dan Majalah-majalah dari seantero Indonesia (yang waktu itu disebut Hindia Belanda), juga surat-surat kabar dari Mesir. Sehingga kantor Al-Munir itu setiap sore penuh dikunjungi oleh pelajar-pelajar untuk membaca surat-surat kabar dan buku-buku baik yang berisikan politik, ekonomi, social dan pendidikan, menyebabkan pelajar-pelajar Thawalib mendapat pandangan yang luas selain dari pelajaran-pelajaran di Thawalib ataupun di Diniyah.

Perkembangan yang demikian juga menjalar ke Perguruan-perguruan Thawalib yang lain, sehingga : di Parabek terbit Majalah Al-Bayan di bawah pimpinan Sain Al-Maliki dibantu oleh Jama’in Abdul Murad, di Sungayang terbit Majalah Al-Basir di bawah pimpinan Mahmud Junus dan Mahmud ‘Azizi, di Padang Japang terbit Majalah Al-Imam di bawah pimpinan Sa’aduddin Siarbaini, di Maninjau terbit Majalah Al-Ittiqan di bawah pimpinan Mahmud Rais, di Padang Panjang terbit lagi Majalah “Perdamaian” disamping majalah Al Munir yang dipimpin oleh H. Djalaluddin Thaib. Disamping kemajuan buku-buku pelajaran B. Arab untuk Thawalib dan Diniyyah yang sengaja dipesan dari Mesir, Damaskus, Beirut, Makkah dan lain-lain, mulailah pula pelajar-pelajar Thawalib dan Diniyyah ketika itu mendapatkan bacaan majalah-majalah, brosur-brosur dan surat kabar bahasa Arab dari Timur tengah itu. Umumnya berisikan propaganda pergerakan politik perjuangan kemerdekaan. Karena bertepatan pada ketika itu kebangkitan bangsa Arab yang berjuang melepaskan belenggu penjajahan bangsa Barat atas Tanah Air mereka. Karenanya setingkat lagi kemajuan Thawalib dan Diniyah ketika itu, bukan saja menjadi Pembina kader ulama dengan system pembaharuannnya tetapi juga merupakan sumber kader Pemimpin dan Pejuang kemerdekaan bangsa Indonesiayang diserap dari Timur Tengah itu. Maka para kader Alim Ulama dan Zu’ama dari Thawalib dan Diniyah itu lebih banyak belajar perfgerakan politik dari Timur Tengah yang bernafaskan Islam.

Untuk meningkatkan kader Alim Ulama maka Sumatera Thawalib Padang Panjanh mengadakan perubahan, menambah kelas menjadi 6A daN 6B, barulah diteruskan ke kelas 7. Pada pokoknya kelas 7 itu hanyalah untuk kuliah penghabisan yang dipimpin langsung oleh guru besar Syekh Abdul Karim Amarullah , juga diikuti oleh guru-guru Agama dari sekeliling Padang-Panjang. Kelas 7 itulah yang tertinggi, sehingga dari kelas 7 itu sudah boleh dilepas untuk mengajar sendiri kemana-mana saja. Pada tahun 1920 semangat persatuan dan perjuangan mukin meningkat, maka terjadilah suatu permusyawaratan antara Sumatera Thawalib dari berbagai tempat yang berlangsung di Padang Panjang, yang telah menghasilkan satu keputusan yang sangat berharga, yaitu : Mempersatukan seluruh Perguruan Islam Thawalib dengan pimpinan pengurus besar yang pertama , terdiri dari : H. Djalaluddin Thaib, Voorzitter, dan Thaher by Secretaris teven Penningmeester, serta beberapa orang Commissarisen. Itulah hari bersejarah yang sangat penting dalam mewujudkan persatuan. Perguruan-perguruan Islam yang kelak menjadi promoter perjuangan Ummat Islam khususnya di Minangkabau ini.

Pada tahun 1921 Sumatera Thawalib Padang Panjang mulai melangkah melatih diri dalam bidang koperasi dan perekonomian pada umumnya. Pertama kali menyediakan minuman kopi/ teh dan kue-kue untuk pelajar-pelajar Sumatera Thawalib yang sudah berjumlah lebih dari 1000 orang dalam bentuk sebuah nama “Buffet Merah” dimana disediakan juga alat-alat kepentingan pelajar-pelajar berupa pena, pensil, bulu-buku tulis, singlet, benang, penjahit dsb. Kemudian mengadakan juga perusahaan dobi, rumah pangkas semata-mata untuk kepentingan pealajar. Pada tahun 1922 tamatan Sumatera Thawalib sudah mulai dimanfaatkan. Pertama untuk mengajar di negeri masing-masing, menjadi Tuangku (Qadhi, Imam, Khatib), mendidrikan pula Sumatera Thawalib dan Diniyah School. Kedua untuk memenuhi kehendak Umat Islam menjadi Guru di Bengkulu, Tapak Tuan, Kuala Simpang, Meolaboh, Medan, dll. Sehingga nama Sumatera Thawalib Padang Panjang semakin masyhur kemana-mana, dan diantaranya adapula yang menyambung pelajarannya (studi) ke Universitas al-Azhar di Mesir.

Pada tahun 1923 kota Padang Panjang menjadi bumi tempat tumbuh suburnya pergerakan politik yang terorganisir baik yang telah melibatkan Thawalib dan Diniyyah aktif mengikuti organisasi tersebut yang bertujuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dimana ketika itu mulai berkembangpropaganda komunis dengan memakai semboyan ke-Agamaan sehingga banyak diantara pelajar-pelajar Thawalib dan Diniyah yang terbawa-bawa. Tetapi setelah Alim Ulama guru-guru besar dari seluruh Thawalib dan Diniyah mendapat informasi yang lebih jelas mengenai Komunis dengan ideology Atheisnya, mulailah timbul kesadaran dikalangan Thawalib dan Diniyah bagaimana perbedaan pergerakan politik Islam dan Komunis itu. Namun untungnya organisasi pergerakan semakin mantap, walaupun dalam beberapa hal terdapat kerjasama dalam hal menghadapi kolonialisme dan imperialisme Barat. Pada ketika pecah pemberontakan rakyat tahun 1926 yang berpusat di Silungkang Sumatera Barat untuk menentang kekeuasaan Belanda, banyak juga pelajar-pelajar Thawalib dan Diniyah yang terseret kedalamnya dan tertangkap, dipenjarakan. Hal tersebut merupakan ujian berat bagi Thawalib dan Diniyah. Sehingga kecurigaan penguasa penjajahan Belanda kepada Thawalib dan Diniyah menjadi tajam dan meruncing. Tetapi Alhamdulillah Thawalib dan Diniyah berjalan terus dan semakin maju dengan semangat yang tinggi.

Pada tahun 1926 di saat-saat Sumatera Thawalib sedang memuncak kehebatannya, Padang Panjang ditimpa musibah gempa bumi yang amat dahsyat sekali. Sehingga Sumatera Thawalib menghadapi dua persoalan besar : 1. Guru Besar Syekh Abdul Karim Amarullah pulang ke kampungnya di Sungai Batang Maninjau, dan pimpinan tertinggi Perguruan Islam Sumatera Thawalib pindah kepada Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim dibantu oleh guru-guru yang lain. Alhamdulillah Sumatera Thawalib berjalan baik dan semakin maju. Sumatera Thawalib selama ini masih berjalan menurut cara lama , belajar duduk bersela di Surau Jembatan Besi, dengan adanya gempa bumi yang dahsyat itu, seolah menghendaki dengan cepat membangun gedung perguruan dan asrama yang tertentu, dan untuk itu didapatlah tempat dijalan Lubuk Mata Kucing tempat komplek Perguruan Thawalib yang ada sekarang. Dan semenjak itu Perguruan Thawalib sudah berjalan merupai sekolah yang teratur dengan bangku-bangku dan alat-alat selengkapnya. Tamatan Perguruan Thawalib setiap tahun membanjiri masyarakat umum, bukan saja untuk menjadi Ulama, tetapi juga untu menjadi Zu’ama ( pemimpin-pemimpin pergerakan), bahkan juga ada yang menjadi pedagang, pegawai pemerintahdan sebagainya. Padahal semuanya itu masih tetap menjadi anggota Sumatera Thawalib. Maka dengan sendirinya pelajar-pelajar dan tamatan-tamatan Sumatera Thawalib itu pada umumnya tidak saja hanya terbatas dalam lingkungan Perguruan Islam saja, tetapi sudah meluas merupakan organisasi massa (masyarakat umum).

Pada tahun 1928 berlangsung Konfrensi Sumatera Thawalib yang kedua yang dihadiri utusan-utusan seluruh Sumatera Thawalib memperkuat ikatan organisasi, yang berhasil dengan terbentuknya Pengurus Besar Sumatera Thawalib yang baru terdiri dari : 1. H. Djalaluddin Thaib, Voorzitter, 2. Ali Imran Djamil, Secretaris, 3. H. Syu’ib el Junusy, Penningmeester, 4. Doesqi Samad, 5. Thaher By, 6. H.Alaoeddin, 7. Sapardi.J St. Mangkuto, masing-masing Commissarisen, dengan cabang-cabangnya di seluruh Perguruan Islam Thawalib yang tersebar dimana-mana. Adapun perguruan Islam Sumatera Thawalib Padang Panjang, semakin ramai dan maju di bawah Pimpinan Guru Besar Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim dibantu oleh guru-guru lain. Kemudian silih berganti konfrensi Sumatera Thawalib berturut-turut, pada bulan November 1928 di Padang Panjang pada bulan Mei 1929 di Batu Sangkar, pada bulan Januari 1930 di Bukittinggi. Setiap adanya konfrensi perkembangannya bertambah baik dan lancar, yang menambah kuat dan luasnya masyarakat Thawalib.

Pada tahun 1928 ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak menjalankan ordonansi guru-guru Agama yang maksudnya hendak menjalankan kontrol terhadap guru-guru Agama yang mengajarkan Agama Islam di Minangkabau ini, maka ketika itu pemimpin-pemimpin Sumatera Thawalib ikut aktif bersama-sama ninik mamak, Alim Ulama dan cerdik pandai mengumpulkan seluruh potensi rakyat Minangkabau untuk menolaknya. Akhirnya Pemerintah Hindia Belanda menarik kembali niatnya yang hendak merugikan bagi Agama dan Umat Islam. Padahal ordonasi tersebut dudah semenjak tahun 1905 telah dijalankan di tanah Jawa dan Madura dan daerah-daerah lain. Pada tahun 1930 berlangsung kongres pertama dari Sumatera Thawalib di Bukittinggi. Semangat yang sudah matang dari tamatan-tamatan Thawalib mempertimbangkan pandangan-pandangan jauh ke masa depan untuk kepentingan Agama, bangsa dan tanah air, baik dalam bidang politik, ekonomi, social dan pendidikan. Akhirnya telah membulatkan tekad persatuan dan perjuangan, terutama dalam menghadapi kekuasaan dan penjajahan, telah menghantarkan Kongres Sumatera Thawalib tersebut kepada satu keputusan dengan suara bulat menjadikannya satu organisasi massa yang lebih kuat bernama “PERSATUAN MUSLIM INDONESIA” yang kemudian menjadi Partai Politik Islam “PERMI” bermarkas di Padang, dengan surat kabarnya bernama “MEDAN RAKYAT”. Disamping itu Perguruan Islam Thawalib berjalan terus di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Pengajaran “PERMI”.

Pada tahun 1932, seluruh guru dan siswa Thawalib dimanapun di seluruh cabang-cabangnya serentak sudah merupakan kader pemuda berjuang menuju Islam Mulia dan Indonesia Sentosa melalui Indonesia Merdeka. Bahkan disetiap negeri sudah terdapat cabang dan ranting PERMI. Bagaimanapun juga tekanan kecurigaan penguasa kolonial Belanda, tetapi semuanya itu tidaklah menyebabkan takut gentar dihari sanubari siswa-siswa itu yang tegak berdampingan sejejer dengan orang-orang dewasa anggota-anggota PERMI. Sehingga Thawalib dan PERMI itu tidak dapat dipisahkan, bukan saja di Sumatera Barat, tetapi juga di Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh, Jambi, Bengkulu, Palembang dan dimana saja terdapat Perguruan Islam yang berasal dari Thawalib dan Diniyah.

Ketika Pemerintah Kolonial Belanda hendak menjalankan ordonnasi Sekolah Liar (Wilde schoolen Ordonansi) di seluruh Indonesia, maka seluruh guru dan siswa Thawa;ib serta Diniyah serentak bangkit memprotes menolak rencana yang sangat merugikan itu, baik terhadap Islam maupun terhadap masyarakat umum. . Maka banyaklah guru dan siswa Thawalib itu yang ditangkap dan disakiti. Dan seringkali Perguruan Thawalib digeledah oleh kaki tangan pemerintah kolonial dengan cara-cara yang kasar dan zalim. Namun demikian, tiadalah semuanya mengendorkan semangat perjuangan mereka. Dan suatu ketika Thawalib Padang Panjang mendapatkan pukulan berat dengan keluarnya larangan mengajar oleh penguasa kolonial terhadap beberapa orang guru Thawalib, yaitu : 1. Zainal Abidin Ahmad, 2. Ahmad Syukur, 3. Burhanuddin Sutan Pamuncak, 4. Burhanuddin Datuk Bandaro Sati, 5. Ibrahim Madun, 6. Saydi Umar Sutan Permato, dan 7 Sutan Syarif Pitalah.

Lulusan atau tamatan-tamatan Thawalib semakin meluas memenuhi seluruh bidang masyarakat, bukan saja menjadi guru, Tuangku-tuangku, pemimpin-pemimpin masyarakat, tetapi juga dalam bidang-bidang perdagangan, pertanian, perusahaan, penerbitan, percetakan, bahkan juga dalam bidang perjuangan politik dan organisasi-organisa massa. Sehingga banyak dari tamatan Thawalib itu yang menderita ancaman kekuasaan penjajahan Hindia Belanda, yang masuk penjara, korban bis dan ter, terjerat pengkap kolonial yang terkenal. Pada tahun 1943 ketika Jepang menguasai Indonesia, tamatan Thawalib banyak yang melibatkan diri dalam latihan-latihan militer dengan resiko yang sangat besar. Oleh karena tekanan ekonomi yang sangat buruk ketika itu, jumlah pelajar Thawalib Padang Panjang agak sedikit menurun.

Pada tahun 1945 diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, maka tamatan-tamatan Thawalib membanjir memenuhi segala lowongan untuk mempertahankan proklamasi dan membina Negara R.I dalam segala bidang apapun si seluruh Indonesia sedari bawah sampai atas, sedari pemerintahan negeri sampai pemerintah pusat, baik sipil, angkatan bersenjata, lapangan diplomatic dan lain sebagainya. Tak dapat disangkal lagi bahwa Thawalib berhasil memasukkan andil yang sebanyak-banyaknya dalam Negara R.I. Pada tahun 1946 didirikan Yayasan Thawalib Padang Panjang diketuai oleh guru besar Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim, dan seluruh milik dan kekuasaan Thawalib Padang Panjang jatuhlah menjadi hak milik dan kekuasaan Yayasan tersebut dengan Akte Notaris. Pelajar-pelajar Thawalib kembali ramai dibanjiri oleh pemuda-pemuda dari segenap jurusan setiap tahun lebih dari 1000orang, dan setiap tahun mengeluarkan tamatan Thawalib tidak kurang dari 100 orang.

Ada zaman suka dan adapula zaman duka. Dalam saat-saat Perguruan Islam Thawalib sedang gembira di bawah pimpinan guru besar Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim, tibalah zaman gelap :

a. Terjadilah pergolakan hebat di Sumatera Barat tahun 1958, keadaan tidak aman. Guru-guru dan pemuda-pemuda Thawalib ikut dalam pergolakan, pelajar yang kecil-kecil pulang ke kampong, sekolah ditutup, tinggal dengan tidak ada penjagaan.

b. Dalam saat yang kritis itu 13 juli 1959, wafatlah Tuangku Mudo Abdul Hamid Hakim, berpulang kerahmatullah dipanggil Tuhan setelah semenjak dari mudanya sampai tuanya mencurahkan seluruh tenaganya untuk Agama Islam umumnya dan untuk mendidik mengasuh Thawalib khususnya.

c. Selama masa lima tahun Thawalib Padang Panjang terhenti dan gedung perguruan serta asrama-asramanya tinggal dengan tidak ada penjaga bagai benda yang tidak bertuan. Disana-sini rusak : bocor, hancur dan sebagiannya sudah rubuh. Sungguh sangat menyedihkan.

Pada tahun 1963 dengan tenaga berdikit-dikit dari beberapa orang pecinta Perguruan Islam Thawalib, dimulai meneruskan kembali. Langkah pertama ialah melengkapkanPengurus Yayasan, terdiri dari : 1. H. Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, 2.Adam Sutan Tjaniago, 3. Mawardi Muhammad, 4. H. Kamili, 5. H. Datuk Tumamad, dan beberapa pembantu yang lain-lain. Maka dibukalah kembali Perguruan Islam Thawalib Padang Panjang dengan murid sebanyak 23 orang, di gedung Thawalib yang sudah bobrok itu. Dimana kalau hari hujan anak-anak belajar bagai orang berteduh di bawah rumpun betung, amat menyedihkan. Ketekunan guru-guru Thawalib di bawah pimpinan Ustadz Mawardi Muhammad dibantu oleh guru-guru yang lain yang tidak memandang keuntungan benda (gaji), sungguh-sungguh menjadi modal pertama bagi pembukaan kembali Perguruan Islam Thawalib Padang Panjang. Karena itu murid-murid bertambah, dari tempat yang jauh-jauh berangsur datang. Perasaan sedih dan pilu melihat gedung dan asrama-asrama Thawalib yang bocor, rusak, lapuk, dan sebagian yang sudah rubuh, membangkitkan kemauan Pengurus Yayasan Thawalib untuk membangun mengganti dengan yang baru, walaupun tidak samapi hati melihat penderitaan guru-guru yang telah beekorban demikian rupa dalam menghidupkan kembali Perguruan Islam Thawalib Padang Panjang, tetapi dalam hal ini tidaklah dapat dikecilkan sumbangan saudagar-saudagar terutama di kota Padang Panjang.

Pada tahun 1964 dibuatlah gamabar rencana pembangunan gedung dan asrama-asrama serta Mushalla dan lain-lain, yang permanent, untuk perguruan Islam Thawalib Padang Panjang yang dishahkan oleh Kepala Jawatan P.U. Kota Padang Panjang, dengan rencana biaya kira-kira tiga puluh juta rupiah. Pada Pertengahan tahun 1964 dimulai perletakan batu pertama pembangunan asrama oleh Bapak Wali kota Padang Panjang dengan modal pertama sejumlah dua belas ribu rupiah. Alhamdulillah dalam tempo sembilan bulan lamanya, selesailah sebuah gedung asrama ukuran 6 lokal kali 7x8m yang menelan biaya lebih kurang 30jt rupiah, atas bantuan para dermawan dan hartawan Muslim. Dan tidak dilupakan antara lain sumbangan dari saudara Barmansyah dari Jakarta. Pada tahun 1966 di mulai pula pembangunan asrama yang kedua, sebesar asrama yang pertama juga. Alhamdulillah berkat usaha dan sumbangan dari dermawan dan hartawan Muslim dakam tempo setahun selesailah asrama yang kedua. Tinggal lagi hanya menyelesaikan dapur dari kedua asrama tersebut. Pembangunan ketika ini sedang terhenti, karena kehabisan biaya, namun demikian alhamdulillah murid-murid sudah bertambah banyak, setiap tahun semakin meningkat, dan ketika sejarah ini ditulis, murid-murid sudah mencapai jumlah lebih dari tiga ratus orang dari berbagai pelosok daerah. Dan guru-gurupun sudah bertambah lengkap juga dengan lebih menggembirakan.

(c) Sumber : diringkas dari Dt. Palimo Kayo (1980) dan Rodiyanto (Skripsi, 2003)

1 komentar:

  1. Assalamau'alaikum wr.wb.
    Mohon informasi dan klarifikasi mengenai pendirian Surau Jembatan Besi di tahap awal. Dalam artikel lain dari bpk. Witrianto disebutkan bahwa pendiri Surau Jembatan Besi addalah H. Abdul Madjid yang kemudian dikembangkan oleh Syekh Abdullah Ahmad dan Haji Rasul sepulang mereka dari Makkah tahun 1904.
    Informasi manakah yang lebih akurat?
    Wassalam.

    BalasHapus