Sabtu, 12 Juni 2010

"Basapa" Kaum Syattariyah di Ulakan dalam Catatan Sejarah

Ditulis ulang : Muhammad Ilham (cq. Suryadi)

Salah satu laporan asing (Belanda) yang cukup tua mengenai acara basapa di Ulakan adalah tulisan Ph.S. van Ronkel, “Het Heiligdom te Oelakan” yang artinya “Tempat Keramat di Ulakan”. Van Ronkel adalah salah seorang intelektual Belanda yang pernah ditugaskan di Sumatra Barat, antara lain di Kweekschool/Sekolah Raja di Fort de Kock / Bukittinggi). Artikel itu dimuat dalam majalah Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde vol. 56 (1914): 281-316.

Yang menarik dalam artikel Van Ronkel itu antara lain adalah informasi tentang sebuah naskah silsilah bertulisan tangan (handschriften) dalam aksara Arab-Melayu (Jawi). Van Ronkel mengatakan, naskah itu disebut Silsilah Syekh Abdul Rauf Singkel, guru Syekh Burhanudin, tetapi di dalamnya juga ada cerita mengenai Syekh Burhanudin sendiri. Van Ronkel melihat naskah itu di Ulakan dan berkat bantuan seorang perantara, yaitu kontrolir Belanda di Pariaman yang bernama W. Dominicus, ia dapat meminjam naskah itu dari ulama penjaga makam Syekh Burhanudin di Ulakan. Menurut naskah itu, guru Syekh Burhanudin, Syekh Abdul Rauf al-Singkili “menuntut ilmu” kepada Syekh Ahmad al-Qushashi di Madinah selama 19 tahun. Dikisahkan bagaimana mukjizat-mukjizat yang diterima oleh Syekh Abdul Rauf dan kepintarannya selama belajar dengan Syekh Ahmad al-Qushashi. Namun, yang penting di sini adalah catatan dalam kitab itu bahwa Syekh Ahmad al-Qushashi sudah memberitahu Syekh Abdul Rauf bahwa setibanya di Aceh nanti, ia akan didatangi oleh lima orang murid dari Minangkabau, dan salah seorang di antaranya bernama Burhanudin.



“[J]adi berpetaruhlah Syekh Ahmad al-Qushashi kepada Abdul Rauf: “Apabila sampai engkau ke negeri Acas datang orang balima, nan balima dibawa kitab, seorang orang Ulakan yaitu Syekh Burhanudin, akan diberi kitab, jikalau hendak pai naik haji ke Mekah, jangan diberi pai Syekh Burhanudin, di sananlah ilmu nan akan diputuskan, sampaikan di sanan ilmu semuhanya.” (Van Ronkel 1914:312).

Selanjutnya naskah itu mengisahkan suka-duka Syekh Burhanudin mengislamkan masyarakat Ulakan dan sekitarnya. Usahanya berhasil dan malah kemudian ajaran Islam yang dibawanya menyebar ke seluruh alam Minangkabau. Dapat pastikan bahwa naskah yang dimaksud oleh Van Ronkel itu adalah naskah silsilah guru-guru tarekat Syattariyah sejak dari tanah Arab sampai kepada Syekh Burhanudin di Ulakan. Dalam tujuh halaman terakhir artikelnya itu, Van Ronkel menyalin kembali bagian-bagian yang penting dari isi naskah itu. Menurut Oman Fathurahman dalam bukunya, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (2008:27), silsilah menempati peran yang penting dalam kelompok-kelompok tasauf di Nusantara, gunanya untuk melegitimasi eksistensi seorang guru sufi karena dapat membuktikan asal-usul dan kesahihan kesufiannya. Menurut Tamar Djaja dalam Pusaka Indonesia, Jilid I (1965:282-90) Syekh Burhanudin lahir tahun 1646 dan menurut Van Ronkel (1914:284) beliau wafat di Ulakan tanggal 19/20 Juni 1704. Hari wafat beliau itulah, yang bertepatan dengan 15 Safar 1116H, yang dijadikan awal kegiatan basapa setiap tahun di Ulakan. Tahun ini (2010) acara basapa baru saja selesai dilaksanakan, yaitu tgl.3-10 Februari lalu.


Van Ronkel juga menginformasikan bahwa asal-usul Syekh Burhanudin berasal dari Pamansingan, dekat Kapeh-Kapeh, Padang Panjang. Hal itu didasarkan atas temuan kitab-kitab lama di sana. Kata Van Ronkel lagi, surau Pamansingan kemudian dipimpin oleh Tuanku nan Balinduang. Setelah wafat ia digantikan oleh anaknya yang bernama Tuanku Bakarando. Kepemimpinannya diteruskan lagi oleh anaknya yang bernama Muhammad Saliah Aia Angek yang ikut dalam perang Padri dan gugur dalam pertempuran di Bonjol. Anaknya yang bernama Tuanku Kali nan Mudo ditunjuk sebagai penggantinya, yang menurut Van Ronkel sudah tua ketika ia bertemu beliau.


Tampaknya Van Ronkel pernah datang sendiri ke Ulakan menyaksikan acara basapa yang dikunjungi oleh puluhan ribu orang. Tentang ramainya para penziarah yang mengunjungi makam Syekh Burhanudin di Ulakan dan suasana agamis selama berlangsungnya ritus basapa, Van Ronkel menulis: “Oleh karena antrean orang-orang alim, di halaman [depan mesjid] sangat susah untuk bergerak maju.
Barisan-barisan perempuan yang memakai tilakoeang memadati seluruh halaman [mesjid]. Di lokasi makam [Syekh Burhanudin] yang sebenarnya kedengaran suara tahlil, kata Allahoe allahoe yang diucapkan ribuan kali dengan cara menggeleng-gelengkan kepala. Di atas makam sendiri kealiman diwujudkan dengan membaca [surat al-Fatihah dan surat Yasin] (Van Ronkel 1914:284). Pada tahun 1939, kontrolir Belanda di Pariaman, J. Jongemans menulis bahwa acara basapa itu dihadiri oleh 12 sampai 15.000 orang. Katanya, waktu terjadi pemberontakan Komunis di Sumatra Barat pada akhir tahun 1920-an, acara basapa ini pernah diganggu oleh para pengikut kaum Komunis. Ada juga kepercayaan di kalangan pengikut tarekat Syattariyah (ini juga disebut Van Ronkel) bahwa jika tujuh kali basapa ke ulakan, sudah dianggap sama dengan pergi ke Mekah. Tampaknya Jongemans menyaksikan sendiri kompleks makam di Ulakan itu, tapi makam Syekh Burhanudin sendiri, ulama besar itu, bentuknya sederhana saja, dikelilingi tembok, tanpa ada tanda-tanda yang luar biasa. Di sana ada sebuah kulit kerang yang besar yang berisi air yang diminum oleh para penziarah. Di sana diletakkan pula sebuah peti tempat para penziarah memasukkan uang sedekah. Demikian tulis Jongemans dalam artikelnya, “Het Heiligdom te Oelakan”, dalam majalah Onze Aarde (Bumi Kita), tahun ke-12 (1939):305-6.

Lokasi makam Syekh Burhanudin di Ulakan c. 1939 (Sumber: J. Jongemans 1939:305)

Menurut Oman Fathurahman (2008:13) rumusan hakikat dan tujuan akhir ajaran tarekat Syattariyah di Sumatra Barat lebih lunak dibandingkan dengan di tempat lain di Indonesia. Saya menduga hal ini tidak lepas dari sejarah pengislaman Minangkabau yang memang berbeda pula dengan di daerah lain. Adagium “ABS-SBK” menyiratkan bahwa ada kompromi kultural dalam pengislaman Minangkabau, yang dimaksudkan untuk mencegah kembalinya tragedi berdarah selama Perang Padri. Hal itu membuat wajah Islam menjadi lebih moderat di Minangkabau.basapa di Ulakan, yang pertama kali saya kunjungi ketika saya berusia delapan tahun, tetap tinggal dalam ingatan saya sampai kini, khususnya karena separoh badan saya yang kecil tajirubuak masuk rawa ketika mau melintas dari makam Syekh Burhanudin ke tepi pantai akibat ramainya orang yang saling berdesakan. Nasi bungkus yang saya bawa akhirnya terjatuh dan bergelimang luluak. Ekspresi Islam lokal yang bermacam-ragam di Indonesia adalah sebuah kekayaan budaya bangsa yang tidak ternilai. Semestinya ia dibiarkan tumbuh dan berkembang di negara yang berazaskan Pancasila ini. Kemeriahan dan suasana agamis.

::::: Sumber :
Suryadi, peneliti di Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda. Artikel ini telah dipublikasikan pula diharian Pos Metro Padang, Selasa 16 Februari 2010 (beberapa artikel telah diizinkan untuk dishare/dipublish di blog ini atas seizin Penulis melalui komunikasi Facebook).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar