Rabu, 02 Juni 2010

Syekh Ibrahim Musa Parabek (l. 1882)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

"Matangkanlah Satu-Satu, Lalu Ambillah yang Lain Untuk dijadikan Perbandingan dan Jangan Menutup Diri Pada satu Mazhab Saja" (Syekh Ibrahim Musa Parabek)

Pada awal abad ke-20 M., Minangkabau merupakan daerah yang penuh dengan dinamika pergolakan sosial seperti pembaharuan pendidikan dan pemumian agama. Sejak pertengahan abad ke-19 M., interaksi Minangkabau dengan pusat-pusat dunia Islam makin bertambah lancar, sehingga pesantren yang mempertahankan tarikat dan sulukpun mulai mengalami perobahan pula. ini merupakan implikasi dari dinamika pemikiran agama Islam di Timur Tengah kala itu. Para pembaharu yang umumnya belajar di Mekkah, ketika pulang ke ranah Minangkabau, mereka secara kolektif melancarkan terobosan atas ketidakmurnian ajaran Islam yang dianut masyarakat Minangkabau. Ketika inilah muncul dikotomi Kaum Muda atau dikenal dengan kelompok pembaharuan dan Kaum Tua.
Kaum muda terkesan progresif, sedangkan Kaum Tua terkesan konvensional dan konservatif.

Geliat Kaum Muda ketika itu menimbulkan berbagai kesan dan pertentangan. Salah satu bukti eksistensi Kaum Muda cukup signifikan di Minangkabau masa ini adalah tulisan Dt. St. Marajo dalam Majalah Utusan Melayoe tahun 1907 yang menulis artikel tentang pembaharuan agama di Minangkabau. Tulisan tersebut menyorot kiprah utama-ulama yang berada dalam "kubu" Kaum Muda. Dt. Marajo memberi julukan kepada mereka "Harimau Nan Salapan", sebagaimana julukan ini juga pernah diberikan kepada ulama-ulama par-excellent penyebar agama Islam awal di Minangkabau. Ulama-ulama Harimau Nan Salapan versi Dt. Sutan Marajo ini adalah :
DR.Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), DR.H. Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Daud Rasyidi, Syekh Abbas Abdullah Padang Japang, dan Syekh Mustafa Abdullah Padang Japang. Dalam konteks inilah, maka figur Syekh Ibrahim Musa Parabek dijadikan fokus tulisan penelitian. Dalam masa awal abad ke 20, kedelapan ulama diatas dianggap sebagai ulama yang paling berpengaruh. Setidaknya, julukan Harimau Nan Salapan memberikan bukti bahwa pengaruh mereka sangat signifikan dalam proses pembaharuan Islam di Minangkabau.

Ibrahim Musa dilahirkan di Parabek pada hari Ahad 12 Syawal 1301 H., yang bertepatan dengan tahun Miladiah 1882 M. Di masa kecil diberi nama oleh orang tuanya dengan "LUTHAN". Beliau merupakan keturunan hartawan dan dikenal sebagai keluarga yang taat menjalankan syari'at agama Islam. Ayahnya, Musa bin Abdul Malik Al­-Qasthawi seorang ulama yang cukup dikenal dan sangat dihormati masyarakat di Parabek. Ayahnya berasal dari suku Jambak sedangkan ibunya, Ureh, berasal dari suku Pisang. Ibrahim Musa memiliki satu orang adik perempuan bernama Kamariah dan seorang kakak bernama Abdul Malik. Ibrahim Musa Parabek atau "Luthan Kecil" mempunyai karakter yang lemah lembut, konsisten dan tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun, penuh pertimbangan dan tidak mau memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa. Drs.H. Sidi Ibrahim Bukhari, SH mengatakan : "Kelebihan Syekh Ibrahim Musa Parabek yang sangat menonjol adalah ketenangannya dalam segala hal. Tenang daiam menjawab soal, memberi pertanyaan, dan menegur segala yang salah dan janggal dalam mengajar dan berpidato. Ketenangan inilah yang membuat beliau selalu berfikir dan berhati-hati dalam mengeluarkan segala buah pikirannya. Bukti ketenangan ini dapat dilihat dari wajah beliau sendiri seperti terlihat dikulit luar Gema Islam (nama majalah yang cukup berpengaruh waktu itu: ed.) No. 38-39 yang diterbitkan tanggal 11 September 1963, tidak lama setelah beliau meninggal dunia".
Ibrahim Musa memperoleh pendidikan dasar secara tradisional di beberapa tempat di Minangkabau. Mula-mula belajar membaca Al-Qur'an dengan orang tuanya sendiri sampai berumur 13 tahun, Karena melihat ketekunan dan kepribadian anaknya, maka dengan penuh semangat, orang tuanya kemudian menyerahkan Ibrahim Musa untuk menuntut ilmu ke beberapa ulama lain di Minangkabau. Ulama-ulama Minangkabau yang dikunjunginya untuk menuntut ilmu adalah Syekh Mata Air di Pakandangan. Dengan Syekh Mata Air ini, Ibrahim Musa Parabek belajar ilmu Nahwu dan ilmu Sharaf (Matan Bina) selama tebih kurang satu tahun. Kemudian ia belajar juga kepada Tuanku Angin di Batipuh mengenai Ilmu Fiqh dan Matan Bina selama satu tahun. Setelah itu, belajar kepada Syekh Abdul Shamad di IV Angkat Candung (Biaro).

Bersama Syekh Abdul Shamad ini, Ibrahim Musa belajar mengenai Tafsir Al-Qur'an. Selanjutnya, ia belajar pada Syekh Jalaluddin Al-Kusai di Sungai Landai selama satu tahun dan kemudian pindah ke Talago untuk belajar pada Syekh Abdul Hamid selama dua tahun. Sebuah perjalanan keiimuan dengan segala dinamika perspektif dalam melihat "tubuh ajaran Islam itu sendiri", kelak membuat Ibrahim Musa menjadi ulama dengan memiliki kedalaman ilmu dan kebijaksanaan dalam melihat perbedaan. Sehingga tidaklah mengherankan kelak Ibrahim Musa dikenal sebagai ulama yang ahli dalam ilmu Fiqh, ilmu Alat (Bahasa Arab), Tafsir Hadits, Tajwid, Qiraat dan yang paling menonjol adalah kemampuan beliau dalam bidang kajian Ushul Fiqh dan Ilmu Nahwu Sharaf.


Kepulangan Ibrahim Musa disambut dengan antusias dan penuh harapan oleh masyarakat Parabek. Masyarakat Parabek menginginkan kepulangannya memberikan perubahan yang berarti bagi kondisi keagamaan di nagari ini. Sebagai langkah awal, Ibrahim Musa mengadakan pengajian secara berhalaqah. Pengajian yang diadakannya ini makin lama makin berkembang. Banyak murid-murid yang berdatangan dari luar daerah Parabek untuk belajar seluk beluk agama Islam kepada ulama berpenampilan tenang ini. Ibrahim Musa masih merasakan kekurangan ilmu pada dirinya. Untuk itu, pada tahun 1914 beliau berangkat kembali ke Mekkah bersama istrinya Syarifah Gani dan anaknya Thaher Ibrahim. Mereka bermukim di Mekkah selama dua tahun. Setelah mereka pulang, Ibrahim Musa kembali menata pengajian yang telah dirintisnya sebelum berangkat ke Mekkah untuk kedua kalinya. Sejak kepulangan dari Mekkah yang kedua kalinya inilah gelar Syekh dilekatkan pada Ibrahim Musa atau dengan panggilan yang lebih populer ketika itu dengan panggilan Syekh Ibrahim Musa Parabek atau Inyiak Parabek.


Hampir 20 tahun, Ibrahim Musa menuntut ilmu kepada beberapa orang ulama di Minangkabau kala itu. Akan tetapi hal ini tidak membuatnya puas. Akhimya beliau melanjutkan pelajarannya ke tanah suci Mekkah pada tahun 1901 (1320 H) bersama kakaknya Abdul Malik. Disana ia bersama kakaknya belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, seorang ulama kharismatik asal Minangkabau yang kemampuan keilmuannya dibidang agama Islam diakui di Jazirah Arabia terutama di Mekkah. Melalui ulama yang tidak pernah mau pulang ke daerah asalnya di Minangkabau inilah Ibrahim Musa belajar tentang Ilmu Fiqh mazhab Syafii. Setelah belajar Fiqh dengan "mahaguru pembaharu Islam modemis Minangkabau awal abad ke-20" ini Ibrahim Musa kemudian melanjutkan petualangannya dalam menuntut ilmu. Ulama yang ditemuinya adalah Syekh Muhammad Djamil Djambek. Dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek ini, ia belajar tentang seluk beluk Ilmu Falaq. Selanjutnya belajar kepada Syekh Mukhtar AI-Jawi dan Syekh Yusuf Al-Hayat.
Setelah berada di Mekkah selama 7 tahun, Ibrahim Musa kembali ke kampung halamannya.

Syekh Ibrahim Musa Parabek memiliki beberapa orang istri, salah satu diantaranya adalah H. Syarifah Gani yang mendampinginya hingga ia wafat pada tahun 1963. Dari perkawinannya dengan beberapa orang istrinya, Syekh Ibrahim Musa Parabek dikarunia beberapa orang anak, diantaranya : Thaher Ibrahim (Pensiunan Departemen Perdagangan RI), Muhammad Thaib Ibrahim, Maryam Ibrahim dan lainnya. Dalam mengarungi bahtera kehidupan, para istrinya tidak menuntut begitu banyak secara ekonomi kepada Syekh Ibrahim Musa Parabek, karena Syekh Ibrahim Musa Parabek hampir seluruh waktunya berkutat pada dakwah dan gerakan pendidikan Islam yang secara ekonomis sangat tidak menjanjikan. Biasanya, keluarga para istrinya membantu dengan modal agar kesulitan ekonomi tidak begitu dirasakan.
Diskusi mengenai Syekh Ibrahim Musa Parabek, kita tidak bisa melepaskan dari lembaga yang bernama Sumatera Thawalib Parabek. Lembaga ini sangat identik dengan Syekh Ibrahim Musa Parabek sebagaimana identiknya HAKA dengan Sumatera Thawalib Padang Panjang atau Rahmah el-Yunusiy dengan Diniyah Putri Padang Panjang-nya. Syekh Ibrahim Musa Parabek merupakan ulama yang tidak terfokus kepada dakwah semata, akan tetapi beliau memiliki kesadaran bahwa melahirkan pilar-pilar penyelamat Islam hanya bisa dilakukan melalui lembaga pendidikan. Secara historis, lembaga pendidikan Sumatera Thawalib Parabek berasal dari perkumpulan beberapa orang murid di Surau Parabek. Perkumpulan ini diberi nama Muzakaratul Ikhwan. Sebuah nama yang timbul dari pertemuan rutin dan berkala diantara para murid dibawah bimbingan Syekh Ibrahim Musa Parabek sekali seminggu. Karena kegiatan murid-murid ini makin hari makin bertambah intens dan diikuti oleh banyak murid, maka perkumpulan ini berobah menjadi Sumatera Thawalib setelah terinspirasi dengan berdirinya Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Maka pada tanggal 21 September 1921, surau Parabek yang memakai sistem belajar secara konvensional dan konservatif (sistem halaqah) dirubah menjadi sistem berkelas atau klasikal. Berdirinya lembaga pendidikan Sumatera Thawalib Parabek ini bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas pelajar. Untuk itu, Syekh Ibrahim Musa Parabek membuka sistem muzakarah atau diskusi secara sistematis agar murid kelak mampu hidup mandiri dan mampu untuk secara dinamis mengeluarkan pendapat dengan disertai argumen yang argumentatif. Sistem ini merupakan sistem "yang mendahului zaman" ketika itu. Sistem konvensional atau konservatif yang menekankan belajar satu arah, oleh Syekh Ibrahim Musa Parabek diberi improvisasi dengan sistem muzakarah diatas.

Disamping itu, Syekh Ibrahim Musa Parabek juga mentradisikan latihan olah raga, mengajar murid-murid dalam manajemen dan kewiraswastaan melalui koperasi dan membuat perpustakaan untuk mengkondisikan agar murid-murid rajin membaca. Untuk memperkuat kemampuan argumentasi murid lembaga Sumatera Thawalib Parabek ini, Syekh Ibrahim Musa Parabek juga membuka debating club, sebagai wahana murid-murid memberikan apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan pendapat. Kemudian Syekh Ibrahim Musa Parabek juga meningkatkan pengembangan potensi para murid Sumatera Thawalib Parabek dibidang estetika dengan membentuk grup fonil atau sandiwara.
Syekh Ibrahim Musa Parabek juga menanamkan kepada murid-­muridnya untuk tidak taqlid pada satu mazhab saja. Tidak menganggap sebuah perspektif sebagai perspektif yang paling benar. Syekh Ibrahim Musa Parabek mengajarkan kepada murid-muridnya untuk tidak memakai "kaca mata kuda". Dalam setiap kesempatan, Syekh Ibrahim Musa Parabek selalu mengatakan "ambillah yang lain sebagai studi perbandingan". Ini tersirat sebuah anjuran bahwa pendapat yang kita miliki harus kita pertahankan secara argumentatif, sedangkan pendapat lain tidak harus kita mentahkan, akan tetapi harus kita jadikan sebagai perbandingan karena dari pendapat tersebut kita bisa belajar tentang kelebihan dan kekuranagan pendapat kita, demikian kata Syekh Ibrahim Musa Parabek.

Dalam proses pendidikan di Sumatera Thawalib Parabek, Syekh Ibrahim Musa Parabek langsung mengontrol perkembangan lembaga pendidikan ini. Ia berkeinginan agar para murid-muridnya serius dalam mengikuti pelajaran, oleh karena itu secara kelembagaan, lembaga pendidikan Sumatera Thawalib harus "serius" pula dalam mengelola lembaga ini. Secara kuantitas, lembaga pendidikan Sumatera Thawalib tidak disangsikan lagi. Banyak murid-murid yang berdatangan ke Parabek untuk menuntut ilmu. Ketenangan dan keterkenalan ilmu dan pribadi Syekh Ibrahim Musa Parabek menjadi faktor yang sangat signifikan dalam menarik para murid-murid untuk belajar di lembaga ini. Secara kualitas, Sumatera Thawalib Parabekpun cukup baik. Hal ini terlihat dari output lembaga pendidikan ini yang mampu melahirkan ulama-ulama besar seperti Prof.DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Mantan Ketua MUI dan ulama besar Indonesia, Mansoer Daud Dt. Palimo Kayo (Mantan Ketua MUI Sumatera Barat), Tamar Jaya (Pengarang religius terkenal), HM. Yunan Nasution (Tokoh Muhammadiyah, Muballigh Nasional clan mantan Ketua Majelis Dakwah Islamiyah), Adam Malik (Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia) dan banyak lagi tamatan dari Sumatera Thawalib Parabek yang "menjadi orang", minimal dikampung halaman mereka. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, Sumatera Thawalib Parabek berusaha untuk cenderung beradaptasi dengan perkembangan zaman selagi tidak mencabut substansi dan filosofi lembaga tersebut. Dalam perjalanannya, lembaga Sumatera Thawalib Parabek telah mengalami berbagai perubahan dan adaptasi sistem pendidikan. Tujuan dari adaptasi dan perubahan sistem pendidikan ini adalah agar output lembaga ini mampu beradaptasi dengan kebutuhan dan tantangan dari lingkungan dan zamannya.


Sebagaimana yang telah dipaparkan secara ringkas diatas, pada awalnya sistem pendidikan di Sumatera Thawalib pada awalnya berbentuk sistem halaqah (duduk berapak dalam istilah Minangkabau) yaitu duduk bersila melingkari guru. Sistem ini berlangsung sampai tahun 1921. Pada tanggal 21 September 1921, sistem ini dirobah menjadi sistem klasikal, sekaligus menetapkan secara resmi surau Parabek menjadi Sumatera Thawalib Parabek. Rentang waktu belajar­pun tidak ditetapkan secara konvensional (tamat apabila guru yang mengajar menganggap murid sudah pandai) akan tetapi ditetapkan berdasarkan rentang waktu dan tingkat kelas. Pada awalnya, lama belajar di Sumatera Thawalib Parabek ditetapkan selama 8 tahun, kemudian dirobah menjadi 7 tahun. Pendidikan terdiri atas dua jenjang pendidikan, yaitu tingkat Tsanawiyah dengan tahun ajaran selama 4 tahun dan tingkat 'Aliyah selama 3 tahun.
Pada tanggal 16 Oktober 1940 sebagai lanjutan dan pengembangan dari Sumatera Thawalib, didirikan Kulliyah Ad-Diniyah yang bertahun ajaran selama 4 tahun. Hal ini hanya berlangsung sampai tahun 1943. Kemudian secara berangsur-angsur, Kulliyah Ad-Diniyah menciut dan menghilang, akan tetapi namanya tetap melekat yang kemudian dipakai kembali. Pada tahun 1950 hingga 1979, Madrasah Sumatera Thawalib Parabek dirobah menjadi 4 tahun pertama disebut tingkat Tsanawiyah dan 3 tahun kedua disebut Kulliyah A-Diniyah. Sejak tahun 1979, Madrasah Sumatera Thawalib Parabek mulai berintegrasi secara terbatas dengan Madrasah Negeri.

Syekh Ibrahim Musa Parabek dalam "posisi"nya sebagai salah seorang yang dianggap sebagai ulama pembaharu di Minangkabau dan salah seorang yang diletakkan dalam kubu "Kaum Muda" lebih menitikberatkan pembaharuan Islam melalui media pendidikan dan oposisi terhadap tarikat. Beliau beranggapan bahwa pembaharuan Islam akan bisa dilaksanakan apabila pemikiran harus diperbaharui terlebih dahulu. Memperbaharui pemikiran bukan berarti merubah pola pikir secara keseluruhan, akan tetapi bagaimana umat Islam Minangkabau mampu menyerap semangat dan api Islam, bukan hanya terfokus kepada simbol-simbol. Maka jalan yang paling efektif untuk memperbaharui pemikiran tersebut adalah memperbanyak kalangan terdidik. Untuk itu, untuk mewujudkan hal ini menurut Syekh Ibrahim Musa Parabek, media pendidikan memegang posisi penting. Untuk mensosialisasikan pemikiran-pemikirannya, Syekh Ibrahim Musa Parabek menggunakan media tulis berupa majalah Al-Munir. Dalam majalah ini, Syekh Ibrahim Musa Parabek mengasuh rubrik tentang tanya jawab. Disamping menggunakan media tulis, beliau juga melaksanakan dakwah keliling.


Mengenai substansi pembaharuan Islam, walaupun secara eksplisit Syekh Ibrahim Musa Parabek menyatakan tidak setuju bila gerakan pembaharuan dikaitkan atau diidentikkan dengan pemikiran­-pemikiran Muhammad Abduh, namun secara implisit bila dilihat dari sistem pengajaran di Sumatera Thawalib Parabek terutama buku-buku yang dipakai dan yang diajarkan kepada para murid, jelaslah beliau cenderung memberikan apresiasi yang cukup besar terhadap pemikiran ulama Timur Tengah tersebut. Buku-buku karangan Muhammad Abduh seperti Risalah Tauhid dan Tafsir AI-Manar menjadi bacaan favorit dan bahkan menjadi bacaan yang dianjurkan di lembaga yang beliau pimpin. Agaknya yang tidak disetujui oleh Syekh Ibrahim Musa Parabek terhadap pemikiran Muhammad Abduh terletak pada radikalisasi gerakan atau aksi yang dijalankan di Mesir sebagai pengejawantahan pemikiran Muhammad Abduh ini.
Syekh Ibrahim Musa Parabek, sebagaimana yang telah disinggung diatas, merupakan ulama yang cukup kompromis mengenai prinsipnya dalam beragama selagi tidak menggerogoti pondasi kunci agama atau dalam istilah lain, tidak menggoyahkan tauhid umat Islam. Syekh Musa Ibrahim Parabek pada prinsipnya tidak menginginkan adanya pertentangan tajam antara Kaum Muda dengan Kaum Tua.

la selalu mengatakan bahwa pendapat orang lain belum tentu salah, seandainya pendapat orang lain tersebut salah, maka kita bisa mengambilnya sebagai bahan perbandingan untuk melihat dan memperkuat keyakinan kita bahwa pendapat kita adalah benar. Atau sebaliknya, mengambil pendapat orang lain untuk melihat kesalahan-­kesalahan yang terdapat da1am pendapat kita. la berusaha mampu berdiri "netral" diantara dua kubu ini, walaupun sebenarnya beliau berada dalam kubu Kaum Muda. Dalam wadah organisasl Kaum Muda, Syekh Ibrahim Musa Parabek punya peranan yang cukup signifikan sebagai inti wadah organisasi Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) yang bercita-cita untuk memajukan pendidikan Islam dan mengangkat derajat guru agama.
Disamping itu, beliau dikenal sebagai ulama yang oposisi terhadap tarikat. Dalam perspektifnya, tarikat potensial mengkondisi­kan timbulnya kemandegan dalam ajaran Islam. Tariqat dianggap mampu melahirkan sifat syirik dalam ritual ibadat. Dalam konteks ini, ia memformulasikan gerakan pembaharuan Islamnya kedalam tiga formulasi, yaitu : Mengadakan pengajian dengan cara pemecahan persoalan-­persoalan agama, dalam hal ini juga mencakup soal ibadah dan muamalah. Somber utama untuk melakukan pemecahan persoalan-persoalan agama tersebut adalah AI-Qur"an. Mengadakan diskusi-diskusi atau muzakarah sekali seminggu dan acara ini dihadiri oleh masyarakat Parabek. Mengadakan musyawarah antara alim ulama dan cerdik pandai se-Banuhampu untuk menetapkan beberapa hukum tentang perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada syiri'. Sebagai seorang ulama pembaharu, Syekh Ibrahim Musa Parabek dikenal sebagai ulama yang rajin menulis terutama tentang gerakan pembaharuan Islam khususnya "jawaban" Islam terhadap perkembangan dan praktek Islam di Minangkabau. Tulisan-tulisan beliau berserakan di Majalah Al­-Munir.

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum....
    uda... buliah tau sumber tulisan uda dari ma?
    soalnyo ambo sadang tertarik juo untuak mangumpuan sejarah inyiak...
    tarimo kasih banyak da....
    Wassalam...

    BalasHapus