Minggu, 06 Juni 2010

Masjid Tua dan Bersejarah di Minangkabau : Bagian 1

Editor : Muhammad Ilham

Masjid-masjid di Minangkabau tidak jauh berbeda dengan mesjid-mesjid kuno di Indonesia, yang membedakan dengan mesjid luar Minangkabau adalah makna-makna dibalik simbol-simbol budaya yang diapresiasikan dalam bentuk arsitektur mesjid. Keberlanjutan budaya pra Islam sangat kental dilihat terhadap mesjid-mesjid kuno di Minangkabau. Material kultur pra Islam telah menjadi living monument (monument yang masih difungsikan) dalam kehidupan masyarakat Minangkabau karena budaya pra Islam tidak ditinggalkan tetapi diramu sedemikian rupa sehingga menghasilkan arsitektur yang mengagumkan. Menurut Sudarman (2006 & 2009), mesjid-mesjid kuno di Minangkabau memiliki arsitektur yang unik, setidak-tidaknya pengaruh arsitektur tradisional memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan arak arsitektur mesjid. Ada dua tipe mesjid di Minangkabau : Mesjid yang arsitekturnya dipengaruhi oleh adat Bodi Chaniago yang lebih demokratis dari pada Koto Piliang, statement adat Bodi Caniago ”membasuik dari bumi” dalam musyawarah kaum, kata akhir berada di kemanakan, suara rakyat yang paling menentukan. Tipe Koto Piliang, arsitektur mesjidnya mengkombinasikan dengan arsitektur bagonjong sebagai khas arsitektur Rumah Gadang di Minangkabau. Dari segi bentuk pemerintahan, Koto Piliang bersifat aristokrasi yang disebut “ titiek dari ateh”, untuk mengambil suatu kesimpulan, kata putus atau kata akhir berada di tangan kepala suku atau penghulu.

Seluruh mesjid kuno selalu bertumpang 3 sampai 5, semakin keatas semakin kecil sedangkan tingkatan yang paling atas berbentuk limas, jumlah atap tumpang selalu ganjil merupakan pengaruh Hindu, karena sebelum islam atap tumpang dipakai untuk kuil, bangunan suci agama Hindu. Atap tunpang sampai sekarang masih lazim dipakai di Bali, namanya meru, dan digunakan khusus mengatapi bangunan-bangunan suci di dalam pura. Pada relief-relief candi Jawa Timur juga terdapat atap tumpang, mungkin sekali untuk candi atau bangunan suci lainnya.
Meskipun atap tumpang untuk candi tidak ada sisa-sisanya yang menjadi bukti (atap candi terbuat dari batu), namun dugaan kuat dapat diperoleh dari beberapa vandi, contohnya adalah candi Bayalagu (dekat Tulung Agung) bekas-bekas dari tubuh candi serta atapnya tidak ditemukan, tetapi lantainya dikelilingi arca induk terdapat sejumlah umpuk (batu pengalas tiang), maka tentunya candi in terbuat dari bahan-bahan kayu atau bamboo. Pada candi induk dari kelompok penataran tidak beratap batu melainkan beratap tumpang. Hanya tubuh candinya dibuat dari batu, sehingga atapnya berdiri diatas dinding-dinding bagian candi tersebut.

Cikal bakal mesjid lima kaum berupa surau batu, tidak beratap dulunya dipergunakan tempat ibadah agama Hindu, kemudian di pindahkan ketempat bekas kuil di daerah Lima Kaum. Itu artinya pengaruh Hindu terhadap arsitektur mesjid memiliki peran signifikan. Karena memang arsitektur mesjid diambil dari arsitektur bangunan suci agama Hindu dan Budha. Pengaruh Hindu juga tercermin pada tiang macu dan tiang yang mengelilinginya, konsep mandala yang dipergunakan oleh agama hindu dalam membangun rumah ibadah, dunia atas dan dunia bawah merupakan symbol yang terdapat pada tiang macu dan tiang-tiang yang mengelilinginya. Secara kasar kebudayaan Indonesia bisa dibagi kepada tiga bagian, Pertama Kebudayaan Jawa agraris yang kehinduan. Kedua, kebudayaan Melayu ladang kelautan yang keislaman, ketiga kebudayaan Indonesia Timur ladang-kelautan yang kekristenan. Minangkabau termasuk dalam kebudayaan Melayu ladang-kelautan yang ke Islaman, itu artinya Islam telah menjadi warna tersendiri dalam kehidupan Minangkabau. Pergumulan Islam dengan kepercayaan dan adat istiadat setempat pada mulanya tidak mengalami pertentangan karena Islam masuk ke sel-sel inti kebudayaan Minangkabau. Pengaruh adat Minangkabau terhadap mesjid Kuno terlihat juga pada ornamen mesjid Raya Bingkudu yang beragam hias flora (tumbuh-tumbuhan). Mayoritas ragam hias Minangkabau mengambil bentuk-bentuk flora dan fauna. Ini mengisyaratkan bahwa kehidupan masyarakat Minangkabau sangat tergantung kepada alam yang berupa binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan dalam pepatah Minangkabau tercantum, ”Alam Takambang Jadi Guru”.

Setiap ragam hias mengandung makna yang dalam dan melambangkan corak perilaku manusia. Lambang adalah pernyataan lahir dalam alam pikiran yang religious-magis. Semua lambang tak lepas dari masalah religi. Oleh karena itu, permulaan perkembangan lambang ada sangkut pautnya dengan bentuk-bentuk kepercayaan. Kemudian perubahan terjadi dan tingkat pemikiran bertambah maju. Lambang yang hanya menjadi wujud penyembahan berubah menjadi benda-benda kesenangan dan dikembangkan menjadi hasil karya seni. Salah satu contoh ragam hias yang ada di mesjid Raya Bingkudu adalah motif Lumuik Anyuik . Lumut jenis tumbuhan yang hidup di air dan biasa bergantung pada benda lain seperti batu atau batang kayu. Apabila lumut ini lepas dari tempat ia bergantung maka ia akan hanyut dibawa arus air yang mengalir. Motif ukiran lumuik anyuik ini menggambarkan kehidupan seseorang yang tidak disukai oleh masyarakat lingkungannya yang biasanya dikiaskan pada orang yang durhaka, melanggar norma hukum, berbuat salah sehingga dikucilkan oleh masyarakat. Tidak ada yang mau menolongnya. Motif ini merupakan peringatan kepada masyarakat untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan norma yang berlaku. Pengertian lain dari motif ini adalah orang yang mudah menyesuaikan diri di mana mereka berada. Tetapi pengertian ini memberikan kesan negative yaitu orang yang tidak punya pendirian. Orang yang mudah menyesuaikan diri dengan tidak punya pendirian akan mudah dipengaruhi oleh orang lain dan menjadi permainan orang lain. Dibawah ini, diposting beberapa foto Masjid/Surau historis di Minangkabau, beberapa diantaranya menjadi "bahagian signifikan" dari perjalanan sejarah pemikiran Islam di Minangkabau.



1. Masjid Sa'adah



2. Masjid Tuanku Pamansiangan





3. Masjid Taluak




4. Masjid Tuo Koto Baru





5. Surau Atap Ijuk Sicincin




6. Surau Gadang Bintungan




Bintungan Tinggi, sebuah daerah yang terletak di Nagari Padang Bintungan Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman. Berbicara tentang keadaan geografis Bintungan Tinggi, maka kita tidak akan terlepas dari bahasan daerah Pariaman, karena memang Bintungan Tinggi adalah satu unit kecil daerah Pariaman. Seperti halnya muslim tradisional lain, maka masyarakat Bintungan Tinggi dalam ajarannya merupakan warisan dari Ulakan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh para Ahli, bahwa Ulakan sangat taat mengikuti mazhab Syafi’i, hal ini tercermin dari setiap amalan ibadah yang selalu berlandaskan konsep yurisprudensi Syafi’iyah. Begitupun dengan kitab-kitab yang diajarkan, merupakan referensi wajib mengunakan referensi dari ulama-ulama Syafi’iyyah. Surau Bintungan Tinggi sebagai sebuah lembaga intelektual Islam yang berpengaruh besar pada paruh abad ke-19 ini didirikan oleh seorang ‘alim besar, ulama yang kharismatik yaitu Syekh Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Syekh Bintungan Tinggi. Sebagai seorang ulama berpengaruh, riwayat hidup beliau selalu diteladani pengikutnya, sebagai seorang guru sedangkan bagi kaum Muslimin umumnya, sebagai seorang ulama besar. Syekh Abdurrahman adalah anak kandung dari Syekh Ibnu Muttaqin dan ibu beliau bernama Pik Mande bersuku sikumbang asal Ganting Sungai Asam di Sicincin. Beliau lahir pada tahun 1243 H/ 1827 M dan berpulang ke rahmatullah pada hari senin, 17 rabi’ul awwal 1342 H/ 1923 M.


7. Surau Gadang Syekh Burhanuddin Ulakan



Surau Syekh Burhanuddin terletak di desa Tanjung Medan, 6 km dari makam Ulakan. Lokasi surau agak masuk ke dalam dari jalan raya melalui jalan tanah yang cukup baik. Surau terletak di atas tanah yang datar dengan halaman yang luas. Tanah lokasi surau Syekh Burhanuddin adalah tanah yang dihadiahkan oleh Raja Ulakan bergelar Mangkuto Alam kepada Idris Majolelo atas jasanya semasa Syekh Burhanuddin belajar di Aceh. Surau, semacam pesantren, ialah bangunan tempat mengaji dan belajar ilmu agama Islam. Syekh Burhanuddin seorang ulama dan mubaligh, maka Surau Syekh Burhanuddin terdiri dari dua bangunan, yaitu:

1) Bangunan serambi berdenah segi empat panjang sebagai bangunan tambahan yang dibuat kemudian. Bangunan ini beratap gonjong dan berfungsi sebagai entrance hall dan keseluruhan bangunan itu terbuka. Lantainya beralaskan plesteran semen dan bukan beralaskan papan sebagai halnya rumah gadang. Bangunan berdenah segi empat bujur sangkar yang terletak di belakang serambi. Pada prinsipnya bangunan ini dengan struktur konstruksi joglo, sebagaimana masjid kuno di Jawa, di antaranya masjid Demak. Namun sesuai dengan keadaan dan kebiasaan orang Minangkabau, bangunan ini dengan struktur berkolong (loteng dan panggung). Dengan struktur bangunan joglo ini, dalam surau terdapat empat tiang utama dikelilingi dua deretan anak tiang. Pada deretan pertama berjumlah 12 tiang dan pada deretan kedua 20 anak tiang. Dengan empat tiang utama atau tiang panjang (soko guru, Jawa) di tengah dengan dua deretan anak tiang disekelilingnya, maka struktur bangunan ini dengan atap bersusun tiga, dinding ruangan melekat pada deretan anak tiang kedua ( 20 tiang). Tiang sesamanya dihubungkan dengan kayu yang disambung dengan rotan yang disimpai.

2) Atap surau Syekh Burhanuddin ada persamaannya dengan beberapa surau lainnya di Minangkabau, di antaranya surau Koto Nan Ampek di Payakumbuh dan surau Lima Kaum di Tanah Datar. Masih terlihat perkembangan arsiterktur konstruksi atap tumpang dengan bentuk berpuncak dengan hiasan mahkota, sama dengan masjid Demak yang dibangun dalam abad ke-16.

3) Arsitektur surau Syekh Burhanuddin masih mempunyai persamaan dengan masjid di Kota Waringin lama di Kalimantan yang dibangun sekitar abad ke-17. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai prototip masjid Demak. Dengan perbandingan tersebut, arsitektur surau Syekh Burhanuddin pembangunannya dalam abad ke-17. Hal ini diperkuat dengan mihrab tanpa atap tersendiri sebagaimana masjid Demak. Berbeda dengan mihrab masjid lainnya di Minangkabau yang selalu dengan atap tersendiri.

4) Bahan bangunan Syekh Burhanuddin seluruhnya dari kayu, baik tiang maupun konstruksi atap dan dinding. Atapnya dulu terdiri dari ijuk yang kemudian diganti dengan atap seng pada tahun 1920. Struktur bangunan surau dikerjakan dengan kayu yang sederhana tanpa pengerjaan yang sempurna menurut ukuran sekarang. Masih terlihat bentuk asli kayu dengan lengkung-lengannya. Hal ini menunjukkan, bagaimana pekerjaan bangunan masa itu. Tiang utama terdiri dari kayu seutuhnya dengan sedikit dikerja mengambil bentuk segi-8, dan hubungan antara tiang dengan kayu lainnya diikat dengan rotan tanpa paku. Artinya bangunan ini tidak mempergunakan paku kayu.

5) Tiang-tiang terletak di atas sandi dari batu umpak seutuhnya yang terletak di atas tanah yang ditinggikan. Pada beberapa bagian ada perbaikan yang sifatnya mencegah kerusakan, namun masih nampak keasliannya. Bangunan surau Syekh Burhanuddin belum pernah mengalami perubahan, selain penambahan serambi.


8. Surau Latiah




9. Surau Raja Sontang




10. Surau Lubuk Bauk



Surau Lubuk Bauk didirikan di atas tanah wakaf Datuk Bandaro Panjang, seorang yang berasal dari suku Jambak, Jurai Nan Ampek Suku. Dibangun oleh masyarakat Nagari Batipuh Baruh dibawah koordinasi para ninik mamak pada tahun 1896 dan dapat diselesaikan tahun 1901. Bangunan yang bercorak Koto Piliang yang tercermin pada susunan atap dan terdapatnya bangunan menara, sarat dengan perlambang dan falsafah hidup ini memiliki peran besar dalam melahirkan santri dan ulama yang selanjutnya menjadi tokoh pengembang agama Islam di Sumatera Barat. Surau Nagari Lubuk Bauk berdiri di pinggir jalan raya Batusangkar Padang. Secara administratif terletak Desa Lubuk Bauk,Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar,Provinsi Sumatera Barat.Bangunan surau terletak lebih rendah ± 1 m dari jalan raya berbatasan dengan jalan raya Batusangkar Padang di bagian utara, kolam dan masjid di bagian timur, kolam dan rumah penduduk di bagian selatan, dan rumah penduduk di bagian barat.

Surau Lubuk Bauk berdenah bujur sangkar, terbuat dari kayu surian dengan luas 154 m2 dan tinggi bangunan sampai kemuncak ± 13 m. Bangunan dikelilingi pagar besi berbentuk panggung dengan tinggi kolong 1,40 m terdiri dari tiga lantai dan satu lantai berfungsi sebagai kubah/menara yang terletak di atas atap gonjong berbentuk segi delapan. Pintu gerbang terletak di timur menghadap ke selatan (jalan raya), sedangkan pintu masuk surau terletak di timur dan naik melalui enam buah anak tangga. Di atas pintu (ambang pintu) terdapat tulisan arab Bismillahirrahmanirrahim yang dibuat dengan teknik ukir dan di belakangnya ditutup dengan bilah papan. Di depan pintu terdapat tempat mengambil air wudlu.Atap bangunan terbuat dari seng, bersusun tiga. Atap pertama dan kedua berbentuk limasan, sedangkan atap ketiga yang juga berfungsi sebagai menara memiliki bentuk gonjong di keempat sisinya.
Pada bagian puncak, atapnya membentuk kerucut dengan bentuk susunan buah labu/bola-bola.

Bangunan surau terdiri atas tiga lantai, yaitu lantai I, II, dan III. Denah lantai I berukuran 12 × 12 m. Lantai I merupakan ruang utama untuk sholat dan juga tempat belajar agama. Di sisi barat terdapat mihrab berukuran 4 × 2,50 m. Di ruang ini tidak terdapat mimbar. Ruang utama ini ditopang oleh 30 tiang kayu penyangga yang bertumpu di atas umpak batu sungai. Menurut keterangan masyarakat, jumlah tiang sebanyak itu sama dengan jumlah tiang rumah gadang menurut adat Minangkabau. Tiang-tiang tersebut berbentuk segi delapan dan tiang bagian tengah diberi ukiran di sebelah atas serta bagian bawahnya. Dinding dan lantai terbuat dari bilah papan, dan pada sisi utara, selatan, dan timur terdapat jendela yang diberi penutup. Di bagian luarnya terdapat ukir-ukiran berpola tanaman sulur-suluran. Ukiran diletakkan di bagian atas lengkungan-lengkungan yang menutupi kolong bangunan.
Lantai II berukuran 10 × 7,50 m, lebih kecil dari lantai I. Untuk masuk ke lantai II melalui sebuah tangga kayu. Di dalam lantai II tiang utama (empat tonggak) juga diberi ukiran-ukiran yang berpola sama dengan tiang di lantai I. Lantai III berdenah bujur sangkar berukuran 3,50 × 3,50 m. Di tengah-tengah ruangan terdapat satu tiang dengan tangga melingkar untuk naik ke menara. Sedangkan bagian luar lantai III membentuk empat serambi dengan atap membentuk gonjong yang meman-tulkan ciri-ciri khas bangunan Minang yang menghadap ke arah empat mata angin. Dinding serambi yang menghadap luar penuh dengan ukiran yang diberi wama merah, kuning, dan hijau mengambil pola tumbuhan pakis seperti pola bias pada bangunan rumah seorang tokoh masyarakat atau pemerintahan. Di salah satu bidang hias, di setiap serambi terdapat dua ukiran bundar yang bagian tengahnya disamar oleh tumbuh-umbuhan. Ukiran tersebut mengmgatkan pada motif uang Belanda dan mahkota kerajaan. Menurut keterangan masyarakat, empat serambi melambangkan Jurai nan Ampek Suku, agama, dan lambang dan empat tokoh pemerintahan (Basa Empat Balai) kerajaan Pagarruyung. Sedangkan ukiran pakis di bagian luar serambi melambangkan kebijaksanaan, persatuan, dan kesatuan dalam nagari. Bangunan menara berdenah segi delapan berdinding kayu dengan jendela jendela semu yang diberi kaca di setiap sisinya. Pada bagian luar, terdapat ukiran sulur-suluran pada bagian bawah dan pada bagian atasnya terdapat hiasan dengan pola segi empat. Bagian atas menara diberi kemuncak yang terdiri dari bulatan-bulatan (labu-labu) yang makin ke atas semakin mengecil dan di akhiri oleh bagian yang runcing (gonjong).

(c) Tim Labor Sejarah FIBA-Adab IAIN Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar