Rabu, 02 Juni 2010

Iljas Ja'coub (1903 - 1958) : "Ulama Sang Digoelis"

Oleh : Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo
Diedit : Muhammad Ilham


Ilyas Ya’kub (Lahir di Asam Kumbang, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Indonesia (1903 — 2 Agustus 1958) ialah seorang ulama besar dan syeikh al-Islam dari Minangkabau, Indonesia tamatan Mesir. Ia pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia diangkat dengan SK-Mensos RI Nomor: Pol-61/PK/1968, tanggal 16 Desember 1968 dan dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/ Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999 serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya mempertahankan prinsip-perinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI dengan reskio ia dibuang Belanda ke Digul (di Papua – Indonesia sekarang) serta beberapa tempat di Malaysia, Singapura, Brunei, Australia dll. Ia pernah memimpin mahasiswa Malaysia-Indonesia di Mesir. Pendiri Partai Politik PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia, 1932) yang anti ‘ilmaniyahsekularisme) berbasis pada lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Beralasan pula dengan kemampuan dan jasanya sebagai ulama, tokoh pendidikan dan politikus Islam di awal kemerdekaan (1948) ia dipercaya pada negeri yang Islam dan semangat melayunya kuat ini sebagai Ketua DPR Provinsi Sumatera Tengah merangkap penasehat Gubernur. Juga pernah dipilih DPR Sumatera Tengah sebagai calon Gubernur Provinsi Sumatera Tengah pengganti Moh. Nasroen. ( Perjuangan Ilyas Ya’kub sebagai ulama dan tokoh pendidikan Islam banyak mendirikan lembaga pendidikan Islam. Ia juga pernah bekerja sebagai wartawan di samping berjuang mendirikan lembaga pers sejak masa pendidikan di perguruan tinggi di Timur Tengah. Sebagai politikus Islam yang gemilang, ia berjasa mewadahi Islam dan Kebangsaan dengan parpol PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) yang berbasis pada pendidikan Islam yang ia dirikan bersama teman seperjuangan. Sepertinya PERMI corak lain dari Ikhwan al-Muslimin (1928) didirikan Hasan al-Bana (1906-1949), memperlihatkan sikap tidak memisahkan urusan Islam dengan negara seperti perinsip ‘ilmaniyah (sekulerisme) di Barat yang berbeda pula dengan warna sekularisme Turki masa Mustafa Kamal Ataturk.

Dengan profesinya sebagai wartawan dan penerbitan pers (pernah sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Medan Rakyat, 1 Pebruari 1931) serta politikus Islam pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia itu, membuatnya tegas dan keras menentang prilaku imperialisme dan kolonialisme Belanda. Sepak terjangnya memperlihatkan karakteristik radikal positif justru mengangkat martabat dan integritas dirinya sebagai tokoh Islam (ulama) dan nasionalis yang kuat menentang penjajah, lalu di pihak Belanda menarik perhatian dan amat diperhitungkan sebagai tokoh Islam dan Nasional itu sekaligus dinyatakan sebagai musuh bebuyutan, lalu dengan segala cara Belanda akhirnya dapat menangkapnya dan dibuang bersama isterinya Tinur ke Bouven Digul (dulu Irian Jaya, sekarang Papua) selama 10 tahun (1934 – 1944), ke Kali Bian Wantaka, ke Australia, ke Kupang, Timor, ke Singapura, ke Sarawak (Malaysia), ke Brunei Darussalam, ke Labuhan dll, sampai kembali ke tanah air bersama isteri dan 6 orang anaknya tahun 1946. Apa yang melatari hidup Ilyas Ya’kub dan bagaimana perjuangannya lalu bagaimana akhir kehidupannya sebagai seorang tokoh Islam dan Nasionalis kuat di Indonesia, menarik untuk ditelusuri dalam kajian forum nadwah ulama nusantara (Asean) ini.

Putra ketiga dari empat bersaudara dari pasangan suami-isteri Haji Ya’kub - Siti Hajir, Ilyas Ya’kub masa kecilnya belajar ilmu agama dengan kakeknya Syeikh Abdurrahman. Masa itu Bayang (daerah kelahirannya) masih merupakan sentra pendidikan Islam. Sebab sejak dahulu Bayang termasuk basis pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera berpusat di surau tua didirikan (awal 1666) oleh Syeikh Buyung Muda Puluikpuluik, salah seorang dari 6 ulama pengembang Islam di Indonesia seangkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman belajar dengan Syeikh Abdul Rauf Singkel di Aceh. Sa’at berkobarnya Perang Pauh (mulai 28 April 1666) surau ini juga menjadi basis perjuangan melawan Belanda. Bayang sejak lama menjadi basis konsentrasi perjuangan rakyat Sumatera Barat melawan Belanda, tercatat perang Bayang berlangsung lebih satu abad (mulai 7 Juni 1663, berakhir dengan Perjanjian Bayang 1771). Sejak itu Bayang melahirkan banyak ulama besar dan pejuang kemerdekaan dan Islam di pentas sejarah nasional, di antaranya Syeikh Muhammad Fatawi, Syeikh Muhammad Jamil (tamatan Makkah 1876), Syeikh Muhammad Shamad (wafat di Makkah tahun 1876), Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (1864 – 1923) penulis buku taraghub il rahmatillah yang oleh BJO Schrieke disebut sebagai kepustakaan pejuang abad ke-20 yang penuh moral, juga Syeikh Abdurrahman (kakek Ilyas Ya’cub), Syeikh Abdul Wahab (Inyiak Kacuang) dll.

Ayah Ilyas Ya’kub seorang pedagang kain dan hidup di lingkungan ulama, cukup memberi peluang dana dan motivasi bagi Ilyas Ya’kub untuk mengecap pendidikan lebih baik. Pertama ia mendapat pendidikan di Gouvernements Inlandsche School. Tamat sekolah ia bekerja sebagai juru tulis selama dua tahun (1917 – 1919) di perusahaan tambang batu bara Ombilin Sawahlunto Sijunjung. Ia keluar dari perusahaan itu sebagai protes terhadap pimpinan perusahaan asing yang imperialisme dan kolonialisme yang kasar terhadap kaum buruh pribumi. Sebagai konvensasi, Ilyas Ya’kub memperdalam ilmu agama Ilyas Ya’kub kemudian belajar dengan Syekh Haji Abdul Wahab (Raichul Amar dalam Edwar, ed. 1981, baca juga skripsi Nirmawati, 1984). Gurunya (juga ayah dari isterinya Tinur) ini melihat Ilyas Ya’kub berbakat, lalu dibawa ke Mekah. Ketika berada di tanah suci itu, selesai menunaikan ibadah haji, Ilyas berminat untuk menetap di sana guna memperdalam ilmu agamanya. Tahun 1923 ia punya kesempatan ke Mesir. Di sana ia memasuki sebuah universitas mulanya sebagai thalib mustami’ (mahasiswa pendengar).

Ilyas Ya’cub berfikir sebuh perjuangan perlu diwadahi basis kelembagaan yang kuat. Karenanya sa’at di Mesir Haji Ilyas Ya’kub di samping kuliah dalam mewadahi perjuangan Islam dan Nasionalisnya memilih kegiatan yang diwadahi berbagai organisasi dan partai politik di antaranya Hizb al-Wathan (partai tanah air) didirikan oleh Mustafa Kamal semakin membangkitkan semangat anti penjajah. Ia pernah pula menjabat sebagai ketua Perkumpulan Mahasiswa Indonesia dan Malaysia (PMIM) di Mesir. Selain itu ia juga fungsionaris wakil ketua organisasi sosial politik Jam’iyat al-Khairiyah dan ketua organisasi politik Difa` al-Wathan (Ketahanan Tanah Air). Selain gerakan politik yang amat peduli dengan nasib bangsanya terjajah Belanda, Haji Ilyas Ya’kub di Mesir juga aktif menulis artikel dan dipublikasi pada wadah berbagai Surat Kabar Harian di Kairo. Bersama temannya Muchtar Luthfi ia mendirikan dan memimpin Majalah Seruan Al-Azhar dan majalah Pilihan Timur. Majalah Seruan Al-Azhar adalah majalah bulanan mahasiswa sedangkan majalah Pilihan Timur adalah majalah politik. Kedua produk jusnalistik ini banyak dibaca mahasiswa Indonesia – Malaysia di Mesir ketika itu.

Gerakan Haji Ilyas Ya’kub dalam jurnalistik dan politik anti penjajah di Mesir, tercium oleh Belanda ketika itu. Melalui perwakilannya di Mesir, Belanda mencoba melunakkan sikap radikal Ilyas Ya’kub, tetapi gagal. Sejak itu Belanda semakin mengaris merah Ilyas Ya’kub tidak saja sebagai radikalis bahkan dicap sebagai ekstrimis dan musuhnya di Indonesia, namun ia berfikiran harus tetap melawan dengan keras agar tidak dimarjinalkan dan tidak diperhitungkan sama sekali sebagai bangsa yang ingin merdeka. Sikap tegar dan intensitas kekuatan paham nasionalisme – Islam yang demikian itu didasari sikap dan kesadarannya terhadap kesatuan budayanya terutama budaya daerah kelahirannya Minangkabau yang menganut filosofi Adat basandi Syara’ (Islam)/ syarak mangato adat mamakai (Islam mengatakan, dipakai adat/ dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara). Beralasan pula Greetz menyebutkan bahwa kesadaran kesatuan kebudayaan akan melahirkan antara lain dalam membentuk nasionalisme (Rolan Robertson, 1995:220 lihat juga Jemkhairil, M.Ag, 2005:2).

Ketika masih dalam ancaman Belanda, tahun 1929 Haji Ilyas Ya’kub kembali dari Mesir, memaksanya transit di Singapura kemudian nyasar berlabuh di Jambi. Di tanah air, ia menemui teman-temannya di Jawa yang bergerak dalam PNI dan PSI. Dari pengalaman dua partai temannya tadi (PNI dan Partai Serikat Islam) Ilyas Ya’kub berfikir, bahwa jiwa yang dimiliki kedua partai tersebut, yakni Islam dan kebangsaan adalah penting dikombinasikan, dikonversi dan dikonsolidasikan kemudian diwadahi dengan satu wadah yang refresentartif. Ternyata kemudian Haji Ilyas Ya’kub sekembali dari kunjungan ini tahun 1930 men-set up idenya dalam visi: Islam dan kebangsaan dalam dua kegiatannya yakni bidang jurnalistik dan politik untuk kepentingan agama dan negara. Dalam bidang jurnalistik diwadahi dengan penerbitan pers yakni Majalah Medan Rakyat terbit dua kali sebulan (awal dan pertengahan bulan) dan dipimpin langsung oleh Ilyas Ya’kub. Dalam bidang politik ia bersama temannya Mukhtar Luthfi mendirikan wadah baru bernama PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) dengan asas Islam dan kebangsaan. Tujuannya menegakan Islam dan memperkuat wawasan kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Dengan dasar Islam dan kebangsaan ini, PERMI menjalankan sikap politik non kooperasi dan tak kenal kompromi dengan bangsa apapun yang kental punya prilaku imperialisme dan kolonialisme. Karena itu pula PERMI secara prinsipil mencap bahwa kapitalisme dan imperalisme yang telah dipraktekan kaum penjajah merupakan penyebab ketertindasan dan penderitaan panjang rakyat Indonesia. Paham nasionalis seperti ini, hampir diwarisi Indonesia sampai dekade terakhir di samping dikotomi dalam pemetaan terhadap perimbangan kekuatan antara kelompok nasionalis dan Islam seperti fenemena Indonesia pasca Gusdur, memersepsikan Megawati sebagai representasi kelompok nasionalis dan Amien Rais sebagai representasi kekuatan Islam. Secara historis sejak masa awal kemerdekaan Indonesia sampai demokrasi liberal dekade 1950-an, dikotomi Islam - nasionalis mencapai puncaknya, ditandai hasil Pemilu 1955 yang menempatkan rakyat Indonesia dalam dua kubu besar, antara Islam dan nasionalis. Tetapi esensi paham PERMI spertinya mewariskan tidak fokus pada dikotomi tadi tetapi keyakinan bahwa kapitalisme internasional seperti IMF dan pemodal asing, mengancam kepentingan bangsa Indonesia dan umat Islam dan oleh karena itu harus diawasi ekstra ketat, kalau tidak dibendung. Karena tidak membawa kesejahteraan rakyat justeru menjadi melapetaka. Esensi dan posisi paham Nasionalisme dan Islam seperti ini masih terlihat penting dalam pembentukan wacana atau diskursus politik bangsa Indonesia dewasa ini. Sepertinya pesan Ilyas Ya’kub menekankan Islam-Nasionalisme dalam sebuah artikel Medan Rakyat dengan titel Toentoentan Islam dan Kebangsaan (15 Febroeari 1931:15,21) untuk mensejahterakan rakyat dengan penguatan upaya pembelaan terhadap bangsa dan Islam.

PERMI pada awal mula bernama PMI (Partai Muslimin Indonesia) didirikan Haji Ilyas Ya’kub tahun 1930. PMI ini berbasis pada lembaga pendidikan Islam Sumatera Thawalib dan Diniyah School. Ide dasarnya, pemberdayaan sekolah agama dengan berbagai inovasi ke arah sistem modern, dimulai perbaikan kurikulum, sistem penjenjangan program dan lama masa pendidikan, memberi perlindungan kepada pelajar serta mengorganisasikan sekolah agama sebagai basis perjuangan kemerdekaan dan sentra pencerdasan bangsa dengan pengatahuan Islam dan kebangsaan. Beralasan kemudian PMI berambisi menambah jumlah sekolah agama dengan mendirikan sekolah baru dengan sistem modern, mulai dari tingkat pendidikan dasar (ibtidaiyah) sampai pendidikan tinggi (Al-Kulliyat). Di antara pendidikan tinggi, di Alang Laweh, 12 Pebruari 1931 didirikan perguruan tinggi dalam bentuk college Islam untuk diploma A dan diploma B, bernama Al-Kulliyat Al-Islamiyah, diselenggarakan intelektual jebolan Timur Tengah di antaranya Janan Thaib (sebagai pimpinan), Syamsuddin Rasyid (onder director) dan Ilyas Ya’kub. Mahasiswa awal diterima lulusan Sumatra Thawalib, Diniyah School, Tarbiyah Islamiyah, AMS (Algemeene Middelbare School), Schakel School dan lulusan sekolah tingkat menengah lainnya.

Tahun 1932 PMI mengadakan konsolidasi. Partai ini menyadari perjuangan Islam dan Kebangsaan perlu dikokohkan baik internal maupun eksternal. Tantangan Masyarakat Islam Indonesia sebagai bagian dari Muslim Asean yang ketika itu disebut dengan istilah jawi (sejak abad ke-16), juga berpeluang memacu pengembangan Islam dan berfikir tidak terlepas dari politik kekuasaan meskipun di wilayah konsentrasi Islam seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, apalagi di wilayah minoritas Islam. Mari belajar konflik minoritas muslin Moro (sejak abad ke-19) konflik dengan pemerintahan Filipina berbeda sedikit dengan Burma (Myanmar) perkembangan muslim relatif stabil saja sejak tahun 1930-han atau Singapura tahun 1932 sudah mendirikan JSI (Jam’iyat-Pesekutuan Seruan Islam), apakah ini pengaruh Singapura pernah (tahun 1840) menjadi sentra pengembangan Tarekat Naqsyabandi yang dikembangkan Syeikh Ismail Simabur (Minangkabau) untuk kawasan Nusantara (Asean) berpusat di daerah kelahirannya Simabur, Tanah Datar, Sumatera Barat, adalah menarik untuk diteliti dan dianalisis sintesis dengan perbandingan fenomena terakhir (sejak tahun 1957) Muhammaddiyah telah pula berkembang di Singapura bersamaan dengan gerakan dakwah didukung ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) di Malaysia.

Masih kurun itu (1932) kasus di belahan Nusantara (Asean) juga, Thailand yang tidak pernah dijajah misalnya, agama Negara yang diakui kekuasaan raja secara resmi adalah Budha Trevada, namun kepada masyarakat Islam yang dominan al-syafi’iyah diberikan kemerdekaan menghurus al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga) termasuk munakahat (perkawinan) terutama dalam urusan NTCR (Nikah Talak-Cerai dan Rujuk) dilakukan kadhi yang mendapat legalisasi pemerintahan raja (lihat juga Taufik Abdullah, d., 2003:305-339). Angin segar dan peluang masyarakat muslim di Nusanatara yakni Negara Asean yang satu ini tidak terlepas dari jaringan pembaharuan Ahmad Wahab (dari Minangkabau) di Bangkok tahun 192-han dan kawan-kawan seperti juga Syeikh Thaher Jalaluddin Al-Falaki (dari Minangkabau) di Malaysia (Yulizal Yunus, 1982). Konsolidasi PMI 1932 itu merupakan bagian kesadaran bagi penguatan lembaga ke-Islam menunjang visi Islam dan kebangsaan Indonesia. Konsolidasi dilakukan dalam bentuk Kongres Besar bertempat di dekat daerah kelahiran Ilyas Ya’kub yakni Koto Marapak (Bayang Pesisir Selatan) dihadiri oleh seluruh pengurus cabang se Sumatera seperti dari Tapanuli Selatan, Bengkulu, Palembang, Lampung dll. Di antara keputusan Kongres Besar, PMI dirubah namanya menjadi PERMI yang dicap Belanda sebagai partai Islam radikal revolusioner. Kantornya ketika itu di gedung perguruan Islamic College, Alang Lawas, Padang.

Kalau tadi Ilyas Ya’kub tidak mengenal kompromi dengan komponen yang punya watak imperialisme dan kolonialisme, dalam PERMI ia bisa kompromi dengan Pertindonya Soekarno. Bentuk komprominya dalam bentuk koalisi memperkuat perjuangan kebangsaan, yakni dimana telah ada berdiri cabang Pertindo maka di sana tidak lagi perlu ada cabang PERMI dan sebaliknya. Karena dianggap membahayakan pemerintahan, maka berdasarkan vergarder verbod Belanda mengeluarkan kebijakan exorbita terechten yang menyatakan PERMI terlarang dan diikuti tindakan penangkapan terhadap tokoh-tokohnya. Haji Ilyas Ya’kub bersama dua temannya Mukhtar Luthfi dan Janan Thaib ditangkap dan dipenjarakan. Setelah 9 bulan di penjara Muaro Padang, ia diasingkan selama 10 tahun (1934-1944) ke Bouven Digul Irian Jaya bersama para pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia lainnya. Selama di Digul Haji Ilyas Ya’kub didampingi isteri Tinur sering sakit-sakitan. Masa awal penjajahan Jepang di Indonesia pun, para tahanan Digul semakin memprihatinkan, mereka dipindahkan lagi ke daerah pedalaman Irian Jaya di Kali Bina Wantaka kemudian diasingkan pula ke Australia. Ia senantiasa dibujuk van der Plas dan van Mook (Belanda), namun semangat nasionalis dan Islamnya tidak pernah pudar memotivasi pembangkangannya dalam menentang penjajah dan menggerakkan terwujudnya kemerdekaan Indonesia.

Oktober 1945 pemulangan para tahanan perang dari Australia ke Indonesia dengan kapal Experence Bey Oktober, Haji Ilyas Ya’kub tidak diizinkan turun di pelabuhan Tanjung Periuk, bahkan ia kembali ditahan dan diasingkan bersama isteri selama 9 bulan berpindah-pindah di Kupang, Serawak, Brunei Darussalam, kemudian ke Labuhan, Singapura (anaknya iqbal meninggal di sana). Satu tahun Indonesia merdeka (1946) barulah habis masa tahanan dan Haji Ilyas Ya’kub, ia kembali bergabung dengan kaum republik sekembali dari Cerebon. Ia ikut bergrillya pada clas II (1948) dan ikut membentuk PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang kemudian dipimpin oleh Mr. Safruddin Prawiranegara. Ia mendapat tugas menghimpun kekuatan politik (seluruh partai) di Sumatera untuk melawan agresor Belanda. Tahun itu ia menjabat ketua DPR Sumatera Tengah kemudian terpilih lagi sebagai anggota DPRD wakil Masyumi dan merangkap sebagai penasehat Gubernur Sumatera Tengah bidang politik dan agama.

Tahun 1948 itu juga di Sumatera Tengah terjadi kegoncangan dalam pemerintahan, karena sejak lama dipicu pro kontra atas pengangkatan Gubernur I Moh. Nasroen bersamaan dengan penetapan Sumatera Tengah sebagai provinsi penuh (dari sub provinsi) ditandai keluarnya UU No. 10 Tahun 1948, 15 April 1948. DPR-ST mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap Gubernur Nasroen dan meminta Pemerintahan RI di Yogya menariknya kembali ke Kementerian (Departemen Dalam Negeri) pada masa menteri Soesanto. DPR-ST sekaligus meminta Pemerintahan Pusat mengganti Gubernur Nasroen dengan calon Gubernur yang dipilih DPR-ST yakni H. Ilyas Ya’cub (ex. Digulis/ Ketua DPR-ST dan tokoh Masyumi), Dr. M. Djamil (mantan Gubernur Muda Sumatera Tengah). Respon Kabinet PM Natsir justeru membekukan DPR-ST Tahun 1951 pasca penarikan Moh. Nasroen. Untuk Sumatera Tengah ditunjukan seorang pamong dari Jawa Ruslan Muljohardjo. Ternyata ia seorang pamong yang cerdas, di awal pemerintahannya ia mendekati tokoh masyarakat dan pimpinan partai. Menurut Kamardi Rais Dt. P. Simulie (1993), Ruslan mendekati dan menghormati H. Ilyas Ya’kub, ditandai sikap menghormati dengan menghadirkan tokoh ini sebagai Ketua Ketua DPR-ST dalam pertemuan-pertemuan penting dan memberlakukan aturan-aturan protokoler kepadanya meskipun DPR-ST itu belum cair dari pembekuan pemerintahan pusat.

Sebenarnya banyak perjuangan Ilyas Ya’kub yang tidak tercatat secara syumul, mulai sejak masa awal ia bekerja di Perusahaan Asing (Belanda) yakni Tambang Batubara di Sawah Lunto, masa pendidikan di Mesir pasca Mekah (8 tahun), masa bergerak di PERMI diperkuat tabloid Medan Rakyat serta hubungannya dengan tokoh politik, masa konsolidasi ideologi gerakan Islam dan Kebangsaan mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang beresiko tinggi pada dirinya masuk penjara keluar penjara penjajah dari satu daerah pengasingan ke daerah pengasingan lainnya di dalam/ luar negeri (13 tahun), sampai ia mengabdi kepada Republik bekerja di badan legislatif. Namun ia telah memenuhi ajakan ‘isy karima wa mut syahida (hidup sebagai orang mulia dan wafat meninggalkan jasa) adalah jasa kepada Islam dan kebangsaan, turut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Di akhir hayat yang husn al-khatimah itu Ilyas Ya’kub menghembuskan nafas terakhir Sabtu, 2 Agustus 1958 jam 18.00 wib, ia meninggalkan 11 orang anak, antara lain putranya Anis Sayadi, Fauzi (satu di antaranya yang menulis riwayat hidup singkat tokoh ini) dll. Kesaksian kebesaran perjuangannya dikukuhkan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan RI dengan SK Mensos No. Pol-61/PK/1968, 16 Desember 1968, mendapat piagam penghargaan sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1975. Kepahlawanannya dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999 serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya mempertahankan prinsip-perinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI di samping memperjuang Partai dan Pendidikan Islam. Kebesarannya dihargai Negara dan oleh Pemerintahan Kabupaten setiap bulan diberikan bantuan kesejahteraan sejumlah uang tunai kepada keluarga pahlawan nasional ini ditetapkan dengan SK-Bupati Nomor 400-134/BPT-PS/2005 tanggal 2 Januari 2005. Kepahlawanan Ilyas Ya’kub juga diabadikan dengan pemberian namanya kepada gedung olahraga dan jalan serta dibangun sebuah patung di perapatan jalan di gerbang kota Painan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Indonesia). Makamnya di depan mesjid raya Al-Munawarah Koto Barapak, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat juga menjadi saksi bisu kebesarannya dalam Islam dan Kebangsaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar