Selasa, 12 Januari 2010

Buya M.D. Dt. Palimo Kayo (1905-1985)

Hari Sabtu pagi, tanggal 10 Maret 1905 M bertepatan dengan 17 Shafar 1321 H. Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo (selanjutnya : dipergunakan nama Mansur Daud dan/atau Buya Datuk Palimo Kayo) lahir di nagari Pahambatan, Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam. nagari Pahambatan Balingka ini terletak sekitar 12 kilometer dari kota Bukittinggi. Daerahnya cukup dingin karena berada di pinggang gunung Singgalang. Umumnya, dari dulu hingga sekarang, mata pencaharian mayoritas penduduk nagari ini adalah bertani serta tak sedikit pula dari mereka yang pergi merantau. Nagari Balingka, tidak jauh dari Koto Gadang – sebuah daerah yang dikenal dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia sebagai daerah yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar nasional Indonesia. Nagari Balingka, secara administrative berada didalam Kelarasan IV Koto dengan pusatnya di Koto Tuo. Pada zaman Paderi, Koto Tuo terkenal dengan ketokohan Tuanku Koto Tuo. Mansur Daud dilahirkan dalam keluarga yang memegang nilai-nilai kesederhanaan hidup. Ia merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Orang tua laki-lakinya bernama Syekh Daud Rasyidi – yang dikenal dalam sejarah intelektual Minangkabau sebagai salah seorang tokoh pembaharu Islam, ulama besar serta cukup berpengaruh di Minangkabau pada masanya, bahkan pengaruhnya tersebut masih dirasakan sesudah beliau meninggal, terutama ketika diskusi menganui pembaharuan Islam Indonesia – dengan pengkhususan pada sejarah pembaharuan Islam Minangkabau – maka ketokohan ayah Mansur Daud ini tidak bisa ditinggalkan.

Beliau menjadi salah satu “mata rantai” terpenting ketika kita mau membicarakan sejarah pemikiran dan pembaharuan Islam di Minangkabau. Tidak itu saja, ayah Mansur Daud ini termasuk salah seorang ulama yang memiliki peran yang cukup signifikan dalam membangkitkan semangat berjihad dalam melawan colonial Belanda. Sedangkan ibunya bernama Siti Rajab. Secara cultural (fam) Mansur Daud berasal dari suku Koto Lumbung Banyak Pahambatan Balingka. Dalam kesehariannya, Mansur Daud sangat disegani oleh kawan-kawan seprgaulannya. Menurut beberapa catatan biografis lainnya, ada aura kharisma yang melekat pada ulama asal Balingka ini. Mengapa hal ini terjadi ?. Jawabannya, semuanya tidak terlepas dari faktor genetic-hereditically. Mansur Daud merupakan putra dari salah seorang ulama Minangkabau paling berpengaruh pada masa itu – Syekh Daud Rasyidi. Jadi tidaklah mengherankan, apabila dalam perkembangan biografis Mansur Daud, karakter dan pola pemikiran Mansur Daud merupakan ”miniatur” dari ayahandanya.

Istri Mansur Daud bernama Fatimah Hatta, yang dalam kesehariannya lebih ”familiar” dipanggil dengan panggilan Ummi. Ia berasal dari Jambu Air Bukittinggi. Ummi merupakan tamatan perguruab Islam Diniyyah Padang Panjang dan Normal Kursus Puteri Bukittinggi tahun 1933. Mansur Daud dan Ummi menikah pada tahun 1934. Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai tiga orang anak yang mereka beri nama Edwar, Nahar dan Ahmad Za’im. Sewaktu masih berada di bangku pendidikan, Ummi dikenal aktif dalam berorganisasi. Karena keaktifannya ini, tidak mengherankan kemudian Ummi langsung berkecimpung dalam dunia politik, melibatkan diri secara aktif dalam Partai Politik Permi.

Tahun 1933, Ummi pernah ditangkap dan dipenjarakan Belanda. Hal ini tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan organisatoris Ummi yang berhubungan langsung dengan membangkitkan gelora nasionalisme ke-Indonesiaan, terutama di ”habitat”-nya yaitu di Perguruan Islam Jambu Air Bukittinggi. Inilah yang tidak disukai oleh Belanda. Selepas dari penjara, kemudian selama empat tahun (1938-1942), Ummi mengajar di Perguruan Islam Curup Bengkulu. Pada zaman kolonial Jepang, Ummi Fatimah Hatta menjadi pengurus Ko En Bu Haha Nokai, sebuah institusi yang mengurus perbekalan logistik untuk tentara Jepang di Bukittinggi. Pada zaman Jepang ini pula, Ummi pernah tercatat sebagai anggota pimpinan Majelis Islam Tinggi Puteri Sumatera Barat yang berpusat di Bukittinggi.

Setelah Indonesia merdeka, dari tahun 1945 hingga 1946, Ummi Fatimah terpilih menjadi Ketua Majelis Islam Tinggi bagian wanita wilayah Sumatera Barat yang berkedudukan di Bukittinggi. Karena berbagai aktifitas organisatorisnya yang cukup menonjol dan mumpuni, setelah Majelis Islam Tinggi dilebur ke dalam Masyumi, maka Ummi Fatimah kemudian diangkat sebagai Wakil Ketua Pimpinan Partai Politik Islam Muslim Masyumi se-Sumatera yang berkedudukan di Pematang Siantar Sumatera Utara sekarang. Selama delapan tahun (1947-1955) Ummi Fatimah menjadi anggota pimpinan Partai Politik Islam Muslimat Masyumi Sumatera Barat yang berkedudukan di Bukittinggi. Ummi Fatimah Hatta yang juga aktif berkecimpung dalam organisasi keagamaan, sosial, pendidikan dan politik tentu saja punya dampak yang positif bagi Mansur Daud sendiri. Ummi Fatimah sebagai pendamping hidup Mansur Daud – dengan segala aktifitas dan potensi kepemimpinan-organisatorisnya – secara langsung telah memberikan kontribusi pada Mansur Daud untuk lebih bisa mengembangkan potensi kepemimpinan keulamaan dan sosial politiknya. Kehadiran sosok Ummi bagi Mansur Daud mampu menjadi ”pendorong aktif” bagi Mansur Daud untuk mengembangkan semua potensi positif yang dimilikinya. Ummi sebagai wanita pejuang, sementara Mansur Daud sebagai seorang patriot dalam pemikiran yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW., sudah jelas dinilai sangat sesuai dalam menempuh berbagai suka duka kehidupan yang mereka jalani.Riwayat pendidikan Mansur Daud adalah riwayat pendidikan yang berpindah-pindah. Tahun 1912, beliau masuk Sekolah Desa di kampungnya Balingka. Hanya satu tahun saja, lalu pindah ke Lubuk Sikaping (ibu kota Kabupaten Pasaman sekarang) dan melanjutkan pendidikannya ke Gouvernement School. Pindahnya ke sekolah di Lubuk Sikaping ini, memiliki alasan juga. Diantaranya ialah, ketika beliau sekolah di Balingka, Mansur Daud dikenal cukup nakal. Seringkali beliau dimarahi oleh kedua orang tuanya bahkan kerapkali dipukuli dengan rotan. Namun kenakalannnya dari waktu ke waktu tidak berubah, bahkan cenderung meningkat. Akhirnya sang ayah, Inyiak Daud, merasa tidak sampai hati mempergunakan rotan terus menerus terhadap anaknya. Beliau menyadari, kalau sering anak di-lacuik dengan rotan, tentulah ia akan rusak kelak. Lalu sang ayah berunding dengan iparnya yang bernama Haji Hassan. Akhirnya didapatkan keputusan bahwa Mansur harus ikut mamaknya di Lubuk Sikaping. Si Mamak ini berprofesi sebagai pedagang di Lubuk Sikaping.

Di daerah ini, Mansur Daud dimasukkan ke Gouvernement School, sebuah sekolah yang dianggap terpandang bagi kaum pribumi kala itu. Sekolah Desa hanya sampai pada kelas tiga, sedangkan Gouvernement School sampai kelas lima. Sewaktu sekolah di Lubuk Sikaping ini kelakuan Mansur memamng bertambah baik. Sudah berubah jika dibandingkan dengan ketika Mansur Daud sekolah di Balingka dahulu. Setelah Mansur Daud mengikuti pendidikan di Lubuk Sikaping, pada tahun 1917 Mansur dipindahkan orang tuanya ke Padang Panjang, di Sumatera Thawalib. Institusi pendidikan yang dipimpin oleh Syekh Haji Abdul Karim Amrullah atau yang dikenal dengan panggilan Inyiak Rasul. Di institusi pendidikan ini, Mansur sekolah pada waktu sore hari. Sedangkan pada pagi harinya, ia menuntut ilmu di Perguruan Islam Madrasah Diniyah di bawah asuhan Zainuddin Labay el-Yunusiy.

Setelah enam tahun di Padang Panjang, tahun 1923 Mansurpergi naik haji ke Mekkah. Di sana ia menuntut ilmu pada Syekh Abdul Kadir Mandilliy. Setelah setahun di Mekkah, Mansur terpaksa pulang kembali ke tanah air disebabkan pecahnya perang antara Hijaz di bawah pimpinan Raja Syarief Hossein dan Najdi di bawah pimpinan Sulatan Abdul Aziz as-Sa’udi, yang berakhir dengan kemenangan Najdi. Dengan kemenangan kelompok ini, maka lahirlah pemerintahan kerajaan Saudi Arabia. Sekembalinya dari Mekkah ini, Mansur Daud melanjutkan pelajarannya ke Perguruan Islam Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi, institusi pendidikan Islam-tradisional yang dipimpin oleh seorang ulama kharismatik, Syekh Ibrahim Musa Parabek atau yang lebih dikenal dengan panggilan Inyiak Parabek.

Ketika Mansur menuntut ilmu pengetahuan di Parabek, gerakan kaum komunis mulai berkembang pesat di Sumatera Barat dengan Padang Panjang sebagai pusat gerakannya. Karena kondisi sosial politik Sumatera Barat yang tidak kondusif ini, akhirnya Mansur Daud meneruskan pendidikannya ke India. Awalnya ia belajar di Perguruan Islam Tinggi Lucknow di bawah asuhan Maulana Abdul Kalam Azzad. Di samping belajar di Lucknow ini, Mansur juga menuntut ilmu pada Islamic College di Meyderabad dibawah asuhan Maulana Syaukat Ali dan Maulana Muhammad Ali, para pemimpin besar partai Khilafat yang terkenal di India. Di India ini, Masur Daud menuntut ilmu selama dua tahun (1925-1927). Selanjutnya beliau meneruskan perjalanannya ke beberapa negara Arab seperti Irak, Yordania, Syiria, Libanon, Mesir dan Turki dan menjelajahi beberapa negara Eropa seperti Yunani, Italia, Rumania dan Perancis kemudian terus ke Cina dan Hongkong dengan tujuan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. Pada tahun 1930, Mansur Daud kembali ke Indonesia melalui Malaysia dan Singapura, terus ke Pulau Jawa. Setelah untuk beberapa waktu berkeliling di pulau Jawa ini, dan tentunya, sambil bertukar pikiran (sharing of intelectual) dengan beberapa kiai dan tokoh-tokoh politik dari beberapa organisasi massa, akhirnya Mansur Daud kembali ke Sumatera Barat. Kembalinya putra Inyiak Daud asal Balingka ini di Sumatera Barat, bertepatan dengan diadakannya Kongres Sumatera Thawalib di Bukittinggi yang diadakan dari tanggal 22 – 27 Mei 1930.

Pengangkatan Mansur Daud sebagai tokoh adat di Balingka tidak terlepas dari motof politik. Waktu Belanda berkuasa di Minangkabau, politik devide et impera dilancarkan dengan massif dan intens. Ninik mamak secara internal di adu domba dengan cara memunculkan isu ”ninik mamak yang punya SK (tentunya dari pemerintah kolonial Belanda) dan ninik mamak yang tidak memiliki SK”. Konflik internal dalam kalangan ninik mamak kemudian diperluas oleh Belanda, ninik mamak dihadapkan atau di adu domba dengan kaum ulama. Ninik mamak dibebasakn membayar belasting (pajak), sementara itu ulama tetap diwajibakan membayar belasting tersebut. Hal ini secara langsung akan menimbulkan kecurigaan dalam kalangan tokoh-tokoh (elit sosial) Minangkabau kala itu. Parahnya lagi, setelah mengkondisikan konflik internal di kalangan ninik mamak, Belanda juga melakukan hal yang serupa dalam tubuh institusi ulama. Antara ulama saling di adu domba. Ulama-ulama kaum tua (yang sering dikategorisasikan sebagai ulama kolot) dihadapkan dengan ulama modern (kaum muda).

Kedudukan ninik mamak waktu dulu cukup berpengaruh. Peran dan fungsi mereka sangat signifikan dalam mengarahkan sebuah komunitas sosial. Itulah sebabnya, banyak ulama yang bersedia jadi Datuk, untuk menginfiltrasi kaum adat. Seorang diantaranya Haji Mansur Daud, diangkat jadi ninik mamak dengan gelar Datuk Palimo Kayo – Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, demikian panggilan lengkapnya setelah beliau pulang dari Haji dan memangku gelar adat. Mansur Daud diangkat jadi penghulu oleh kaum keluarganya suku Koto Lumbung Banyak, Pahambatan Balingka Kelarasan IV Koto Agam dengan gelar pusaka Datuk Palimo Kayo. Upacara batagak penghulu ”Datuk Palimo Kayo” Mansur Daud ini dilaksanakan pada tanggal 23 Fenruari 1952.

Dengan diangkatnya Mansur Daud sebagai penghulu dalam kaumnya, maka terbukalah kesempatan baginya untuk menghimbau penghulu yang lain di Minangkabau untuk berpartisipasi terhadap pergerakan rakyat. Dengan dinobatkannya Mansur Daud sebagai penghulu kaum Koto Lumbung Banyak dengan gelar Datuk Palimo Kayo, maka semakin kokohlah pegangannya dalam mengembangkan ajaran Islam yang ditopang kuat oleh pengaruh penghulu yang dipegangnya tersebut. Otomatis niali-nilai Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah menyatu secara integral pada dirinya. Sekaligus dengan menyatunya prinsip adat dengan agama ini pada figur Mansur Daud, maka semakin terbentang lebarlah jalan dalam meningkatkan cara berfikir warga Sumatera Barat untuk berpartisipasi dalam menggelorakan semangat jihad menentang penjajahan Belanda. Sedangkan penghulu-penghulu lain, juga semakin memberi dorongan positif kepada Mansur Daud untuk tampil dalam berbagai pertemuan, meski ada juga diantara kaum adat itu yang kurang serasi dengannya. Ajaran-ajaran adat Minangkabau yang banyak persamaanya dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW., membuat Mansur Daud semakin mendalami arti Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.

Setelah Mansur Daud kembali dari luar negeri dan berkeliling di pulau Jawa untuk memperdalam pengetahuan dan pengalaman, Mansur Daud kembali ke Sumatera Barat pada saat diadakannya Kongres I Perkumpulan Sumatera Thawalib yang berlangsung dari tanggal 22-27 Mei 1930. Kongres ini menghasilkan beberapa keputusan, salah satunya melahirkan organisasi politik Islam PERMI (Persatuan Muslim Indonesia) yang berpusat di Padang. Waktu itu, PERMI merupakan satu-satunya oragnisasi politik Islam satu-satunya yang berpusat di Sumatera. Seluruh cabang-cabang perkumpulan Sumatera Thawalib segera kemudian membentuk cabang PERMI di Sumatera Barat, Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh, Sumatera Selatan, Bengkulu dan lain-lain. Terutama di Sumatera Barat dalam tempo yang relatif singkat, bermunculanlah berbagai anak cabang dan ranting-ranting secara merata di setiap negeri.

Pada saat ini, di Indonesia timbul pertentangan yang cukup tegang antara pemuka-pemuka Islam dan elit nasional lainya, terutama di pulau Jawa yang mempertentangkan antara Islam dan nilai-nilai kebangsaan. PERMI muncul menggabungkan keduanya, karena asumsi dasar PERMI melihat bahwa ajaran Islam tidak menentang adanya paham kebangsaan. Kondisi ini kemudian menimbulkan semacam ”kesepakatan politik” antara PERMI dengan organisasi politik yang merupakajn representatif dari nilai-nilai kebangsaan, yaitu PNI. Kesepakatan politik itu termanifestasi pada anggapan ”dimana ada PERMI, maka tidak perlu didirikan lagi PNI, sedangkan dimana ada PNI, maka tidak perlu pula didirikan PERMI”. Konkritnya, PNI dan PERMI sudah saling mewakili ”satu” bagi ”keduanya”.

Perjuangan PERMI dalam tempo pendek telah memperoleh hasil yang cukup memuaskan. PERMI telah mampu memunculkan semangat kemerdekaan yang terorganisir secara baik, khususnya di Sumatera Barat. Melihat hal ini, pemerintah Belanda menganggap kehadiran PERMI sebagai ancama serius bagi hegemoni mereka, khususnya di Sumtera Barat. Untuk mematahkan gerak langkah PERMI ini, maka pada tangal 12 Juli 1933, pemerintah kolonial Belanda menangkap tiga orang pucuk pimpinan PERMI yaitu H. Djalaluddin Thaib, H. Ilyas Ja’coub dan H. Muchtar Lutfie. Belanda mengira, dengan tertangkapnya tiga pucuk pimpinan PERMI tersebut, pERMI akan layu bagai tanaman yang patah pucuk. Namun hal sebaliknya yang justru terjadi. Penangkapan tokoh PERMI ini justru menjadi inspirasi timbulnya potensi perlawanan di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengantisipasi hal ini, akhirnya pimpinan ketiga-tiga pimpinan PERMI ini langsung dibuang ke Boven Digul oleh pemerintah kolonial Belanda.

Sedangkan dua orang dari pimpinan PERMI puteri, Ratna Sari dan Ummi Fatimah Hatta, ditangkap dan kemudian dipenjarakan di Padang. Banyak lagi pemimpin-pemimpin PERMI, baik laki-laki maupun perempuan, yang ditangkap dan dipenjarakan. Kondisi menyulitkan ini, kemudian bertambah sulit dengan keluarnya perintah berupa kebijakan politik dari pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 7 September 1933 dimana partai politik Islam PERMI dijatuhi hukuman larangan berkumpul dan bersidang yang juga disertai dengan diadakannya pembersihan dan penggeledahan terhadap kantor-kantor PERMI secara keseluruhan, mulai dari kantor Pimpinan Pusat di Kampung Nias Padang hingga ke ranting-ranting dan rumah-rumah pengurus PERMI. Namun hal ini tidak menyurutkan gelora dan semangat perjuangan mereka. Majalah PERMI ” Medan Rakjat” juga menerima resiko – di-breidel dan dianggap sebagai bacaan terlarang. Bila ada rakyat yang kedapatan membawa atau membaca Medan Rakjat, ia akan berurusan dengan polisi, bahkan bisa ditahan untuk beberapa hari tanpa adanya proses verbal. Sejak saat itu, PERMI akhirnya bersifat clandeistein. Gerakan ”bawah tanah” ini akhirnya tercium oleh Belanda. Maka, pada tanggal 18 Oktober 1937, resiko terberat akhirnya diterima oleh para pimpinan dan anggota PERMI – Partai Politik Islam PERMI dibubarkan oleh Belanda. Mansur Daud, merupakan salah seorang figur PERMI. Beliau melewati fase-fase konfrontatif dengan pemerintah kolonial Belanda ketika organisasi politik ini menjadi organisasi yang bersifat ”pencerahan” bagi masyarakat Minangkabau hingga menerima resiko pembubaran. Pada saat organisasi politik ini belum dibubarkan, Mansur Daud memegang posisi ”kunci” dalam Susunan Besar pengurus PERMI. Beliau menjadi sekretaris umum. Ketiga tiga orang tokoh PERMI di-digoel-kan oleh Belanda, kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh H. Mansur Daud sebagai ketua umum serta H. Syu’aib el-Yunusiy menjadi wakil ketua umum dan Fachruddin Hussany Datuk Majo Indo sebagai sekretaris. Disamping itu, Mansur Daud dan Fachruddin Hussany Datuk Majo Indo juga merangkap sebagai pemimpin umum dan wakil pemimpin umum majalah PERMI Medan Rakjat.

Pengangkatan Mansur Daud dan Fachruddin HS sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum PERMI merupakan keputusan rapat Pengurus Besar PERMI. Di saat PERMI mendapat palu godam dan pukulan hebat, di saat itu pulalah para pengurus PERMi mengeluarkan pernyataan yang isinya sebagai berikut : ”Membubarkan dan membebaskan Departemen Pendidikan dan Pengajaran dari organisasi partai PERMI”. Hal ini memiliki konsekuensi politis dimana pengurusan Sumatera Thawalib dan seluruh sekolah-sekolah yang bernaung dibawah Departemen Pendidikan dan Pengajaran PERMI, menjadi bebas dan berdiri sendiri dengan membentuk institusi tersendiri pula dibawah pimpinan Tuanku Mudo Hamid Hakim di Padang Panjang. Namun, kecurigaan Belanda terhadap perguruan Sumatera Thawalib tidak berkurang. Hal ini menyebabkan banyak guru dan murid-murid Sumatera Thawalib dikenakan larangan mengajar bahkan ditangkapi. Intimidasi dan gerakan represif yang dilakukan oleh Belanda terhadap pengurus, anggota dan simpatisan PERMI tidak membuat semangat mereka padam. Dan setiap gerakan yang bersifat ”pencerahan” dan peng-gelora-an semangat yang dilakukan oleh anggota PERMI melalaui lembaga pendidikan Sumatera Thawalib, tidak terlepas dari kontribusi Mansur Daud yang selalu menghembuskan dan meggelorakan semangat ”berseberangan” dengan Belanda.

Di saat kondisi penentangan terhadap Belanda semakin terus berkobar dikalangan keluarga Besar Sumatera Thawalib, maka pada tanggal 10 Desember 1934, Mansur Daud ditangkap di Bukittinggi karena dianggap berpotensi sebagai provokator dan inspirator gerakan perlawanan terhadap Belanda terutama yang dilakukannya di kalangan simpatisan dan anggota PERMI. Mansur Daud kemudian dipindahkan ke Medan dan ”dijebloskan” ke penjara Suka Mulia Medan. Setelah 26 kali diproses verbal oleh pihak Belanda, lalu Mansur Daud diajukan ke sidang pengadilan. Setelah empat kali bersidang, beliau dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Setelah dipotong masa tahanannya yang cukup lama, akhirnya hanya dalam beberapa hari setelah keputusan pengadilan keluar, Mansur Daud bebas. Setelah keluar dari penjara, Mansur Daud kembali ke Sumatera Barat dan aktif kembali bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah Islam, bahkan ”pergerakan aktifitasnya” tidak hanya terbatas di daerah Sumatera Barat saja, tapi sudah melangkah ke daerah ”geografis” yang lebih luas.

Dari tahun 1938 sampai 1942, beliau berada dan beraktifitas di daerah Bengkulu. Di daerah ini, beliau menggelorakan semangat perjuangan dikalangan masyarakat. Apalagi pada saat yang bersamaan, Ir. Soekarno di internir oleh Belanda ke Bengkulu. Selama di Bengkulu ini, Mansur Daud berhasil membentuk Majelis Taklim serta mengajar diberbagai perguruan Islam disana. Pergerakan aktifitas pendidikan dan dakwah Mansur Daud kemudian terus melebar ke berbagai daerah lainnya seperti Palembang, lampung dan sekitarnya. Dakwah yang dilaksanakan oleh Mansur Daud ini, dikoordinir oleh para perantau Minangkabau dalam sebuah perkumpulan yang mereka beri nama KOPI (Komite Pelajaran Islam) yang berpusat di Curup dengan cabang-cabangnya di berbagai tempat. Pada tahun 1942, Mansur Daud kemudian kembali lagi ke Sumatera Barat.

Sekembalinya dari ”pengelanaan dakwah dan pengajaran” di berbagai daerah di luar Sumatera Barat, Mansur Daud berusaha untuk membentuk wadah kordinasi Alim Ulama Sumatera Barat dengan tidak membeda-bedakan organisasi dan golongan. Organisasi itu kemudian diberi nama Majelis Islam Tinggi (MIT), dengan Ketua Umumnya Syekh Sulaiman Ar-Rasuli atau biasa dipanggil dengan panggilan Inyiak Canduang sedangkan Sekretaris Umumnya langsung dipegang oleh Mansur Daud dan Bendahara oleh H. Abdurrahman. Insitusi ini dibantu aktif oleh beberapa orang ulama terkemuka di Minangkabau pada masa itu seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Abbas Abdullah Padang Japang dan Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang Padang Japang dan beberapa ulama lainnya. Institusi ini lahir disaat terjadinya proses transisi politik di Indonesia dimana kolonial Belanda digantikan oleh kekuasaan kolonial Jepang. MIT ini secara organisatoris bertujuan untuk memelihara persatuan untuk perjuangan agama (Islam) dan bangsa berdasarkan amar ma’ruf nahi munkar. Pada awal berdirinya, MIT ini hanya direncanakan untuk Sumatera Barat saja. Tetapi akhirnya justru berkembang hampir di seluruh pulau Sumatera. Akhirnya ini mendorong terbentuknya Pimpinan MIT Sumatera dengan Ketua Umumnya Syekh Muhammad Djamil Djambek dan Sekretarisnya Mansur Daud.

Pada masa penjajahan Jepang, kualitas tantangan bagi Mansur Daud dalam memaksimalkan fungsi peran sosial, politik dan agama, justru semakin besar dan penuh tantangan dibandingkan pada masa penjajahan Belanda. Politik fasisme Jepang semakain nyata hendak menjadikan bangsa Indonesia sebagai anak matahari yang harus menyerahkan dirinya untuk kepentingan dewa matahari (Ametaresu Omikami) dalam Perang Asia Timur raya. Kemakmuran bersama Nippon-Indonesia adalah semboyan yang harus diucapkan dibelakang ancaman samurai dan kempetei. Pada awal bedirinya, MIT berperan sebagai penasehat Jepang. Oleh karena itulah MIT ”lempang” dalam beraktifitas pada masa itu. Namun pada hakekatnya, MIT dijelmakan untuk menjag semangat iman dan tauhid kaum muslimin. Sekolah-sekolah diperbanyak, pengajian-pengajian dan tabligh diadakan diberbagai tempat. Namun, pengaruh MIT lama kelamaan membuat Jepang harus menganggap organisasi ini sebagai wadah ”pembentukan” bibit-bibit pembangkangan terhadap Jepang. Anjuran Jepang untuk melakukan Seikere, ibadah ritual a-la Jepang dengan membungkuk menghadap matahari pada pagi hari, mendapat tantangan keras dari ulama-ulama MIT.

MIT dibawah pimpinan Syekh Muhammad Djamil Djambek dan Mansur Daud, dalam berbagai kesempatan dan situasi serta dibawah ancaman dan intimidasi fisik-psikologis dari pemerintah Jepang, tetap terus berusaha menjaga agar prinsip tauhid masyarakt tetap terpelihara. Bagi Inyiak Djambek dan Mansur Daud, kualitas cobaan pada zaman Jepang ini jauh lebih terasa besar dibandingkan pada zaman Belanda. Pada zaman Belanda, praktek ideologis-normatif-ritual keagaamaan a-la Seikerei yang dianggap sebagai sesuatu yang sentral bagi Jepang, tidak ada pada zaman Belanda. Bagi Inyiak Djambek dan Mansur Daud, praktek ritual ini sangat prinsip sekali dalam menggerogoti dan mereduksi keimanan ummat Islam. Oleh karena itulah, melalui MIT, Inyiak Djambek dan Mansur Daud bersama-sama dengan kawan-kawan mereka sesama ulama, tetap bergiat melalui jalur dakwah menjaga nilai-nilai tauhid dan mengibarkan semangat jihad kaum muslimin serta tentunya mengkritisi praktek ritual Seikerei tersebut.

Bersama dengan semakin berkobarnya semangat jihad kaum muslimin di Sumatera Barat, pihak Jepang mengeluarkan kebijakan penerimaan Heiho yaitu kebijakan serdadu pekerja paksa bagi balatentara dai-nippon. Kebijakan ini dibarengi dan didukung oleh upaya paksa. Karena melihat resistensi masyarakat Indonesia, khususnya di Sumatera Barat, cukup besar terhadap kebijakan ini, Jepang kemudian menawarkan kebijakan lain dengan tetap melaksanakan kebijakan Heiho diatas. Kebijakan lain tersebut adalah menerima para pemuda menjadi Heiho, tetapi para pemuda-pemuda tersebut diberi kesempatan untuk berlatih menjadi tentara rakyat yang sebenarnya, seperti PETA (Pembela Tanah Air) yang telah lama terbentuk di Pulau Jawa. Anjuran yang diprakarsai oleh Khatib Sulaiman ini kemudian diakomodasi oleh Jepang di Sumatera Barat dengan membentuk Gyu Gun. Ketika Jepang kalah dari sekutu, ulama-ulama yang tergabung dalam MIT tetap menyarankan kepada kaum muslimin agar tetap waspada dan berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam.

Setelah Indonesia merdeka, maka MIT difusikan ke dalam partai politik Islam Masyumi yang ketika itu berpusat di Jakarta. Mansur Daud dipilih menjadi sekretaris umum Masyumi se-Sumatera yang berkantor di Pematang Siantar, sesuai dengan kedudukan pemerintah Republik Indonesia Sumatera semasa Gubernur Teuku Mohammad Hassan. Karena kota Pematang Siantar yang dianggap secara politis cukup signifikan di Sumatera bagi Belanda, maka kota ini terus menjadi sasaran penyerangan tentara NICA Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia pasca Jepang, maka pemerintah RI Propinsi Sumatera dipindahkan ke kota Bukittinggi. Ketika itu, propinsi Sumatera dibagi tiga yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Setelah selesai pembagian propinsi di Sumatera ini, maka khusus untuk propinsi Sumatera Tengah, setelah melalui musyawarah, maka Mansur Daud terpilih sebagai Ketua Umum Masyumi. Pada masa ini, Mansur Daud membentuk markas perjuangan Hizbullah dan Fi Sabilillah dengan Imam Jihadnya Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Daud Rasyidi dan Syekh Abbas Abdullah Padang Japang.

Pada tanggal 25 September 1955, di Indonesia diselenggarakan Pemilihan Umum pertama. Mansur Daud dipilih rakyat melalui partai Masyumi untuk menjadi anggota Konstituante. Dengan ini, maka Mansur Daud pindah ke Jakarta. Tidak lama kemudian, Mansur Daud ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi Duta Besar di Baghdad pada tanggal 20 September 1956. Pada masa beliau menjalakan tugasnya di Baghdad ini, di Sumatera Barat sedang terjadi pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Disaat pemberontakan PRRI bergejolak di Sumatera Barat, datanglah seorang wartawan Indonesia menemui Mansur Daud di Baghdad Irak dengan tujuan agar Mansur Daud bersedia mengikuti atau menyetujui PRRI. Bagaimana reaksi Mansur Daud ? Memang, beliau menerima dengan familiar dan lapang hati kedatangan wartawan tersebut. Terjadi diskusi panjang. Di akhir diskusi, Mansur Daud menegaskan bahwa apa yang mereka diskusikan tersebut bersifat off the record – bukan untuk dipublikasikan, namun cukup untuk dimengerti dan dipahami saja. Namun anehnya, pada esoknya lewat siaran (realease) BBC London, keluarlah berita yang menyebutkan : ”Duta Besar Indonesia di Baghda Irak, Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, menyokong Pemerintahan Revolusioner PRRI di Sumatera Barat”.

Ketika berita tersebut beredar dan kemudian didengar oleh Mansur Daud, beliau sangat terkejut. Pasca keluarnya berita yang menghebohkan dari BBC London tentang dukungan Mansur Daud pada PRRI, maka datanglah puluhan wartawan ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Baghdad. Sewaktu wartawan sudah banyak berkumpul, Mansur Daud belum berada di kantor kedubes RI tersebut, tapi berada di rumah dinas Duta Besar yang jaraknya sekitar beberapa meter saja dari kantor Kedubes RI. Setelah Mansur Daud diberi kabar oleh staffnya bahwa wartawan telah banyak berkumpul di kantor Kedubes untuk meminta konfirmasi statemen Mansur Daud versi BBC London tentang posisi dan sikapnya terhadap PRRI, maka dengan tenang Mansur Daud meminta stafnya untuk mempersiapkan ruangan pertemuan antara dirinya dengan para wartawan. Mansur Daud paham dan sadar, bahwa dalam pertemuan nanti, beliau pasti akan dicecar dengan banyak pertanyaan mengenai berita BBC London tersebut. Ini terbukti, ketika Mansur Daud mulai membuka pertemuan antara dirinya dengan para wartawan, maka Duta Besar RI untuk Baghdad ini dihujani oleh pertanyaan-pertanyaan yang pada prinsipnya ingin mempertanyakan dan mengkonfirmasi : ”Apakah Duta Besar Republik Indonesia di Baghdad benar mengakui pemerintahan revolusioner PRRI ?”.

Dalam menjawab pertanyaan para wartawan tersebut, Duta Besar Mansur Daud dengan gaya diplomatis menjawab dengan mengembalikan pertanyaan pada wartawan yang hadir dan berkata, ”Apkah saudara membaca nama yang terpampang pada halaman depan gedung ini ?”. Selanjutnya ia bertanya, ”Apakah saudara mengenal nama yang fotonya terpampang dibahagian atas, yang terletak disebelah belakang saya ?”. Yang dimaksud dengan nama yang terpampang pada halaman depan gedung kedubes tersebut adalah ”KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA”. Sedangkan gambar yang terpampang dibelakang bahagian atas adalah gambar Ir. Soekarno – Presiden Republik Indonesia. Dengan penjelasan Duta Besar Mansur Daud ini, walaupun dengan gaya diplomatis, dapat dismpulkan bahwa dengan tegas ia mengatakan nbahwa ia bukanlah duta besar dan bukan pula bahagian dari pemerintahan revolusioner PRRI. Ia ingin mengatakan pada para wartawan bahwa ia merupakan bahagian dari Republik Indonesia dan mengakui Ir. Soekarno sebagai presiden. Mendengar keterangan tersebut, maka para wartawan akhirnya mengerti bahwa apa yang disampaikan oleh BBC London tentang dukungan Mansur Daud pada PRRI, tidaklah benar.

Setelah empat tahun bertugas di Baghdad sebagai Duta Besar Republik Indonesia, maka pada tahun 1960, bersama-sama dengan istrinya Ummi Fatima, Buya Mansur Daud kembali ke tanah air. Pada tahun tersebut, pemerintah masih disibukkan dengan berbagai persoalan sosial politik di tanah air terutama ekses yang ditimbulkan oleh berbagai pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia seperti PRRI, Permesta, DI/TII, RMS dan lain-lain. Mansur Daud memperoleh kabar bahwa kepulangannya ke tanah air akan disambut secara ”dingin” oleh Presiden Soekarno. Presiden mungkin masih beranggapan bahwa berita BBC London dahulu memiliki kebenaran yang tinggi, sementara jawaban-jawaban diplomatis yang diberikan oleh Mansur Daud ketika para wartawan mengkonfirmasi berita dukungannya pada PRRI, hanyalah jawaban diplomatis untuk ”menyelamatkan diri” saja. Akhirnya, Mansur Daud mengambil jalan tengah, beliau tidak akan menemui Presiden Sukarno untuk melaporkan laporan pertanggungjawabannya sebagai Duta Besar di Baghdad, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh para Duta Besar setelah mereka menyelesaikan tugas mereka di suatu negara. Mansur Daud ”langsung” menghadap wakil Presiden, Muhammad Hatta. Setelah beberapa saat beliau ”menganggur” di Jakarta sepulangnya dari Baghdad, Buya Mansur Daud mendapat tugas baru yaitu sebagai pimpinan Partai Masyumi untuk wilayah Ibu Kota Jakarta Raya. Posisi dan jabatannya-pun tidak main-main – sebagai Ketua Umum. Jabatan ini kemudian tetap dipegangnya hingga partai politik (Masyumi) ini dibubarkan oleh rezim Orde Lama (baca: Presiden Soekarno).

Meskipun partai Masyumi telah dibubarkan oleh Presiden Soekarno, tapi bukan berarti kegiatan dan atifitas Mansur Daud menjadi berkurang. Beliau kembali aktif berdakwah sebagaimana yang pernah dilakukannya ketika di Bukittinggi, Padang Panjang dan Pematang Siantar dahulu. Melalui gerakan dakwah ini pula, Mansur Daud gigih menentang ideologi dan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kegigihan ini telah dimulainya sejak PKI sebagai partai politik mendapat ”angin dan tempat” dalam konstelasi politik Indonesia yang berpusat pada figur Presiden Soekarno hingga kegagalan PKI dalam upaya kudeta (coup d’etat).

Mansur Daud juga turut membidani kelahiran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang diketuai oleh Bpk. Mohammad Natsir. Dalam institusi dakwah Islamiyah ini, Mansur Daud ditugaskan menjadi koordinator DDII untuk daerah Sumatera Bahagian Tengah (Sumatera Barat, Jambi dan Riau) yang berkedudukan di Bukittinggi. Disamping itu, Mansur Daud juga dikenal pada masa Orde Baru sebagai salah seorang pencetus ide berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia). Akhirnya MUI secara legal-yuridis berdiri pada bulan Agustus 1975 sebagai salah satu hasil dari Musyawarah Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Jakarta dari tanggal 26 Juli hingga 2 Agustus 1975. Sebelum terbentuknya MUI ini, di Bukittinggi sudah pernah dilakukan musyawarah alim ulama se-Sumatera Barat yang berlangsung dari tanggal 26 s/d 27 Mei 1968 di Masjid Jamiek Birugo Bukittinggi. Musyawarah ini kemudian memilih Buya Mansur Daud sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Sumatera Barat. Beliau dikukuhkan oleh Musyawarah Alim Ulama kedua yang dilaksanakan pada tanggal 18 s/d 19 Mei 1974 yang juga berlangsung di Masjid Jamiek Birugo Bukittinggi. Kepercayaan masyarakat terhadapnya terus berlangsung. Ini terlihat ketika Buya Mansur Daud dikukuhkan kembali sebagai ketua MUI Sumatera Barat dalam Musyawarah Alim Ulama ke-3 yang dihadiri oleh ulama-ulama terkemuka Sumatera Barat. Musyawarah ini berlangsung di Gedung Tri Arga Bukittinggi dari tanggal 27 s/d 28 Oktober 1975.

Disamping aktif dalam MUI, Buya Mansur Daud juga aktif dalam gerakan sosial dalam usaha mendirikan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina yang berpusat di Bukittinggi. Berkat usaha dan ide yang disumbangkan oleh Buya Mansur Daud, Rumah Sakit Islam Ibnu Sina (biasa dikenal dengan RS Yarsi) kemudian membuka cabang di berbagai daerah seperti di Padang, Padang Panjang, Kapar (Pasaman Barat sekarang), Panti dan Payakumbuh. Keaktifan dan kepercayaan masyarakat terhadap Buya Mansur Daud terlihat juga dari kepercayaan para guru yang tergabung dalam Pesatuan Guru Agama Islam memilih Buya Mansur Daud sebagai Ketua Umum-nya. Terpilihnya Buya Mansur Daud sebagai Ketua Umum Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) ketika dilaksanakannya Rapat Besar PGAI tanggal 17 Desember 1978 yang bertempat di gedung pendidikan PGAI DR. Abdullah Ahmad Jati Padang.

Meskipun fisik Buya Mansur Daud pada masa-masa Orde Baru ini tidak sekuat pada masa rezim Soekarno terdahulu, Buya Mansur Daud tetap aktif terutama dalam dunia dakwah, baik melalui pengajian maupun melalui tulisan-tulisan bernasnya yang tersebar secara rutin di Majalah Penuntun Amal Bakti. Majalah ini diterbitkan secara berkala oleh Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag) Sumatera Barat. Dalam berbagai tulisannya tersebut, Buya Mansur Daud selalu memberikan nasehat kepada masyarakat dan para pemimpin (para elit sosial politik). Ada semacam keseimbangan dalam nasehat-nasehatnya tersebut. Beliau tidak mau menyalahkan, membenarkan ataupun menasehati ummah saja tapi juga melakukan hal yang sama terhadap para umara’. Buya Mansur Daud dalam berbagai tulisannya tersebut ingin memberikan pelajaran bahwa kesalahan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kesalahan para tokoh-tokohnya, dan juga demikian sebaliknya, kesalahan para tokoh tidak bisa dilepaskan dari kesalahan dan kontrol yang kurang dari masyarakat.

Ada kesan bahwa Buya Mansur Daud termasuk ulama yang kompromis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru. Tapi terlepas dari adanya kesan tersebut, setidaknya hal ini memperlihatkan bahwa Buya Mansur Daud bukanlah tipe ulama ”menara gading” ataupun tipe ulama yang hanya mau merubah dari ”luar” saja tanpa mau merubah dari ”dalam”. Namun bukan berarti, Buya Mansur mengabaikan beberapa hal penting dalam ajaran normatif Islam. Buya Mansur Daud akan mengakomodasi berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru dengan catatan tidak melanggar sendi-sendi kehidupan beragama dan sendi-sendi kultural. Sebagai contoh, Buya Mansur Daud ”bisa menerima dan memahami” kebijakan pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah Propinsi Sumatera Barat) untuk mengembangkan pariwisata. Bagaimanapun juga, pariwisata identik dengan fun dan fantasy – atau dalam bahasa yang lebih sederhana, memiliki potensi kemaksiatan. Hal-hal ini mampu disikapi oleh Buya Mansur Daud dengan ”jernih” dan akomodatif dengan tetap mengajukan persyaratan prinsipil yaitu perhatikan prinsip ajaran Islam dan falsafah kultur.

Pada hari Sabtu pagi tanggal 9 Nopember 1985, Buya Mansur Daud memimpin sidang pertemuan Majelis Ulama Sumatera Barat. Pertemuan ini berlangsung di aula Kanwil Departemen Agama Sumatera Barat. Dalam pertemuan ini, hadir berbagai organisasi-organisasi sosial keagamaan Sumatera Barat. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan berbagai agenda sekitar persiapan Musyawarah Alim Ulama Sumatera Barat yang kemudian disepakati akan berlangsung pada tanggal 18 s/d 20 Nopember 1985. Ketika makan siang di Kantor Wilayah Departemen Agama Sumatera Barat, Buya Mansur Daud masih tampak semangat, aktif bicara dan terkesan sehat, walaupun fisiknya tidak begitu muda lagi. Namun pada malam harinya (Sabtu malam/malam Minggu), Buya Mansur jatuh sakit dan langsung masuk ICCU (sekarang IGD/Instalasi Gawat Darurat) Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang. Seterusnya, Buya Mansur Daud terus berada dalam keadaan ”koma” hingga menghembuskan nafas terakhirya satu hari menjelang rencana Musyawarah MUI Sumatera Barat, tepatnya hari Minggu tanggal 17 Nopember 1985 bertepatan dengan 4 Rabiul Awal 1406 Hijriah. Ternyata pertemuan Sabtu pagi tanggal 9 Nopember 1985 tersebut adalah merupakan pertemuan terakhir yang beliau pimpin.

Kepergian ulama kharismatik, politisi, penghulu, mantan duta besar dan beragam fungsi sosial lainnya yang diperankannya bagi kepentingan bangsa dan masyarakat tersebut, dilepas oleh Ummi Fatima – sang istri – beserta kerabat, ribuan masyarakat, para pejabat, kalangan ulama dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Diantara pelayat ketika hendak menghantarkan jasad Buya Mansur Daud ke tempat peristirahatannya yang terakhir, diantaranya Ir. H. Azwar Anas (Gubernur Sumatera Barat waktu itu), Bpk. M. Natsir, Kakanwil Depag Sumatera Barat Bpk. H. Hasnawi Karim, Walikota Padang Bpk. Syahrul Udjud, SH serta tokoh-tokoh lainnya. Berita duka meninggalnya Buya Mansur Daud tersebut cepat tersiar ke seluruh pelosok negeri, baik melalui telepon, ORARI, telex, radio dan alat-alat komunikasi lainnya pada masa itu. Sewaktu jenazah dimandikan di rumah duka di Wisma Indah V Kelurahan Bungo Pasang Tabing Blok F III Nomor 6, Gubernur Ir. H. Azwar Anas ikut serta memandikan dan mengafani jenazah yang dipimpin oleh Buya H. Djalaluddin, Wakil Ketua MUI Sumatera Barat yang juga merupakan ketua Komisi Fatwa. Jenazah disholatkan di Masjid Darussalam Wisma Indah V Tabing dan dimakamkan di Pemakaman Umum Tunggul Hitam. Upacara pemakaman tersebut dipimpin oleh oleh Gubernur Sumatera Barat, dengan pembawa acara Kepala Kantor Departemen Agama Kotamadya Padang, Drs. H. Dalimi Abdullah Datuk Kayo. Sedangkan pembacaan riwayat hidup almarhum dibacakan oleh Sekretaris MUI Sumatera Barat Buya H.M.S. Datuk Tan Kabasaran.

Kepergian Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo banyak meninggalkan kesan berarti bagi banyak orang dan kalangan. Ketua MUI Indonesia, H. Hasan Basri mengatakan dengan jujur bahwa, ”Saya banyak belajar dengan Buya Datuk”. Sedangkan Gubernur Sumatera Barat berkomentar bahwa meninggalnya Buya Mansur Daud merupakan kehilangan besar bagi ummat Islam Indonesia, khususnya Sumatera Barat, akan seorang ulama besar yang kharismatik, jujur dan berpendirian teguh. ”Selama ini, kata Azwar Anas, Buya Datuk telah banyak memberikan nasehat kepada saya tentang bagaimana seharusnya pembangunan daerah Sumatera Barat ini. Insya Allah, nasehat-nasehat beliau tersebut akan saya pegang dalam mengemban amanah sebagai Gubernur Sumatera Barat”. Sementara itu, sosiolog Mochtar Naim menganggap bahwa Buya Mansur Daud merupakan seorang ulama yang tegas dalam prinsip dan memiliki track record ilmu dan pengalaman yang luas. Tindak tanduknya bijaksana, orangnya sederhana, pidatonya menarik, tutur bahasanya enak, tak pernah kekeringan materi.

Begitu banyak kenangan dari berbagai individu dari berbagai kalangan terhadap Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, putra dari seorang ulama pembaharu berpengaruh di Minangkabau Syekh Daud Rasyidi. Kenangan tersebut umumnya bersifat kagum. Kagum terhadap pribadi, kejujuran, istiqamah, keragaman ilmu dan pengalaman, tutur bahasa yang halus lagi enak, konsisten terhadap prinsip dan lain-lainnya yang pada prinsipnya ingin memperlihatkan kepada sejarah bahwa Buya Mansur Daud adalah salah seorang ulama besar Sumatera Barat yang akan terus dikenang oleh sejarah.

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar