Oleh : Muhammad Ilham
Dua orang wanita Minangkabau pada masa rezim Sukarno yang berani menentang "kemapanan" putra sang-Fajar ini. Pertama Rohana Kudus dan yang kedua Rahmah el-Yunusiyah. Rohana Kudus, saudari dari Sutan Syahrir menentang keinginan beberapa "petualang politik" di MPRS agar mentahbiskan Sukarno menjadi Presiden se-Umur Hidup. Sebagai jurnalis, Rohana Kudus mentransformasikan pemikirannya ini dalam "kata-kata". Sementara, Rahmah e-Yunusiyah, memanfaatkan "hak eksklusifnya" sebagai anggota MPRS menentang Sukarno. Sejarah kemudian mencatat bahwa Rahmah dikenal sebagai salah seorang perempuan yang membuat repot Soekarno. Sikap keras kepala dan penentangannya pada Presiden RI yang pertama itu, yang membuat Rahmah berseberangan dengan Soekarno. Rahmah menganggap Soekarno telah melenceng dari demokrasi terpimpinnya dan kedekatannya dengan kaum komunis.
Konsekuensinya, Rahmah dikucilkan. Sekali pun Rahmah adalah anggota MPRS dari Sumatra Bagian Tenagh, ia memilih bergerilya di hutan ketimbang harus ikut dengan kemauan pemerintah pusat. Rahmah mengalami masa-masa sulit di dalam hutan Sumatra, provinsi Jambi pada tahun 1950-an itu. Namun ia teguh pada pendirian, menentang komunis di bumi Minang. Tidak banyak generasi masa kini yang kenal siapa Rahmah el Yunusiyah. Namun, jika membayangkan seberapa jauh gema kekuatannya, bisa dibayangkan ia bukan perempuan sembarangan. Perempuan yang lahir di Padang Panjang, 20 Desember 1900 dari pasangan ulama Minangkabau Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafiah ini adalah perintis sekolah pesantren putri Diniyyah Putri di Padang Panjang, Sumatra Barat pada 1920. Inilah pesantren putri yang menjadi cikal bakal pendidikan Islam modern di awal abad 19. Dengan konsep pendidikan berasrama, Rahmah mendidik murid-murid perempuannya pendidikan umum dan agama. Tidak kurang 20 ribu alumni telah dihasilkan pondok pesantren ini. Muridnya pun merentang dari berbagai kalangan dan bangsa. Rasuna Said, salah seorang pahlawan nasional dan penggerak kaum perempuan, adalah salah satunya. Tokoh-tokoh besar lain yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren ini adalah Datin Aisyah Gani, bekas menteri di masa pemerintahan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohammad. Nama besar pesantren ini membuat banyak murid dari negara tetangga ikut menimba ilmu di sini. Selain Malaysia, murid-murid lainnya juga berasal dari Brunei dan Singapura.
Rahmah dengan konsep sekolah khusus wanita, tidak saja mengajari cara belajar, membaca, atau menulis, juga pelajaran bahasa Belanda, gimnastik, menenun, menyulam, menjahit serta kebidanan. Pelajaran retorika atau berpidato di atas mimbar juga diajarkan, sehingga Diniyyah Puteri digelari tempat ayam betina diajar berkokok. Tapi Rahmah tidak patah semangat. Baginya, langkah untuk memajukan perempuan, meski itu berbasis agama sekalipun, pasti menghadapi tentangan dan celaan. Rahmah sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Ia hanya disekolahkan hingga kelas tiga di sekolah formal. Ia kemudian menimba ilmu umum dan agama secara otodidak dan berguru pada kakaknya, seorang ulama terkenal, Zainuddin Labay.
Dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Buya Hamka sempat menyinggung kiprah Rahmah di dunia pendidikan dan pembaharu Islam di Minangkabau. Hamka menyebut Rahmah ikut memajukan kaum perempuan dan mementahkan anggapan bahwa Islam tidak menyokong pemberdayaan perempuan. Kiprah Rahmah juga diakui hingga ke Timur Tengah sana. Dalam sejarah Universitas Al Azhar, baru Rahmah seoranglah ulama perempuan yang diberi gelar Syeikhah. Dalam sejumlah esainya, Azyumardi Azra mengatakan perkembangan Islam modern dan pergerakan Muslimah di Tanah Air tidak bisa dilepaskan dari nama Rahmah sebagai perintis.
Sejak kecil Rahmah memang dikenal keras hati dan berpikiran maju. Jika ada yang tidak disukainya, dengan berani ia mengatakan tidak. Ketika merintis sekolah ini di awal usia 20-an, Rahmah tidak segan-segan berjualan kue untuk menambah biaya pendirian sekolah. Seraya membangun sekolah, ia terus bergerak menentang kolonial Belanda di Sumatra Barat. Tidak heran jika petinggi Belanda di Padang Panjang dan Bukittinggi sangat membenci Rahmah. Ia bahkan pernah dijadikan tahanan rumah oleh komandan tentara Belanda karena aktif menggerakkan para pemuda Sumatra Barat. Ketika konfrontasi dengan Malaysia, murid-murid Rahmah yang bersuamikan para pejabat Malaysia ikut berperan mendinginkan panasnya api konfrontasi. Ketika Gubernur pertama Sumatra Barat, Harun Zein, berkunjung ke Malaysia dalam rangkaian diplomasi perdananya, nama Rahmah disebut-sebut dalam berbagai pertemuan. Karena terpesona oleh pola pendidikan yang diterapkan Rahmah pula, Rektor Al Azhar Syekh Abdurrahman Taj, yang berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1961, kemudian terinspirasi untuk membangun Fakultas Khusus Perempuan di Mesir. Sikap keras Rahmah itu bertahan hingga masa tuanya. Ia tidak pernah mau berkompromi dengan pemerintah pusat, jika itu dinilainya menzalimi masyarakat daerah. Sebagaimana ulama-ulama teguh pendirian lainnya di masa perjuangan, Rahmah memilih berseberangan dengan pemerintah.
Dua orang wanita Minangkabau pada masa rezim Sukarno yang berani menentang "kemapanan" putra sang-Fajar ini. Pertama Rohana Kudus dan yang kedua Rahmah el-Yunusiyah. Rohana Kudus, saudari dari Sutan Syahrir menentang keinginan beberapa "petualang politik" di MPRS agar mentahbiskan Sukarno menjadi Presiden se-Umur Hidup. Sebagai jurnalis, Rohana Kudus mentransformasikan pemikirannya ini dalam "kata-kata". Sementara, Rahmah e-Yunusiyah, memanfaatkan "hak eksklusifnya" sebagai anggota MPRS menentang Sukarno. Sejarah kemudian mencatat bahwa Rahmah dikenal sebagai salah seorang perempuan yang membuat repot Soekarno. Sikap keras kepala dan penentangannya pada Presiden RI yang pertama itu, yang membuat Rahmah berseberangan dengan Soekarno.
Konsekuensinya, Rahmah dikucilkan. Sekali pun Rahmah adalah anggota MPRS dari Sumatra Bagian Tenagh, ia memilih bergerilya di hutan ketimbang harus ikut dengan kemauan pemerintah pusat. Rahmah mengalami masa-masa sulit di dalam hutan Sumatra, provinsi Jambi pada tahun 1950-an itu. Namun ia teguh pada pendirian, menentang komunis di bumi Minang. Tidak banyak generasi masa kini yang kenal siapa Rahmah el Yunusiyah. Namun, jika membayangkan seberapa jauh gema kekuatannya, bisa dibayangkan ia bukan perempuan sembarangan. Perempuan yang lahir di Padang Panjang, 20 Desember 1900 dari pasangan ulama Minangkabau Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafiah ini adalah perintis sekolah pesantren putri Diniyyah Putri di Padang Panjang, Sumatra Barat pada 1920. Inilah pesantren putri yang menjadi cikal bakal pendidikan Islam modern di awal abad 19. Dengan konsep pendidikan berasrama, Rahmah mendidik murid-murid perempuannya pendidikan umum dan agama. Tidak kurang 20 ribu alumni telah dihasilkan pondok pesantren ini. Muridnya pun merentang dari berbagai kalangan dan bangsa. Rasuna Said, salah seorang pahlawan nasional dan penggerak kaum perempuan, adalah salah satunya. Tokoh-tokoh besar lain yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren ini adalah Datin Aisyah Gani, bekas menteri di masa pemerintahan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohammad. Nama besar pesantren ini membuat banyak murid dari negara tetangga ikut menimba ilmu di sini. Selain Malaysia, murid-murid lainnya juga berasal dari Brunei dan Singapura.
Rahmah dengan konsep sekolah khusus wanita, tidak saja mengajari cara belajar, membaca, atau menulis, juga pelajaran bahasa Belanda, gimnastik, menenun, menyulam, menjahit serta kebidanan. Pelajaran retorika atau berpidato di atas mimbar juga diajarkan, sehingga Diniyyah Puteri digelari tempat ayam betina diajar berkokok. Tapi Rahmah tidak patah semangat. Baginya, langkah untuk memajukan perempuan, meski itu berbasis agama sekalipun, pasti menghadapi tentangan dan celaan. Rahmah sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Ia hanya disekolahkan hingga kelas tiga di sekolah formal. Ia kemudian menimba ilmu umum dan agama secara otodidak dan berguru pada kakaknya, seorang ulama terkenal, Zainuddin Labay.
Dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Buya Hamka sempat menyinggung kiprah Rahmah di dunia pendidikan dan pembaharu Islam di Minangkabau. Hamka menyebut Rahmah ikut memajukan kaum perempuan dan mementahkan anggapan bahwa Islam tidak menyokong pemberdayaan perempuan. Kiprah Rahmah juga diakui hingga ke Timur Tengah sana. Dalam sejarah Universitas Al Azhar, baru Rahmah seoranglah ulama perempuan yang diberi gelar Syeikhah. Dalam sejumlah esainya, Azyumardi Azra mengatakan perkembangan Islam modern dan pergerakan Muslimah di Tanah Air tidak bisa dilepaskan dari nama Rahmah sebagai perintis.
Sejak kecil Rahmah memang dikenal keras hati dan berpikiran maju. Jika ada yang tidak disukainya, dengan berani ia mengatakan tidak. Ketika merintis sekolah ini di awal usia 20-an, Rahmah tidak segan-segan berjualan kue untuk menambah biaya pendirian sekolah. Seraya membangun sekolah, ia terus bergerak menentang kolonial Belanda di Sumatra Barat. Tidak heran jika petinggi Belanda di Padang Panjang dan Bukittinggi sangat membenci Rahmah. Ia bahkan pernah dijadikan tahanan rumah oleh komandan tentara Belanda karena aktif menggerakkan para pemuda Sumatra Barat. Ketika konfrontasi dengan Malaysia, murid-murid Rahmah yang bersuamikan para pejabat Malaysia ikut berperan mendinginkan panasnya api konfrontasi. Ketika Gubernur pertama Sumatra Barat, Harun Zein, berkunjung ke Malaysia dalam rangkaian diplomasi perdananya, nama Rahmah disebut-sebut dalam berbagai pertemuan. Karena terpesona oleh pola pendidikan yang diterapkan Rahmah pula, Rektor Al Azhar Syekh Abdurrahman Taj, yang berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1961, kemudian terinspirasi untuk membangun Fakultas Khusus Perempuan di Mesir. Sikap keras Rahmah itu bertahan hingga masa tuanya. Ia tidak pernah mau berkompromi dengan pemerintah pusat, jika itu dinilainya menzalimi masyarakat daerah. Sebagaimana ulama-ulama teguh pendirian lainnya di masa perjuangan, Rahmah memilih berseberangan dengan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar