Jumat, 08 Januari 2010

Haji Agus Salim (1884-1954)

Haji Agus Salim, lahir dengan nama Mashudul Haq yang bermakna "pembela kebenaran" di daerah Koto Gadang, Bukittinggi, Minangkabau, pada tanggal 8 Oktober 1884 dan meninggal tanggal 4 November 1954 di Jakarta. Sejarah Indonesia “sepakat” bahwa beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau. Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda. Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syekh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya. Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta . Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam. Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto. Ketika Agus berusia 6 tahun, ayahnya menjadi jaksa tinggi pada pengadilan untuk daerah Riau dan sekitarnya. Agus diterima pada sekolah dasar Belanda ELS (Europeese Lager School). Setelah lulus dari ELS ia dikirim ke Batavia untuk belajar di HBS (Hogere Burger School). Ia lulus dengan angka tertinggi tidak saja di sekolahnya, tetapi juga untuk sekolah HBS lain (Bandung dan Surabaya).

Namanya menjadi terkenal di seantero Hindia Belanda di kalangan kaum kolonial dan terpelajar. Agus kemudian mengajukan permohonan beasiswa untuk belajar kedokteran di negeri Belanda. Tampaknya permohonan ini ditolak, sungguhnya dalam korespondensi antara Kartini dan Nyonya Abendanon, nama Agus Salim disebut-sebut. Kartini menerima keputusan pemberian beasiswa pendidikan sebesar 4.800 gulden untuk belajar di Belanda tahun 1903. Orangtua Kartini melarang pergi dan dalam waktu dekat sang putri bupati itu karena akan memasuki gerbang perkawinan. Kartini mengusulkan kepada Nyonya Abendanon agar beasiswa tersebut diberikan kepada pemuda Salim, juara pada ketiga HBS tersebut. Kenyataannya tidak terjadi pengalihan beasiswa, kelihatannya Agus sendiri tidak mengetahui namanya disebut dalam korespondensi tersebut. Kemudian tahun 1905, Snouck Hurgronye mengusulkan kepada Pemerintah Belanda eksperimen penempatan tenaga pribumi pada perwakilan Belanda di luar negeri. Agus mendapat tawaran bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah dan mengurus urusan haji.
Di kota ini ia memperoleh kesempatan untuk memperdalam ilmu agama (Islam).

Sepulang dari Tanah Suci, Salim sempat bekerja pada dinas pekerjaan umum. Namun, ia keluar dari birokrasi Belanda dan mendirikan sekolah swasta di kampungnya di Kota Gadang. Hanya sebentar, ia kemudian berangkat lagi ke Jakarta dan selanjutnya terjun ke dunia politik melalui SI (Syarikat Islam). Semasa penjajahan Belanda, ia memang tidak pernah ditangkap Belanda. Baru setelah Indonesia merdeka ia beberapa kali diasingkan bersama dengan pemimpin nasional lainnya. Mengapa Belanda tidak menangkapnya? Salah satu kemungkinan jawabannya adalah terletak pada gaya bahasa Agus Salim yang kritis dan tajam, tetapi disampaikan secara halus tapi cerdas.
Ia beberapa kali menjadi pengelola surat kabar dan sangat produktif menulis baik tajuk rencana maupun artikel lainnya. Dalam harian Neratja, 25 September 1917, ia menulis "dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang". Setelah Indonesia merdeka, ia beberapa kali menduduki posisi menteri muda dan kemudian menteri luar negeri. Pengakuan negara-negara Arab atas kemerdekaan Indonesia tahun 1947 dapat dianggap sebagai jasa Agus Salim bersama beberapa tokoh nasional lainnya. Sebelumnya, sempat selama tiga bulan mereka mengembara di Timur Tengah dengan kondisi keuangan yang sangat terbatas sebagai utusan negara yang baru merdeka.

Setelah menjadi dosen tamu di Universitas Cornell, ia mampir di Washington dan bertemu dengan warga Indonesia. Inilah petikan pesannya kepada pemuda yang masih relevan dengan kondisi kita sekarang, "Begitu pula di Tanah Air kita. Janganlah pemuda-pemuda Indonesia bimbang tentang adanya berbagai-bagai partai. Bukan uniformitas yang mencapaikan tujuan yang tinggi-tinggi, tetapi besef, kesadaran tentang unitas (unity) dalam berlain-lainan asas, dalam berlain-lain pendapat, satu bangsa, satu Tanah Air, selamat sama selamat, celaka sama celaka. Bukan satu saja, bukan uniform, tapi gerich of het gemeenschappelijk nut, bertujuan pada keselamatan bersama karena keselamatan masing-masing yang tidak membawa keselamatan bersama tidak akan tercapai".


Selain penghargaan terhadap demokrasi, Agus Salim juga sangat memperhatikan bidang hukum. Dalam harian Fadjar Asia 29 November 1927 ia menulis tentang ”Polisi dan Rakyat": ”Sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-buah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut pengakuan" di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa. Agus Salim juga menaruh perhatian khusus terhadap para hakim. Jika negeri hendak selamat, haruslah pengadilan berderajat tinggi dalam anggapan orang ramai di negeri ini. Dan hakim-hakim, istimewa yang mengepalai majelis pengadilan wajiblah selalu menunjukkan sikap kebesaran yang anggun, disertai kesabaran, keramahan dan kemurahan, yang menunjukkan ia menjaga jalannya hukum dengan sungguh-sungguh, dengan memakai timbangan yang jernih, yang sekali-sekali tidak boleh kecampuran pengaruh cinta dan benci, yang kira-kira boleh memincangkan teraju timbangannya" Orang tua yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat" demikian penilaian Prof Schermerhorn yang ditulis dalam catatan hariannya Senin malam tanggal 14 Oktober 1946.


"the grand old man Haji Agus Salim adalah seorang ulama dan intelek," kata Bung Karno tentang Haji Agus Salim (1884-1954). Julukan "orang besar yang sudah tua" itu masuk akal. Ketika rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berlangsung, Juni-Agustus 1945, mungkin Agus Salim anggota tertua. Rata-rata umur para Bapak Bangsa adalah 30-45 tahun. Soekarno berumur 39 tahun, Hatta 43 tahun, sedangkan Haji Agus Salim sudah 61 tahun.
Nama Haji Agus Salim adalah nama besar. Sama seperti umumnya 67 Bapak Bangsa Indonesia yang lain, pemikiran Agus Salim keluar dari kepompong kepentingan pribadi. Mereka mendahului zaman. Begitu juga Agus Salim. Mereka meninggalkan jejak langkah, warisan nilai-nilai luhur cita-cita kemerdekaan. Sementara posisi "mendahului zaman" itu bagi Agus Salim tidak selalu mengenakkan. Sejarawan Taufik Abdullah pernah mencoba membuka tabir Haji Agus Salim sebagai aktor sejarah. Ia merasakan kegetiran Agus Salim menjadi pemimpin yang berorientasi pada pembaruan. Peran seseorang dalam ruang publik, seperti ditunjukkan Agus Salim, menjadi lebih getir ketika dia tidak hanya terbatas mengisi peran sosialnya, tetapi melampaui batas-batas kesejarahan. "Salim menyelami apa artinya kegetiran itu. Ia menjalaninya dengan segala cerita lucu dan menarik," tulis Taufik Abdullah. Menurut Taufik, kumpulan cerita lucu dan menarik tentang tokoh the grand old man ini membuka tabir apa yang terjadi dalam dirinya. Sosok Haji Agus Salim menjadi ironis. Ironi Salim adalah ironi yang dilahirkan situasi kolonial ketika seseorang mempunyai harga diri yang tinggi. Bahkan juga ironi dari keteguhan sikap tentang seorang pejuang yang ditolak. Salim menyikapi ironi dalam komentar dan pernyataan yang lucu-lucu.

Ahmad Syafii Maarif mengingatkan lelucon kambing, salah satu anekdot yang banyak diingat dan dikutip orang tentang Agus Salim. "Embek, embek," ejek hadirin ketika Agus Salim sebagai pemimpin Syarikat Islam bersama HOS Tjokroaminoto naik ke mimbar. Ia disamakan dengan kambing. "Saya harap kambing-kambing dikeluarkan dari ruangan," kata Agus Salim setelah menyapa hadirin dengan kalimat "saudara-saudara dan kambing-kambing yang terhormat". Kini siapakah yang jadi kambing sesungguhnya? Keadaan telah berbalik. Agus Salim memberi makna penolakan itu dengan sikap melucu, bagian dari luapan kegetirannya.
Tepatlah mengangkat kembali pemikiran dan sosok Agus Salim di hari-hari kita merayakan kemerdekaan. Sosoknya menjadi aktual justru di tengah bangsa Indonesia semakin kehilangan sosok teladan dan sosok pemimpin, di tengah bangsa ini mencari calon pemimpin nasionalnya lewat pemilihan umum presiden 20 September.

Dua hal spontan muncul tentang tokoh Haji Agus Salim.
Dialah seorang politikus ulung dan seorang ulama besar. Sebagai politikus, satu dari 68 Bapak Bangsa (founding fathers) itu memiliki beberapa kelebihan. Dalam tubuhnya yang kecil, berjanggut putih lebat, terhimpun berbagai kelebihan. Tidak hanya politikus ulung, tetapi juga seorang wartawan, ahli sejarah, ahli bahasa, praktisi pendidikan, dan filosof. Selain politikus ulung, Salim juga sosok politikus beretika dan berkarakter. Menengok sejarah, ada yang membagi 68 Bapak Bangsa dalam empat kelompok, yakni Soekarno, Hatta, Soepomo, dan Mohamad Yamin. Di antara empat kelompok itu tersebut nama Haji Agus Salim, yang dituakan tidak karena umur tetapi juga karena pengalaman internasionalnya, terutama dalam penguasaan bahasa-bahasa asing. Karena kelebihan-kelebihan itu dia diminta menjadi salah seorang anggota Panitia Sembilan yang berperan besar dalam perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang semula berjudul Piagam Jakarta.

Agus Salim merupakan satu dari para Bapak Bangsa yang semua mewariskan tradisi intelektualisme dan moral nasionalisme ke anak negeri ini. Karena itu, seorang panelis menyarankan warisan mereka tetap perlu dihidupkan. Merekalah tokoh-tokoh yang mendahului zaman. Transendensi pemikiran mereka diperoleh berkat mesu budhi atau tradisi asketisisme intelektual menurut istilah Sartono Kartodirdjo, kebajikan yang belakangan ini surut dari kehidupan sehari-hari politisi Indonesia. Meskipun besar dan penting peranannya dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, mengapa nama Salim kurang menonjol? Atau paling tidak, kurang bisa digali lebih banyak informasi tentang Agus Salim. Sementara selama ini yang menonjol dari nama Agus Salim adalah dia tidak mau mengirim semua anaknya ke sekolah Belanda. Seluruh anaknya dia didik sendiri di rumah. Padahal pada usia 41, tahun 1925, dia membentuk Jong Islamieten Bond, tempat berkumpulnya anak-anak muda Muslim yang kemudian setelah proklamasi tergabung dalam Partai Masyumi, suatu partai moralis pembela demokrasi.


Di samping itu, sebagai wartawan ia tercatat menjadi Ketua Dewan Pers pertama; menjabat beberapa kali jabatan menteri luar negeri. Namun, lagi-lagi kita memperoleh kesan nama Agus Salim seolah-olah tenggelam oleh bayang-bayang nama Soekarno, Mohammad Hatta, Soepomo, dan Mohamad Yamin. Tenggelamnya nama Agus Salim disebabkan faktor dokumentasi gagasan. Agus Salim belum sempat mendokumentasikan gagasan-gagasannya secara utuh. Padahal ia relatif lebih punya pengalaman diplomatik ketimbang Bapak Bangsa yang lain.
Padahal perannya dalam Panitia Sembilan, di antaranya menghapus tujuh kata itu, sangatlah besar. Hilangnya kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" adalah peristiwa bersejarah. Itulah yang kemudian menempatkan Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi modern yang tidak menempatkan salah satu agama sebagai agama negara.

Sebagai ulama, banyak hal bisa dibicarakan tentang Agus Salim. Anekdot tentang kesadaran jendernya dipuji, dengan anekdot bagaimana pada zaman itu dia sudah menentang perbedaan dan pemisahan pria dan wanita. Membuka tabir pemisah tempat duduk pria dan wanita, seolah-olah tamsil bagaimana dia menempatkan kesamaan derajat pria dan wanita; sesuatu yang tentu mengguncangkan di zamannya. Pandangan-pandangannya tentang Islam yang mendahului zaman memang sudah terlihat semasa muda. Pandangan-pandangan Agus Salim yang kritis tentang Islam bagi kita menjadi lengkap ketika membaca teks- teks ceramah yang disampaikan di Universitas Cornell tahun 1953. Seorang panelis, Buddy Munawar-Rachman, yang mendalami teks-teks naskah itu mengungkap tiga hal penting dalam Islam, yakni jihad, pluralisme, dan modernitas Islam. Ketika dipisahkan dari Partai Syarikat Islam dan membentuk Partai Penyadar tahun 1936, Agus Salim ingin menyadarkan umat untuk berpegang teguh pada Al Quran dan sunah Rasul. Dia ingin memberdayakan masyarakat melalui gerakan-gerakan swadaya masyarakat.
Jihad menurut Agus Salim tidak hanya berarti perjuangan fisik. Dalam Al Quran ada tiga kata yang yang merupakan satu akar dengan jihad, yakni juhd-un yang mengarah pada pengertian kerja keras. Kedua, ijtihad yang lebih menunjuk kesungguhan dari segi pemikiran atau intelektualitas. Ketiga, mujahadah, dalam arti mengarah pada spiritual exercise, sebuah olah rohani yang sungguh- sungguh yang biasa dilakukan kaum sufi. Karena itu, kalau jihad harus didefinisikan, lebih tepat diartikan kerja keras untuk membela kebenaran, atau menurut istilah Agus Salim "pertahanan diri dan pembelaan diri bukan untuk agresi atau menyerang".

Islam dalam ceramah-ceramah tersebut oleh Agus Salim ditempatkan dalam konteks kehidupan masyarakat pedesaan. Dalam konteks itu, peranan guru pengajar agama Islam di pondok pesantren dan surau sungguh besar. Di tengah perkembangan kecenderungan Islam menolak pandangan-pandangan non-islami atau membagi dunia jadi dua-Islam dan non-Islam-Salim melontarkan gagasan yang mencerminkan pikiran rasional. Pandangan- pandangannya tentang waktu salat, puasa, dan tentang orang mati membuat banyak orang terperangah. Dalam soal orang yang sudah mati, misalnya, Agus Salim berpendapat, proses kembali mayat ke tanah itu diperpendek dalam dapur pembakaran listrik krematorium. Bagi Agus Salim, haluan negara sudah dipatrikan RI tidak menjadi negara teokrasi, kata Emil Salim. Pemakalah yang kebetulan keponakan Agus Salim itu juga menunjukkan, Agus Salim tak juga menginginkan sebuah negara yang dirumuskan dari ayat suci Al Quran atau hadis Rasul dalam tubuh UUD 1945.
"I think that for Indonesia we have to overcome that difficulty," kata Agus Salim dalam salah satu ceramahnya di Universitas Cornell tahun 1953.

Reaktualisasi pemikiran dan sosok Agus Salim berarti mengaktualkan kembali cita- cita dan pemikiran para Bapak Bangsa. Cita-cita mereka melampaui zaman, menembus langit biru. Pertanyaan besar yang selalu menyertai kita setiap kali adalah seberapa jauh pikiran-pikiran dan cita-cita besar mereka selalu kita segarkan dan dialogkan dengan perkembangan zaman.
Seberapa jauh cita-cita menggapai bintang itu didialogkan dengan realitas? Selalu pengakuan merasa kecil di depan sosok-sosok raksasa para Bapak Bangsa, yang meninggalkan jejak langkah masing-masing, mendorong kita terus bersyukur dan berterima kasih. Negara ini pernah memiliki sejumlah tokoh besar, satu di antaranya Haji Agus Salim.

Agus Salim membaca habis dua buku babon Snouck tentang Aceh. Bahkan, karena anjuran ilmuwan Belanda yang masuk Islam demi kepentingan politik itu, Pemerintah Belanda menempatkan orang pribumi Indonesia sebagai konsul Belanda di beberapa negara.
Agus Salim pun mengawali karier politik diplomasi luar negeri di Konsulat Belanda di Jeddah, selepas lulus HBS di Sumatera Barat. Pikiran besar, gagasan, dan cita-cita menembus langit dilandasi etika menjadi praksis mengandaikan perjuangan tak kenal lelah. Dalam soal ini lagi- lagi kita diingatkan kalimat bijak Sartono Kartodirdjo. Satu kebajikan yang hilang di antara kita, yakni mesu budhi, asketisisme intelektual yang diwariskan untuk kita. Kebajikan itu sekarang nyaris hilang. Budaya jalur pintas merajai naluri kita, pemimpin kita. Ucapan leiden is lijden (memimpin adalah menderita) dari sesama Bapak Bangsa, Kasman Singodimedjo, tentang Agus Salim tetap berlaku. "Memimpin adalah menderita", sebuah pepatah yang sudah kita lupakan. Memimpin adalah menderita, memimpin adalah melayani, tinggal menjadi slogan dan jadi aus saat ini, digantikan faham dan keyakinan praksis kekuasaan sebagai privilese, memimpin adalah mangreh, bukan momong. Niscaya para Bapak Bangsa, termasuk Soekarno, Hatta, Soepomo, Yamin, juga Agus Salim, terperangah kaget menyaksikan bangsa dan negara yang mereka dirikan saat ini secara budaya melapuk.

Salim mendidik putra-putrinya sendiri di rumah, tidak disekolahkan di sekolah Belanda. Jef Last bertanya mengapa putra Agus Salim (yaitu Islam Salim) begitu fasih berbahasa Inggris padahal tidak belajar di sekolah ? Jawab Agus Apakah anda pernah mendengar tentang sebuah sekolah tempat kuda belajar meringkik ? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami dan anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pun saya, meringkik dalam bahasa Inggris dan putra saya Islam juga meringkik dalam bahasa Inggris". Meskipun seorang poliglot yang mahir banyak bahasa, namun Agus Salim justeru yang pertama kali berpidato dalam bahasa Melayu/Indonesia pada sidang Dewan Rakyat (Volksraad) sehingga menggegerkan Belanda. Karena apa yang telah diputuskan oleh lembaga ini tidak diindahkan oleh pemerintah Hindia Belanda, Salim keluar dari dewan tersebut tahun 1923. Ia menamakan Volksraad sebagai komedi omong". Kemampuan bahasa dan keluasan ilmu pengetahuan menyebabkan Salim menguasai suatu diskusi atau percakapan. Prof George Kahin menuturkan bahwa suatu hari ia mengundang Agus Salim dan Ngo Dinh Diem makan di ruang dosen Cornell University. Salim waktu itu sebagai pembicara tamu di Universitas tersebut sedangkan Ngo Dinh Diem saat itu sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam Selatan.


Tokoh yang terkenal jago omong itu kemudian menjadi Perdana Menteri di negerinya. Kahin terperangah karena kedua tokoh itu ternyata sudah asyik berdebat dalam bahasa Perancis. Ternyata Salim dapat membuat Diem menjadi pendengar saja. Ketika mengajar di Cornell, Agus tidak melupakan kebiasaan mengisap rokok kretek, sehingga para muridnya menjadi tidak asing lagi dengan bau eksotik itu. Salim juga tidak minder dalam berhadapan tokoh asing. Ketika mewakili Presiden Soekarno menghadiri upacara penobatan Ratu Inggris Elisabeth tahun 1953, ia agak kesal dengan suami ratu yaitu Pangeran Philip yang kurang perhatian terhadap tamu asing yang datang dari negeri-negeri yang jauh. Salim menghampiri dan mengayun-ayunkan rokok kreteknya di sekitar hidung sang pangeran. "Apakah Paduka mengenali aroma rokok ini? " Dengan ragu-ragu menghirup rokok itu, sang pangeran mengakui tidak mengenal aroma tersebut. Agus Salim pun dengan tersenyum berujar, ”itulah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya". Maka suasana pun menjadi mencair, sang pangeran mulai ramah meladeni tamunya.


Agus Salim sebetulnya tokoh sangat disiplin dalam mendidik dirinya dan keluarga. Setelah anaknya yang pertama lahir, selama 18 tahun Salim sekeluarga hanya makan sayur segar tanpa daging sama sekali. Padahal dalam keluarga Minang, makan daging seperti rendang adalah santapan utama. Ada dua alasan yang mendorongnya melakukan hal tersebut. Pertama, seperti diceritakan oleh anaknya, karena ia menderita ambeien, oleh dokter dianjurkan untuk banyak makan sayur dan berpantang daging. Namun ada pula sumber lain yang mengatakan bahwa Salim takut karena istrinya adalah saudara sepupunya sendiri, kuatir hal itu menyebabkan anak-anaknya cacat. Oleh sebab itu perlu dilakukan diet kesehatan yang sangat ketat agar putra-putrinya yang dilahirkan juga sehat.
Agus Salim adalah manusia komplet, ia adalah penerjemah, wartawan, diplomat dan ulama. Bahkan ia juga sastrawan. Inilah petikan dari puisi "Tanah Air Kita" yang ditulis Agus Salim tahun 1930. "Apa keikatan kita? /Menyebuahkan usaha/ Menjadi azas utama/ Pada tujuan mulia/ Tujuan kita yang sama/ Meninggikan derajat Indonesia". Agus Salim adalah manusia merdeka. Merdeka dalam berhadapan dengan penjajah, merdeka dalam berurusan dengan keluarga, kerabat dan bangsanya sendiri. Merdeka dalam memilih lapangan pekerjaan, merdeka dalam berbusana (yang baik), merdeka dalam bersuara. Merdeka dalam bidang pendidikan. Pada hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-59 ini, itulah makna yang dapat dipetik dari kisah tokoh yang dijuluki oleh Hatta sebagai the old grand man. Kita baru betul-betul merdeka, kalau sudah berhasil menciptakan jutaan manusia merdeka di Tanah Air. Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal. Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta

Tulisan di atas terdapat 3 paragraf yang dikutip langsung dari wikipedia.com
(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar