Oleh : Muhammad Ilham
Indonesianis George McTurman Kahin pada tahun 1948 tengah berada diYogyakarta , Ibukota Republik yang masih muda. Satu hari dia diundang datang dalam suatu acara yang dihadiri para pejabat negara. Setibanya di tempat acara, Kahin menyalami satu demi satu para pejabat yang ada. Tibalah Kahin pada seorang lelaki berusia 40 tahun yang berwajah teduh dan berkacamata bulat, dia memakai baju dan pantalon dari bahan yang amat murah dengan potongan yang amat sederhana. Ketika diperkenalkan bahwa lelaki tersebut adalah seorang Menteri Penerangan RI, Kahin terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka, lelaki yang kelak dikenalnya dengan nama Muhamad Natsir itu ternyata sangatlah bersahaya, tidak ada beda dengan rakyat kebanyakan. Apalagi dirinya mendengar jika baju itu merupakan satu-satunya baju yang dianggap pantas untuk acara-acara resmi. Kahin mengenang, "Saya dengar, beberapa pekan kemudian, para anak buahnya di Kementerian Penerangan berpatungan membelikan Pak Menteri Natsir sehelai baju yang lebih pantas. Setelah baju itu dipakai Pak Menteri Natsir, para anak buahnya berkata, 'Nah ini baru kelihatan menteri betulan'." Kesederhanaan merupakan prinsip hidup seorang Muhammad Natsir. Prinsip ini terus dipegangnya sejak kecil hingga menjadi pejabat negara. Dan kemudian memang terbukti, kesederhanaan inilah yang akhirnya menjadikan kekuatannya, menjadikan harga diri dan martabatnya sedemikian tinggi, dan semua orang dari berbagai kalangan menghormatinya.
Muhamad Natsir Datuk Sinaro Panjang, demikian nama aslinya. Beliau dilahirkan pada 17 Juli 1908 di di kampung Jambatan Baukia, Alahan Panjang, masuk dalam Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Natsir merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Natsir dibesarkan dalam keluarga yang sederhana namun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan berdasarkan ketauhidan Islam. Hal ini membentuk karakter seorang Natsir hingga dewasa dan menjadi tokoh, bukan saja tokoh nasional namun juga tokoh dunia Islam. Dunia mengenal Natsir tidak saja sebagai intelektual Islam ternama, namun lebih disebabkan sikap rendah hati dan kesederhanaannya. Orang yang cerdas sudah banyak, orang yang pintar bersilat lidah juga banyak, dan orang yang menjadi pejabat negara juga sudah teramat banyak, namun orang yang sekaligus cerdas, pintar bersilat lidah, berilmu tinggi, ditambah lagi menduduki “jabatan basah” sebagai pejabat negara, tetapi orang itu sengaja memilih hidup dengan penuh kesederhanaan, maka orang ini tentulah luar biasa.
Seperti anak-anak Minangkabau pada umumnya, setiap hari Natsir menempuh pendidikan di dua lembaga pendidikan, pagi hari menempuh pendidikan ‘sekuler’ di lembaga pendidikan umum, dan sore hari menempuh pendidikan di madrasah. Dan pada malam harinya, selepas Maghrib, Natsir bersama anak-anak lainnya belajar mengaji di surau terdekat. Di surau itu pula Natsir belajar bahasa Arab. Sejak anak-anak Natsir telah memperlihatkan kecerdasannya. Dia berhasil menamatkan pendidikan HIS di Padang dengan prestasi yang sangat baik sehingga mendapat beasiswa penuh dari pemerintah kolonial Belanda agar Natsir bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yakni MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Di kelas ini Natsir belajar bersama sama dalam satu kelas dengan murid-murid keturunan Belanda. Di Mulo pun Natsir berhasil lulus dengan predikat terbaik sehingga dia pun kembali mendapatkan beasiswa. Kali ini beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung, pendidikan setara SMU untuk jurusan Sastra Barat Klasik. Di Bandung Natsir tinggal bersama tantenya yang bernama Latifah.
Di AMS inilah Natsir yang telah menginjak usia 19 tahun selain mempelajari bahasa Belanda juga bahasa latin dan kebudayaan Yunani. Walau bisa mengikuti jenjang pendidikan di lembaga milik Belanda ini, Natsir ternyata memendam perasaan tidak puas disebabkan pola pendidikan Belanda tersebut banyak yang tidak sesuai dengan akidah Islamnya. Di tahun 1930 Natsir lulus dengan peringkat terbaik dari AMS dan ditawari Belanda untuk melanjutkan studi ke Fakultas Hukum di Batavia agar mendapat gelar Mister in de Rechten, atau ke fakultas Ekonomi di Rotterdam, atau menjadi pegawai negeri dengan gaji yang sangat cukup. Namun Natsir menolak ketiga tawaran itu dan lebih memilih untuk memperdalam ilmu agama di Persatuan Islam Bandung di bawah bimbingan Ustadz A. Hassan. Sejak saat itulah Natsir menceburkan diri ke dalam kawah candradimuka gerakan Islam yang mencita-citakan Indonesia merdeka.
Bersama Ustadz. A. Hassan, M. Natsir mengelola majalah “Pembela Islam” hingga tahun 1932. Kemudian, Natsir mendirikanYayasan Pendidikan Islam di Bandung dan memimpin langsung sebagai direkturnya dari tahun 1932 hingga 1942. Sebelumnya Natsir memang telah mengikuti pendidikan diploma keguruan di kota yang sama. Penguasaan Natsir terhadap beberapa macam bahasa asing menyebabkan dia bisa menimba ilmu dari berbagai macam literature dan dari berbagai tokoh dunia. Wawasan politik dan sejarah pun terasah dengan baik. Dalam zaman Jepang, Natsir mulai bergerak dalam bidang politik praktis dengan bergabung pada Partai Islam Indonesia dan memimpin organisasi Majelis Al Islam A’la al-Indunisiya. Organisasi ini kian berkibar di bawah kepemimpinan Natsir. Dalam masa itu pula lahir Majelis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi sebagai salah satu wadah perjuangan untuk memerdekakan Indonesia. Bandung merupakan kota di mana Natsir memulai gerakan politik berlandaskan dakwah Islamnya. Dalam organisasi Jong Islamiten Bond Bandung yang diketuainya, Natsir bertemu dengan kawan-kawan seideologi seperti Mr. Kasman Singodimejo, Mr. Moh.Roem, dan Prawoto Mangkusasmito. Di Bandung pula Natsir bertemu dengan Nur Nahar, seorang aktifis pandu puteri “Natipij” yang kemudian dinikahinya pada 20 Oktober 1934 dan menjadi teman pendamping hidup beliau dan perjuangan beliau sampai akhir hayatnya. Natsir merupakan seorang Muslim yang patuh dan taat pada syariat Islam.
Dalam hal perkawinan, Natsir termasuk seorang pendukung poligami. Poligami, menurut Natsir, adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, yakni didasari niat untuk menolong para janda korban perang yang masih memiliki anak-anak yang kecil yang harus dibesarkan atau melindungi keimanannya. Sirah Nabawiyah telah memperlihatkan bahwa Rasulullah SAW yang berusia 25 tahun menikah dengan Khadijah yang sudah berusia 40 tahun. Usia pernikahannya hingga Khadijah meninggal dunia adalah 25 tahun, yang dijalaninya dengan monogami. Setelah Khadijah meninggal, Muhammad SAW yang sudah berusia 50 tahun menduda selama lebh kurang enam tahun dan kemudian menikah lagi dengan seorang janda berusia 70 tahun dengan 12 anak bernama Saudah. Lalu Rasulullah SAW menikah lagi dengan Zainab binti Jahsy, janda 45 tahun, dan juga dengan Ummu Salamah, janda 62 tahun. Setahun kemudian menikah lagi dengan Ummu Habibah, janda 47 tahun dan Juwairiyah, janda 65 tahun. Dari 11 isterinya yang dinikahi, hanya dua yang gadis yakni Mariyah binti Qibtiyah, hadiah dari Raja Mauqaqis, yang berusia 25 tahun, dan Aisyah, yang diminta oleh ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddqiq. Ketika menikah dengan Muhammad, Aisyah telah berusia 19 tahun, bukan 9 tahun! (baca “Muhammad SAW The Super Leader”; Dr. M. Syafii Antonio; h. 302-304).
Disebabkan memahami dengan baik dan lurus, maka walau pun menyetujui poligami dalam Islam, namun Natsir tetap setia dengan satu isteri hingga akhir hayatnya. Karena untuk menjalankan poligami, terdapat syarat-syarat teramat khusus yang tidak bisa diplintir seenaknya. Dalam hal poligami terdapat satu episode lucu ketika Soekarno menyatakan kepada Natsir dengan terbuka bahwa dirinya tidak setuju dengan poligami, namun hal ini dibantah Natsir yang mendukung syariat poligami. Walau demikian, merupakan fakta jika Soekarno ternyata memiliki isteri banyak dan Natsir setia dengan satu isteri. Nah, sekarang banyak orang Islam—walau tidak semuanya—yang mengambil “kebaikan” dari keduanya: menjalankan poligami yang memang dibolehkan dalam Islam, namun untuk itu mereka menikahi perempuan-perempuan muda nan molek, bahkan perawan, ikut “sunnah”nya Soekarno, dan tidak mengikuti Rasulullah SAW yang berpoligami dengan janda-janda tua, bahkan nenek-nenek, dengan bawaan anak yang banyak. Hal ini banyak dilakukan oleh pengikut madzhab “Daripada-Mendingan”.
Sumber : Buku Capita Selekta karangan Muhammad Natsir
Indonesianis George McTurman Kahin pada tahun 1948 tengah berada di
Muhamad Natsir Datuk Sinaro Panjang, demikian nama aslinya. Beliau dilahirkan pada 17 Juli 1908 di di kampung Jambatan Baukia, Alahan Panjang, masuk dalam Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Natsir merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Natsir dibesarkan dalam keluarga yang sederhana namun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan berdasarkan ketauhidan Islam. Hal ini membentuk karakter seorang Natsir hingga dewasa dan menjadi tokoh, bukan saja tokoh nasional namun juga tokoh dunia Islam. Dunia mengenal Natsir tidak saja sebagai intelektual Islam ternama, namun lebih disebabkan sikap rendah hati dan kesederhanaannya. Orang yang cerdas sudah banyak, orang yang pintar bersilat lidah juga banyak, dan orang yang menjadi pejabat negara juga sudah teramat banyak, namun orang yang sekaligus cerdas, pintar bersilat lidah, berilmu tinggi, ditambah lagi menduduki “jabatan basah” sebagai pejabat negara, tetapi orang itu sengaja memilih hidup dengan penuh kesederhanaan, maka orang ini tentulah luar biasa.
Seperti anak-anak Minangkabau pada umumnya, setiap hari Natsir menempuh pendidikan di dua lembaga pendidikan, pagi hari menempuh pendidikan ‘sekuler’ di lembaga pendidikan umum, dan sore hari menempuh pendidikan di madrasah. Dan pada malam harinya, selepas Maghrib, Natsir bersama anak-anak lainnya belajar mengaji di surau terdekat. Di surau itu pula Natsir belajar bahasa Arab. Sejak anak-anak Natsir telah memperlihatkan kecerdasannya. Dia berhasil menamatkan pendidikan HIS di Padang dengan prestasi yang sangat baik sehingga mendapat beasiswa penuh dari pemerintah kolonial Belanda agar Natsir bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yakni MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Di kelas ini Natsir belajar bersama sama dalam satu kelas dengan murid-murid keturunan Belanda. Di Mulo pun Natsir berhasil lulus dengan predikat terbaik sehingga dia pun kembali mendapatkan beasiswa. Kali ini beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung, pendidikan setara SMU untuk jurusan Sastra Barat Klasik.
Di AMS inilah Natsir yang telah menginjak usia 19 tahun selain mempelajari bahasa Belanda juga bahasa latin dan kebudayaan Yunani. Walau bisa mengikuti jenjang pendidikan di lembaga milik Belanda ini, Natsir ternyata memendam perasaan tidak puas disebabkan pola pendidikan Belanda tersebut banyak yang tidak sesuai dengan akidah Islamnya. Di tahun 1930 Natsir lulus dengan peringkat terbaik dari AMS dan ditawari Belanda untuk melanjutkan studi ke Fakultas Hukum di Batavia agar mendapat gelar Mister in de Rechten, atau ke fakultas Ekonomi di Rotterdam, atau menjadi pegawai negeri dengan gaji yang sangat cukup. Namun Natsir menolak ketiga tawaran itu dan lebih memilih untuk memperdalam ilmu agama di Persatuan Islam Bandung di bawah bimbingan Ustadz A. Hassan. Sejak saat itulah Natsir menceburkan diri ke dalam kawah candradimuka gerakan Islam yang mencita-citakan Indonesia merdeka.
Bersama Ustadz. A. Hassan, M. Natsir mengelola majalah “Pembela Islam” hingga tahun 1932. Kemudian, Natsir mendirikanYayasan Pendidikan Islam di Bandung dan memimpin langsung sebagai direkturnya dari tahun 1932 hingga 1942. Sebelumnya Natsir memang telah mengikuti pendidikan diploma keguruan di kota yang sama. Penguasaan Natsir terhadap beberapa macam bahasa asing menyebabkan dia bisa menimba ilmu dari berbagai macam literature dan dari berbagai tokoh dunia. Wawasan politik dan sejarah pun terasah dengan baik. Dalam zaman Jepang, Natsir mulai bergerak dalam bidang politik praktis dengan bergabung pada Partai Islam Indonesia dan memimpin organisasi Majelis Al Islam A’la al-Indunisiya. Organisasi ini kian berkibar di bawah kepemimpinan Natsir. Dalam masa itu pula lahir Majelis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi sebagai salah satu wadah perjuangan untuk memerdekakan Indonesia. Bandung merupakan kota di mana Natsir memulai gerakan politik berlandaskan dakwah Islamnya. Dalam organisasi Jong Islamiten Bond Bandung yang diketuainya, Natsir bertemu dengan kawan-kawan seideologi seperti Mr. Kasman Singodimejo, Mr. Moh.Roem, dan Prawoto Mangkusasmito. Di Bandung pula Natsir bertemu dengan Nur Nahar, seorang aktifis pandu puteri “Natipij” yang kemudian dinikahinya pada 20 Oktober 1934 dan menjadi teman pendamping hidup beliau dan perjuangan beliau sampai akhir hayatnya.
Dalam hal perkawinan, Natsir termasuk seorang pendukung poligami. Poligami, menurut Natsir, adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, yakni didasari niat untuk menolong para janda korban perang yang masih memiliki anak-anak yang kecil yang harus dibesarkan atau melindungi keimanannya. Sirah Nabawiyah telah memperlihatkan bahwa Rasulullah SAW yang berusia 25 tahun menikah dengan Khadijah yang sudah berusia 40 tahun. Usia pernikahannya hingga Khadijah meninggal dunia adalah 25 tahun, yang dijalaninya dengan monogami. Setelah Khadijah meninggal, Muhammad SAW yang sudah berusia 50 tahun menduda selama lebh kurang enam tahun dan kemudian menikah lagi dengan seorang janda berusia 70 tahun dengan 12 anak bernama Saudah. Lalu Rasulullah SAW menikah lagi dengan Zainab binti Jahsy, janda 45 tahun, dan juga dengan Ummu Salamah, janda 62 tahun. Setahun kemudian menikah lagi dengan Ummu Habibah, janda 47 tahun dan Juwairiyah, janda 65 tahun. Dari 11 isterinya yang dinikahi, hanya dua yang gadis yakni Mariyah binti Qibtiyah, hadiah dari Raja Mauqaqis, yang berusia 25 tahun, dan Aisyah, yang diminta oleh ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddqiq. Ketika menikah dengan Muhammad, Aisyah telah berusia 19 tahun, bukan 9 tahun! (baca “Muhammad SAW The Super Leader”; Dr. M. Syafii Antonio; h. 302-304).
Disebabkan memahami dengan baik dan lurus, maka walau pun menyetujui poligami dalam Islam, namun Natsir tetap setia dengan satu isteri hingga akhir hayatnya. Karena untuk menjalankan poligami, terdapat syarat-syarat teramat khusus yang tidak bisa diplintir seenaknya. Dalam hal poligami terdapat satu episode lucu ketika Soekarno menyatakan kepada Natsir dengan terbuka bahwa dirinya tidak setuju dengan poligami, namun hal ini dibantah Natsir yang mendukung syariat poligami. Walau demikian, merupakan fakta jika Soekarno ternyata memiliki isteri banyak dan Natsir setia dengan satu isteri. Nah, sekarang banyak orang Islam—walau tidak semuanya—yang mengambil “kebaikan” dari keduanya: menjalankan poligami yang memang dibolehkan dalam Islam, namun untuk itu mereka menikahi perempuan-perempuan muda nan molek, bahkan perawan, ikut “sunnah”nya Soekarno, dan tidak mengikuti Rasulullah SAW yang berpoligami dengan janda-janda tua, bahkan nenek-nenek, dengan bawaan anak yang banyak. Hal ini banyak dilakukan oleh pengikut madzhab “Daripada-Mendingan”.
Sumber : Buku Capita Selekta karangan Muhammad Natsir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar