Syekh Paseban lahir di Kampung Koto Panjang, Koto Tangah Padang tahun 1234 H (1817 M) nama kecil beliau Keraping, gelar Sidi Alim suku Piliang. Beliau wafat tahun 1356 H (1937 M) sewaktu beliau menunaikan ibadah haji ke Mekkah, dalam usia 120 tahun. Syekh Paseban adalah seorang ulama besar Kota Padang. Setelah beranjak dewasa beliau diantar oleh kedua orang tuanya untuk belajar mengaji di Tanjung Medan-Ulakan kepada Syekh Habibullah. Di Tanjung Medan inilah beliau pertama kali belajar tarekat Syatariyah kepada Syekh Habibullah, khalifah yang keenam dari Syekh Burhanuddin. Adapun Syekh Burhanuddin beliau belajar agama dan tarekat kepada Syekh Abdurrauf Al-Sinkili atau Syekh Kuala (1024-1155 H). Pada saat itu Syekh Abdurrauf menjadi Mufti di kerajaan Aceh, setelah beliau pulang belajar dari Madinah pada tahun 1039 H/1619 M dan menetap di Singkel. Menurut sejarahnya, tarekat Syattari berasal dari sahabat nabi yaitu Ali Bin Abi Thalib, yang diterimanya dari nabi Muhammad SAW. Tarekat ini dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin, beliau terima dari Syekh Abdurrauf. Dalam kitab Tanbih Al-Masyi karangan Syekh Abdurrauf diterangkan tentang silsilah dan adab zikir yang dua puluh. Adapun silsilah tarekat Syattari adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya telah mengambil akan tarekat Syatari dan talakin zikir Al-Fakir Al-Haqir Abdurrauf Ibnu Al-Fansuri Al-Jawi dari Syekh Arif Billah Al-Kamil Al-Makamil Syafuddin Akhmad Ibnu Muhammad Al-Madani Al-Ansyori Assyahir Bil Qusyasyi, dianya Akhmad Qusyasyi mengambil tarekat dari Syaidina Al-Muhab Abudullah Ibnu Akhmad Ibnu Ali-Quraysy Al-Abash Astanawi, dan Syekh Ibnu Muhab mengambil tarekat syattari dari Syekh Sultan Al-Arifin Billah Asaidi Shibratullah, dianya mengambil tarekat Syattari dari Qadwah Al-Ulama Syaidina Wajihuddin Al-Alui, dianya mengambil tarekat Syattari dari Syekh Al-Fausa Al-Jama’ Al-Jawama’ Syaidina Al-Saidi Muhammad Al-Faust, dianya mengambil tarekat Syattari dari Syekh Syaidina Qodhowah Al-Muqarabin, dianya Syekh Haji Hadhur menerima tarekat Syattari dari Saydina Syrk Hidayatullah, dianya mengambil tarekat dari Syekh Syaidina Imam Qadha Syattari, dianya menerima tarekat dari Syekh Abdullah Syattari. Dianya Syekh Abdullah menerima tarekat dari Syekh Saydina Muhammad Arif, dianya menerima tarekat dari Saydina Muhammad Asyiq, dianya menerima tarekat dari Syekh Qhadqhali, dianya menerima tarekat dari Qathib Inbu Husni Al-Qharqani, dianya menerima tarekat dari Syekh Ibnu Muzaffar Maulana Tarkahsusi, dianya menerima tarekat dari Arob iIbnu Zindi Al-Hashafa, dianya menerima tarekat dari Muhammad Al-Maqhribi, dianya menerima tarekat dari Rohaniah Sultan Al-Arifin Ibnu Yazid Al-Busthami, dianya menerima tarekat dari Rohaniah Al-Imam Ja’far Ashodiqi, dianya menerima tarekat dari Imam Muhammad Baqi, dianya menerima tarekat dari Imam Zainal Abidin Bin Imam Al-Hasin, dianya menerima tarekat dari Imam Al-Husain Asyahid, dianya menerima tarekat dari Ali-Almarthadi Ibnu Thalib Karimallah Wajha, dianya menerima tarekat Syattari dari Syaidil Kunin Wajdal Muhammad SAW.”
Maka inilah silsilah pertalian tarekat Syattari dari Nabi Muhammad ke Syaidina Ali dan seterusnya sampai kepada Syekh Abdurrauf Ali Fansyhuri di Aceh, kemudian dibawa oleh Syekh Burhanuddin Ulakan sampai kepada Syekh Habibullah dan seterusnya kepada Syekh Paseban. Dengan Syekh Habibullah Syekh Paseban menekuni bidang Al-Quranul Karim. Namun walaupun telah tiga kali menamatkan Qur’an ia tidak mampu memahami dan menghafalkan Al-Qur’an. Oleh karena mendapat kesulitan dalam memahami pelajaran yang diberikan oleh guru, Ia memutuskan untuk kembali ke Kampung halamannya. Di Kampung Ia menjadi preman, bergaul dengan guru-guru silat. Beberapa lama kemudian, Ia kembali berniat untuk mempelajari ilmu agama, kemudian Ia pergi ke Malalak dan berguru kepada Angku Syekh Malalak Limo Puluah. Setahun belajar di Malalak Ia tetap mendapatkan kesulitan dalam memahami pelajaran, maka sang guru mengambil kebijaksanaan untuk memindahkannya ke Pakandangan berguru kepada Syekh Surau Gadang Pakandangan. Di Pakandangan inilah, Ia akhirnya mampu memahami dan menguasai pelajaran yang diberikan oleh guru. Sesuatu yang tak lazim, karena di Pakandangan ini Ia hanya membutuhkan waktu selama tiga bulan untuk menguasai seluruh pelajaran yang di berikan Angku Syekh Surau Gadang Pakandangan seperti: Tafsir, Fiqih, Nahwu, dan Syaraf.
Melihat kemajuan yang luar biasa itu, maka Ia diperintahkan oleh gurunya untuk pindah mengaji di Padang Gantiang, Batusangkar kepada Syekh Padang Gantiang. Awalnya Ia menolak untuk dipindahkan ke Padang Gantiang tetapi akhirnya ia menerima, sebab seluruh ilmu yang dikuasai oleh Syekh Angku Surau Gadang semua telah dikuasai oleh Syekh Paseban. Dipilihnya Syekh Padang Gantiang, karena Syekh Padang Gantiang itu sendiri adalah guru Syekh Gadang Pakandangan. Di Padang Gantiang, Syekh Paseban Ia diberi izin untuk mengajar dan diberi murid sebanyak enampuluh orang. Setiap harinya disiang hari Ia mengajar dan malam harinya Ia belajar kepada Angku Syekh Padang Gantiang. Ia diajarkan ilmu Nahwu, Syaraf, Tfsir, Fiqih, Mantiq Ma’ana, Usul Tauhid. Tak lama kemudian ia menerima Bai’at dan Talakin Zikir dari Angku Syekh Padang Gantiang, sehingga mulai saat itu resmilah ia menjadi khalifah Angku Syekh Padang Gantiang dan menerima tarekat Syattari. Oleh orang Minangkabau ia terkenal dengan julukan Syekh ahli Tafsir dan ahli tarekat Syattari.
Suatu hari datanglah seorang dari Nagari Sungai Abang meminta Syekh Padang Gantiang untuk mengajar di Sungai Abang, oleh Syekh Padang Gantiang diperintahnyalah Syekh Paseban menerima permintaan orang tersebut untuk mengajar di sana. Di Sungai Abang ia mendapatkan murid banyak sekali, sebagian besar murid-muridnya itu bersal dari daerah rantau Pariaman dan ada juga yang berasal dari daerah darek. Tak berapa lama kemudian timbul rasa rindu dalam diri Syekh Paseban terhadap kampung halaman yang telah lama ditinggalkan. Kemudian ia memutuskan untuk pulang Kampung di Nagari Koto Tangah dan mengajar di sana. Di Koto Tangah ia mendirikan surau di atas tanah bekas Rumah Tahanan (Penjara = Paseban) itulah awal julukan “Paseban” diberikan kepadanya. Di Koto Tangah inilah Syekh Paseban memperoleh banyak pengalaman bahkan ia pernah dijebloskan ke dalam penjara oleh seorang camat yang baru saja bertugas di Nagari Koto Tangah. Kesalahan beliau pada waktu itu ialah tidak pernah membayar rodi, padahal menurut peraturan ulama dibebaskan akan rodi.
Namun sepertinya hal ini sengaja dilakukan oleh Camat tersebut alasannya adalah untuk menutupi rasa malu yang diterimanya karena Syekh Paseban mempermalukan gurunya Inyiak Rasul. Pada waktu itu gelombang reformasi keIslaman di Mekkah juga dirasakan di Koto Tangah Padang. Inyiak Rasul merupakan ulama dari golongan muda mengkritik kebiasaan Mancaliak Bulan yang dilakukan oleh kelompok Islam konservatif salah satunya adalah Syekh Paseban.menurut Inyiak Rasul kebiasaan itu sangat berbahaya dan tidak berlaku lagi di zaman sekarang, karena sekarang sudah ada kalender untuk mengetahui awal dan akhirnya bulan Ramadhan. Namun pendapat Inyiak Rasul tersebut di tolak halus oleh Syekh Paseban, ia meminta kepada Inyiak Rasul untuk menyebutkan hadist Rasul yang mengatakan bahwa untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadhan cukup hanya melihat kalender. Mendengar tanggapan Syekh Paseban tersebut Inyiak Rasul terdiam kerena memang tidak ada hadist yang menyebutkan akan hal itu, akhirnya seluruh penduduk mengikut Syekh Paseban. Lama kelamaan pengikut Syekh Paseban bertambah banyak, bukan saja orang dari Nagari Koto Tangah melainkan juga dari berbagai pelosok Nagari di Minangkabau seperti: Pauah, Solok, Batusangkar, Bukittinggi, Padang Panjang, Sungai Abang, Indrapura, Sawahlunto dan lain-lain. Popularitas ia sebagai seorang ulama pun bertambah. Bahkan ada pameo pada waktu itu untuk para ulama baru apabila mereka belum berguru kepada Syekh Paseban maka diragukan kompetensinya sebagai ulama. Ia bahkan pernah diminta pertolongan oleh komandan tentara Belanda untuk membantu Belanda menghentikan aktivitas pergolakan yang di motori oleh PKI di daerahnya yaitu Koto Tangah.
Sebagai seorang ulama Syekh Pseban memiliki keinginan untuk menunaikan ibadah haji, untuk menyempurnakan rukun Islamnya. Akhirnya niat tersebut dikabulkan oleh Allah SWT ia pun berangkat menunaikan ibadah haji atas bantuan sedekah dari masyarakat. Beliau berangkat ke Mekkah bersama istri beliau dan dua orang anaknya yaitu haji Kambih dan haji Assad. Tetapi sebelum Syekh Paseban berangkat ke Negeri Mekkah, ia mengangkat beberapa muridnya untuk di jadikan khalifahnya. Beberapa murid Syekh Paseban yang mengambil Bai’at dari beliau yaitu: Angku Fakih Lutan dari Koto Tangah, Angku Inyiak Adam dari juga dari Koto Tangah, Angku Haji Abdul Majid dai Paseban, Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib dari Batang Kabuang, Angku Qadi Talang dari Solok, Angku Syekh Datuk dari Lumindai, Angku Surau Gadang dari Tnjung Medan-Ulakan, dan Angku Ibrahim dari Mudik Padang. Maka bertepatan pada tanggal 27 Rajab 1356 H/1937 M diundanglah Ninik Mamak yang berjinis empat dalam Negeri Koto Tangah, yang terdiri dari Penghulu yang sepuluh Suku, Ninik Mamak yang yang sepuluh dan pandito yang sepuluh beserta orang-orang terkemuka di Koto Panjang untuk menghadiri pengangkatan khalifah, bertempat di kuburan parit, di halaman surau Gadang Koto Panjang. Siangnya pengangkatan khalifah dan malamnya diadakan pembacaan Syafaral Anam serta maulid Nabi SAW.
Selain tujuan Syekh Paseban menunaikan ibadah haji ke Mekkah, ada tujuan lainya yaitu ingin “membuka kaji” di Mekkah untuk itu, diantara kitab-kitabnya ada beberapa kitab yang sengaja ia bawa ke Mekkah. Akan tetapi niat beliau tersebut tidak kesampaian, sebab kaum reformis Mekkah mengeluarkan larangan terhadap setiap bentuk ajaran-ajaran Islam kuno untuk dikembangkan. Bahkan kitab-kitab ajaran Islan kuno itupun telah dibakar dan para ulamanya yang tidak mau bekerjasama dengan kaum Islam moderat di bunuh. Karena Mekkah dahulu berbeda dengan sekarang, sebelum tahun 1925 M Mekkah dipimpim oleh orang Mekkah asli keturunan Husen Radhiallahu ‘Anhu yaitu raja Syarif Husen. Pada tahun 1925 M Kota Mekkah diserang oleh raja dari Negeri Nejd yang bernama Muhammad Ibnu Sa’ud yang menganut mazhab Wahabi, dan raja Husen diusir dari Mekkah. Maka Mekkah dapat dikuasai oleh Ibnu Sa’ud, mazhab yang boleh dipakai hanya mazhab Wahabi, sementara mazhan Syafi’i, Hambali, dan Maliki dihapuskan. Bukan itu saja, karena faktor usia membuat Syekh Paseban tidak dapat secara penuh melakukan ibadah haji, di asrama beliau sering jatuh sakit sehingga garus dirawat oleh tim kesehatan secara intensif. Akhirnya pada hari Selasa, bulan Sya’ban tahun 1356 H/1937 M beliau meninggal di Mekkah dan sesuai permintaannya beliau dikuburkan di Mekkah.
Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang religius dan menempatkan agama Islam sebagai bahagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan, di samping adat yang juga dijunjung tinggi. Perpaduan antara agama dan adat tercermin dari pepatah adat yaitu : Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” syara’ yang dimaksud dalam pepatah tersebut adalah agama Islam, sehinga setiap orang yang mengaku atau keturunan orang Minangkabau, otomatis harus Islam, jika tidak beragama Islam maka akan dibuang sepanjang adat. Salah satu ciri yang selalu melekat dikalangan masyarakat Minangkabau adalah tingginya kesadaran mereka terhadap agama. Sejarah Minangkabau telah membuktikan bahwa pada zaman kolonial yakni disaat suasana dunia pendidikan kaum pribumi di Indonesia sangat memprihatinkan, justru di Minangkabau bermunculan lembaga pendidikan Islam. Salah satunya pendidikan Islam tersebut diawali dengan pendidikan surau. Di Minangkabau, sebelum Islam datang sudah mengenal surau sebagai tempat penyembahan bagi orang Hindu-Budha yang didirikan oleh Adityawarman di Bukit Gombak, setelah Islam masuk maka umat Islam di Minangkabau mulai menyusun sarana belajar atas dasar surau.
Semenjak awal pertumbuhanya surau turut memberikan andil yang sangat besar dalam penyiaran agama Islam, juga merupakan titik tolak Islamisasi di Minangkabau. Surau muncul dan bertebaran diseluruh pelosok Nagari Minangkabau, sehingga surau menjadi sebuah lembaga pribumi yang telah menjadi pusat pengajaran Islam yang menonjol. Di samping itu, surau juga menjadi pusat tarekat dan benteng pertahanan Minangkabau terhadap berkembangnya dominasi kekuatan Belanda. Pada awal abad ke-19 M. terjadi pembaharuan agama Islam di Minangkabau oleh putera-putera Minang yang pulang dari menunaikan ibadah haji dari Mekkah. Mereka tampil sebagai kaum pembaharu ajaran Islam yang dikenal dengan kaum Paderi. Namun situasi ini berjalan sampai Minangkabau diduduki oleh Belanda yang berakhir dengan kekalahan kaum Paderi. Dalam kondisi dan situasi seperti inilah, surau tampil sebagai lembaga kemasyarakatan yang mampu menampung dan memberikan solusi terhadap problem masyarakat. Surau tidak hanya sebagai lembaga kaeagamaan saja, tetapi juga tampil menjadi institusi sosial masyarakat. Salah satu surau tersebut adalah surau Syekh Paseban, surau ini berdiri tahun 1921 M di Koto Panjang Koto Tangah Padang. Didirikan oleh Syekh Paseban di atas tanah bekas rumah tahanan (Penjara = Paseban). Surau ini juga seperti surau-surau yang ada lainnya didirikan atas permintaan masyarakat Koto Tangah Padang.
Adapun latar belakang didirikannya surau Syekh Paseban adalah karena rasa tanggungjawab beliau untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam di tengah masyarakat, juga atas tangung jawab moralnya sebagai salah seorang intelektual muslim setelah beliau mengembara menuntut ilmu sekian lamanya, maka timbullah kerinduan hatinya pada kampung halamanya. Kemudian diputuskanlah untuk pindah mengajar di Koto Tangah, disampaikanlah niat beliau ini kepada pengurus Mesjid tempat beliau mengajar di Sungai Abang. Setelah mendapat izin beliau kembali ke Kampung halamannya, sesampainya di sana beliau merasakan adanya kekhawatiran dikalangan masyarakat Koto Panjang kalau berkurangnya tokoh agama yang bisa dijadikan panutan. Padahal masyarakat sangat membutuhkan adanya orang yang dapat memberikan arahan dan pendapatnya apabila mereka terkendala dalam suatu hal yang menyangkut urusan agama dan urusan lain seperti masalah sengketa tanah yang tidak bisa diputuskan masyarakat. Atas permintaan orang Koto Tangah maka atas bantuan penduduk setempat didikanlah surau Paseban pada tahun 1921 di atas tanah bekas rumah tahanan, paseban adalah rumah tempat orang tahanan, orang-orang yang bersalah dalam peraturan pemerintah di Koto Batang Aie. Itulah sebabnya beliau dimasyhurkan orang dengan sebutan Angku Paseban. Kemudian lama-kelamaan banyak berdatangan murid-murid beliau dari daerah Minangkabau.
Surau Syekh Paseban dibangun bersama-sama oleh anggota masyarakat, sesuai dengan permintaan Syekh Paseban dimana akan didirikan surau, ada dari seseorang yang memohon agar ditanahnya saja didirikan surau. Kemudian setelah setelah disepakati bersama didirikanlah surau Syekh Paseban di atas tanah bekas rumah tahanan (penjara = paseban). Dilihat dari bentuknya, surau ini berukuran 7,58 x 5,5 Meter, beratap dan berlantai, dindingnya terbuat dari kayu dan lantainya tidak menyenyuh tanah. Di bawah lantai pancangkan beberapa tiang kira-kira satu meter di atas tanah. Di halaman depan surau ini terdapat semacam kolam sebagai tempat berwudhuk. Begitupun dengan bentuk ruangannya terdiri dari tiga bagian, dengan lebar bervariasi. Sebelah sudut kanan terdapat bilik (kamar) kecil yang digunakan sebagai tempat tidur bagi perempuan yang melaksanakan suluk, dan sebelah sudut kiri digunakan sebagai dapur untuk memasak, sementara ruangan tengahnya digunakan sebagai tempat untuk sembahyang, mengaji Alqur’an dan aktivitas lainnya. Tiga ruang di atas, mengandung makna Tali Tigo Sapilin yang melambangkan persatuan adat, agama dan pemerintahan. Di tengah ruangan yang menghubungkan lantai dengan bagian atap dipancangkan tonggak yang berfungsi menguatkan bangunan. Di sisi bagian Barat terdapat Mihrab yang menghadap ke kiblat sebagai tempat imam memimpin salat, di samping kiri mihrab tersebut terdapat kamar kecil sebagai ruangan untuk menyimpan naskah-naskah karya Syekh Paseban. Selain alasan di atas, surau Paseban didirikan sebagai tempat bagi masyarakat untuk bertanya, tempat berkumpul anggota masyarakat, dan tempat berdiskusi baik hal dunia ataupun hal akhirat. Dimana seorang ulama (Syekh) merupakan: ”Suluah bendang dalam nagari, Ureknyo untuak baselo, Batangnyo untuak basanda, Dahannyo untuak bataduah , Pai tampek batanyo, Pulang tampek babarito”.
Berbicara masalah perjuangan rakyat melawan kolonialisme doi Indonesia, tak lengkap rasanya apabila kita tidak menyimak proses lahirnya ideologi perlawanan yang diusung oleh Islam. Mengapa demikian, karena Islam dan perjuangan kemerdekaan seakan lekat menjadi sejaah panjang. Seperti diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa Islam tidak hanya menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu keagamaan, namin Islam juga telah mempererat basis ikatan sosial keagamaan masyarakat Indonesia. Dengan Islam perjuangan rakyat Indonesia yang semula bercorak kedaerahan menjadi lebur dalam satu solidaritas persaudaraan saudara seagama yaitu Islam. Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam ini dikenal dengan gerakan pembaharuan yaitu gagasan politik Pan-Islamisme (persatuan Islam Sedunia) yang dipelopori oleh Jamaludin Al-Afghani tahun 1879-1897 M. Sementara itu, Islam masuk dan berkembang di wilayah nusantara termasuk Minangkabau yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin dari berguru kepada Syekh Abdurauf di Aceh. Islam yang diajarkan yang diajarkan oleh Abdurrauf Singkili tidak membawa spirit perlawanan terhadap bangsa asing, dan bukan berarti besikap dingin. Sebab Islam masuk dengn damai dan bersahabat dalam mengembangkan ajaran Islam ia juga mensosialisasikan azas-azas dan aturan-aturan yang berlaku dalam dalam organisasi tarekat yaitu Syattariyah. Dimasa itu, tarekat ini berkembang dengan pesat di Minangkabau melalui tasawuf.
Pada masa berikutnya, Islam di Minangkabau berkembang kearah yang lebih longgar, bahkan juga radikal. Namun masih mengandalkan organisasi tarekat sebagai media penyebarannya salah satunya yaitu tarekat Nakhsyabandiyah yang diperkenalkan pada abad XIX tarekat ini, masuk dan berkembang setelah 127 tahun lamanya dari tarekat Syattariyah. Dalam kurun waktu yang tidak sebentar itu, bisa dibayangkan sulitnya bagi ”sufi modern” untuk mengembangkan ajaran ini. Bahkan tak jarang akibat benturan ideologi terjdi konflik yang tidak hanya perang mulut, namun juga perang fisik antara para ulama Syattari dengan para ”sufi modern” tersebut. Di awal abad XIX tersebut, ketegangan-ketegangan antara dua penganut faham yang berbeda ini tak terhindarkan lagi. Nahkan pertentangan-pertentangan tersebut selanjutnya menjadi faktor penyebab munculnya konflik sosial di Minangkabau. Pertentangan atau konflik antara dua penganut faham yang berbeda tersebut dikenal dengan istilah pertentangan antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Namun menyangkut ketegangan tersebut, beberapa sumberb mengatakan bahwa bukan hanya menyangkut perbedaan faham dan ajaran saja, melainkan saling rebutan kehormatan dan pengikut. Misalnya Syekh Jalaluddin dari Cangkiang telah berhasil mendaptkan simpati dari para pengikut tarekat Syattariyah hingga mereka sudi pindah ke Nakhsyabandiyah, hal ini tentu membakar emosi para ulama atau guru-guru Syattariyah.
Demikianlah bagi sufi-sufi yang membawa ajaran baru memang tak mudah mensosialisasikan ajaran mereka di Kampung halamannya. Usaha pemurnian ajaran Islam oleh para sufi tesebut selalu mendapat kegagalan, karena faham ke Islaman aliran Syattari telah dianut berpuluh-puluh tahun lamanya oleh masyarakat muslim di Sumatera Barat. Apabila ajaran-ajaran yang mereka bawa tidak diterima masyarakat bisa-bisa mereka dihukum dan dibuang dari Nagari asalnya, bahkan mereka dipermalukan oleh guru-guru tarekat Syattariyah. Seperti yang dialami oleh tiga haji yaitu haji Mislin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Akhirnya mereka masing-masing memutuskan untuk pergi meninggalkan kampungnya. Puncak serangkaian pertengkaran tersebut terjadi di pertengahan abad ke XIX yang dikenal dengan perang Paderi tahun 1821-1830 M. Amran, mengatakan bahwa pemberontakan Paderi ini adalah puncak dari serangkaian perdebatan mengenai benar, salah dan halal dan haram dalam ajaran Islam yang dianut oleh masyarakat sebelumnya atau populer dengan sebutan Kaum tua penuh dengan unsur-unsur animisme, dinamisme, mistik, tahayul, bid’ah, dan khurafat. Akhirnya perang panjang tersebut dapat diselesaikan, itupun setelah adanya campur tangan dari pihak ketiga yaitu Belanda. Namun akibat campur tangan yang berlebihan tersebut umat muslim di Minangkabau menjadi bertambah benci kepada bangsa asing, dan mempertebal keyakinan mereka untuk bersatu dalam mengusir penjajah, bangsa Yahudi, bangsa Kafir dari negeri mereka.
Maka tak heran jika sebelum dan sesudah Paderi sering terjadi pemberontakan yang dimotori oleh ulama-ulama Syattariyah seperti perlawanan Syekh Muhammad Natsir (Syekh Surau Baru) yang melakukan peperangan melawan Belanda bersama rakyat Koto Tangah, peperangan masyarakat Pauh yang sangat terkenal. Pada dasarnya peperangan tersebut dilatarbelakangai oleh praktik-praktik politik yang diterapkan Belanda di Minagngkabau, bagi rakyat Minang sangat bertentangan karena telah menghapuskan hak orang Minangkabau atas tanah negerinya sendiri. Seperti diberlakukannya pajak Belasting serta Rodi.
Dinamika sosial-politik umat di Sumatera Barat khususnya dan Nusantara umumnya tidak terlepas dari dinamika kehidupan sosial-politis yang sering terjadi di Mekkah dan dunia Arab. Hal ini disebabkan sejak lama wilayah Arab menjadi kiblat umat Islam di dunia. Setiap tahunnnya umat Islam menunaikan ibadah haji, sambil melaksanakan ibadah haji meeka juga belajar ilmu agama. Setelah pulang dari ibadah haji maka dikembangkannya paham baru yang mereka peroleh di kampung mereka masing-masing. Paham yang mereka kembangkan tersebut adalah paham wahabiyah, pada waktu itu di Arab terjadi reformasi keIslaman, di Mekkah yang menjadi Raja Ibn Sa’ud berpaham wahabiyah. Gelombang reformasi tersebut juga dirasakan di Sumatera Barat, sehinga pengikut faham pembaharuan Islam itu juga meningkat jumlahnya, ini dikarenakan sebagian besar masyarakat semakin simpati terhadap gerakan perjuangan yang didengungkan orang Islam modern. Sementara itu, kekuatan Islam Syattariyah mulai berkurang, seiring dengan wafatnya ulama-ulama Syattari yang dahulu sangat berpengaruh, sedikit demi sedikit pengaruh Islam Syattariyah pun melemah. Diantara ulama Syattari yang masih bertahan mengamalkan ajaran Syattari murni pada saat itu adalah Syekh Paseban, beliau pada masa dimana terdapat benturan faham keIslaman antara ajaran Islam konservatif dengan Islam modern yang dipengaruhi oleh ajaran wahabiyah.
Surau ini adalah surau yang disebut orang dengan surau tempat memutuskan perkara (pengadilan). Tetapi jauh sebelum surau ini ada sebuah surau yang dijadikan sebagai basis perjuangan rakyat Koto Tangah dalam menentang penjajahan yaitu surau baru yang terletak Air Dingin. Dinamakan surau barui karena surau tersebut adalah surau yang pertama kali diodirikan oleh Syekh Surau baru (Muhammad Natsi) dalam mengembangkan Islam di Kota Padang. Sekembalinya beliau belajar agama ke Aceh bersama Syekh Burhanuddin Ulakan. Namun ada beberapa keterangan tentang perjuangan Syekh paseban dalam menentang penjajahan yang penulis dapatkan dari manuskrip H.Imam Maulana Abdul Munaf Amin Amin Al-Khatib, murid dari Syekh Paseban yang berjudul ”Inilah Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Ta’ala Anhu” dari naskah tersebut penulis peroleh keterlibatan Syekh Paseban dalam menentang penjajahan Belanda.
Keterlibatan beliau dalam membebaskan masyarakat Koto Tangah khususnya penduduk Koto Panjang Ikua Koto dari pajak Belasting yang dibebankan oleh Belanda kepada rakyat. Maka pada suatu hari dikumpulkanlah penduduk Koto Panjang di surau beliau untuk berunding agar penduduk Koto Panjang tidak boleh membayar pajak kepada Belanda, karena menurut Syekh Paseban haram hukumnya orang Islam tunduk dan patuh kepada orang kafir yaitu Belanda. Melihat penduduk Koto Tangah tidak mau membayar pajak maka, dicarilah Syekh Paseban dan dijebloskan ke dalam penjara di Muaro Panjalinan. Karena menurut Belanda beliau adalah otak dari semua itu, sehingga penduduk Koto Tangah tidak mau membayar pajak. Selama dipenjara banyak penduduk yang berdatangan memjenguk beliau. Sampailah pada suatu hari Syeh Paseban akan di hukum mati, tetapi karena beliau adalah seorang ulama yang kharismatik maka beliau diselamatkan Allah. Akhirnya dikeluarkanlah beliau dari penjara dan Belanda takut kepada beliau, dan penduduk Koto Panjang dibebaskan dari pajak.
Pada tahun 1926 terjadilah gempa besar yang menghancurkan Koto Tangah Padang, banyak orang yang mati terbunuh, lamanya sampai tujuh hari. Yang dilakukan oleh aktivis PKI, Sehingga dinamakan orang masa gempa tujuh hari. Kemudian menyusul pada tahun 1927 meletus pemberontakan PKI di Sumatera Barat banyak orang mati terbunuh dan banyak pula yang tertangkap. Setelah tiba pada puncak kepanasannya yaitu sesudah orang sesudah orang komunis menjual Surat Merahnya yang diwajibkan membelinya setiap orang dewasa, siapa yang tidak membeli akan terancam jiwanya. Maka datanglah komandan Belanda kepada Syekh Paseban untuk meminta pertolongan dalam membantu Belanda menghentikan aktivitas pergolakan yang dimotori oleh PKI di daerahnya Koto Tangah. ”.........Maka pada suatu pagi sedang beliau Syekh Paseban sedang mengajar, datanglah serombongan tentara Belanda yang dikepalai oleh Uyus itulah nama pangkat komandanya, hampir tiba mereka di tuturan surau, dikhabarkan orang kepada beliau bahwa tentara akan naik keatas surau. Maka beliau lekas keluar. Tiba di muka jenjang Uyus akan menginjak anak jenjang ”tunggu!tungu di situ!’ kata beliau, Uyus berdiri dimuka jenjang. ”Apa kabar?” kata beliau menjawab Uyus ”kedatangan kami minta bantuan pendeta, menolong mengamankan keadaan ini, kalau tidak kami akan melaklukan tindakan keras ”berkata Syekh Paseban ”nanti malam saya urus”. Malamnya pergilah beliauke lapu. Di halaman Surau Gadang Koto Panjang sedang rami, maka beluai berkata waktu itu ”kalau kalian ingin Negeri aman, pulang-pulangkanlah surat marah itu kalau tidak lepas tanggung jawab aku” tentara Belanda akan bertindak keras. Sudah berkata demikian beliau kembali ke surau. Maka beresok harinya dipulang-pulangkan oranglah surat merah itu. Maka pimpinan komunis sesudah itu banyak yang tertangkap seperti si Pati dan si Lanjai.......”
Setelah itu banyak aktivis PKI yang diungsikan ke Digul dan akhirnya pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Belanda atas bantuan Syekh Paseban, maka setelah Negeri aman diundanglah Syekh Paseban oleh Tuan Residen Padang ke Kantornya, tujuan undangan itu adalah pemerintah Belanda menyampaikan terimakasih atas jasa beliau dapat mengamankan pemberontakan Komunis di Koto Tangah dan juga mengabarkan akan menerima bintang tanda jasa dari Raja Belanda. Tetapi, Syekh Paseban tidak mau menerima bintang kehormatan tersebut, beliau menolak dengan alasan yang akan memberi saya bintang adalah Tuhan tidak Belanda.
Surau pernah menjadi institusi penting dalam proses transmisi berbagai pengetahuan Islam. Di surau itulah para ulama dari masing-masing kubu membangun jaringan guru-murid sehingga tercipta hubungan keIslaman yang kompleks. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya manuskrip-manuskrip yang ada di surau Syekh Paseban, baik itu yang ditulis tangan oleh beliau sendiri atau yang dicetak, menurut Angku Idris dahulu jumlahnya ratusan, tetapi karena tidak terawat maka banyak naskah-naskah tersebut hancur dan sebagian ada yang hilang. Proses lahirnya naskah sendiri dengan jumlah ratusan tersebut, akibat dari konflik yang terjadi dan perdebatan yang penuh mewarnai wacana keIslaman yang ada di Minangkabau, sehingga mendorong para ulama-ulama surau untuk menuangkannya dalam bentuk naskah. Maka tidak heran jika di surau Syekh Paseban banyak lahir naskah-naskah hasil karya beliau sendiri dan murid-muridnya. Penyalinan naskah ini dilakukan di surau Paseban sebab surau di Minangkabau merupakan ”Api Tungku Cendikiawan”.
Naskah-naskah yang ditulis dan disalin tersebut dimaksudkan untuk menyebarkan pengajian dan mendebat ataupun mengkritik pendapat orang lain atau golongan yang berbeda paham keislamannya, serta untuk mengkritik keadaan sosial. Hal ini memberikan gambaran bahwa surau bukan sekedar tempat belajar membaca Alqur’an atau belajar adab saja, melainkan surau juga merupakan tempat dugunakan sebagai pusat kecendekiaan. Surau sebagai tempat penulisan dan penyalinan naskah merupakan fenomena yang menarik sebagai gambaran tradisi pernaskahan di Minangkabau. Lebih menarik lagi, tradisi pernaskahan tersebut masih berlangsung hingga akhir abad ke-20 M. bahkan sampai sekarang Hal ini seperti yang dilakukan oleh murid Syekh Paseban yaitu Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib sebagai penyalin naskah dan penulis naskah yang masih aktif dalam memproduksi manuskrip di Surau Nurul Huda Batang Kabung Padang. Akan tetapi beliau telah wafat beberapa tahun yang lalu.
Sebagai tradisi intelektual yang berlangsung cukup lama, tidak mengherankan jika tradisi pernaskahan di Minangkabau seperti di surau Paseban ini telah meninggalkan artefak budaya berupa naskah kuno (manuscript) dengan jumlah yang cukup banyak. Naskah-naskah tersebut mengandung teks tertulis mengenai baerbagai pemikiran, pengetahuan, keislaman, sastra, pengobatan, serta prilaku masyarakat masa lalu. Naskah-naskah tersebut disimpan di Surau paseban dengan kondisi yang beragam, dari kondisi naskah yang cukup baik yang dapat dibaca, hingga naskah dalam kondisi rusak dan tidak dapat dibaca. Di samping itu, Surau Paseban merupakan rumah kedua tempat tidur anak laki-laki dan orang tua yang menduda dan telah uzur karena di Minangkabau laki-laki tidak mendapat tempat di rumah istrinya. Sebagai tempat menginap laki-laki yang telah uzur suraunya terletak di sebelah surau Paseban.
Di Surau ini, setiap malam secara bergantian akan datang orang tua-tua, inyiak (kakek), datuak, dan mamak. Mereka bercerita tentang adat, silsilah keturunan, asal usul tambo, gurindam adat, petatah petitih, bersilat lidah dan ajaran etika dan budi pekerti. Anak Minang dididik seperti ini agar kelak ia tidak canggung menghadapi kehidupanya, tidak gamang hendak tinggal dimana, di kampung atau tinggal di rantau. Surau dalam hal ini berfungsi sebagai tempat rapat kampung dan rapat Disamping itu, kaum, biasanya di Surau Syekh Paseban ini digunakan untuk membahas tentang rencana-rencana kegiatan kampung atau membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan anak kemenakannya dan sebagainya. Contoh dalam mengambil keputusan hari gotong royong, hari berburu mancik (tikus), turun ke sawah dan membahas persengketaan yang terjadi di kampung atau kaum. Sebagaimana berlaku masa lalu dan perlu dicatat bahwa surau berfungsi sebagai tempat persinggahan para musafir dan pedagang yang kemalaman. Selain itu, juga tempat persingahan perantau apabila pulang kampung. Maka di Surau inilah mereka membagi pengalaman hidup di rantau dengan mereka yang tetap berada di kampung. Sehingga tidak jarang pula ada yang tertarik dan ikut pula pergi merantau untuk mengadu nasib seperti pendahulunya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa mungkin dari silsilah berkembangnya tradisi merantau dikalangan anak muda di Sumatera Barat pada masa lalu.
Surau Paseban disamping merupakan tempat ibadah sekaligus sebagai institusi sosial bagi masyarakat Minangkabau yang mengakui bahwa Islam adalah agama satu-satunya. Di Minangkabau surau merupakan sebuah lembaga pribumi yang telah menjadi pusat pengajaran Islam yang menonjol. Sebagai media pembelajaran di Minangkabau dikenal dua media yang berfungsi sebagai tempat pembinaan mental, spritual, intelektual, dan kemampuan bersosialisasi bagi generasi Minangkabau. Kedua media yang dianggap memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kepribadian orang Minangkabau adalah Surau dan Lapau. Surau dalam konteks sosial harus dilihat dalam hubungannya dengan lapau. Surau dapat dipandang sebagai lambang kesucian (sakral), sopan santun, dan kepatuhan kepada Allah. Sedangkan warung-warung nasi adalah lembaga bisnis yang melambangkan keduniaan, kekasaran, dan keberanian. Dua lembaga tersebut menyelaraskan kehidupan anak Nagari di Minangkabau. Di surau seorang harus mampu menjaga sikap, sedangkan di lapau orang bebas berbicara seenaknya tanpa terkungkung dengan etika tertentu. Surau merupakan lembaga pendidikan Islam yang berfungsi sebagai tempat belajar, tempat mengaji Alqur’an. Awal abad XX keberadaan Surau sangat besar pengaruhnya, karena kondisi masyarakat pada saat itu berada pada posisi lemah, sebab masyarakat sedang di jajah oleh Belanda. Pada saat inilah surau tampil sebagai institusi sosial, mampu menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat. Surau telah berhasil mencerdaskan masyarakat terutama dalam ilmu agama dan mencetak ulama-ulama Minangkabau yang keberadaannya patut diperhitungkan.
Sebagai lembaga pengembangan dakwah Islamiyah, secara umum surau tetap berjalan sesuai dengan perkembangan masyarakat, meskipun mengalami pasang naik dan turun. Surau-surau yang diurus oleh ulama kalangan modernis cenderung lebih mengemukakan dalam bidang syi’ar dakwah dan masalah sosial seperti wird-wirid umum, peringatan hari besar Islam, dan mengurus panti asuhan. Sementara pada sisi lain, surau yang dikelola oleh ulama tradisional lebih bersifat pembinaan keagamaan ke dalam seperti pengajian tarekat, ziarah bersama ke makam-makam syekh, khatam Alqur’an dan sebagainya. Sifat surau yang terakhir inilah yang dikembangkan oleh Syekh Paseban di surau beliau. Selain sebagai pusat pembelajaran dan sosial keagamaan, Surau Paseban sekarang juga berfungsi sebagai pusat tarekat yang menjadi benteng pertahanan Minangkabau terhadap berkembangnya dominasi kekuatan Belanda, di samping itu Surau juga dijadikan sebagai tempat untuk kosentrasi gerakan bagi masing-masing golongan yang sedang berpolemik tentang paham keislaman yang ada di Minangkabau pada saat itu. Surau Paseban merupakan Surau yang mengembangkan tarekat Syattariyah, yang masih beliau kembangkan di daerah ini. Tarekat Syattari ini mempunyai ciri khas ajarannya yaitu melakukan Suluk pada bulan Ramadhan, Rajab, dan Sya’ban. Suluk diikuti oleh laki-laki dan perempuan yang jumlahnya mencapai 10 sampai 50 orang. Mereka terdiri dari orang-orang lanjut usia yang ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk beribadah. Untuk yang perempuan tempat suluknya di Surau Paseban dan untuk laki-laki tempatnya di Surau Gadang, depan Surau Paseban. kegiatan suluk ini sampai sekarang masih dilaksanakan oleh orang-orang yang telah lanjut usia, di bimbing oleh Buya Idris Adam.
(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar