Di Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda, tersimpan 7 salinan manuskrip SMMD, yaitu: Or.3335; Or.3336; Or.3337; Or.3373; Or.8754; Or.12.161; Or.3338. Satu salinan lagi tersimpan di Staatsbibliothek Preuβisher Kulturbezits Berlin, Jerman, berkode: Schoemann V.14. Di Perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, terdapat satu salinan berkode MS56 dan satu mikrofis berkode MSO12 (Samsudin & Raja Ariffin 1983). Di Perpustakaan Negara Malaysia, Kuala Lumpur, tersimpan pula satu mikrofis SMMD berkode Mkm1342 (reproduksi Schoemann V.14). Juga ada tiga naskah dengan judul Sja’ir Hadj I (DXI), Sja’ir Hadj II (DXII), dan Sja’ir Hadjj III (DXIII) koleksi Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (tahun 1988 dipindahkan ke PNRI) yang mungkin merupakan salinan SMMD. Pada paroh kedua abad ke-19 SMMD enam kali dicetak secara litografi di Singapura, yaitu: Edisi 1869, Edisi 1872, Edisi 1885, Edisi 1886, Edisi 1888, dan Edisi 1889 (Proudfoot 1993).Arnold Snackey dalam Sair Soenoer, ditoeroenkan dari ABC Melajoe-Arab (1888) menyebut bahwa pengarang SMMD adalah Syekh Daud Sunur. Ia lahir antara 1785-1790 di Sunur (Korong Koto Gadih), desa tetangga Ulakan, pusat tarekat Syattariyah di pantai barat Sumatra, dari pasangan Syekh Badaruddin dan Indo Dewi. Dalam Syair Sunur disebutkan Daud bertiga bersaudara dan ibu mereka sudah wafat selagi mereka masih kecil. Daud muda telah belajar ke Surau Cangkiang yang reformis di darek, dan telah terpengaruh oleh paham keagamaan kaum Paderi yang bersifat puritan. Kemudian Syekh Daud kembali ke Sunur untuk menyiarkan paham pembaharuan, tetapi segera ditentang oleh kaum adat dan pengikut tarekat Syattariah yang berorientasi ke Ulakan.
Seorang ulama Syattariyah yang bernama Tuanku Syekh Lubuak Ipuah, desa tetangga Sunur, menantang Syekh Daud berdebat untuk mempertahankan pandangan keagamaan masing-masing. Syekh Daud kalah dalam perdebatan itu. Ia makin dimusuhi oleh kaum adat dan pengikut tarekat Syattariyah. Akhirnya Syekh Daud pergi naik haji ke Mekah (antara 1825-1830). Waktu berada di Mekah itulah Syekh Daud menulis SMMD. Syair itu selesai ditulis pada 9 Muharram 1248 / 8 Juni 1832. Kemudian SMMD sampai ke Sumatra dan “membikin orang disana mingkin lama mingkin radjin pergi naik haji, sehingga Toeankoe Sjech Daoed amat terpoedji kerna itu” (Snackey 1888:11). Lalu Tuanku Syekh Daud kembali ke Sunur “sebab diharapnja akan menerima tanda kehormatan disana, sebab njata kebesarannya ada lebih dari kebesaran moesoehnja, ija itoe Toeankoe Sjech Loeboek Ipoeh” (ibid.). Tapi didapatinya Tuanku Lubuak Ipuah telah menikahi anaknya, Umi Salamah. “Dan kawin itoe…boleh djadi kerna sebagaimana adat Minangkerbau…si anak boekan bilangan kaoem bapanja, [tapi] bilangan kaoem iboenya” (ibid.).
Syekh Daud makin membenci adat, kemudian ia coba kembali Mekah. Tapi ia terdampar Trumon, Aceh barat, karena sakit. Akhirnya Syekh Daud tinggal di Trumon, dan diterima baik oleh penguasa Trumon, Raja Bujang (1814-1835). Ia kawin dengan salah seorang wanita kerabat istana Trumon. Raja Bujang mengangkatnya sebagai guru mengaji bagi putra mahkota, Nyak Batak. Namun Syekh Daud terus merindu kampung halamannya dan anaknya, Umi Salamah. Kemudian ia menulis sebuah syair yang “terpoedji kerna eloknja” (Snackey 1888:15), yaitu Syair Sunur (lihat Suryadi 2004). Syair itu dikirim orang ke Sunur. “Baroe sadja Sair itoe terbatja di Soenoer dan, maka dikirim orang dari sana perahoe enam boeah akan membawa poelang Toeankoe Sjech Daoed [yang sudah tua itu] dari Troemoen. Kata orang, bersama perahoe itoe ada poela satoe Sair, jang ditoelis dan dikirim oleh Oemi Salamah, pembalas Sair ajahnya.” (ibid.:13). Ketika perahu yang menjemputnya baru sampai di Singkil, ulama itu wafat dan dikuburkan di sana, kira-kira tahun 1855. Pusaranya di Singkil dihantam gelombang tsunami akibat gempa bawah laut yang melanda pantau barat Sumatra bagian utara pada Februari 1861 (Dt. Orang Kaya Besar 1965:71).
Kandungan teks SMMD bukan sekedar penjelasan mengenai prosesi ibadah haji, tapi juga kritik terhadap pengikut tarekat Syattariyah di Ulakan. Misalnya, Syekh Daud mengeritik paham Martabat Tujuh yang katanya sudah tertegah di negeri Mekah, kitab-kitabnya sudah dibuang, dan para muftinya sudah dilarang (bait 305 & 306). Dalam SMMD jelas pula terefleksi afiliasi pemikiran Syekh Daud dengan gerakan pembaharuan yang dilancarkan kaum Wahabi di tanah Arab, yang juga sudah tersebar di Minangkabau melalui gerakan Paderi. Ia juga menekankan pentingnya menuntut berbagai ilmu keislaman selama seorang jemaah haji Melayu berada di Mekah untuk menghindari sikap taklid dalam beragama. SMMD adalah wacana tandingan Syekh Daud untuk melawan Tuanku Syekh Lubuak Ipuah. Syekh Daud mengeritik guru-guru kaum ortodoks yang kerap ‘menyesatkan’ murid-murid mereka. Dalam bait 308, misalnya, kiritiknya itu terasa cukup keras :
Ilmu yang salah banyak sekarang Sebab muftinya tiada terang
Setengah iktikad tiada sembahyang
Menjadi kafir Walanda Padang
Bait bersayap: mungkin maksudnya orang Belanda yang tinggal di Padang, tapi bisa juga Kaum Adat yang membantu Belanda melawan kaum Paderi (Bait ini sudah dihilangkan—disensor?—dalam edisi-edisi litografi SMMD yang terbit di Singapura). SMMD sangat digemari oleh pengikut tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau (Schrieke 1973). Boleh jadi syair ini telah dijadikan teks legitimasi oleh golongan pembaharu dalam melancarkan kritik mereka kepada pengikut tarekat Syattariyah yang berbasis di Ulakan. Menariknya, edisi-edisi litografi SMMD telah diperjualbelikan sebagai kitab ‘manasik haji’ menyusul peran penting yang dimainkan Singapura sebagai pusat embarkasi haji utama di Nusantara memasuki paroh kedua abad ke-19. Hal ini tentu saja mendatangkan keuntungan bagi penerbitnya (Wieringa 2006). SMMD juga mengandung peringatan agar orang menjaga kelakuan selama menunaikan ibadah, juga kritik terhadap orang-orang yang pergi naik haji untuk tujuan berdagang atau hanya terdorong oleh “kasad [niat] karena puji”. Dengan membaca SMMD dan kisah hidup Syekh Daud, kita dapat memahami kenapa sampai sekarang Sunur dan Lubuak Ipuah di Pariaman bertikai 2-3 hari dalam memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan. Sebagai pencipta pertama kitab ‘manasik haji’ dalam Bahasa Melayu, nama Syekh Daud, pengarang SMMD yang terkenal itu, mungkin perlu diabadikan oleh masyarakat Pariaman atau Minangkabau pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar