Oleh : Muhammad Ilham
Ibrahim al-Khalidi termasuk salah seorang ulama ”garis depan” dalam menyebarkan tareqat Naqsyabandiah-Khalidiyah (Martin van Bruinessen)
Menurut salah satu sumber, Syekh Ibrahim al-Khalidi (selanjutnya disebut Ibrahim) lahir pada tahun 1804 M. di Kampung Sawah Laweh Kecamatan Bonjol Kabupaten Pasaman sekarang. Nama lengkapnya adalah Abdul Wahab Ibrahim al-Khalidi bin Pahat bin Lindungdung. Gelar al-Khalidi diperoleh Ibrahim sebagai pemberian gurunya pada sebuah sekte tareqat naqsyabandiah Khalidiyah setelah memperoleh ijazah dari gurunya di Jabal Kubis Mekkah.Ada dinisbahkan kepada nama gurunya, Khalid Kurdi. Ayah dan ibunya berasal dari keluarga sederhana. Ibunya bernama Putri Asa (Sari Aso) yang kawin dengan Pahat. Mereka memiliki empat orang anak, masing-masing Ibrahim al-Khalidi, Haji Abdullah, Haji Muhammad dan Siti Zahara. Ibrahim al-Khalidi bersuku Melayu dan saat sekarang ini, keturunan Melayu dari pihak Ibrahim al-Khalidi telah berkembang di Kumpulan. juga pendapat yang mengatakan bahwa al-Khalidi pada nama Ibrahim tersebut adalah yang Berdasarkan data-data diperoleh, keluarga Ibrahim al-Khalidi diasumsikan berasal dari Pagaruyung. Masa kecil yang dilalui oleh Ibrahim al-Khalidi seluruhnya berada di kampung halamannya, Kumpulan. Masa-masa kecilnya tersebut dilaluinya seperti masa-masa kecil orang-orang lainnya di Kumpulan pada masa itu. Namun yang jelas, Ibrahim al-Khalidi sejak kecil dikenal sebagai pribadi yang memiliki kemauan keras untuk maju, pribadi yang mudah beradaptasi dan mudah bergaul dengan kawan-kawannya. Sebagaimana halnya tradisi-kultural Minangkabau, pada masa Ibrahim al-Khalidi kecil, surau menjadi tempatnya bersama-sama dengan dengan kawan-kawannya untuk melakukan interaksi intelektual-kultural dan social. Ibrahim al-Khalidi melewati masa kecilnya tersebut secara normal menurut ukuran tempat dan kecenderungan nilai social pada masanya tersebut dan tidak ditemukan catatan-catatan “hitam” masa kecilnya.
Ketika Ibrahim al-Khalidi menginjak remaja, keinginannya untuk menuntut ilmu pengetahuan dan menambah wawasan semakin kuat. Kumpulan – dengan segala dinamika surau dan masyarakatnya – bagi beliau terlampau sederhana, beliau ingin keluar dari ”in-group”-nya untuk menambah wawasan, ilmu dan sudut pandangnya. Keinginannya yang kuat tersebut terlihat ketika beliau berusia 15 tahun, ia berangkat ke Kenagarian Pasir Laweh Agam untuk belajar pada salah seorang murid Syekh Burhanuddin Ulakan. Di Surau murid Syekh Burhanuddin ini, Ibrahim al-Khalidi belajar ilmu agama dengan murid Syekh Burhanuddin tersebut (tidak didapatkan keterangan nama murid Syekh Burhanuddin Ulakan tempat Ibrahim al-Khalidi belajar ini). Ibrahim al-Khalidi belajar di Surau tersebut menghabiskan waktu lebih kurang 25 tahun, dengan tentunya diselingi pulang-pergi Kumpulan-Agam. Disamping di surau murid Syekh Burhanuddin ini, Ibrahim al-Khalidi juga belajar tentang ajaran ilmu syari’at Islam mazhab Syafii di Cangking Empat Angkat Canduang.
Selain belajar di luar Kumpulan, Ibrahim al-Khalidi juga belajar pada Syekh Muhammad Said di Padang Bubus Bonjol. Dengan ulama inilah, untuk kali pertamanya Ibrahim al-Khalidi belajar tentang tareqat, hakikat dan ma’rifat. Selanjutnya, ketika beliau pergi menunaikan ibadah haji, Ibrahim al-Khalidi menetap di Mekkah ini selama 7 tahun dan belajar dengan beberapa orang ulama disana, salah satunya beliau belajar pada Maulana Syekh Khalid Kurdi di Jabal Qubis. Tidak didapatkan keterangan, nama-nama ulama tempat beliau belajar di Mekkah tersebut selain Khalid Kurdi tersebut. Bersama Syekh Khalid Kurdi ini, Ibrahim al-Khalidi menamatkan pelajarannya dan memperoleh ijazah serta mendapat gelar Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi. Sekembalinya beliau dari Mekkah, ia kemudian menikah. Ibrahim al-Khalidi memiliki beberapa orang istri dan anak. Istri pertamanya bersala dari daerah Sawah Laweh (tidak didapatkan data tentang nama istrinya ini). Pernikahannya dengan istri pertamanya ini, Ibrahim al-Khalidi memiliki satu orang anak. Istri keduanya berasal dari Kampung Hangus, Aminah namanya. Dengan istrinya ini, Ibrahim al-Khalidi tidak memiliki anak. Sementara istri ketiga dan keempatnya, berasal dari daerah Simpang dan Lubuk Sikaping. Tidak diketahui nama-nama istri ke tiga dan ke empat Ibrahim al-Khalidi.
Ibrahim al-Khalidi meninggal dunia pada tahun 1914 M. Bertepatan pada tanggal 21 Zulqa’edah 1335 H. Beliau meninggal dalam usia yang sangat tua, lebih 100 tahun, setelah menderita sakit selama lebih kurang 15 hari. Sewaktu beliau meninggal dunia, Kampung Koto Tuo penuh sesak oleh masyarakat, dari hampir seluruh lapisan, bahkan tidak hanya berasal dari Kumpulan saja. Menurut sahibul hikayat, ketika hari Ibrahim al-Khalidi meninggal dunia, di Kumpulan penuh dengan kabut-kabut putih dan kupu-kupu kuning. Cukup membuat masyarakat Kumpulan terkejut dan tercengang dengan fenomena alam yang terjadi ini. Namun umumnya, masyarakat Kumpulan menganggap bahwa fenomena alam tersebut memiliki korelasi dengan meninggalnya Ibrahim al-Khalidi. Setelah berlalu selama lebih kurang 40 hari, kabut putih dan kupu-kupu kuning tersebut menghilang. Ibrahim al-Khalidi dimakamkan di sebelah Barat mihrab Surau Batu sesuai dengan wasiatnya sebelum beliau meninggal dunia. Sampai saat sekarang, makam Ibrahim al-Khalidi masih sering diziarahi oleh masyarakat banyak, baik yang berasal dari Pasaman maupun dari luar Pasaman.
Sekembalinya Ibrahim al-Khalidi dari menuntut ilmu di Mekkah, beliau kembali ke kampung halamannya di Kumpulan. Di kampung halamannya yang telah ditinggalkan dalam waktu yang cukup lama untuk menuntut ilmu agama di Mekkah ini, Ibrahim al-Khalidi melihat kondisi sosial kegamaan sangat memprihatinkan. Kehidupan masyarakat Kumpulan pada masa itu familiar dengan kebiasaan-kebiasaan maksiat seperti bermain judi, menyabung ayam, menghisap madat, mabuk-mabukkan dan lain sebagainya. Beberapa kegiatan-kegiatan maksiat ini ”seakan-akan” memiliki justifikasi dan legitimasi sejarah dan adat Minangkabau. Kondisi ini yang kemudian membuat Ibrahim al-Khalidi merasa terpanggil untuk mengajak masyarakat Kumpulan meninggalkan tradisi yang bertentangan dengan ajaran agama Islam tersebut. Disamping beberapa tradisi yang berpotensi maksiat tersebut, Ibrahim al-Khalidi juga menemukan masih banyaknya pemahaman-pemahaman mistik-bid’ah yang ditemui Ibrahim al-Khalidi di kampung halamannya ini. Salah seorang generasi keempat Ibrahim al-Khalidi, Haji Nasrul mengatakan bahwa kondisi masyarakat Kumpulan yang pada saat Ibrahim al-Khalidi pulang dari Mekkah – dan ini diasumsikan juga terjadi pada masa sebelum beliau lahir dan sebelum beliau keluar dari Kumpulan untuk menuntut ilmu agama – sangat mengkhawatirkan. Kondisi ini membuat Ibrahim al-Khalidi merasa terpanggil untuk “meluruskan” dan memberikan pencerahan kepada masyarakat di Kumpulan tersebut. Langkah pertama yang dilakukannya adalah mendirikan institusi sebagai tempat beliau beraktifitas. Ibrahim al-Khalidi mendirikan surau yang kemudian beliau beri nama Surau Kaciak, sesuai dengan bentuk dan besarnya yang masih bersifat seadanya. Dari surau inilah, Ibrahim al-Khalidi mulai mengajak masyarakat Kumpulan kembali mempedomani al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Keberadaan Ibrahim al-Khalidi di Kumpulan dengan Surau Kaciak-nya ini, kemudian “didengar” oleh masyarakat lainnya di luar Kumpulan. Karena pertimbangan kapasitas kepribadian dan keilmuan Ibrahim al-Khalidi yang cukup tinggi dan bagus pada masa itu, membuat banyak orang yang ingin belajar padanya. Makin lama, Surau Kaciak semakin banyak dikunjungi orang. Keadaan seperti terus berlangsung dari hari ke hari untuk waktu yang lama. Mengingat banyak orang-orang yang berdatangan dari Pauah Datar, Agam, Palembayan, Talu, Tapanuli, Mandahiling dan daerah-daerah lainnya untuk belajar pada Ibrahim al-Khalidi, membuat Surau Kaciak tidak bisa lagi menampung para pelajar ini. Akhirnya atas inisiatif Ibrahim al-Khalidi dengan dibantu para murid dan masyarakat, memperlebar Surau Kaciak tersebut.
Beliau juga dianggap sebagai ulama yang memiliki pengaruh cukup signifikan dalam menyebarkan ajaran Islam di daerah Batak-Mandahiling, disamping Syekh Abdul Wahab Rokan. Ajaran tareqat naqsyabandiah yang dikembangkan oleh Ibrahim al-Khalidi di kUmpulan tidak lebih dari untuk peningkatan kualitas kepribadian dan keberagamaan masyarakat Kumpulan yang ada saat itu masih memakai praktek-praktek ritual agama yang dekat dengan ”bid’ah” dan memiliki potensi syirik. Disamping itu, keinginan Ibrahim al-Khalidi untuk mengembangkan tareqat untuk kali pertamanya di daerah Kumpulan ini adalh untuk menjadi ”wadah perekat” (silaturrahim) antar anggota yang nantinya justru memiliki imbas pada masyarakat.
Ibrahim al-Khalidi termasuk generasi awal penyebar tareqat nagsyabandiah di Minangkabau. Melalui tareqat naqsyabandiah yang diajarkannya kepada para murid-muridnya tersebut, cukup memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan Islam, khususnys tareqat naqsyabandiah di Minangkabau dan diluar Minangkabau. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari ”diaspora” ajaran Ibrahim al-Khalidi yang dibawa oleh para murid-muridnya ke daerah mereka masing-masing. Di Surau Kaciak-nya, Ibrahim al-Khalidi membina para murid-muridnya sebagai pendakwah Islam dengan mengajarkan juga beberapa ilmu ke-Islaman seperti nahwu, sharaf, balaghah, mantiq dan tasawuf. Dan yang paling utama sekali adalah Ibrahim al-Khalidi mengajarkan para murid-muridnya untuk menjadi guru tareqat naqsyabandiah kelak. Jadi tidaklah mengherankan apabila beberapa peneliti – khususnya peneliti mengenai sejarah tareqat di Indonesia – menganggap Ibrahim al-Khalidi sebagai penyebar tareqat naqsyabandiah yang sangat kontributif di Indonesia. Hal ini tidak bisa kita lepaskan dari ”jas” beliau mengkondisikan dan menciptakan kader-kader (murid) beliau yang nantinya menjadi ”mata rantai” potensial dalam menyebarkan ajaran tareqat naqsyabandiah, terutama di daerah mereka masing-masing.
Ibrahim al-Khalidi bukan hanya dikenal sebagai ulama yang selalu berkutat di “menara gading” surau-nya saja. Ibrahim al-Khalidi juga dikenal sebagai seorang ulama yang ikut melakukan perlawanan serius terhadap penjajah kolonial Belanda. Pada masa akhir abad ke-XVIII dan XIX M. Kumpulan pernah menjadi tempat ataupun pusat kegiatan-kegiatan politik Tuanku Nan Barampek (Tuanku Nan Hitam, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Khalwat dan Tuanku Nan Gapuak). Mereka ini dianggap sebagai simbol perjuangan politik masyarakat Kumpulan – Pasaman secara umum – terhadap dominasi penjajah kolonial Belanda. Ibrahim al-Khalidi turut mendukung perjuangan menolak dominasi penjajah kolonial Belanda ini. Ibrahim al-Khalidi mengerahkan para pengikutnya untuk mem-backup perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Bahkan Tuanku Imam Bonjol pernah menyuruh Ibrahim al-Khalidi menanam ranjau (tidak ada keterangan bentuk ranjau, mungkin ranjau konvensional-sangat sederhana) di jalan tempat yang akan dilalui oleh tentara Belanda di Bukit Talang Kenagarian Limo Koto.
Pemasangan ranjau ini dilakukan Ibrahim al-Khalidi bersama-sama dengan murid-muridnya dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Selama melakukan kegiatan memasang ranjau ini, Ibrahim al-Khalidi dan para murid-muridnya ini membawa bekal (beras). Ini menunjukkan keseriusan dan keikhlasan Ibrahim al-Khalidi mendukung perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam menentang penjajah Belanda. Namun tidak didapatkan sumber tertulis, apakah Ibrahim al-Khalidi turut serta dalam perang ”fisik-frontal” melawan Belanda. Namun, kontribusi Ibrahim al-Khalidi terhadap perjuangan Tuanku Imam Bonjol dianggap signifikan. Ibrahim al-Khalidi juga sering melakukan interaksi dengan Tuanku Imam Bonjol. Perintah Tuanku Imam Bonjol pada Ibrahim al-Khalidi untuk memasang ranjau-ranjau disepanjang jalan yang berpotensi dilalui oleh tentara Belanda menunjukkan bahwa Tuanku Imam Bonjol telah memiliki kepercayaan terhadap Ibrahim al-Khalidi dan ini berarti, kepercayaan tersebut pasti tumbuh dan berkembang setelah melalui proses interaksi yang cukup intens-kontiniu antara Ibrahim al-Khalidi dengan Tuanku Imam Bonjol.
Ibrahim al-Khalidi memiliki banyak murid, diantaranya terdapat beberapa nama yang dianggap sebagai ulama tareqat naqsyabandiah yang sangat berpengaruh pada di tempat mereka masing-masing. Bahkan ada beberapa orang muridnya kemudian dikenal sebagai ”mata rantai penyebar” tareqat naqsyabandiah di Sumatera Barat dan diluar Sumatera Barat dikemudian hari. Diantara murid-murid beliau tersebut antara lain : Syekh Syahbuddin dari daerah Tapanuli Sumatera Utara, Syekh Ismail dari Pasir Pangaraiyan Riau, Syekh Muhammad Basir dari Lubuk Landur Pasaman, Syekh Hasanuddin dari Bayur Maninjau Agam, Syekh Yunus Tuanku Sasak dari Pasaman, Syekh Abdullah dari Sarasah Talu Pasaman, Syekh Mudo dari Durian Tibarau Kinali Pasaman, dan Syekh Haji Muhammad Nur dari Baruah Gunung 50 Kota, Syekh Daud dari Durian Gunjo Malampah Pasaman, Syekh Abdul Jabbar dari Kumpulan Bonjol Pasaman, Syekh Ahmad dari Agam, Syekh Muhammad Sa’id dari Bonjol, Syekh Abdurrahman bin Syekh Hussein dari Kuran-Kuran Agam, serta Syekh Muhammad Zen Alahan Mati dari Kumpulan Pasaman.
Sumber utama : Hendra Bakti (1999)
Ibrahim al-Khalidi termasuk salah seorang ulama ”garis depan” dalam menyebarkan tareqat Naqsyabandiah-Khalidiyah (Martin van Bruinessen)
Menurut salah satu sumber, Syekh Ibrahim al-Khalidi (selanjutnya disebut Ibrahim) lahir pada tahun 1804 M. di Kampung Sawah Laweh Kecamatan Bonjol Kabupaten Pasaman sekarang. Nama lengkapnya adalah Abdul Wahab Ibrahim al-Khalidi bin Pahat bin Lindungdung. Gelar al-Khalidi diperoleh Ibrahim sebagai pemberian gurunya pada sebuah sekte tareqat naqsyabandiah Khalidiyah setelah memperoleh ijazah dari gurunya di Jabal Kubis Mekkah.
Ketika Ibrahim al-Khalidi menginjak remaja, keinginannya untuk menuntut ilmu pengetahuan dan menambah wawasan semakin kuat. Kumpulan – dengan segala dinamika surau dan masyarakatnya – bagi beliau terlampau sederhana, beliau ingin keluar dari ”in-group”-nya untuk menambah wawasan, ilmu dan sudut pandangnya. Keinginannya yang kuat tersebut terlihat ketika beliau berusia 15 tahun, ia berangkat ke Kenagarian Pasir Laweh Agam untuk belajar pada salah seorang murid Syekh Burhanuddin Ulakan. Di Surau murid Syekh Burhanuddin ini, Ibrahim al-Khalidi belajar ilmu agama dengan murid Syekh Burhanuddin tersebut (tidak didapatkan keterangan nama murid Syekh Burhanuddin Ulakan tempat Ibrahim al-Khalidi belajar ini). Ibrahim al-Khalidi belajar di Surau tersebut menghabiskan waktu lebih kurang 25 tahun, dengan tentunya diselingi pulang-pergi Kumpulan-Agam. Disamping di surau murid Syekh Burhanuddin ini, Ibrahim al-Khalidi juga belajar tentang ajaran ilmu syari’at Islam mazhab Syafii di Cangking Empat Angkat Canduang.
Selain belajar di luar Kumpulan, Ibrahim al-Khalidi juga belajar pada Syekh Muhammad Said di Padang Bubus Bonjol. Dengan ulama inilah, untuk kali pertamanya Ibrahim al-Khalidi belajar tentang tareqat, hakikat dan ma’rifat. Selanjutnya, ketika beliau pergi menunaikan ibadah haji, Ibrahim al-Khalidi menetap di Mekkah ini selama 7 tahun dan belajar dengan beberapa orang ulama disana, salah satunya beliau belajar pada Maulana Syekh Khalid Kurdi di Jabal Qubis. Tidak didapatkan keterangan, nama-nama ulama tempat beliau belajar di Mekkah tersebut selain Khalid Kurdi tersebut. Bersama Syekh Khalid Kurdi ini, Ibrahim al-Khalidi menamatkan pelajarannya dan memperoleh ijazah serta mendapat gelar Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi. Sekembalinya beliau dari Mekkah, ia kemudian menikah. Ibrahim al-Khalidi memiliki beberapa orang istri dan anak. Istri pertamanya bersala dari daerah Sawah Laweh (tidak didapatkan data tentang nama istrinya ini). Pernikahannya dengan istri pertamanya ini, Ibrahim al-Khalidi memiliki satu orang anak. Istri keduanya berasal dari Kampung Hangus, Aminah namanya. Dengan istrinya ini, Ibrahim al-Khalidi tidak memiliki anak. Sementara istri ketiga dan keempatnya, berasal dari daerah Simpang dan Lubuk Sikaping. Tidak diketahui nama-nama istri ke tiga dan ke empat Ibrahim al-Khalidi.
Ibrahim al-Khalidi meninggal dunia pada tahun 1914 M. Bertepatan pada tanggal 21 Zulqa’edah 1335 H. Beliau meninggal dalam usia yang sangat tua, lebih 100 tahun, setelah menderita sakit selama lebih kurang 15 hari. Sewaktu beliau meninggal dunia, Kampung Koto Tuo penuh sesak oleh masyarakat, dari hampir seluruh lapisan, bahkan tidak hanya berasal dari Kumpulan saja. Menurut sahibul hikayat, ketika hari Ibrahim al-Khalidi meninggal dunia, di Kumpulan penuh dengan kabut-kabut putih dan kupu-kupu kuning. Cukup membuat masyarakat Kumpulan terkejut dan tercengang dengan fenomena alam yang terjadi ini. Namun umumnya, masyarakat Kumpulan menganggap bahwa fenomena alam tersebut memiliki korelasi dengan meninggalnya Ibrahim al-Khalidi. Setelah berlalu selama lebih kurang 40 hari, kabut putih dan kupu-kupu kuning tersebut menghilang. Ibrahim al-Khalidi dimakamkan di sebelah Barat mihrab Surau Batu sesuai dengan wasiatnya sebelum beliau meninggal dunia. Sampai saat sekarang, makam Ibrahim al-Khalidi masih sering diziarahi oleh masyarakat banyak, baik yang berasal dari Pasaman maupun dari luar Pasaman.
Sekembalinya Ibrahim al-Khalidi dari menuntut ilmu di Mekkah, beliau kembali ke kampung halamannya di Kumpulan. Di kampung halamannya yang telah ditinggalkan dalam waktu yang cukup lama untuk menuntut ilmu agama di Mekkah ini, Ibrahim al-Khalidi melihat kondisi sosial kegamaan sangat memprihatinkan. Kehidupan masyarakat Kumpulan pada masa itu familiar dengan kebiasaan-kebiasaan maksiat seperti bermain judi, menyabung ayam, menghisap madat, mabuk-mabukkan dan lain sebagainya. Beberapa kegiatan-kegiatan maksiat ini ”seakan-akan” memiliki justifikasi dan legitimasi sejarah dan adat Minangkabau. Kondisi ini yang kemudian membuat Ibrahim al-Khalidi merasa terpanggil untuk mengajak masyarakat Kumpulan meninggalkan tradisi yang bertentangan dengan ajaran agama Islam tersebut. Disamping beberapa tradisi yang berpotensi maksiat tersebut, Ibrahim al-Khalidi juga menemukan masih banyaknya pemahaman-pemahaman mistik-bid’ah yang ditemui Ibrahim al-Khalidi di kampung halamannya ini. Salah seorang generasi keempat Ibrahim al-Khalidi, Haji Nasrul mengatakan bahwa kondisi masyarakat Kumpulan yang pada saat Ibrahim al-Khalidi pulang dari Mekkah – dan ini diasumsikan juga terjadi pada masa sebelum beliau lahir dan sebelum beliau keluar dari Kumpulan untuk menuntut ilmu agama – sangat mengkhawatirkan. Kondisi ini membuat Ibrahim al-Khalidi merasa terpanggil untuk “meluruskan” dan memberikan pencerahan kepada masyarakat di Kumpulan tersebut. Langkah pertama yang dilakukannya adalah mendirikan institusi sebagai tempat beliau beraktifitas. Ibrahim al-Khalidi mendirikan surau yang kemudian beliau beri nama Surau Kaciak, sesuai dengan bentuk dan besarnya yang masih bersifat seadanya. Dari surau inilah, Ibrahim al-Khalidi mulai mengajak masyarakat Kumpulan kembali mempedomani al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Keberadaan Ibrahim al-Khalidi di Kumpulan dengan Surau Kaciak-nya ini, kemudian “didengar” oleh masyarakat lainnya di luar Kumpulan. Karena pertimbangan kapasitas kepribadian dan keilmuan Ibrahim al-Khalidi yang cukup tinggi dan bagus pada masa itu, membuat banyak orang yang ingin belajar padanya. Makin lama, Surau Kaciak semakin banyak dikunjungi orang. Keadaan seperti terus berlangsung dari hari ke hari untuk waktu yang lama. Mengingat banyak orang-orang yang berdatangan dari Pauah Datar, Agam, Palembayan, Talu, Tapanuli, Mandahiling dan daerah-daerah lainnya untuk belajar pada Ibrahim al-Khalidi, membuat Surau Kaciak tidak bisa lagi menampung para pelajar ini. Akhirnya atas inisiatif Ibrahim al-Khalidi dengan dibantu para murid dan masyarakat, memperlebar Surau Kaciak tersebut.
Beliau juga dianggap sebagai ulama yang memiliki pengaruh cukup signifikan dalam menyebarkan ajaran Islam di daerah Batak-Mandahiling, disamping Syekh Abdul Wahab Rokan. Ajaran tareqat naqsyabandiah yang dikembangkan oleh Ibrahim al-Khalidi di kUmpulan tidak lebih dari untuk peningkatan kualitas kepribadian dan keberagamaan masyarakat Kumpulan yang ada saat itu masih memakai praktek-praktek ritual agama yang dekat dengan ”bid’ah” dan memiliki potensi syirik. Disamping itu, keinginan Ibrahim al-Khalidi untuk mengembangkan tareqat untuk kali pertamanya di daerah Kumpulan ini adalh untuk menjadi ”wadah perekat” (silaturrahim) antar anggota yang nantinya justru memiliki imbas pada masyarakat.
Ibrahim al-Khalidi termasuk generasi awal penyebar tareqat nagsyabandiah di Minangkabau. Melalui tareqat naqsyabandiah yang diajarkannya kepada para murid-muridnya tersebut, cukup memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan Islam, khususnys tareqat naqsyabandiah di Minangkabau dan diluar Minangkabau. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari ”diaspora” ajaran Ibrahim al-Khalidi yang dibawa oleh para murid-muridnya ke daerah mereka masing-masing. Di Surau Kaciak-nya, Ibrahim al-Khalidi membina para murid-muridnya sebagai pendakwah Islam dengan mengajarkan juga beberapa ilmu ke-Islaman seperti nahwu, sharaf, balaghah, mantiq dan tasawuf. Dan yang paling utama sekali adalah Ibrahim al-Khalidi mengajarkan para murid-muridnya untuk menjadi guru tareqat naqsyabandiah kelak. Jadi tidaklah mengherankan apabila beberapa peneliti – khususnya peneliti mengenai sejarah tareqat di Indonesia – menganggap Ibrahim al-Khalidi sebagai penyebar tareqat naqsyabandiah yang sangat kontributif di Indonesia. Hal ini tidak bisa kita lepaskan dari ”jas” beliau mengkondisikan dan menciptakan kader-kader (murid) beliau yang nantinya menjadi ”mata rantai” potensial dalam menyebarkan ajaran tareqat naqsyabandiah, terutama di daerah mereka masing-masing.
Ibrahim al-Khalidi bukan hanya dikenal sebagai ulama yang selalu berkutat di “menara gading” surau-nya saja. Ibrahim al-Khalidi juga dikenal sebagai seorang ulama yang ikut melakukan perlawanan serius terhadap penjajah kolonial Belanda. Pada masa akhir abad ke-XVIII dan XIX M. Kumpulan pernah menjadi tempat ataupun pusat kegiatan-kegiatan politik Tuanku Nan Barampek (Tuanku Nan Hitam, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Khalwat dan Tuanku Nan Gapuak). Mereka ini dianggap sebagai simbol perjuangan politik masyarakat Kumpulan – Pasaman secara umum – terhadap dominasi penjajah kolonial Belanda. Ibrahim al-Khalidi turut mendukung perjuangan menolak dominasi penjajah kolonial Belanda ini. Ibrahim al-Khalidi mengerahkan para pengikutnya untuk mem-backup perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Bahkan Tuanku Imam Bonjol pernah menyuruh Ibrahim al-Khalidi menanam ranjau (tidak ada keterangan bentuk ranjau, mungkin ranjau konvensional-sangat sederhana) di jalan tempat yang akan dilalui oleh tentara Belanda di Bukit Talang Kenagarian Limo Koto.
Pemasangan ranjau ini dilakukan Ibrahim al-Khalidi bersama-sama dengan murid-muridnya dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Selama melakukan kegiatan memasang ranjau ini, Ibrahim al-Khalidi dan para murid-muridnya ini membawa bekal (beras). Ini menunjukkan keseriusan dan keikhlasan Ibrahim al-Khalidi mendukung perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam menentang penjajah Belanda. Namun tidak didapatkan sumber tertulis, apakah Ibrahim al-Khalidi turut serta dalam perang ”fisik-frontal” melawan Belanda. Namun, kontribusi Ibrahim al-Khalidi terhadap perjuangan Tuanku Imam Bonjol dianggap signifikan. Ibrahim al-Khalidi juga sering melakukan interaksi dengan Tuanku Imam Bonjol. Perintah Tuanku Imam Bonjol pada Ibrahim al-Khalidi untuk memasang ranjau-ranjau disepanjang jalan yang berpotensi dilalui oleh tentara Belanda menunjukkan bahwa Tuanku Imam Bonjol telah memiliki kepercayaan terhadap Ibrahim al-Khalidi dan ini berarti, kepercayaan tersebut pasti tumbuh dan berkembang setelah melalui proses interaksi yang cukup intens-kontiniu antara Ibrahim al-Khalidi dengan Tuanku Imam Bonjol.
Ibrahim al-Khalidi memiliki banyak murid, diantaranya terdapat beberapa nama yang dianggap sebagai ulama tareqat naqsyabandiah yang sangat berpengaruh pada di tempat mereka masing-masing. Bahkan ada beberapa orang muridnya kemudian dikenal sebagai ”mata rantai penyebar” tareqat naqsyabandiah di Sumatera Barat dan diluar Sumatera Barat dikemudian hari. Diantara murid-murid beliau tersebut antara lain : Syekh Syahbuddin dari daerah Tapanuli Sumatera Utara, Syekh Ismail dari Pasir Pangaraiyan Riau, Syekh Muhammad Basir dari Lubuk Landur Pasaman, Syekh Hasanuddin dari Bayur Maninjau Agam, Syekh Yunus Tuanku Sasak dari Pasaman, Syekh Abdullah dari Sarasah Talu Pasaman, Syekh Mudo dari Durian Tibarau Kinali Pasaman, dan Syekh Haji Muhammad Nur dari Baruah Gunung 50 Kota, Syekh Daud dari Durian Gunjo Malampah Pasaman, Syekh Abdul Jabbar dari Kumpulan Bonjol Pasaman, Syekh Ahmad dari Agam, Syekh Muhammad Sa’id dari Bonjol, Syekh Abdurrahman bin Syekh Hussein dari Kuran-Kuran Agam, serta Syekh Muhammad Zen Alahan Mati dari Kumpulan Pasaman.
Sumber utama : Hendra Bakti (1999)
Saya tertarik membaca tulisan ini, walaupun faktanya agak kurang lengkap. seperti syaikh Abd Rahman itu adalah cucu Syaikh Maulana Ibrahim. Begitu juga Syaikh Muhammad Zain, yang dikatakan di Ahalan Mati, sebenarnya adalah di Kampung Tanjung Medan, Nagari Simpang, juga cucu beliau bahkan cucu yang paling beliau sayangi, yang beliau suruh ke Makkah pada tahun 09. Sekarang pewaris beliau di Kumpulan ialah Hj. Abu Bakar Tuanku Saidina Ibrahim. Abu Bakar adalah cicit beliau, ayahnya bernama Hj. Abd Latif, adik Syaikh Abd Rahman, Kuran-kuran.
BalasHapusAssalamu'alaikum , mohon tuan di papar kan yang lebih jelas silsilah rohani nenek Maulana Syekh Ibrahim kumpulan, trims
BalasHapusAsslm. Saudara Ilham.....,tahun lahir 1754 bukan 1804
BalasHapusAssalamualaikum warohmatullaah.
BalasHapusMohon info tuan2, ado yang tau no telpon syekh Abu bakar?
Terimokasih sabalnyo.
Salam