Minggu, 10 Januari 2010

Perkembangan Sufisme di Minangkabau


Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syathariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat ini kemudian muncul di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau.
Diantaranya yang utama adalah Kapeh-Kapeh, Pamansiangan, Koto Tuo Cangking, Koto Tuo Empat Koto dan lain-lain (Sanusi Lathief, 1988). Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ini menarik untuk dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan.

Perkembangan ini memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syathariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis baru keislaman. Sintesis baru itu sangat mungkin merupakan akibat pertemuan Syathariah dengan tradisi keislaman --yang sebenarnya-- telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, antara lain pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat yang disebut terakhir ini juga telah memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri . Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syathariyah, maupun Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tashauf dengan menekankan pentingnya syari’ah (Azra, 1995;288) dan tidak terdapat indikasi bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang ditinggalkan oleh kedua aliran tashauf ini tidak hanya berisikan ajaran tashauf semata, akan tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (cf. Dobbin, 1992; 151-152).

Keluasan cakupan implementasi ajaran tashauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tashauf dalam mentranformasikan inti ajaran tashauf terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Meskipun perkembangan Islam di sini, dalam perjalanannya, di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20, namun hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Dari sisi konflik keagamaan yang terjadi itu, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan polemik pemikiran keagamaan yang tertuang dalam berbagai naskah keagamaan yang tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa aliran tashauf dalam bentuk tarikat paling awal masuk ke Minangkabau adalah pada paruh pertama abad ke 17, yaitu tarikat Naqsyabandiyah kemudian menyusul tarikat Syatariyah pada paruh kedua abad ke 17. Tarikat yang disebut terakhir dibawa oleh Syekh Burhanuddin ke Ulakan, pesisir barat Sumatera Barat, tepatnya pada tahun 1070 H./1659 M. Pada waktu ini, sebenarnya, Islam sudah dikenal secara umum di Minangkabau dan sudah menjadi anutan masyarakat, meski praktek pengamalan ajaran Islam tidak merata di seluruh nagari dan masih saja terdapat praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dari beberapa fakta yang ditemukan, diketahui bahwa setidaknya pada awal abad ke-13 Islam sudah masuk di Minangkabau timur yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab yang lalu lalang di sekitar selat Malaka dan menyusuri sungai-sungai di dataran pesisir timur Sumatera. Salah seorang muballigh Islam yang berperan dalam proses konversi Islam tahap awal ini adalah Syekh Burhanuddin Kuntu. Diperkirakan dari wilayah timur inilah Islam pertama kali diperkenalkan ke wilayah pusat Minangkabau .

Bagaimana perkembangan Islam di Minangkabau pada abad-abad sesudah abad ke-13, tidak banyak bukti-bukti tertulis primer yang dapat digunakan, selain dari beberapa sumber sekunder yang mengemukakan beberapa fakta yang dapat dijadikan dasar untuk melihat gambaran perkembangan Islam pada akhir abad ke-13, terutama di wilayah jalur perdagangan . Meskipun tidak ditemukan penjelasan yang lebih rinci tentang kegiatan islamisasi sejak waktu ini hingga masuknya aliran sufi pada abad ke-17, namun diketahui beberapa bentuk kegiatan penyebaran Islam yang dilakukan oleh mubaligh Minangkabau ke luar wilayah Minangkabau sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rajo Bagindo, seorang bangsawan Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Midanao dan Sulu, Pilipina selatan, dan Syekh Ahmad yang mengembangkan Islam di Negeri Sembilan pada tahun 1467 . Baru pada awal abad ke-17 (1605) diketahui pula tentang tiga orang penyebar Islam di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan Abdul Makmur Chatib Tunggal (Datuk Ribandang), Khatib Sulaiman (Datuk Patimang), dan Khatib Bungsu (Datuk Ri Tiro).

Setidaknya ada tiga aliran tashauf yang berkembang di Minangkabau, yaitu Syathariyah, Naqsyabandiyah dan Samaniyah. Diantara ketiga aliran ini maka aliran Syathariyah adalah yang paling mudah ditelusuri sejarahnya di Minangkabau. Dalam banyak sumber disebutkan bahwa thariqat ini pertama kali dibawa ke Minangkabau oleh Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman pada tahun 1659 setelah ia mempelajarinya dari Syekh Abdur Rauf Singkil, murid Syekh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan banyak dikunjungi oleh murid-murid yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau untuk belajar, dan setelah menamatkan pelajaran, mereka kembali ke daerahnya masing-masing untuk meneruskan pengajaran yang diberikan Syekh Burhanuddin. Salah seorang murid Syekh Burhanuddin yang paling dikenal dalam pengembangan ajaran Syathariah di wilayah pedalaman Minangkabau ialah Tuanku Nan Tuo di Mansiang dan kemudian dilanjutkan oleh anaknya Tuanku Mansiang.

Tarikat Naqsyabandiah, diperkirakan sudah lebih dulu masuk ke Minangkabau dibanding dengan Syathariyah, namun jaringan pengembangannya tidak banyak diberitakan. BJO Schrieke (1973) menyebut tentang Syekh Ismail Simabur sebagai syekh Naqsyabandiyah pertama di Minangkabau. Menurutnya, Syekh Ismail menyebarkan tarikat ini kira-kira pertengahan abad ke 19. Schrieke juga menerangkan tentang beberapa nama ulama yang melanjutkan penyebaran tarikat ini, diantaranya Syekh Jalaluddin Faqih Shagir, Cangking (w. 1870) dan Syekh Abdul Wahab Kumpulan (w.1915). Akan tetapi berbeda dengan Schrieke, Christine Dobbin (1992) mengemukakan bahwa tarikat Naqsyabandiyah masuk ke Minangkabau pada paruh pertama abad 17 yang dibawa oleh seorang cendikiawan dari Pasai Sumatera timur laut, dan tinggal beberapa waktu di Agam dan 50 Kota. Sependapat dengan Dobbin, Azyumardi Azra (1995) dengan merujuk Ph. S. Van Ronkel, juga mengemukakan bahwa yang membawa tarikat ini adalah Jamaluddin, seorang Minangkabau yang belajar di Pasai sebelum ia melanjutkan ke Bayt Al-Faqih, Aden, Haramayn, Mesir dan India, kemudian pulang ke Minangkabau pada paruh pertama abad ke-17 M. dan aktif menyebarkan tarikat Naqsyabandiyah di kampung halamannya ini. Selanjutnya disebutkan juga bahwa Jamaluddin adalah penulis teks fiqh Naqsyabandiyah yang berjudul Lubab Al-Hidayah yang didasarkan atas ajaran Ahmad Ibn ‘Alan Al-Shiddiqi Al-Naqsyabandi.

Dari dua sumber terakhir, diperkirakan bahwa tokoh pembawa tarikat Naqsyabandiyah adalah Jamaluddin, meskipun Dobbin tidak secara eksplisit mengemukakan nama itu, bahkan menduga bahwa tokoh ini berasal dari Aceh. Berdasarkan kedua sumber ini dapat disimpulkan bahwa Tarikat Naqsyabandiyah telah berkembang dengan baik di wilayah pedalaman Minangkabau sebelum ajaran tarikat Syathariyah masuk ke wilayah ini. Hingga akhir abad ke-18 tarikat Naqsyabandiyah memperoleh tempat yang subur di wilayah pedalaman Minangkabau, karena beberapa ajarannya yang dapat diterapkan oleh masyarakat awam, apalagi guru-guru tarikat yang membaur dengan kegiatan sehari-hari masyarakat. Dobbin menjelaskan bahwa banyak guru-guru tarikat ini yang menjalani kehidupan sebagai petani biasa. Suatu perbedaan yang sangat besar dengan tradisi guru-guru Syatariyah di wilayah pesisir. Pusat-pusat tarikat Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18 di wilayah pedalaman terletak di desa-desa pertanian yang subur, seperti Taram di Lima Puluh Kota, Cangking di Agam, dan Talawi di Tanah Datar. Sedangkan tarikat Samaniyyah tidak didapatkan data yang lebih pasti tentang kedatangannya di Sumatera Barat, namun dari beberapa keterangan dari masyarakat Pasaman, tarikat ini dibawa oleh Syekh Muhammad Said Padang Bubus yang sebelumnya belajar tarikat ini di Sumatera utara. Kemudian diketahui bahwa pada akhir abad ke 19 di desa Kumango Batu Sangkar berdiri suatu perguruan tarikat Samaniyyah yang dipimpin oleh Syekh Abdurrahman al-Khalidy (w.1931). Ia mempelajari tarikat ini dari Syekh Muhammad Amin Ridhwan, murid Syekh Muhammad Samman Al-Qadiry di Madinah. Diantara murid-murid tarikat ini di Minangkabau adalah : Syekh Muda Abdul Qadim Balubus 50 Kota dan Syekh Ahmad Barulak, Tanah Datar .

Di wilayah pedalaman Minangkabau sekitar tahun 1784, tepatnya Koto Tuo sebuah desa kecil di wilayah Agam, hidup seorang ulama yang sangat disegani karena keluasan ilmu agama yang dimilikinya. Dia adalah Tuanku Nan Tuo (1723-1830). Ia mengajarkan berbagai bidang ilmu agama, mulai dari fiqh, tafsir, hadits, mantiq, ma’ani, ilmu alat (nahu dan saraf), dan lain-lain, di sebuah surau yang didirikannya di Koto Tuo Ampek Angkek Canduang. Banyak murid-murid yang datang untuk belajar ke surau Tuanku Nan Tuo ini, sehingga ilmunya menyebar ke berbagai nagari yang ada di luhak Agam dan Lima Puluh Kota. Selain kedalaman penguasaan ilmu, ia juga dikenal sebagai seorang yang zuhud dan senang berzikir. Karena itu, oleh Steijn Parve digambarkan sebagai seorang yang disamping mengajarkan ilmu hakikat yaitu ilmu tauhid, sering tenggelam dalam renungan menuju Tuhan, seakan-akan melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawi . Kesaksian Jalaluddin Faqih Shaghir (salah seorang murid Tuanku Nan Tuo) yang ia tulis sendiri dalam naskah yang berjudul Hikayat Syekh Jalaluddin (selanjutnya disebut : naskah HSJ), hampir dapat memastikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Steijn Parve itu agak berlebihan. Naskah HSJ menjelaskan tentang Tuanku Nan Tuo sebagai berikut : “.... maka terlebih sangatlah masyhur Tuanku Nan Tuo, ulama yang pengasih lagi penyayang, tempat pernaungan segala anak dagang, ikutan segala sidang imam Syari’ah Ahlussunnah dan Ahlul Jama’ah... dst” Dalam naskah HSJ lebih banyak diceritakan tentang aktifitas dakwah yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo di samping kegiatan pengajiannya di surau, juga turun langsung ke desa-desa di luar Koto Tuo, ketimbang dia sebagai seorang ahli zikir yang tidak mempedulikan hal-hal duniawi yang terjadi diseputar dirinya. Bahkan disebutkan bahwa Tuanku Nan Tuo juga menekuni aktifitas perdagangan sebagai layaknya masyarakat kebanyakan.

Pertumbuhan perdagangan produksi pertanian yang cepat pada akhir abad ke 18 di wilayah pedalaman, agaknya telah mendorong Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya melibatkan diri dalam soal-soal perdagangan, terutama menyangkut pendalaman materi ajaran yang berhubungan dengan hukum Islam yang mengatur pelaksanaan perdagangan. Beberapa kondisi telah menuntut Tuanku nan Tuo untuk mengambil jalan ini, diantaranya adalah karena pesatnya permintaan komoditi kopi, sementara tidak diiringi dengan adanya aturan-aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalin kerjasama perdagangan. Kondisi seperti ini lebih diperparah lagi oleh munculnya berbagai bentuk kejahatan di kalangan masyarakat, seperti perampasan barang dagangan. Pasar-pasar yang sudah aktif untuk kegiatan transaksi perdagangan, sering diwarnai dengan kegiatan judi, sabung ayam, dan bahkan tidak terkecuali penjualan candu dan tuak. Di samping itu berbagai sengketa dagang juga tidak terelakkan. Banyak para pedagang mengalami kesulitan apabila bersengketa dengan pedagang dari desa tetangga, terutama menyangkut hutang piutang. Para penghulu di desa-desa pasar biasanya menyelesaikan persengketaan berdasarkan hukum adat. Keputusan yang dihasilkan oleh kerapatan adat sering tidak menyelasaikan masalah, karena kurang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa dan karena ketentuan adat yang sangat terbuka untuk ditafsirkan secara berbeda-beda. Dalam kaitan ini, posisi surau adalah sangat strategis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa antar nagari, karena surau lebih merupakan lembaga “supra nagari” yang mampu menembus batas-batas wilayah hukum adat yang diberlakukan di masing-masing nagari itu sendiri.

Dalam keadaan masyarakat seperti ini, keberadaan surau, terutama di wilayah pedalaman, semakin diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul di kalangan masyarakat, terutama para pedagang dan petani produsen, apalagi beberapa surau telah ikut mengambil peran dalam kegiatan perdagangan dan penghasil komoditi dagang ini. Ajaran Islam menyediakan beberapa aturan yang jelas menyangkut perdagangan dan cara-cara menyelesaikan masalah ini secara rasional. Syari’at Islam mengajarkan bagaimana seseorang dapat meningkatkan keuntungan perdagangan secara halal, namun tetap memperhatikan hak-hak perseorangan dalam hubungannya dengan harta kekayaan. Meluasnya masalah yang ditemui oleh masyarakat dalam hal perdagangan, mengimplikasikan perlunya pengaturan yang lebih rasional dalam hal sistem perdagangan yang dijalankan, sementara itu, surau dianggap lebih dapat memberikan tawaran solusi atas masalah-masalah itu melalui kaidah-kaidah agama yang jelas dan rasional.

Sebagai daerah penghasil utama komoditi kopi, Agam sekaligus juga menjadi pusat pengajaran Fiqh (hukum Islam). Beberapa surau melakukan pendalaman fiqh terutama pada aspek perdagangan. Keadaan ini lebih dipicu oleh banyaknya persoalan-persoalan kemasyarakatan dan perdagangan yang dimintai penyelesaiannya secara syar’i di surau-surau yang ada. Kedekatan masyarakat dengan surau-surau ini pada gilirannya telah memberi jalan bagi hukum Islam di wilayah ini, sehingga dapat berdampingan dengan adat masyarakat setempat. Tingkat kemakmuran masyarakat akibat kegiatan perdagangan telah pula menarik jumlah lebih banyak murid-murid untuk mendalami pengetahuan agama di surau-surau yang ada. Untuk mengimbangi keadaan ini, beberapa suraupun melibatkan diri dengan kegiatan perdagangan dan bahkan tidak jarang suatu surau ikut menghasilkan komoditi pertanian yang mereka usahakan dengan murid-muridnya di sekitar surau itu. Pada akhir abad ke 18 surau-surau di Agam dan Lima Puluh Kota telah mengambil keuntungan dari perubahan perdagangan ini. Murid-murid surau diwajibkan memperkenalkan pembaharuan norma-norma kehidupan yang berdasarkan hukum Islam kepada masyarakat, terutama yang menyangkut dengan masalah perdagangan. Oleh karena itu semenjak 1784, hukum Islam menjadi suatu bidang kajian yang penting pada beberapa surau di Ampek Angkek, sebagaimana diungkapkan dalam naskah HSJ : “....maka sebab itu banyaklah orang berhimpun-himpun kepada tempat itu mengambil ilmu menghafazkan kitab fiqh itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa itu ialah ilmu fiqh...dst” .

Sejak saat itu surau-surau menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Gerakan kembali ke syari’at menjadi prioritas utama untuk disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat. Tuanku nan Tuo dan murid-murid surau Koto Tuo telah mengambil peran dalam menyerukan perubahan sikap dan membimbing masyarakat dalam kehidupan sebagai muslim yang baik. Ia mengirim murid-muridnya berdakwah di desa-desa sekitarnya. Semua usaha yang dijalankan oleh Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya ini, nampak cukup berhasil, sehingga menjelang tahun 1790 daerah Ampek Angkek di luhak Agam mengalami kemajuan yang pesat dalam lapangan ini, terutama dalam menertibkan prilaku ekonomi masyarakat, sehingga ia dikenal sebagai pelindung para pedagang

Dari uraian di atas jelaslah bahwa setidaknya pada akhir abad ke-18, agama Islam memainkan peranan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Peran mana, pada dasarnya sulit dipahami sebagai sebuah gerakan sufisme yang, lazimnya, hanya larut dalam renungan mencari Tuhan dan menghindarkan diri dari persoalan-persoalan duniawi. Apa yang dikemukakan itu, terutama lebih terlihat di wilayah pedalaman Minangkabau, daripada aktifitas sufi di wilayah pesisir barat. Hal ini mungkin dapat diasumsikan menjadi rangka sebuah perspektif, di mana, wilayah ini --beberapa waktu kemudian-- memunculkan berbagai gagasan pembaharuan keagamaan dan kemasyarakatan. Salah satu alasan yang dapat ditunjukkan untuk itu adalah dinamika dan dialektika agama dan kemasyarakatan yang mampu dibangun oleh tokoh-tokoh agama pada waktu ini. Namun demikian sebelum kita sampai pada kesimpulan itu, agaknya perlu dilihat faktor-faktor apa yang telah membentuk kondisi dialektis dan dinamis seperti itu, apakah dapat dihubungkan dengan ajaran tashauf yang berkembang secara umum di wilayah ini ?, ataukah merupakan sebuah keadaan yang dibentuk oleh faktor-faktor eksternal yang mencirikan lingkungan lokalitas di mana ajaran itu dikembangkan hingga melahirkan diamika yang spesifik?. Hal ini akan menjadi bahasan pada sub berikutnya.

Perkembangan yang menarik dari kaum sufi Minangkabau adalah pada saat munculnya suatu fenomena baru pada perkembangannya di akhir abad ke-18, terutama di wilayah pedalaman Minangkabau. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya bibit-bibit pembaharuan tahap awal dalam bentuk gerakan kembali ke syari’at yang dicanangkan oleh Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek bersama murid-muridnya yang berbasis di surau Koto Tuo sendiri. Salah seorang muridnya yang setia adalah Jalaluddin Faqih Shaghir yang riwayatnya digunakan dalam tulisan ini. Untuk melihat perkembangan secara lebih jelas, agaknya perlu diketahui siapa sebenarnya Tuanku Nan Tuo, demikian juga latar belakang pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang dimilikinya.

Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo pernah belajar dengan salah seorang murid Syekh Burhanuddin Ulakan yang bernama Tuanku Nan Tuo di Mansiang. Kedalaman ilmu yang dimilikinya di berbagai bidang ilmu juga didapatkan dari beberapa Tuanku di luhak Agam, Lima Puluh Kota, dan Tanah Datar. Ia dikenal dengan kealiman dan penguasaannya terhadap ilmu-ilmu syari’at dan ilmu hakikat. Dalam naskah HSJ tidak dijelaskan dengan pasti bahwa Tuanku Nan Tuo adalah pelanjut ajaran Syathariyah sebagaimana dianggap oleh beberapa penulis, akan tetapi bahwa salah seorang gurunya adalah Tuanku Nan Tuo di Mansiang yang pernah belajar dengan Syekh Burhanudin Ulakan. Naskah HSJ juga mengemukakan bahwa disamping ia pernah belajar dengan Tuanku Nan Tuo di Mansiang, ia juga mempelajari bermacam-macam ilmu dengan beberapa Tuanku-Tuanku yang lain seperti Tuanku di Kamang yang ahli ilmu alat, Tuanku Sumanik (hadits, tafsir dan ilmu faraidh), Tuanku Koto Gadang (ilmu mantiq dan ma’ani) dan Tuanku Paninjauan. Dijelaskan pula bahwa ilmu mantiq dan ma’ani yang diajarkan oleh Tuanku Nan Kecil Koto Gadang berasal dari Tuanku Tampang di Rao yang mempelajarinya dari Mekkah dan Madinah, sedangkan ilmu hadits, tafsir dan ilmu faraidh dibawa oleh Tuanku Sumanik dari negeri Aceh. Jalaluddin mengemukakan : “..maka berhimpunlah ilmu mantiq dan ma’ani, hadits dan tafsir dan beberapa kitab yang besar-besar dan sekalian yang menghasilkan ilmu syari’at dan hakikat kepada Syekh kita Tuanku Nan Tuo dalam negeri Koto Tuo semuanya….” .

Dengan demikian diketahui bahwa di antara guru-guru Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek, sebagaimana disebutkan itu, hanya satu orang yang mempunyai pertalian dengan pengembangan tarikat Syathariyah, yaitu Tuanku Nan Tuo di Mansiang, selebihnya adalah guru-guru yang mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan syari’at. Tidak didapatkan keterangan apakah guru-guru itu juga mengajarkan tarikat atau tidak. Kalaupun mereka juga mengajarkan tarikat, maka dipastikan bahwa itu bukanlah tarikat Syathariyah, karena nama-nama Tuanku itu tidak pernah disebut dalam mata rantai pengembangan tarikat Syathariyah di pedalaman Minangkabau. Dengan dasar analisis ini, penulis memiliki dugaan yang kuat bahwa Tuanku Nan Tuo pernah belajar tarikat Syatariyah dari Tuanku Nan Tuo di Mansiang, namun ia tidak benar-benar mengambil peran dalam pengembangannya, dan nampaknya ia lebih cendrung mengajarkan ilmu-ilmu syari’at ketimbang mengajarkan tarikat. Tentang ilmu hakikat yang juga dikuasainya sebagaimana diceritakan oleh muridnya Jalaluddin di dalam naskah HSJ, hanya dapat memastikan bahwa Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek ini adalah seorang penganut sufisme dan tidak didapatkan satupun keterangan tentang pengembangan tarikat Syathariyyah di surau Tuanku Nan Tuo dan di kalangan murid-muridnya.

Dalam beberapa sumber diketahui bahwa pada akhir abad ke-18, setidaknya terdapat dua aliran Tashauf di Minangkabau yang sangat berpengaruh, yaitu aliran Ulakan dan aliran Cangking Ampek Angkek. Cangking adalah sebuah desa di nagari Candung Koto Laweh, Ampek Angkek, di mana Jalaluddin, murid utama Tuanku Nan Tuo membuka surau dan mengembangkan ilmu-ilmu agama dalam rangka meluaskan misi pengajaran Tuanku Nan Tuo sendiri. Kedua aliran ini terlibat dalam pertentangan karena perbedaan pemahaman dalam soal-soal yang menyangkut syari’ah dan implementasi ajaran tarikat itu sendiri. Meskipun untuk beberapa sumber primer, tidak dikemukakan secara eksplisit, namun beberapa sumber sekunder menyebutkan bahwa pertentangan ini sebenarnya adalah pertentangan antara penganut Syathariyah yang dikembangkan di Ulakan dengan tarikat Naqsyabandiyah yang dikembangkan oleh Jalaluddin di Cangking Ampek Angkek. Persoalan yang diperdebatkan tentulah persoalan yang menyangkut perbedaan paham antara kedua aliran ini, terutama tentang martabat yang tujuh sebagai ajaran tujuh tahap pancaran dari Yang Ada, sebagai yang dianut oleh pengikut Syathariyah yang oleh pengikut Jalaluddin dianggap sebagai bid’ah. Pertentangan ini kemudian merembet ke persoalan ‘ubudiyah seperti penentuan awal puasa, arah kiblat dan sebagainya .

Selain itu, ajaran inti kedua aliran tarikat itu sama-sama didasarkan pada wajibul wujud (kewajiban ‘Ada’), dan hanya berbeda dalam memandang yang ‘Ada’ itu. Perbedaan pandangan itulah yang kemudian menyebabkan aliran-aliran tarikat mengembangkan cara masing-masing dalam pencapaian (muraqabah) terhadap ‘Ada’ itu, yang antara lain dengan cara melakukan latihan rohani dengan berzikir hingga mencapai tingkat fana’. Untuk mencapai taraf ini, kedua aliran melakukan cara (tarikat) dan penerapan yang berbeda. Aliran tarikat Syathariyyah yang dikembangkan di Ulakan memandang bahwa seluruh isi alam ini pada hakekatnya tidaklah ada, yang pasti ada hanyalah Allah Ta’ala. Ini disebut dengan wihdatul wujud (kesatuan Ada). Upaya pencapaian seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada yang Ada itu dengan melakukan zikir sambil memejamkan mata dan menentukan jumlah sebutan nama Allah dengan buah tasbih. Sementara itu dalam pandangan Naqsyabandiyah eksistensi alam ini adalah kesaksian atas adanya Allah Ta’ala atau disebut dengan wihdatus syuhud (kesatuan kesaksian) . Penganut tarikat ini diajarkan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melakukan suluk (bersunyi diri) selama beberapa hari yang diisi dengan latihan-latihan rohani dan zikir qalbi (berzikir dalam hati).

Menurut Hamka (1967), pertentangan kedua paham ini sebenarnya lebih disebabkan oleh perbedaan dalam implementasi ajaran Islam terhadap tatanan kehidupan masyarakat yang secara historis berbeda latar belakang kultural dan politik serta perbedaan faktor ekternal yang mempengaruhi. Posisi Ulakan sebagai daerah rantau pesisir Minangkabau, dianggap oleh kalangan ulama pedalaman sebagai masih sangat kuat dipengaruhi oleh Aceh. Sementara Ulama di pedalaman (Agam dan sekitarnya) dikatakan sangat dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Islam di wilayah pedalaman Minangkabau menurut mereka belum dapat diperbaiki oleh kalangan ulama .

Suatu hal yang dapat dicatatkan dari perkembangan ajaran tarikat di Sumatera Barat hingga akhir abad ke-18 ialah, bahwa hampir semua ulama-ulama di sini adalah penganut tarikat. Meskipun untuk beberapa kasus, sulit mengidentifkasi aliran apa yang dianut oleh ulama-ulama itu, karena pada umumnya, ulama-ulama Minangkabau --terutama di pedalaman-- tidak langsung terjun membuka pengajian tarikat dan memimpin kegiatan pembimbingan tarikat bagi para penganut tarikat di wilayahnya. Ulama-ulama pedalaman lebih banyak menyibukkan diri dengan pengajaran yang berkaitan dengan ajaran syar’iyyah dan penerapannya dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat. Aktifitas Tuanku Nan Tuo, salah seorang ulama yang sangat dikenal di wilayah Agam pada dekade ini misalnya, tidak satupun sumber menyebutkan bahwa ia juga seorang khalifah (pembimbing kegiatan ritual) tarikat tertentu . Bahkan sangat mungkin, inilah yang menyebabkan kenapa Tuanku Nan Tuo tidak pernah disebut dengan gelar Syekh . Ia lebih dikenal sebagai seorang yang ‘alim dan memiliki pengetahuan yang tinggi dalam berbagai disiplin keilmuan Islam, terutama fiqh. Di samping sebagai ulama yang mempunyai murid-murid yang banyak, ia sering mengunjungi daerah-daerah tertentu di sekitar Agam dan Lima Puluh Kota untuk menjalankan misi syari’ahnya. Selain itu, Tuanku Nan Tuo, juga dikenal sebagai seorang pedagang yang ulet , ia memperoleh cukup kekayaan dari aktifitas perdagangan itu. Hampir semua ulama di desa-desa pertanian di wilayah pedalaman, memiliki professi ganda seperti halnya Tuanku Nan Tuo itu. Mereka, disamping mengajarkan agama, juga larut dalam segala aktifitas ekonomi masyarakatnya, seperti perdagangan, pertanian dan sebagainya.

Dari fakta yang dikemukakan itu, agaknya menjadi jelas, bahwa pengembangan tarikat Syathariyyah di wilayah pedalaman mendapat “pengalaman baru” dibanding perkembangannya di wilayah pesisir. Pengalaman itu, tentunya, tidak dapat dilihat hanya karena adanya perbedaan geografis, akan tetapi juga oleh pengayaan substansi ajaran akibat pertemuannya dengan latar belakang pengalaman spritual masyarakat pedalaman sendiri yang berbeda dengan ajaran tarikat Syathariyah. Berdasarkan kronologis masuknya aliran tarikat, sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka di wilayah ini sangat mungkin aliran tarikat Naqsyabandiyah telah berkembang lebih dahulu dan penyebarannya sudah merata, terutama di Agam dan Lima Puluh Kota. Tidak mustahil, bahwa pertemuan Syathariyah dengan Naqsyabadiyahlah yang melahirkan suatu sintesis baru dalam lapangan sufisme, sehingga implementasi ajaran sufisme itu lebih responsif terhadap persoalan masyarakat di pedalaman ini. Oleh karenanya, beberapa sumber sering dibingungkan apakah Tuanku Nan Tuo penganut Syathariyah atau Naqsyabandiyah, demikian juga dengan muridnya Jalaluddin di surau Cangking Ampek Angkek . Meskipun tidak dijumpai sumber-sumber yang dapat memberi penjelasan tentang kepada siapa Tuanku Nan Tuo belajar tarikat Naqsyabadiyah, namun dengan fakta yang disebutkan terdahulu, agaknya apa yang diasumsikan oleh Azymardi Azra adalah benar, bahwa pembaharuan agama yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya pada akhir abad ke-18 adalah representasi dari kombinasi ajaran-ajaran tarikat yang berkembang di wilayah ini pada waktu itu, dan karena itu pula ia mendapat tantangan tidak hanya dari kaum adat, tetapi bahkan juga dari pengikut aliran tashauf sendiri. Selain itu, pertemuan “sufisme” dengan latar belakang kultural masyarakat pedalaman yang lebih “dekat” dengan pusat adat itu sendiri, tentu juga telah ikut membentuk nuansa yang berbeda terhadap dinamika sufisme itu sendiri. Pengalaman Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya dalam memasyarakatkan Syari’at, telah menempatkan ulama di sini pada posisi yang berhadapan dengan “gengsi” golongan elit tradisional adat secara frontal. Ketidak sabaran sebagian muridnya yang agresiflah yang kemudian merubah paradigma pembaruan Tuanku Nan Tuo yang “bijak” menjadi paradigma yang lebih radikal, bahkan keluar dari prototipe gerakan sufisme sendiri.

© Irhash A. Shamad
Makalah, disampaikan pada Seminar “Multaqa Tsaqafy”, Jabatan Pengajian Arab dan Tamadun Islam, Fakulti Pengajian Islam (FPI), University Kebangsaan Malaysia (UKM). Bangi, Malaysia 25 Oktober 2007.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar