Sabtu, 09 Januari 2010

Syekh Sulaiman Ar-Rasuli

Bukittinggi tepatnya di kaki gunung Merapi, Syekh Sulaiman Ar-Rasuly yang lebih populer dengan sebutan Inyiak Canduang dilahirkan dari pasangan seorang ulama yaitu Angku Muhammad Rasul dan Siti Buli’ah. Latar belakang keluarga ini secara genetif mempengaruhi jiwanya sebagai salah seorang anak ulama yang disegani masyarakat pada zamannya sehingga dari dirinya telah tampak kecerdasan spritual dan sosial yang merupakan modal bagi seorang ulama yang kharismatik. Secara histories Inyiak Canduang ini tercatat sebagai pemuda yang gigih dalam mengasah bakat keagamaan dan mata spritualnya lewat belajar dari berbagai tokoh-tokoh ulama ternama seperti belajar di pesantren Tuanghu Sami Ilmiyah di Baso kemudian belajar agama dengan Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungayang-Batusangkar. Dan selesai belajar dari Syeikh Muhammad Thaid Umar ini Inyiak Canduang melanjutkan belajar agama pada Syeikh Abdullah Halaban. Dan pada masa-masa pematangan religinya tepatnya pada tahun 1903, Inyiak Canduang berangkat ke tanah suci dengan misi Tafaguh Fi al-Din dengan belajar dan memperdalam ilmu agama pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Selain pada Syeikh Ahmad Khatib ini Inyiak Canduang juga berupaya memperkaya khazanah pengetahuan agamanya lewat belajar pada ulama-ulama terkenal di tanah suci seperti belajar pada Syekh Mucthar At-Tharid, Syekh Nawawi Al-Banteny, Sayyid Umar Bajened dan Syeikh Sayid Babas El-Yamani.

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly kembali ke ranah minang pada tahun 1907 setelah memperkaya pengetahuan agama selama tiga setengah tahun di Tanah Suci. Secara histories kembalinya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly ke Ranah Minang merupakan warna tersendiri bagi dakwah Islam serta perjuangan rakyat Minangkabau dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini disebabkan tingkat perjuangan yang dilakoni oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly ini sedikit berbeda dari ulama-ulama minang yang lain seperti halnya Buya Hamka, Syeikh Ibrahim Musa yang merupakan golongan ulama muda yang garis perjuangannya bersifat Deaktivasi Kolonial dengan cara membakar jiwa perlawanan rakyat terhadap kolonialisme sedangkan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly garis perjuangannya lebih bersifat developmetisasi basisi perjuangan rakyat lewat berbagai bidang kehidupan sehingga basisi yang dibangun oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly ini menjadi amunisi yang ampuh dalam megusir kolonialisme di Ranah Minang. Hal ini terbukti pada Agresi Militer Belanda I dan II ke ranah minang, dimana peran masyarakat sipil menjadi basis kekuatan dominan dalam membendung Agresi Belanda tersebut. Dalam hal ini Andrey Kahin berkomentar sebagaimana yang dikunilkannya oleh Djoeir Muhammad bahwa “laskar-laskar desa ini menjadi pasukan keamanan yang paling tangguh di daerah”.

Aktualnya komentar Andrey Kahin ini menjadi indicator bahwa basis-bais masyarakat sipil telah dibangun oleh tokoh-tokoh pejuang termasuk di dalammya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly merupakan amunisi yang paling ampuh dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarah perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly adalah sejarahnya mengembangkan masyarakat sipil manangkabau. Secara faktual ada beberapa basis yang dibangun oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sehingga menjadi piranti bagi perjuangan rakyat Sumatera Barat. Perttama : Reformasi sistem pendidikan agama sebagai modal perjuangan rakyat minangkabau dalam meningkatkan sumberdaya manusia. Sistem pendidikan agama di ranah minang pada zaman sebelum datangnya Inyiak Canduang lebih bersifat klasikal dengan metode halaqah dan hanya diajarkan mampuni. Oleh sebab itu Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tampil sebagai reformis dalam pendidikan agama dengan mengarahkan metode pendidikan agama tradisional mengajarkan berbagai ilmu-ilmu agama mulai dengan ilmu-ilmu dasar bahasa arab seperti ilmu alat (nahu, syaraf, balaqah, badi’, ilmu hadits, ilmu qur’an dan mantiq) sampai dengan ilmu-ilmu terapan seperti (tafsir, akhlak, fiqh, tauhid) dengan reference utamanya adalah kitab klasik.

Siklus dari reformasi yang dilakoni oleh Inyian Canduang ini ialah terbentuknya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), proses berdirinya Madrasah ini didahului oleh proses musyawarah antara ulama-ulama yang mengaku dirinya sebagai penganut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang bermusyawarah di canduang pada tanggal 5 Mei 1928 dalam musyawarah ini disepakati bahwa ada reformasi sistem pendidikan agama islam dari system klasik ke system Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Diantara ulama yang menghadiri rapat ini ialah : Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly, Syeikh Ababs Al-Qadhi,dari Ladang Laweh Bukittinggi, Syeikh Ahmad dari Suliki, Syeikh Jamil Jaho dari Padang Panjang, Syeikh Abdul Wahid Ash-Shaleh dari Suliki, Syeikh Muhammad Arifin dari Batu Hampar, Syeikh Alwi dari Koto Nan Ampek Payakumbuh, Syeikh Jalaluddin dari Sicincin Pariaman, Syeikh Abdul Madjid dari Koto Nan Gadang, dan HMS Sulaiman dari Bukittinggi.

Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang pertama didirikan oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly adalah MTI yang ada di Canduang pada bulan Mei 1928, lantas diberi nama dengan MTI CANDUANG kemudian baru diikuti oleh MTI Jaho di Padang Panjang yang dipimpin oleh Syeikh Jamil Jaho, kemudian disusul dengan berdirinya MTI Tabek Gadang Payakumbuh oleh Syeikh abdul Wahid Shaleh. Secara genetif MTI Canduang merupakan poros dari eksistensi MTI-MTI yang tersebar di Nusantara, tercatat sampai sekarang ada sekitar 216 Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang eksis di Sumatera Barat. Langkah yang dilakukan oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam mereformasi sistem pendidikan di Minangkabau merupakan pondasi bagi pengembangan basis perjuangan rakyat yang dipandang sebagai modal untuk mensupply sumberdaya manusia dalam rangka memperkuat kaum cendikia dan ulama yang mampu mengorbankan semangat rakyat dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kedua :Formulasi partai politik sebagai manifestasi Political Power (kekuatan Politik) dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Pada tanggal 28 Mei 1930 Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly memperkasai berdirinya PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang berfungsi sebagai pengelola Madrasah-Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang berada di bawah naungannya. Namun disebabkan gejolak revormasi pada tahun 1946 Organisasi PERTI yang khitahnya bergerak sebagai organisasi sosial keagamaan beralih fungsi menjadi Partai Politik.

Peralihan fungsi PERTI ini menjadi partai politik disebabkan argumen KH. Sirajuddin Abbas murid Inyiak Canduang bahwa “Agama Jaga Harus Memberi Arah Pada Perjuangan Politik Bangsa”. PERTI dalam sejarah perpolitikan di Indonesia mempunyai andil yang cukup besar dalam memobilisasi rakyat dalam mensukseskan misi revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun seiring dengan waktu, perpecahan dalam tubuh PERTI tidak dapat dihindari karena adanya perebutan kekuasaan, perpecahan ini men gecewakan pendiri PERTI khususnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sehingga demi menyelamatkan PERTI beliau mengeluarkan Dekrit pada Tanggal 1 Mei 1969 agar PERTI kembali kepada khittahnya sebagai organisasi yang bergerak di bidang social dan keagamaan. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tercatat sebagai negarawan yang mempunyai visi yang tajam tentang organisasi kemasyarakatan dalam rangka mengemban misi kemerdekaan Indonesia, karir politik Inyiak Canduang ini dimulai pada tahun 1918 hal ini terbukti dengan jabatan yang dipangkunya sebagai presiden anak cabang Serikat Islam untuk kabupaten Agam.

Karir Politik Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly berlanjut pada masa pendudukan Jepang, pada masa pendudukan Jepang kedudukan partai-partai Islam terancam pupus disebabkan intrik Jepang yang berusaha melenyapkan Partai-Partai Islam yang mereka pandang sebagai basis perjuangan rakyat Minangkabau. Dan intrik Jepang ini sempat terlaksana dengan cara meleburkan partai-partai islam yang ada di Sumatera Barat, hal ini dapat kita amati dari terbentuknya Majelis Islam Tinggi Minangkabau (MTIM) pada tahun 1943, dimana Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly di serahi sebagai ketua umum dan A. Ghaffar Jambek sebagai ketua I, HMD Panglimo Kayo sebagai sekretaris umum, MR. Mahmud Yunus memimpin Dewan Pengajaran, AR. Sutan Mansur mewakili Muhammadiyah, sedangkan H. Sirajuddin Abbas mewakili PERTI.

Pada zaman kemerdekaan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sempat diserahi tugas oleh Soekarno sebagai anggota konstituante RI, dan di tempatkan sebagai Dewan Kehormatan dengan menjadi pemimpin sidang pada sidang-sidang konstituante tersebut. Pada tahun 1947 Mr. Sotan Muhammad Rasyid, menyerahi Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sebagai kepala Mahkamah Syar’iyah propinsi Sumatera Tengah dalam rangka mengurusi problematika syar’iyah dan sekaligus ulama yang berperan sebagai pengobar semangat perjuangan rakyat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda. Ketiga : Mendorong terbentuknya laskar-laskar rakyat yang pada akhirnya menjadi kekuatan dominan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Peran yang dilakoni oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tidak terbatas pada skala sosial dan agama saja, namun juga mendorong lahirnya kekuatan-kekuatan pra-militer yang berfungsi sebagai laskar yang menjaga dan mengawal daerah dimana mereka bertugas. Dalam hal sejarah mencatat peran Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam hal ini berawal ketika Jepang mengusulkan dan berdiskusi dengan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly agar dibentuk laskar-laskar rakyat yang aktualnya Jepang ingin mengambil manfaat sebagai tambahan kekuatan militer dalam rangka menghadapi perang Asia Raya.

Terlepas dari itu upaya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam membentuk laskar-laskar rakyat membawa dampak positif yang cukup besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pendudukan Belanda kembali (Agresi Militer Belanda I dan II) Menyingkapi ususlan Jepang di atas Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly membentuk laskar rakyat Sumatera Barat dan kemudian diusulkan terbentuknya laskar muslim oleh PERTI, Hisbullah oleh Muhammadiyah, Barisan Sabilillah oleh MITM dan disusul dengan terbentuknya GPII, setelah Jepang kalah. Prediksi Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tentang manfaat pembentukan laskar-laskar rakyat ternukti sebagai kekuatan utama yangmembela kemerdekaan Indonesia, hal ini disebabkan karena kemampuan militer yang di dapat dari Jepang menjadi amunisi tersendiri bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly wafat pada tanggal 1 Agustus 1970, wafatnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly meningkalkan luka yang dalam bagi rakyat Indonesia, karena hilangnya salah seorang pejuang kemerdekaan dan ulama yang kharismatik dari roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian sebagai pejuang dan ulama besar yang memiliki kepribadian yang luhur, garis perjuangannya serta amalannya bagi nusa dan bangsa patut dijadikan teladan bagi generasi muda saat ini. Jasa Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sebagai perintis kemerdekaan dan pengemban agama Islam tidak akan ternilai hanya dengan penghargaan Oranye Van Nassau dari pemerintahan Belanda, serta menobatkan beliau sebagai pahlawan perintis kemerdekaan dan dianugerahi tanda penghargaan sebagai ulama pendidik. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah dan semua komponen rakyat mengintegrasikan nilai-nilai perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Semenjak kembali dari Mekkah, beliau tetap mengajar di Surau Barunya di Candung. Pada waktu itu memerintah di Candung, yang mulai daerah Candung Koto Lawas, Lasi dan Bukit Batabuh, adalah seorang Laras yang terkenal dengan nama Laras Candung, Laras ini seorang yang taat beragama Islam serta mengasihi para ulama. Pada zaman Laras ini banyak terjadi kekacauan dari berbagai daerah di Minangkabau tentang masalah NTR. Ini dapat diketahui oleh Laras tersebut pada rapat yang diadakan oleh Komondor (atasan Laras) di Bukittinggi. Kekeliruan masalah NTR Ini disebabkan oleh Qadhi‑qadhi pada waktu tidak mengetahui masalah agama, tetapi mereka diangkat menurut adat. Sekembalinya Laras Candung dari menghadiri rapat itu, dia menganjurkan kepada penghulu‑penghulu dan masyarakat agar qadhi di daerahnya ditukar dengan orang yang mengetahui agama Islam. Sehingga Penghulu dan Masyarakat memilih Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dalam kelarasan Candung (1917).

Di zaman Laras yang lain di waktu penjajahan Belanda, beliau pernah kena hukum oleh Jaksa, karena dituduh tidak bergotong-royong membersihkan Surau atau Pesantrennya bersama‑sama dengan murid-muridnya. Beliau dan murid‑muridnya tidak diperintahkan kerodi untuk gotong-royong, tetapi cukup membersihkan Suraunya saja bersama-sama dengan murid‑muridnya. Hukuman yang dijatuhkan Jaksa tersebut boleh pilih antara membayar Rp. 10,‑ atau di hukum tiga hari. Akhirnya beliau memilih untuk membayar denda Rp. 10,‑. Ini adalah berdasarkan saran‑saran dari murid‑muridnya yang dalam sidang tersebut. Kemudian banyak orang yang bersedekah kepada beliau sehingga beliau mendapat uang lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk membayar denda yang telah diputuskan oleh Jaksa kerapa beliau. Serikat Islam yang telah berdiri di Jawa tahun 1911 M. dengan cepatnya berkembang pula ke pulau Sumatera. Di daerah Minangkabaupun telah berdiri pula Serikat Islam ini sampai ke daerah‑daerah Tingkat II dan Kecamatan‑ kecamatan. Maka Sekh Sulaiman Ar-Rasuli diangkat pula menjadi Presiden Serikat Islam, untuk anak cabang Baso Kab. Agam pada tahun 1918 M. Di samping itu beliau juga mendirikan Wirid/Pengajian di Kantor Gudang Garam Baso pada tiap hari Senin, yang dihadiri oleh ratusan kaum musimin dan muslimat, karena pada hari itu adalah dasar di Baso.

Syekh Sulaiman Ar-Rasuli terkenal sebagai Ulama besar di Minangkabau, tetapi beliau juga ahli adat Minangkabau. Masalah adat Minangkabau beliau pelajari dengan penghulu‑penghulu dan Laras‑laras yang karib hubungannya dengan beliau pada waktu itu. Beliau ini terkenal mempunyai hubungan‑hubungan yang baik sekali dengan Laras‑laras pada zaman Belanda. Pada waktu itu sudah berdiri pula Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau yang dipimpin oleh penghulu‑penghulu di bawah bimbingan Laras‑laras. Oleh karena keahlian Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dalam agama dan adat ini, beliau pernah diundang oleh penguasa Raja Gunung Sahilan di Taluk Kuantan dan Pulau Gadang pada 1927. Tujuannya adalah untuk membicarakan masalah agama dan adat. Hal yang menambah pengetahuan yang besar bagi beliau dalam masalah adat.

Jepang menduduki Sumatera Barat dan mengalahkan Belanda pada tahu 1942 M. Para pemimpin Belanda terpaksa lari ke Australia. Pada masa penjajahan Jepang ini, dibinalah segala macam golongan dengan tujuan untuk berbakti kepada kekuasaan Jepang. Maka Jepang menganjurkan kepada organisasi Muslim, yaitu; golongan Muhammadiyah, golongan PERTI dan golongan lainnya untuk membentuk satu organisasi Majlis Islam. Akhirinya disepakatilah membentuk suatu organisasi Islam yang mencakup sekalian organisasi Islam di Minangkabau. Organisasi tersebut bernama “Majlis Islam Tinggi Minangkabau (MITM)”. Sebagai ketuanya telah terpilih Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (ketua umum), ketua I adalah; Gaffar Jambek, Sekretaris umum. H. Mansoer Daud Dt. Palimo Kayo, dewan pengajaran; Prof. Dr. Mahmud Yunus, anggota; dari Muhammadiyah; Ar. St. Mansur dan dari PERTI adalah H. Sirajuddin Abbas. Pada tahun 1943 Jepang mengadakan Musyawarah Besar Agama Islam Melayu dan Sumatera di Singapura, maka dikirimlah utusan dari Minangkabau, tokoh‑tokoh ulama kita, seperti : Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Candung) Ketua Umum MITM, Syekh Ibrahim Musa (Parabek), Prof. DR. H. Mahmud Yunus, Sirajuddin Abbas dan A.R. St. Mansur.

Kemudian pada tahun 1944 Jepang minta pendapat secara perintah halus kepada Pengurus Majlis Tinggi Minangkabau, yaitu; Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dan kepada pengurus Majlis TinggI Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) yang diwakili oleh Dt. Simarajo pada suatu rapat tentang pembentukan Laskar Raknyat, yang anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda kita. Tujuan dari Laskar Rakyat ini adalah untuk membantu perjuangan Jepang. Pada rapat ini Syekh Sulaiman Ar-rasuli menerima undangan dari Jepang. sebab Laskar Rakyat ini nantinya juga un­tuk kepentingan rakyat kita dan mempertahankan Negara kita sendiri. Dan akhirnya berdirilah Laskar raknyat di Minangkabau. Tetapi kemudian Jepang juga kurang percaya kepada Laskar Rakyat ini karena tampaknya Laskar rakyat berjuang tidak sepenuh hati membantu Jepang. Maka selanjutnya Jepang ingin membubakan organisasi-organisasi Islam ini, seperti; PERTI dan Muhammadiyah sebab Jepang berpendapat bahwa organisasi Islam telah cukup dengan adanya Majlis Islam Tinggi Minangkabau saja. Maka diundang Jepanglah Ketua Umum MITM, yaitu; Syekh Sulaiman Ar-Rasuli untuk berdiskusi tentang pembubaran organisasi‑organisasi Islam di Minangkabau. Tetapi dengan keahlian Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dalam diskusi tersebut dengan pengaruh politik dari Jepang itu, maka PERTI dan Mahammadiyah tidak jadi dibubarkan oleh Jepang. Sehingga PERTI dan Muhammadiyah masih dapat hidup dengan jaya sampai sekarang.

Pada tahun 1947 M tenaga beliau dipergunakan oleh Gubernur Sumatera Barat (Mr. St. Mohd. Rasyid) untuk terus ke daerah‑daerah guna untuk memberikan semangat perjuangan kepada tentara kita di pront pertempuran dengan memberikan fatwa‑fatwa agama Islam dan menerangkan perjuangan beliau pada zaman Belanda, melalui Laskar Rakyat. Beliau semenjak tahun 1917 M telah diangkat oleh penghulu dan Laras di zaman penjajahan Belanda yang telah kita sebutkan di atas, tentu beliau sudah banyak mempunyai pengalaman dalam urusan NTR, apa lagi beliau sebagai ulama Islam yang termasyhur. Pada zaman penjajahan ini beliau mengusulkan kepada Kementerian Agama RI di Jakarta, melalui Ustadz Nashruddin Thaha. Kepala Kantor Agama Sumatera Tengah, untuk mendirikan dan mengadakan Mahkamah Syari’ah di Sumatera Tengah. Sehubungan dengan perjuangan, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli untuk mendirikan makamah syari’ah di Sumatera Tengah ini, pernah diceritakan oleh Buya H. Nashruddin Thaha kepada kami, betapa beratnya usaha beliau yang berdua ini memperjuangkan ke Kementerian Agama di Jakarta, tetapi dengan kegigihan beliau‑beliau ini berhasillah perjuangannya sehingga dapat berdiri kantor Mahkamah Syari’ah di Sumatera Tengah sampai sekarang. Kantor Mahkamah Syari’ah di Sumatera Barat sekarang ini juga mencakup daerah Propinsi Riau dan Jambi.

Untuk menjadi kepala Kantor Mahkamah Syari’ah yang pertawa di Sumatera Tengah pada tahan 1947 M diangkatlah oleh Menteri Agama R1 Syekh Salaiman Ar-Rasuli, di samping tugas beliau tetap sebagai Qadhi di Candung. Beliau bekerja menjadi Kepala Kantor Mahkamah Syari’ah ini selama 13 tahun dan berakhir dengan masa pensiun beliau sendiri pada tahun 1960 M. Kemudian beliau tetap tinggal di Pesantren beliau, yaitu; Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung, sampai beliau meninggal dunia pada tanggal 1 Agustus 1970 M di Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat. Jenazah beliau dimakamkan di dekat Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung Bukittinggi. Selain beliau dikenal sebagai ulama dan tokoh adat beliau juga banyak melahir karangan-karangan yang terkenal, di antara karangan-karangan beliau adalah :

1. Siraj fil Isra’ wal Mi’raj (Mi’raj Nabi)

2. Tasmaratul Qulub Ihsan fi Wiladah Saidil Insan (Maulid Nabi)

3. Dawaul Qulub fi Qish‑shah Yusuf wa Ya'cub (Sejarah Nabi)

4. Risalah A1 Aqwalul Wasithah fidz‑dzikir war Rabithah (Tasawuf)

5. A1 Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran (Ilmu Tafsir)

6. A1 Jawahirul Kalamiyah (Ushuluddin)

7. Sabilus Salamah fi Wirid Saidiyah Usman (Do’a‑Do’a)

8. Kisah Muhammad Arif (Tasawuf)

9. Perdamaian Adat dengan Syara’

10. Pertalian Adat dan syara’ di Minangkabau

11. Pengangkatan penghulu‑penghulu di Minangkabau

12. Al-Aqwal al-Mardhiyah


Di waktu beliau meninggal banyak sekali orang‑orang yang ha­dir menjenguk jenazahnya, seperti; perguasa‑penguasa Pemerintahan Tk.I Sumatera Barat, antara lain; Bapak Gubernur, Panglima Kodam III/17 Agustus, Panglima Kepolisian dan pejabat‑pejabat penting lain­nya dari Kodya Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Pada waktu itu Gubernur Propinsi Sumatera Barat memerintahkan kepada semua lapisan Pemerintah dan masyarakat Sumatera Barat, agar mengibarkan bendera Merah Putih selama delapan hari berturut‑turut. Di samping itu banyak pula para ahli dan cendekiawan tingkat nasional berkesempatan hadir pada pemakaman beliau, antara lain Buya Prof. DR. Hamka dan kawan‑kawannya. Yang kebetulan tokoh‑tokoh Nasional tersebut sedang ‑mengikuti Seminar Sejarah Islam di Minangkabau, yang dilaksanakan di Batu Sangkar. Beliau meninggalkan beberapa orang isteri dan anak‑anak, isteri dan janda beliau berjumlah 17 orang dan anak beliau seluruhnya berjumlah 17 orang dan yang telah meninggal dunia sebanyak 7 orang.

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar