Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Syair Sunur (SSn) adalah sebuah naskah Melayu-Minangkabau klasik yang belum banyak dikenal oleh filologIndonesia , khususnya yang berasal dari Sumatra Barat. Ini misalnya dapat dikesan dari pembicaraan Hasanuddin WS tentang filologi Minangkabau dalam buletin kebudayaan Suratkabar (Edisi 03/April 2002:12-13), yang tidak menyebut SSn dalam daftar judul-judul naskah Minang yang disenaraikannya. Leni Nora dari Fakultas Sastra Universitas Andalas pernah membicarakan SSn berdasarkan satu fotokopi salinan tercetaknya yang tersimpan di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang (lihat Leni Nora: “Syair Sunur: Transliterasi dan Tinjauan Isi” [Skripsi Fak. Sastra Universitas Andalas, 2000). Kajian yang cukup komprehensif mengenai SSn sudah saya lakukan untuk meraih gelar MA di Universitas Leiden (2002). Penelitian itu menelusuri salinan-salainan SSn yang masih ada sampai sekarang (manuskrip/tulisan tangan maupun tercetak), konteks sosial, dan pengarangnya. Tesis itu telah terbit dalam bentuk buku, berjudul: Syair Sunur: Teks dan Konteks ‘Otobiografi‘ Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19 (Padang: YDIKM & Yayasan Citra Budaya, 2004; lihat: www.ranah-minang.com).
Khusus mengenai pengarang SSn, sudah saya bahas dalam sebuah paper berjudul “Shaikh Daud of Sunur: Conflict between Reformists and The Shattâriyyah Sûfî Order in Rantau Pariaman in the First Half of the Nineteenth Century,” Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 3 (2001):57-124. SSn dikarang oleh Syekh Daud, seorang ulama yang berasal dari Sunur, sebuah desa pantai yang terletak antara Ulakan dan Pariaman, Sumatra Barat. Beliau lahir di Koto Gadis (satu dari 15 jorong dalam nagari Sunur) kira-kira antara tahun 1785 dan 1790 dan wafat di Singkil, pantai barat Aceh, sekitar tahun 1855. Kenapa dia mengarang SSn? Kita dapat mengetahuinya berkat informasi dari seorang indo asal Padang yang bernama Arnold Snackey (ca.1850-1896) yang di akhir abad ke-19 menulis satu buku kecil mengenai SSn berjudul: Sair Soenoer, Ditoeroenkan dari ABC Melajoe-Arab (Betawi: Albrecht & Co.,1888). Bedasarkan informasi Snackey yang diperkaya dengan sumber-sumber eksternal, maka saya dapat merekonstruksi kisah hidup Syekh Daud sebagai berikut.
Di tahun-tahun awal gerakan Paderi di Padangsche Bovenlanden (dicetuskan tahun 1803), seorang santri dari pantai barat—Daud anak Syekh Badaruddin dari Sunur—pergi belajar agama ke sebuah surau terkenal di darek, kemungkinan ke Cangking. Agak aneh bahwa sang ayah tidak menyekolahkan anaknya ke Ulakan yang dekat dengan kampungnya. Mungkin otak Syekh Badaruddin, sang ayah, punya bibit pikiran reformis. Di awal tahun 1830-an Daud muda sudah khatam Qur‘an dan tamat kaji. Ia yang sudah mendapat pencerahan pikiran dan terpengaruh oleh ide kaum Paderi kembali ke kampungnya di Sunur yang waktu itu masih kuat diselimuti oleh tradisi tarekat Syattariyah Ulakan yang ortodoks. Ulama muda yang bersemangat itu langsung mengadakan pembaruan dan pemurnian agama di kampungnya, memberantas bid‘ah dan sinkretisme yang selama ini dipraktekkan oleh ‘Agama Ulakan‘. Dengan kata lain: Daud ingin mengembangkan ajaran Paderi (paham Wahabi) di Sunur. Ia segera mendapat pengikut dan kini bergelar syekh. Tapi tak sedikit pula yang menentangnya.
Tindakan Syekh Daud itu tentu saja ibarat kambing yang berlagak jago di sarang macan. Kaum adat di kampungnya, khususnya para datuk (yang waktu itu suka berbini banyak) merasa terancam oleh aktivitas Syekh Daud. Demikian juga halnya kaum ulama ortodoks yang berkiblat ke Ulakan. Salah seorang yang menentang dengan keras ide dan aktivitas Syekh Daud di Sunur adalah Tuanku Syekh Lubuk Ipuh, seorang ulama kharismatik dari desa tetangganya, Lubuk Ipuh (sekarang masuk wilayah Kurai Taji). Ulama ini adalah seorang pendukung fanatik Ordo Ulakan (sampai sekarang penduduk Lubuk Ipuh di bawah pimpinan Ungku Kali, keturunan Tuanku Syekh Lubuk Ipuh, masih tetap berkiblat ke Ulakan dan dikenal sebagai ‘orang puasa kemudian‘). Keduanya lalu berdebat di depan publik di Sunur, yang menurut Snackey terjadi sebelum tahun 1838. Syekh Daud kalah dalam perdebatan itu. Ternyata Tuanku Lubuk Ipuh lebih tinggi ilmunya. Syekh Daud malu hati, tak tahan tinggal di kampungnya, dan akhirnya ‘melarikan diri‘ ke Mekah untuk memperdalam ilmu. Ia tinggal beberapa tahun di Mekah dan disana Syekh Daud menulis satu syair yang berjudul Syair Rukun Haji (SRH) yang menggambarkan prosesi ibadah haji, pemandangan di kota Mekah dan Madinah, dan gerakan pembaruan Islam yang sedang terjadi di Semenanjung Arabia. Tidak lama kemudian naskah SRH sampai ke pantai barat Sumatra, mungkin dibawa oleh jemaah haji Melayu/Minangkabau yang pulang dari Mekah. Nama Syekh Daud jadi harum karenanya. Merasa sudah terkenal ia kembali ke Pariaman. Tapi rupanya di Sunur Tuanku Lubuk Ipuh masih berkuasa dan malah, hebatnya, berhasil mengawini Umi Salamah, anak perempuan tunggal ‘sibiran tulang‘ Syekh Daud.
Syekh Daud jadi semakin benci kepada adat Minangkabau dan kaum ortodoks Ulakan. Ia semakin dipermalukan oleh Tuanku Lubuk Ipuh yang berhasil mengawini anaknya. Untuk kedua kalinya Syekh Daud ingin pergi ke Mekah. Tapi sayang, baru sampai di Trumon—sebuah kerajaan kecil di pantai barat Aceh yang kaya karena perdagangan lada—ia jatuh sakit dan kehabisan uang. Akhirnya Syekh Daud menetap di Trumon. Disana ia menikah lagi dengan seorang wanita kerabat Raja Bujang, penguasa Trumon (1814-1835). Dari perkawinan itu ia beroleh beberapa orang anak, seorang di antaranya kemudian menjadi ulama terkenal pula, bernama Syekh Muhammad Adam. Syekh Daud juga menjadi guru agama Nyak Bata, putra mahkota Trumon. Nyak Bata adalah anak Raja Bujang dari salah seorang istrinya, seorang wanita indo yang oleh rakyat Trumon dipanggil ‘Si Nona‘. Ayah ‘Si Nona‘ adalah seorang lelaki Aceh dan ibunya seorang wanita kulit putih bernama Kaatje Stoolte, anak seorang dokter Eropa di Padang. Kaatje bule dan si bujang Aceh itu bertemu di Padang dan kemudian saling jatuh cinta. Ketika bajak laut Le Même asal Perancis menyerang Padang di tahun 1793 pasangan yang dimabuk cinta itu melarikan diri dari kota itu dan akhirnya terdampar di Trumon.
Walaupun dekat dengan keluarga istana Trumon, rupanya Syekh Daud menderita batin di rantau yang jauh itu. Ia rindu pulang ke Sunur. Kemudian ia menulis satu syair untuk mengungkapkan kerinduannya itu. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Syair Sunur. Di dalam SSn Syekh Daud mengekpresikan kerinduannya kepada kampung halamannya, rasa nelangsa jiwa seorang perantau Minangkabau, dan rasa kangennya kepada anak kandungnya, Umi Salamah, yang ditinggalkannya di Sunur. Tak ada petunjuk tekstual kapan SSn ditulis oleh Syekh Daud, tapi diperkirakan lebih awal dari tahun 1850. Syair itu kemudian dikirimkannya ke Sunur, membuat orang disana merasa sedih setelah membacanya. Pada suatu hari di tahun 1855 orang Sunur yang merasa kasihan kepada pemimpinnya yang ‘terbuang‘ itu berlayar ke Trumon dengan 6 buah kolek (biduk) untuk menjemput Syekh Daud. Menurut Snackey lagi, mereka membawa satu syair balasan dari Umi Salamah untuk ayahnya (sayang tidak satupun salinan syair itu ditemukan sekarang). Berdasarkan cerita Muhammad Saleh Datuk Orang Kaya Besar, seorang Pedagang besar Pariaman yang menulis biografinya, Riwayat Hidup dan Perasaian Saya (huruf Jawi, 1914 [cet.ke-2. 1965, huruf Latin]), diperkirakan jarak Sunur [Pariaman]–Trumon one way dapat ditempuh kolek atau sekunar selama 7-10 hari, tergantung angin dan cuaca di laut (pada masa itu kapal api/kapal asap belum ada). Para penjemput itu berhasil bertemu dengan Syekh Daud dan mereka membawa ulama yang kesepian itu pulang ke Sunur. Akan tetapi sesampai di lepas pantai Singkil, tidak begitu jauh di selatan Trumon, Syekh Daud menghembuskan nafas terakhirnya. Keenam kolek itu menepi ke pantai untuk menguburkan jasadnya. Sang wanderer itu ternyata tak pernah sempat melihat kampung halamannya lagi.
Pada tahun 1858 Syekh Muhammad Adam, anak Syekh Daud di Trumon, pergi ke Sunur untuk meneruskan ‘perjuangan‘ ayahnya (mungkin juga untuk melihat saudara seayahnya: Umi Salamah). Sesampai di Minangkabau ia bergabung dengan beberapa tokoh tarekat Naqsyabandiyah di darek, meneruskan gerakan pembaharuan melawan kaum ortodoks (Snackey 1888:14). Sebagaimana sikap ayahnya, Syekh Muhammad Adam juga lebih dekat dengan para ulama reformis di darek daripada ulama-ulama Ordo Ulakan. Sebelum kembali ke Sunur, bersama-sama dengan Syekh Ahmad bin Jalaluddin atau Tuanku Syekh Cangking , salah seorang bekas murid ayahnya, dan ulama-ulama dari Pasir, Silungkang, Bonjol, dan tempat-tempat lainnya di darek, Syekh Muhammad Adam pergi menemui Tuanku Syekh Muhammad Tahir Barulak di Padang Ganting untuk menyusun perjuangan bersama melawan kaum ortodoks. Snackey mengatakan Syekh Muhammad Adam semula menetap di Cangking tapi kemudian kembali ke Sunur setelah Syekh Ahmad bin Jalaluddin (Tuanku Syekh Cangking) wafat. Syekh Muhammad Adam akhirnya berhasil mengubah pendirian agama Tuanku Lubuk Ipuh. Tuanku itu dan istrinya, Umi Salamah, akhirnya menerima ajaran baru (pindah dari Mazhab Syafi‘i ke Mazhab Hanafi). Konon kabarnya Syekh Muhammad Adam juga telah menulis satu syair yang menceritakan hal ihwal kaumnya (masyarakat) Sunur. Tapi sekarang tidak ada bukti dan informasi mengenai syair tersebut. Umi Salamah meninggal tahun 1876 di Sunur. SSn (dan SRH) adalah dua teks Melayu-Minangkabau klasik yang sarat dengan informasi historis, tapi sayang belum banyak disentuh oleh peneliti kita. Kisah Syekh Daud menunjukkan penetrasi gerakan Paderi yang gagal menembus benteng kokoh tarekat Syattariyah Ulakan. Memang sampai berakhirnya riwayat Paderi (1838), Pariaman tetap menjadi benteng kuat Ordo Ulakan, yang telah menjadi enclave dalam kepungan ephoria pembaharuan agama yang sudah menjalari bagian tengah pulau Sumatra.
Syair Sunur (SSn) adalah sebuah naskah Melayu-Minangkabau klasik yang belum banyak dikenal oleh filolog
Khusus mengenai pengarang SSn, sudah saya bahas dalam sebuah paper berjudul “Shaikh Daud of Sunur: Conflict between Reformists and The Shattâriyyah Sûfî Order in Rantau Pariaman in the First Half of the Nineteenth Century,” Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 3 (2001):57-124.
Di tahun-tahun awal gerakan Paderi di Padangsche Bovenlanden (dicetuskan tahun 1803), seorang santri dari pantai barat—Daud anak Syekh Badaruddin dari Sunur—pergi belajar agama ke sebuah surau terkenal di darek, kemungkinan ke Cangking. Agak aneh bahwa sang ayah tidak menyekolahkan anaknya ke Ulakan yang dekat dengan kampungnya. Mungkin otak Syekh Badaruddin, sang ayah, punya bibit pikiran reformis. Di awal tahun 1830-an Daud muda sudah khatam Qur‘an dan tamat kaji. Ia yang sudah mendapat pencerahan pikiran dan terpengaruh oleh ide kaum Paderi kembali ke kampungnya di Sunur yang waktu itu masih kuat diselimuti oleh tradisi tarekat Syattariyah Ulakan yang ortodoks. Ulama muda yang bersemangat itu langsung mengadakan pembaruan dan pemurnian agama di kampungnya, memberantas bid‘ah dan sinkretisme yang selama ini dipraktekkan oleh ‘Agama Ulakan‘. Dengan kata lain: Daud ingin mengembangkan ajaran Paderi (paham Wahabi) di Sunur. Ia segera mendapat pengikut dan kini bergelar syekh. Tapi tak sedikit pula yang menentangnya.
Tindakan Syekh Daud itu tentu saja ibarat kambing yang berlagak jago di sarang macan. Kaum adat di kampungnya, khususnya para datuk (yang waktu itu suka berbini banyak) merasa terancam oleh aktivitas Syekh Daud. Demikian juga halnya kaum ulama ortodoks yang berkiblat ke Ulakan. Salah seorang yang menentang dengan keras ide dan aktivitas Syekh Daud di Sunur adalah Tuanku Syekh Lubuk Ipuh, seorang ulama kharismatik dari desa tetangganya, Lubuk Ipuh (sekarang masuk wilayah Kurai Taji). Ulama ini adalah seorang pendukung fanatik Ordo Ulakan (sampai sekarang penduduk Lubuk Ipuh di bawah pimpinan Ungku Kali, keturunan Tuanku Syekh Lubuk Ipuh, masih tetap berkiblat ke Ulakan dan dikenal sebagai ‘orang puasa kemudian‘). Keduanya lalu berdebat di depan publik di Sunur, yang menurut Snackey terjadi sebelum tahun 1838. Syekh Daud kalah dalam perdebatan itu. Ternyata Tuanku Lubuk Ipuh lebih tinggi ilmunya. Syekh Daud malu hati, tak tahan tinggal di kampungnya, dan akhirnya ‘melarikan diri‘ ke Mekah untuk memperdalam ilmu. Ia tinggal beberapa tahun di Mekah dan disana Syekh Daud menulis satu syair yang berjudul Syair Rukun Haji (SRH) yang menggambarkan prosesi ibadah haji, pemandangan di kota Mekah dan Madinah, dan gerakan pembaruan Islam yang sedang terjadi di Semenanjung Arabia. Tidak lama kemudian naskah SRH sampai ke pantai barat Sumatra, mungkin dibawa oleh jemaah haji Melayu/Minangkabau yang pulang dari Mekah. Nama Syekh Daud jadi harum karenanya. Merasa sudah terkenal ia kembali ke Pariaman. Tapi rupanya di Sunur Tuanku Lubuk Ipuh masih berkuasa dan malah, hebatnya, berhasil mengawini Umi Salamah, anak perempuan tunggal ‘sibiran tulang‘ Syekh Daud.
Syekh Daud jadi semakin benci kepada adat Minangkabau dan kaum ortodoks Ulakan. Ia semakin dipermalukan oleh Tuanku Lubuk Ipuh yang berhasil mengawini anaknya. Untuk kedua kalinya Syekh Daud ingin pergi ke Mekah. Tapi sayang, baru sampai di Trumon—sebuah kerajaan kecil di pantai barat Aceh yang kaya karena perdagangan lada—ia jatuh sakit dan kehabisan uang. Akhirnya Syekh Daud menetap di Trumon. Disana ia menikah lagi dengan seorang wanita kerabat Raja Bujang, penguasa Trumon (1814-1835). Dari perkawinan itu ia beroleh beberapa orang anak, seorang di antaranya kemudian menjadi ulama terkenal pula, bernama Syekh Muhammad Adam. Syekh Daud juga menjadi guru agama Nyak Bata, putra mahkota Trumon. Nyak Bata adalah anak Raja Bujang dari salah seorang istrinya, seorang wanita indo yang oleh rakyat Trumon dipanggil ‘Si Nona‘. Ayah ‘Si Nona‘ adalah seorang lelaki Aceh dan ibunya seorang wanita kulit putih bernama Kaatje Stoolte, anak seorang dokter Eropa di Padang. Kaatje bule dan si bujang Aceh itu bertemu di Padang dan kemudian saling jatuh cinta. Ketika bajak laut Le Même asal Perancis menyerang Padang di tahun 1793 pasangan yang dimabuk cinta itu melarikan diri dari kota itu dan akhirnya terdampar di Trumon.
Walaupun dekat dengan keluarga istana Trumon, rupanya Syekh Daud menderita batin di rantau yang jauh itu. Ia rindu pulang ke Sunur. Kemudian ia menulis satu syair untuk mengungkapkan kerinduannya itu. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Syair Sunur. Di dalam SSn Syekh Daud mengekpresikan kerinduannya kepada kampung halamannya, rasa nelangsa jiwa seorang perantau Minangkabau, dan rasa kangennya kepada anak kandungnya, Umi Salamah, yang ditinggalkannya di Sunur. Tak ada petunjuk tekstual kapan SSn ditulis oleh Syekh Daud, tapi diperkirakan lebih awal dari tahun 1850. Syair itu kemudian dikirimkannya ke Sunur, membuat orang disana merasa sedih setelah membacanya. Pada suatu hari di tahun 1855 orang Sunur yang merasa kasihan kepada pemimpinnya yang ‘terbuang‘ itu berlayar ke Trumon dengan 6 buah kolek (biduk) untuk menjemput Syekh Daud. Menurut Snackey lagi, mereka membawa satu syair balasan dari Umi Salamah untuk ayahnya (sayang tidak satupun salinan syair itu ditemukan sekarang). Berdasarkan cerita Muhammad Saleh Datuk Orang Kaya Besar, seorang Pedagang besar Pariaman yang menulis biografinya, Riwayat Hidup dan Perasaian Saya (huruf Jawi, 1914 [cet.ke-2. 1965, huruf Latin]), diperkirakan jarak Sunur [Pariaman]–Trumon one way dapat ditempuh kolek atau sekunar selama 7-10 hari, tergantung angin dan cuaca di laut (pada masa itu kapal api/kapal asap belum ada). Para penjemput itu berhasil bertemu dengan Syekh Daud dan mereka membawa ulama yang kesepian itu pulang ke Sunur. Akan tetapi sesampai di lepas pantai Singkil, tidak begitu jauh di selatan Trumon, Syekh Daud menghembuskan nafas terakhirnya. Keenam kolek itu menepi ke pantai untuk menguburkan jasadnya. Sang wanderer itu ternyata tak pernah sempat melihat kampung halamannya lagi.
Pada tahun 1858 Syekh Muhammad Adam, anak Syekh Daud di Trumon, pergi ke Sunur untuk meneruskan ‘perjuangan‘ ayahnya (mungkin juga untuk melihat saudara seayahnya: Umi Salamah). Sesampai di Minangkabau ia bergabung dengan beberapa tokoh tarekat Naqsyabandiyah di darek, meneruskan gerakan pembaharuan melawan kaum ortodoks (Snackey 1888:14). Sebagaimana sikap ayahnya, Syekh Muhammad Adam juga lebih dekat dengan para ulama reformis di darek daripada ulama-ulama Ordo Ulakan. Sebelum kembali ke Sunur, bersama-sama dengan Syekh Ahmad bin Jalaluddin atau Tuanku Syekh Cangking , salah seorang bekas murid ayahnya, dan ulama-ulama dari Pasir, Silungkang, Bonjol, dan tempat-tempat lainnya di darek, Syekh Muhammad Adam pergi menemui Tuanku Syekh Muhammad Tahir Barulak di Padang Ganting untuk menyusun perjuangan bersama melawan kaum ortodoks. Snackey mengatakan Syekh Muhammad Adam semula menetap di Cangking tapi kemudian kembali ke Sunur setelah Syekh Ahmad bin Jalaluddin (Tuanku Syekh Cangking) wafat. Syekh Muhammad Adam akhirnya berhasil mengubah pendirian agama Tuanku Lubuk Ipuh. Tuanku itu dan istrinya, Umi Salamah, akhirnya menerima ajaran baru (pindah dari Mazhab Syafi‘i ke Mazhab Hanafi). Konon kabarnya Syekh Muhammad Adam juga telah menulis satu syair yang menceritakan hal ihwal kaumnya (masyarakat) Sunur. Tapi sekarang tidak ada bukti dan informasi mengenai syair tersebut. Umi Salamah meninggal tahun 1876 di Sunur. SSn (dan SRH) adalah dua teks Melayu-Minangkabau klasik yang sarat dengan informasi historis, tapi sayang belum banyak disentuh oleh peneliti kita. Kisah Syekh Daud menunjukkan penetrasi gerakan Paderi yang gagal menembus benteng kokoh tarekat Syattariyah Ulakan. Memang sampai berakhirnya riwayat Paderi (1838), Pariaman tetap menjadi benteng kuat Ordo Ulakan, yang telah menjadi enclave dalam kepungan ephoria pembaharuan agama yang sudah menjalari bagian tengah pulau Sumatra.
(c) Suryadi, ditulis ulang dari artikel di www.melayuonline.com/html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar