Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Hadirnya istilah Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20 membawa warna tersendiri terhadap corak keislaman di Nusantara, Minangkabau khususnya. Perdebatan panjang tersebut dimulai ketika munculnya kecaman para pembaharuterhadap amalan dan tradisi keislaman yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, juga menyangkut ketidak absahan ajaran Tarekat yang dianut oleh kebanyakan Masyarakat Minangkabau waktu itu. Beredarnya risalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mengecam Tarekat Naqsyabandiyah membuat pertikaian kedua kelompok ini semakin alot dan meluas ke wilayah-wilayah khilafiyah. Mereka (kaum muda) menggunakan berbagai metode untuk melancarkan dakwah mereka, ada dengan bertabligh, ada juga dengan debat terbuka dengan ulama-ulama Tua. B.J.O. Schrieke mencatat bahwa di Padang pernah terjadi perdebatan antara kaum Tua dan kaum Muda, yang dikenal dengan nama rapat Seribu Ulama, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1919. Di samping itu, mereka juga menggunakan majalah-majalah sebagai media mengungkapan buah pikiran dan ide, bahkan sekali-sekali juga menjadi wadah polemik dengan lawan mereka yang dapat dibaca oleh khalayak ramai. Sehingga di pusat-pusat kegiatan Kaum Muda muncullah Majalah-majalah seperti al-Moenir yang diterbitkan pada tahun 1910 di Padang, al-Achbar pada tahun 1919, al-Ittifaq wa Iftiraq dan sebagainya. Begitulah sepak terjang kaum muda.
Di pihak lain Kaum Tua, tak kecil pula usaha yang mereka tempuh untuk menolak segala tuduhan yang dilontarkan para pembaharu tersebut, dan mereka tak pula disokong oleh pribadi-pribadi kecil yang kolot sesuai namanya; Kaum Kuno, namun Kaum Tua mampu menolak segala prasangka tersebut dengan kedalaman ilmu yang mereka warisi, keilmiahan yang tercermin dari tulisan-tulisan yang banyak. Ketokohan kaum Tuapun tak dapat disangkal jasanya dalam penyebaran Islam dan perjuangan kemerdekaan di Minangkabau. Begitupun dalam berpolemik, merekapun mampu mempertahankan keyakinan yang dianut. Dan kitapun menemui dalam cacatan sejarah betapa ulama-ulama Tua sangat berperan dalam pendidikan Islam dan dalam mendirikan organisasi persatuan Ulama, misalnya organisasi Ittihad Ulama Sumatera yang didirikan pada tahun 1912 di Bukittinggi sebagai wadah Kaum Tua di Minangkabau. Dari berbagai realitas tersebut, jelas bahwa kaum Tua begitu konsisten dengan paham yang mereka anut dari dulunya. Ini terlihat dari keilmuan dan amalan mereka yang tetap mereka pertahankan sebagai tradisi yang selalu terpakai dan terpelihara melalui Transmisi keilmuan “kitab kuning”. Sebab dinamai kaum Tua, menurut Imam Maulana Abdul Manaf ialah para ulama dan kaum muslimin yang tetap memakai faham lama, yaitu konsisten dalam Mazhab Syafi’i, berittiqat dengan ittiqat Ahl Sunnah wal Jama’ah dan tetap berpegang dengan Tarekat-tarekat Mu’tabarah sebagai konsekwensi bertasawwuf, yang mana kebanyakan mereka yang teguh terhadap faham ini ialah mereka-mereka yang sudah tua, itulah sebab dinamai kaum Tua. Begitulah hal yang berlaku di hampir wilayah nusantara, khususnya Minangkabau. Pergolakan-pergolakan keagamaan dalam bentuk perang dingin antara Kaum Muda dan Kaum Tua mewarnai aktifitas keislaman di awal abad ke-20, hingga saat ini, pertentangan-pertentangan masa lalu tersebut masih terasa.
Dalam tulisan ini kita akan melihat Eksistensi Kaum Tua di Minangkabau. Sebagai faham yang mula-mula hadir seiring dengan masuknya Islam, Kaum Tua telah banyak menorehkan sejarah penyebaran dan perkembangan Islam dengan tinta emas, yang hingga kini pengaruh dari semangat beragama masa lalu itu masih berbekas pada jiwa murid-murid yang dulu pernah mengenyam pendidikan dari ulama-ulama tua. Namun dalam tulisan ini, kita akan membatasi batasan kita dengan eksistensi ulama Tua di Luak nan Bungsu, Luak Lima Puluh Kota, yang merupakan salah satu basis Islam periode awal di Minangkabau. Di samping itu, Luak nan Bungsu juga pernah menjadi sentra pendidikan Islam ala Surau yang melahirkan banyak ulama-ulama besar di Minangkabau masa lalu.
Luak nan Bungsu merupakan salah satu daerah di Minangkabau yaitu bagian dari Luak nan Tiga sebagai wilayah Darek, wilayah asal Minangkabau. Luak nan Bungsu merupakan nama Lain dari Luak Lima Puluh Kota, sebuah dengan kotanya Payakumbuh. Penamaan Luak Lima Puluh dengan kata-kata Bungsu mengisyaratkan bahwa Luak ini merupakan Luak yang paling terakhir kali didirikan, sebagai yang dikenal dengan andagium aianyo manih, ikannyo jinak, buminyo sajuak (airnya manis, ikannya jinak dan daerahnya sejuk). Tidak dapat ditulis secara pasti kapankah masuknya agama Islam di Luak nan Bungsu ini. Namun beberapa bukti yang ditemui dan kisah-kisah yang dituturkan oleh orang-orang tua, memberi kita suatu sangkaan bahwa masuknya Islam ke Luak nan Bungsu telah terjadi sejak dahulu. Berbagai aktifitas yang keagamaan di daerah ini telah tampak sekitar Abad ke-16, bersamaan masa kepulangan Syekh Burhanuddin Ulakan ke Ulakan, setelah puluhan tahun menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf Singkel di Aceh. Beberapa bukti yang dapat kita temui, salah satunya yaitu tentang Makam tua seorang ulama besar di Taram, yang hingga saat ini masih dikunjungi dan diziarahi oleh jamaah-jamaah Tarekat dari berbagai daerah di Minangkabau. Ulama tersebut masyhur namanya dengan panggilan “Beliau Keramat Taram”. Sosok beliau sangat dikenal oleh masyarakat Minangkabau lewat kisah-kisah kekeramatannya yang lebih diingat ketimbang siapa Beliau dan apa perjuangan Beliau dalam mengembangkan Islam di Luak Lima Puluh Kota.
Dari hasil penelusuran lapangan yang penulis lakukan, “Syekh Keramat” tersebut merupakan teman Syekh Abdurrauf Singkel sewaktu pulang menurut ilmu di Hejaz. Nama asli beliau adalah Syekh Ibrahim Mufti, darah kelahiran Palestina. Sesampainya di Aceh, Beliau diamanatkan Syekh Abdurrauf untuk berdakwah ke daerah-daerah pedalaman Sumatera. Maka berangkatlah Syekh Ibrahim. Mula-mula beliau menetap di Siak, di sana beliau berdakwah hingga beliau menikah dengan dara Siak, konon kabarnya beliau melahirkan keturunan di Siak. Setelah beberapa lama di Siak, beliau terus berjalan hingga sampai di nagari Taram, Luak Lima Puluah kota. Kabar dari empunya cerita, bahwa ketika Syekh Ibrahim Mufti datang ke nagari Taram, masyarakat di sana baru berjumlah 82 orang. Di Taram inilah hingga akhir riwayat hidupnya Beliau menetap dan mendirikan surau, yang sekarang dikenal dengan nama Surau Tuo Taram. Kabarnya beliau mengajar banyak murid-murid yang berasal dari berbagai penjuru Minangkabau, namun amat disayangkan tidak tercatat lagi siapa-siapa yang pernah mendalami agama dengan “Beliau Keramat” ini. Kehidupan beliau untuk saat-saat selanjutnya menjadi sangat kabur. Hingga terdengar berita kekeramatan Beliau memadam api di Mekkah, kisah keramat tersebut sangat masyhur di Minangkabau.
Di samping ketokohan Syekh Keramat yang menjadi salah satu bukti keislaman di Luak Lima Puluh, juga terdapat bukti-bukti lain, seperti keberadaan naskah-naskah tua di daerah ini. Keberadaan naskah-naskah tua setidaknya menjadi acuan awal materi-materi Islam apa saja yang diajarkan dan berkembang di Luak nan Bungsu ini. Naskah-naskah itu misalnya naskah-naskah Milik Syekh Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Datuak Gaek di Taeh Bukik (wafat di awal abad ke-20), sebahagian naskah tua tersebut tidak dirawat lagi, sebahagiannya masih disimpan oleh pewarisnya dalam keadaan memprihatinkan.
Begitulah halnya Luak nan Bungsu. Dari catatan sejarah tersebut, maka jelas bahwa sejak dulunya, sejak Islam mulai hadir di Luak Lima puluah, sangat kuat memegang Ahl Sunnah wal Jama’ah dengan Mazhab Syafi’i-nya, dan sangat eksis mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah sebagai sebuah konsep kehidupan Tasawwuf. Hal ini terlihat dari pengamalan Islam di sentra-sentra Islam periode awal di Luak nan Bungsu ini. Seperti Surau Tuo Taram, yang dapat dikatakan pusat awal pendidikan Islam di daerah ini, sampai saat ini masih kuat memegang mazhab Syafi’i dan Tarekat Naqsyabandiyah sebagai warisan Syekh Keramat sendiri. Misal lainnya ialah bekas-bekas kejayaan pendidikan Islam klasik di Batu Hampar tempat, Surau besar yang didirikan oleh Syekh Abdurrahman Batu Hampar (abad ke-19), kakek proklamator RI Moh. Hatta, yang terkenal dengan pengajian mazhab Syafi’i dan Tarekatnya di nusantara. Atau kita lihat Surau Beliau Munggu yang didirikan oleh Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (ayah Syekh Abdul Wahid Shahili Beliau Tabek Gadang) dan Surau Suluk Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh, yang semuanya itu sangat kuat memegang dan mengamalkan mazhab Syafi’i dengan Tarekat Naqsyabandiyah. Sehingga sampai saat ini, walaupun telah banyak masuk unsur-unsur pembaharuan sendiri, Luak Lima Puluh bisa dikatakan sebagai salah satu sentra utama Mazhab Syafi’i dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Dengan realitas demikian jelaslah bahwa faham keagamaan di daerah Luak nan Bungsu sangat konsisten memegang ajaran dan amalan sunni, bermazhab Syafi’i dan bertarikat Naqsyabandiyah, sebagai halnya amalan dan ajaran yang hadir di daerah ini sejak Islam hadir. Walaupun dibeberapa tempat telah berkembang pula ajaran-ajaran Tajdid (pembaharuan) ala kaum muda, seperti halnya Muhammadiyah, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), pemahaman Salafi (wahabiyah), jama’ah Dakwah (jama’ah Tabligh), LDI (lembaga dakwah Indonesia) dan lain-lainnya. Semua aktivitas kaum muda ini besar jumlahnya di daerah perkotaan, namun masih dalam skala kecil bila dibandingkan dengan faham keagaman asli yang kuat berakar di pedesaan.Dari realitas faham keagamaan dan pengamalan Islam di Luak nan Bungsu ini, maka di daerah ini berkembang pesat tradisi-tradisi kaum Tua secara umum. Di sini akan kita lihat seperti mengenai tradisi-tradisi tersebut, yaitu tradisi surau, kitab kuning, pengamalan Tarekat dan tradisi-tradisi lokal kultural.
Tradisi surau di Luak Lima Puluh persis seperti surau-surau lainnya di Minangkabau. Apakah itu dari hal peranannya sebagai pusat pendidikan Islam, pusat aktivitas Suluk, tempat pembelajaran adat Minangkabau dan tempat berdiamnya para kawula muda Minang sebelum beristri. Atau dari pengaruhnya bagi masyarakat sekitar sebagai simbol keislaman yang begitu lekat dengan kehidupan sosio-kultural masyarakat Minangkabau. Walaupun peranan tersebut sudah banyak yang memudar saat ini, namun untuk masa-masa kecemerlangan Islam masa lalu, khususnya di abad ke-19 dan awal abad ke-20, peranan surau melebihi dari hal-hal di atas, surau dijadikan titik nadi kehidupan sosial masyarakat, sebagai tempat musyawarah, membina kaum muda hingga menjadi tempat perjuangan melawan penjajah. Bahkah pemimpin surau yang dikenal dengan panggilan Syekh, Tuanku atau Buya memang menjadi contoh tauladan yang disegani di masa itu.
Hadirnya kelembagaan surau di Minangkabau dapatlah disamakan dengan lembaga pesantren di Jawa. Di surau, para murid yang dikenal dengan panggilan orang siak mengaji, tinggal bersama ulama pemimpin surau hingga memperoleh pengakuan ilmu dari guru tersebut. Begitu pula di Jawa, juga sama-sama penjadi pusat pendidikan kaum Tua, juga menjadi wahana untuk mengembleng generasi muda. Elemen-elemen yang dimiliki oleh pesantren Jawa, mencakup pondok, mesjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai, juga dimiliki oleh sebuah surau. Orang-orang siak di surau merupakan santri, surau-surau kediaman santri disekitar surau induk dikenal dengan pondok, surau induk sebagai pusat ibadah dan pengajaran adalah mesjid, kitab-kitab kuning sebagai literatur, Syekh dan Tuanku sebagai Kyai. Begitulah hal keadaannya pusat pendidikan Islam saat itu. Walau tak banyak lagi surau yang bertahan dengan peranan yang asli, akibat arus pembaharuan, namun keberadaannya sebagai pusat awal penyebaran Islam tak bisa terpungkiri oleh siapapun. Di antara surau-surau besar di Luak Lima Puluh Kota yang pernah memiliki nama besar dan kemasyhuran di Minangkabau dan Nusantara ialah surau Syekh Abdurrahman Batu Hampar, Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih, surau Tabek Gadang, surau Syekh Abdullah Beliau Halaban, surau Syekh Muda Abdul Qadim Belubus, surau Baru Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, surau Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai Koto Baru Mungka, surau Suluk Datuak Haji Jamin Taeh Bukik, surau Jirek Taeh Baruah, surau Syekh Mahmud Abdullah Beliau Tarantang Harau dan lain-lainnya.
Oleh karena tuntunan zaman, masuknya pembaharuan pendidikan dan arus kehidupan modern, maka banyaklah di antara surau-surau yang dulunya masyhur tersebut tak banyak yang dapat bertahan lama sebagai pusat pendidikan kaum Tua. Apalagi dengan dibentuknya sistem pendidikan oleh pemerintah yang berdasarkan acuan kurukulum, membuat wadah pendidikan tradisional menjadi tersendak-sendak. Keadaan tersebut banyak terjadi pada akhir abad ke-20. sebab lainnya ialah karena wafatnya Syekh atau Tuanku (ulama yang berpengaruh) pimpinan surau, sedang figur kharismatik yang dapat menggantikan posisi pemimpin surau tersebut tidak ada, maka kehidupan surau kadang kala seperti hidup segan, mati tak mau.
Untuk mengantisipasi hal-hal lebih buruk terjadi, maka organisasi kaum Tua di tahun 1928 menyatakan berdirinya sekolah-sekolah Agama yang menyerap model pendidikan kaum muda kala itu, sekolah agama tersebut dikenal dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Keberadaan sekolah-sekolah PERTI ini diakhirnya menggantikan posisi surau sebagai lembaga pendidikan kaum tua sejak dahulunya. Walau pendidikan kaum Tua tak lagi berpusat di surau, namun peranan surau sebagai tempat pengajian Tarekat dan Suluk tak berubah hingga saat ini. Sejak itu mulailah berkembang madrasah-madrasah PERTI, bahkan menurun penuturan dari pihak PERTI sendiri, sampai tahun 1939 telah berdiri madrasah-madrasah PERTI di Minangkabau sebanyak 137 buah, tahun 1955 sebanyak 300 buah, dan jumlah tersebut terus meningkat.
Sedang di Luak Lima Puluh sendiri, menurut cacatan penulis terdapat beberapa MTI yang terkenal dan masyhur, di antaranya : MTI Batu Hampar yang didirikan oleh Syekh Arifin Batu Hampar, MTI Pakan Sinayan Koto nan IV Payakumbuh didirikan oleh Syekh Tuanku Mudo Alwi, MTI Taram didirikan oleh Syekh Addimin ar-Radji, MTI Tabek Gadang didirikan oleh Syekh Abdul Wahid as Shahili, MTI Mungka didirikan oleh yayasan Syekh Muhammad Sa’adi Mungka, MTI Simpang Batu Hampar didirikan oleh Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah, MTI Lampasi didirikan oleh Syekh Mukhtar Tuanku Lakung, MTI Limbukan didirikan oleh Buya Ruslan, MTI Batu Labi didirikan oleh Syekh Sa’in bin Yusuf Dt. Kando nan Bajolai, MTI Indobaleh didirikan oleh Tuanku Haji Darusan, dan lain-lainnya. Kenyataan sekarang yang kita amati banyak diantara MTI ini yang tidak lagi dapat mempertahankan konsekwensi pendidikannya. Kalau dulu kapasitas pengajaran agama 75% dan umum 15%, sekarang adapula MTI yang lebih banyak pengajaran umumnya di banding dengan pelajaran agama, sangat ironis. Keadaan itu antara lain disebabkan akibat tuntutan dari sistem pendidikan nasional sendiri yang mengacu kepada silabi dan kurikulum, juga diakibatkan jarangnya guru yang mumpuni dalam mengajar kitab-kitab kuning yang lumayan pelik, seperti halnya ulama dulu.
Mengenai pewarisan keilmuan kaum tua sendiri yaitu kitab kuning. Secara harfiah kita kuning kita pahami sebagai kitab kuno yang memakai kertas kuning, tanpa jilidan, tidak mengenal harkat, tanda titik maupun koma. Namun lebih dari itu, pengertian kitab kuning lebih kompleks lagi, disamping ciri-ciri fisik berupa kertas kuning, tanpa harkat (gundul-pen), tidak dijilid, dan tak mengenal titik dan koma, kitab kuning juga merupakan istilah kitab klasik yang merupakan buah karya ulama-ulama besar terdahulu dalam bidang Fiqih, Tauhid dan Tasawwuf, dengan cakupan isi yang cukup dalam, ditulis dalam suatu wujud aliran atau mazhab tertentu. Dalam hal mazhab dan aliran kitab kuning kaum Tua Nusantara dan Luak Lima Puluh khususnya sangat besar perhatian terhadap kitab-kitab mazhab Syafi’i, dengan ahl Sunnah-nya.
Sebagai kitab standard keilmuan kaum tua, kitab kuning memang terasa lebih dalam pada soal bahasannya. Ini kita lihat dari pembacanya yang tidak bisa orang sembarangan, bagi siapa yang ingin mendalami kitab tersebut mestilah dulu paham dan mengerti bahasa Arab dengan segala gramatikalnya. Dengan demikian, sebelum membaca kitab saja seorang calon ulama (pelanjut kaum tua) termotivasi untuk belajar bahasa Arab terlebih dahulu, bahasa al-Qur’an sendiri. Setelah itu si-siak mesti tahu makna kata sesuai dengan keadaannya (dilalah), berarti si calon ulama telah diajar menganalisa sebelum terjun dalam soal-soal aktual nantinya. Kemudian kita lihat bahwa keorisinilan ajarannya melekat kuat pada jiwa si-pengkajinya, ini disebabkan karena adanya metode Syarh dan Hasyiyah dari kitab kuning tersebut, tanpa sengaja simurid diajar untuk mengulang materi yang sama pada kitab-kitab yang lebih besar.
Kitab kuning memang menjadi prioritas keilmuan yang utama bagi kaum tua, sebab dengan kitab kuning akan terwarisi segala ajaran yang mencakup Fiqih Syafi’i, Ahl Sunnah dan Tasawwuf secara utuh, sehingga hasil yang lahirpun ialah sosok agamis yang juga utuh (kamil). Begitupun bagi lembaga pendidikan kaum tua di Luak Lima Puluh Kota. Diantara kita-kita yang dikaji di sentra kaum tua sendiri ialah : (1) Bidang Fiqih, yaitu Matan Ghayah wat Taghrib, Fathul Qarib Mujib, Al-Bajuri, I’anatut Tahlibin dan Mahalli; (2) Bidang Tauhid, yaitu Jawahirut Tauhid, Al-Aqwal al-Mardiyah, Fathul Majid, Umm Burhain; (3) Bidang Tasawwuf, yaitu Minhajul ‘Abidin, Mau’izatul Mukminin dan Hikam; (4) Nahwu dan Sharaf (gramatikal Arab), yaitu Matan al-Jurumiyah, Matan Bina wal Asas, Mukhtashar Jiddan, Kaelani, Kawakib ad Durriyyah, Qatrun Nida, Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah; (5) Bidang Ushul Fiqih, yaitu Waraqat, Jami’ul Jawami’, Asybah wa an-nazhair; (6) Bidang Tarekh (sejarah Islam), yaitu Khulasah Tarekh Islami, Nurul Yaqin, Itfamul Wafa; (7) Manthiq (logika), yaitu Idhohul Mubham, Sullamulwi; (8) Tafsir, yaitu Jalalain; (9) Balaghah, yaitu Jauharatul Maknun; dan (10) Bidang Hadist dan Musthalah, yaitu Kitab as-Sanawani dan al-Baiquniyah.
Selanjutnya mengenai bidang Tarekat. Tarekat sendiri tidak dapat dipisah dari amalan kaum Tua. Walau ada disebahagian tempat ada golongan kaum tua yang tidak bertarikat, mereka ini hanya dikenal dengan malin kitab (mahir kitab), tidak dipanggil dengan Syekh. Tarekat sendiri merupakan aspek dari Tasawwuf, yang merupakan amalan-amalan ibadah dengan bimbingan seorang mursyid atau Syekh. Di Luak Lima Puluh Kota sendiri tarekat yang berkembang pesat diamalkan kaum tua ialah Tarekat Naqsyabandiyah. Dapat dikatakan bahwa luak nan Bungsu merupakan salah satu sentra Tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau. Uniknya di daerah ini juga terdapat penggabungan antara Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Samaniyah yang datang dari Kumango, yang dipopulerkan oleh Maulana Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh. Ada Tarekat Samaniyah saja yang di beberapa surau di ajarkan kepada anak-anak kecil, sehingga jiwa dan perasaan mereka telah dibentuk dalam tarikat yang akhirnya mewarnai hidup mereka.
Di antara pusat-pusat tarekat Naqsyabandiyah yang dapat penulis sebutkan di sini ialah (1). Surau Syekh Abdurrahman Batu Hampar, (2) Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih, (3) Surau Suluk Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh, (4) Surau Jirek di Taeh Baruah, didirikan oleh Datuak Haji Jamin, (5) Surau Suluk Datuak Jamin Taeh Bukik, (6) Surau Rambai Taeh Bukik, didirikan oleh Syekh Abu Bakar Datuak Gaek, (7) Surau Engku Labuah Taeh Baruah, (8) Surau Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, (9) Surau Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai, (10) Mesjid Jami’atul Muslimin Batu Labi, (11) Surau Muthmainnah di Halaban, oleh Syekh Sa’in bin Yusuf Datuak Kando, (12) Surau Datuak Gayuah Suayan, (13) Surau Taram, (14) Surau Suluk Khalifah Qadim Batu Keramat Pangkalan, (15) Surau Suluk Datuak Angso Tanjuang Pati, dan lain-lain banyak lagi. Tentang tradisi-tradisi kaum tua lainnya di daerah Luak nan Bungsu dapat disebutkan di sini seperti membilang hari kematian ( 40, 100 hari), Yasinan yang diikuti oleh ribuan orang, bershalawat (memakai kitab Dalail Khairat), Debus (badabuih), Silek Tarikat (silek Tuo Kumango), mangaji Sifat dua puluh dan lain-lainnya. Seperti halnya ulama-ulama Tua lainnya, mereka mempunyai hubungan intelektual yang erat sesama mereka. Hal itu terbentuk setelah terjadinya hubungan guru-murid yang intens sebagai sebuah koneksi intelektual, seperti halnya silsilah dalam sebuah tarikat. Begitupun ulama-ulama Tua di Luak nan Bungsu. Hampir semua ulama-ulama periode awal belajar di Mekah, dalam artian mereka mempunyai jaringan intelektual di Hejaz, yang menjadi pusat ilmu agama islam sampai pertengahan abad ke-20. sehingga diantara mereka terbentuk hubungan keilmuan yang kokoh dan menjadi faktor kuatnya kaum tua di daerah ini.
Hadirnya istilah Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20 membawa warna tersendiri terhadap corak keislaman di Nusantara, Minangkabau khususnya. Perdebatan panjang tersebut dimulai ketika munculnya kecaman para pembaharuterhadap amalan dan tradisi keislaman yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, juga menyangkut ketidak absahan ajaran Tarekat yang dianut oleh kebanyakan Masyarakat Minangkabau waktu itu. Beredarnya risalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mengecam Tarekat Naqsyabandiyah membuat pertikaian kedua kelompok ini semakin alot dan meluas ke wilayah-wilayah khilafiyah. Mereka (kaum muda) menggunakan berbagai metode untuk melancarkan dakwah mereka, ada dengan bertabligh, ada juga dengan debat terbuka dengan ulama-ulama Tua. B.J.O. Schrieke mencatat bahwa di Padang pernah terjadi perdebatan antara kaum Tua dan kaum Muda, yang dikenal dengan nama rapat Seribu Ulama, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1919. Di samping itu, mereka juga menggunakan majalah-majalah sebagai media mengungkapan buah pikiran dan ide, bahkan sekali-sekali juga menjadi wadah polemik dengan lawan mereka yang dapat dibaca oleh khalayak ramai. Sehingga di pusat-pusat kegiatan Kaum Muda muncullah Majalah-majalah seperti al-Moenir yang diterbitkan pada tahun 1910 di Padang, al-Achbar pada tahun 1919, al-Ittifaq wa Iftiraq dan sebagainya. Begitulah sepak terjang kaum muda.
Di pihak lain Kaum Tua, tak kecil pula usaha yang mereka tempuh untuk menolak segala tuduhan yang dilontarkan para pembaharu tersebut, dan mereka tak pula disokong oleh pribadi-pribadi kecil yang kolot sesuai namanya; Kaum Kuno, namun Kaum Tua mampu menolak segala prasangka tersebut dengan kedalaman ilmu yang mereka warisi, keilmiahan yang tercermin dari tulisan-tulisan yang banyak. Ketokohan kaum Tuapun tak dapat disangkal jasanya dalam penyebaran Islam dan perjuangan kemerdekaan di Minangkabau. Begitupun dalam berpolemik, merekapun mampu mempertahankan keyakinan yang dianut. Dan kitapun menemui dalam cacatan sejarah betapa ulama-ulama Tua sangat berperan dalam pendidikan Islam dan dalam mendirikan organisasi persatuan Ulama, misalnya organisasi Ittihad Ulama Sumatera yang didirikan pada tahun 1912 di Bukittinggi sebagai wadah Kaum Tua di Minangkabau. Dari berbagai realitas tersebut, jelas bahwa kaum Tua begitu konsisten dengan paham yang mereka anut dari dulunya. Ini terlihat dari keilmuan dan amalan mereka yang tetap mereka pertahankan sebagai tradisi yang selalu terpakai dan terpelihara melalui Transmisi keilmuan “kitab kuning”. Sebab dinamai kaum Tua, menurut Imam Maulana Abdul Manaf ialah para ulama dan kaum muslimin yang tetap memakai faham lama, yaitu konsisten dalam Mazhab Syafi’i, berittiqat dengan ittiqat Ahl Sunnah wal Jama’ah dan tetap berpegang dengan Tarekat-tarekat Mu’tabarah sebagai konsekwensi bertasawwuf, yang mana kebanyakan mereka yang teguh terhadap faham ini ialah mereka-mereka yang sudah tua, itulah sebab dinamai kaum Tua. Begitulah hal yang berlaku di hampir wilayah nusantara, khususnya Minangkabau. Pergolakan-pergolakan keagamaan dalam bentuk perang dingin antara Kaum Muda dan Kaum Tua mewarnai aktifitas keislaman di awal abad ke-20, hingga saat ini, pertentangan-pertentangan masa lalu tersebut masih terasa.
Dalam tulisan ini kita akan melihat Eksistensi Kaum Tua di Minangkabau. Sebagai faham yang mula-mula hadir seiring dengan masuknya Islam, Kaum Tua telah banyak menorehkan sejarah penyebaran dan perkembangan Islam dengan tinta emas, yang hingga kini pengaruh dari semangat beragama masa lalu itu masih berbekas pada jiwa murid-murid yang dulu pernah mengenyam pendidikan dari ulama-ulama tua. Namun dalam tulisan ini, kita akan membatasi batasan kita dengan eksistensi ulama Tua di Luak nan Bungsu, Luak Lima Puluh Kota, yang merupakan salah satu basis Islam periode awal di Minangkabau. Di samping itu, Luak nan Bungsu juga pernah menjadi sentra pendidikan Islam ala Surau yang melahirkan banyak ulama-ulama besar di Minangkabau masa lalu.
Luak nan Bungsu merupakan salah satu daerah di Minangkabau yaitu bagian dari Luak nan Tiga sebagai wilayah Darek, wilayah asal Minangkabau. Luak nan Bungsu merupakan nama Lain dari Luak Lima Puluh Kota, sebuah dengan kotanya Payakumbuh. Penamaan Luak Lima Puluh dengan kata-kata Bungsu mengisyaratkan bahwa Luak ini merupakan Luak yang paling terakhir kali didirikan, sebagai yang dikenal dengan andagium aianyo manih, ikannyo jinak, buminyo sajuak (airnya manis, ikannya jinak dan daerahnya sejuk). Tidak dapat ditulis secara pasti kapankah masuknya agama Islam di Luak nan Bungsu ini. Namun beberapa bukti yang ditemui dan kisah-kisah yang dituturkan oleh orang-orang tua, memberi kita suatu sangkaan bahwa masuknya Islam ke Luak nan Bungsu telah terjadi sejak dahulu. Berbagai aktifitas yang keagamaan di daerah ini telah tampak sekitar Abad ke-16, bersamaan masa kepulangan Syekh Burhanuddin Ulakan ke Ulakan, setelah puluhan tahun menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf Singkel di Aceh. Beberapa bukti yang dapat kita temui, salah satunya yaitu tentang Makam tua seorang ulama besar di Taram, yang hingga saat ini masih dikunjungi dan diziarahi oleh jamaah-jamaah Tarekat dari berbagai daerah di Minangkabau. Ulama tersebut masyhur namanya dengan panggilan “Beliau Keramat Taram”. Sosok beliau sangat dikenal oleh masyarakat Minangkabau lewat kisah-kisah kekeramatannya yang lebih diingat ketimbang siapa Beliau dan apa perjuangan Beliau dalam mengembangkan Islam di Luak Lima Puluh Kota.
Dari hasil penelusuran lapangan yang penulis lakukan, “Syekh Keramat” tersebut merupakan teman Syekh Abdurrauf Singkel sewaktu pulang menurut ilmu di Hejaz. Nama asli beliau adalah Syekh Ibrahim Mufti, darah kelahiran Palestina. Sesampainya di Aceh, Beliau diamanatkan Syekh Abdurrauf untuk berdakwah ke daerah-daerah pedalaman Sumatera. Maka berangkatlah Syekh Ibrahim. Mula-mula beliau menetap di Siak, di sana beliau berdakwah hingga beliau menikah dengan dara Siak, konon kabarnya beliau melahirkan keturunan di Siak. Setelah beberapa lama di Siak, beliau terus berjalan hingga sampai di nagari Taram, Luak Lima Puluah kota. Kabar dari empunya cerita, bahwa ketika Syekh Ibrahim Mufti datang ke nagari Taram, masyarakat di sana baru berjumlah 82 orang. Di Taram inilah hingga akhir riwayat hidupnya Beliau menetap dan mendirikan surau, yang sekarang dikenal dengan nama Surau Tuo Taram. Kabarnya beliau mengajar banyak murid-murid yang berasal dari berbagai penjuru Minangkabau, namun amat disayangkan tidak tercatat lagi siapa-siapa yang pernah mendalami agama dengan “Beliau Keramat” ini. Kehidupan beliau untuk saat-saat selanjutnya menjadi sangat kabur. Hingga terdengar berita kekeramatan Beliau memadam api di Mekkah, kisah keramat tersebut sangat masyhur di Minangkabau.
Di samping ketokohan Syekh Keramat yang menjadi salah satu bukti keislaman di Luak Lima Puluh, juga terdapat bukti-bukti lain, seperti keberadaan naskah-naskah tua di daerah ini. Keberadaan naskah-naskah tua setidaknya menjadi acuan awal materi-materi Islam apa saja yang diajarkan dan berkembang di Luak nan Bungsu ini. Naskah-naskah itu misalnya naskah-naskah Milik Syekh Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Datuak Gaek di Taeh Bukik (wafat di awal abad ke-20), sebahagian naskah tua tersebut tidak dirawat lagi, sebahagiannya masih disimpan oleh pewarisnya dalam keadaan memprihatinkan.
Begitulah halnya Luak nan Bungsu. Dari catatan sejarah tersebut, maka jelas bahwa sejak dulunya, sejak Islam mulai hadir di Luak Lima puluah, sangat kuat memegang Ahl Sunnah wal Jama’ah dengan Mazhab Syafi’i-nya, dan sangat eksis mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah sebagai sebuah konsep kehidupan Tasawwuf. Hal ini terlihat dari pengamalan Islam di sentra-sentra Islam periode awal di Luak nan Bungsu ini. Seperti Surau Tuo Taram, yang dapat dikatakan pusat awal pendidikan Islam di daerah ini, sampai saat ini masih kuat memegang mazhab Syafi’i dan Tarekat Naqsyabandiyah sebagai warisan Syekh Keramat sendiri. Misal lainnya ialah bekas-bekas kejayaan pendidikan Islam klasik di Batu Hampar tempat, Surau besar yang didirikan oleh Syekh Abdurrahman Batu Hampar (abad ke-19), kakek proklamator RI Moh. Hatta, yang terkenal dengan pengajian mazhab Syafi’i dan Tarekatnya di nusantara. Atau kita lihat Surau Beliau Munggu yang didirikan oleh Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (ayah Syekh Abdul Wahid Shahili Beliau Tabek Gadang) dan Surau Suluk Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh, yang semuanya itu sangat kuat memegang dan mengamalkan mazhab Syafi’i dengan Tarekat Naqsyabandiyah. Sehingga sampai saat ini, walaupun telah banyak masuk unsur-unsur pembaharuan sendiri, Luak Lima Puluh bisa dikatakan sebagai salah satu sentra utama Mazhab Syafi’i dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Dengan realitas demikian jelaslah bahwa faham keagamaan di daerah Luak nan Bungsu sangat konsisten memegang ajaran dan amalan sunni, bermazhab Syafi’i dan bertarikat Naqsyabandiyah, sebagai halnya amalan dan ajaran yang hadir di daerah ini sejak Islam hadir. Walaupun dibeberapa tempat telah berkembang pula ajaran-ajaran Tajdid (pembaharuan) ala kaum muda, seperti halnya Muhammadiyah, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), pemahaman Salafi (wahabiyah), jama’ah Dakwah (jama’ah Tabligh), LDI (lembaga dakwah Indonesia) dan lain-lainnya. Semua aktivitas kaum muda ini besar jumlahnya di daerah perkotaan, namun masih dalam skala kecil bila dibandingkan dengan faham keagaman asli yang kuat berakar di pedesaan.Dari realitas faham keagamaan dan pengamalan Islam di Luak nan Bungsu ini, maka di daerah ini berkembang pesat tradisi-tradisi kaum Tua secara umum. Di sini akan kita lihat seperti mengenai tradisi-tradisi tersebut, yaitu tradisi surau, kitab kuning, pengamalan Tarekat dan tradisi-tradisi lokal kultural.
Tradisi surau di Luak Lima Puluh persis seperti surau-surau lainnya di Minangkabau. Apakah itu dari hal peranannya sebagai pusat pendidikan Islam, pusat aktivitas Suluk, tempat pembelajaran adat Minangkabau dan tempat berdiamnya para kawula muda Minang sebelum beristri. Atau dari pengaruhnya bagi masyarakat sekitar sebagai simbol keislaman yang begitu lekat dengan kehidupan sosio-kultural masyarakat Minangkabau. Walaupun peranan tersebut sudah banyak yang memudar saat ini, namun untuk masa-masa kecemerlangan Islam masa lalu, khususnya di abad ke-19 dan awal abad ke-20, peranan surau melebihi dari hal-hal di atas, surau dijadikan titik nadi kehidupan sosial masyarakat, sebagai tempat musyawarah, membina kaum muda hingga menjadi tempat perjuangan melawan penjajah. Bahkah pemimpin surau yang dikenal dengan panggilan Syekh, Tuanku atau Buya memang menjadi contoh tauladan yang disegani di masa itu.
Hadirnya kelembagaan surau di Minangkabau dapatlah disamakan dengan lembaga pesantren di Jawa. Di surau, para murid yang dikenal dengan panggilan orang siak mengaji, tinggal bersama ulama pemimpin surau hingga memperoleh pengakuan ilmu dari guru tersebut. Begitu pula di Jawa, juga sama-sama penjadi pusat pendidikan kaum Tua, juga menjadi wahana untuk mengembleng generasi muda. Elemen-elemen yang dimiliki oleh pesantren Jawa, mencakup pondok, mesjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai, juga dimiliki oleh sebuah surau. Orang-orang siak di surau merupakan santri, surau-surau kediaman santri disekitar surau induk dikenal dengan pondok, surau induk sebagai pusat ibadah dan pengajaran adalah mesjid, kitab-kitab kuning sebagai literatur, Syekh dan Tuanku sebagai Kyai. Begitulah hal keadaannya pusat pendidikan Islam saat itu. Walau tak banyak lagi surau yang bertahan dengan peranan yang asli, akibat arus pembaharuan, namun keberadaannya sebagai pusat awal penyebaran Islam tak bisa terpungkiri oleh siapapun. Di antara surau-surau besar di Luak Lima Puluh Kota yang pernah memiliki nama besar dan kemasyhuran di Minangkabau dan Nusantara ialah surau Syekh Abdurrahman Batu Hampar, Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih, surau Tabek Gadang, surau Syekh Abdullah Beliau Halaban, surau Syekh Muda Abdul Qadim Belubus, surau Baru Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, surau Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai Koto Baru Mungka, surau Suluk Datuak Haji Jamin Taeh Bukik, surau Jirek Taeh Baruah, surau Syekh Mahmud Abdullah Beliau Tarantang Harau dan lain-lainnya.
Oleh karena tuntunan zaman, masuknya pembaharuan pendidikan dan arus kehidupan modern, maka banyaklah di antara surau-surau yang dulunya masyhur tersebut tak banyak yang dapat bertahan lama sebagai pusat pendidikan kaum Tua. Apalagi dengan dibentuknya sistem pendidikan oleh pemerintah yang berdasarkan acuan kurukulum, membuat wadah pendidikan tradisional menjadi tersendak-sendak. Keadaan tersebut banyak terjadi pada akhir abad ke-20. sebab lainnya ialah karena wafatnya Syekh atau Tuanku (ulama yang berpengaruh) pimpinan surau, sedang figur kharismatik yang dapat menggantikan posisi pemimpin surau tersebut tidak ada, maka kehidupan surau kadang kala seperti hidup segan, mati tak mau.
Untuk mengantisipasi hal-hal lebih buruk terjadi, maka organisasi kaum Tua di tahun 1928 menyatakan berdirinya sekolah-sekolah Agama yang menyerap model pendidikan kaum muda kala itu, sekolah agama tersebut dikenal dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Keberadaan sekolah-sekolah PERTI ini diakhirnya menggantikan posisi surau sebagai lembaga pendidikan kaum tua sejak dahulunya. Walau pendidikan kaum Tua tak lagi berpusat di surau, namun peranan surau sebagai tempat pengajian Tarekat dan Suluk tak berubah hingga saat ini. Sejak itu mulailah berkembang madrasah-madrasah PERTI, bahkan menurun penuturan dari pihak PERTI sendiri, sampai tahun 1939 telah berdiri madrasah-madrasah PERTI di Minangkabau sebanyak 137 buah, tahun 1955 sebanyak 300 buah, dan jumlah tersebut terus meningkat.
Sedang di Luak Lima Puluh sendiri, menurut cacatan penulis terdapat beberapa MTI yang terkenal dan masyhur, di antaranya : MTI Batu Hampar yang didirikan oleh Syekh Arifin Batu Hampar, MTI Pakan Sinayan Koto nan IV Payakumbuh didirikan oleh Syekh Tuanku Mudo Alwi, MTI Taram didirikan oleh Syekh Addimin ar-Radji, MTI Tabek Gadang didirikan oleh Syekh Abdul Wahid as Shahili, MTI Mungka didirikan oleh yayasan Syekh Muhammad Sa’adi Mungka, MTI Simpang Batu Hampar didirikan oleh Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah, MTI Lampasi didirikan oleh Syekh Mukhtar Tuanku Lakung, MTI Limbukan didirikan oleh Buya Ruslan, MTI Batu Labi didirikan oleh Syekh Sa’in bin Yusuf Dt. Kando nan Bajolai, MTI Indobaleh didirikan oleh Tuanku Haji Darusan, dan lain-lainnya. Kenyataan sekarang yang kita amati banyak diantara MTI ini yang tidak lagi dapat mempertahankan konsekwensi pendidikannya. Kalau dulu kapasitas pengajaran agama 75% dan umum 15%, sekarang adapula MTI yang lebih banyak pengajaran umumnya di banding dengan pelajaran agama, sangat ironis. Keadaan itu antara lain disebabkan akibat tuntutan dari sistem pendidikan nasional sendiri yang mengacu kepada silabi dan kurikulum, juga diakibatkan jarangnya guru yang mumpuni dalam mengajar kitab-kitab kuning yang lumayan pelik, seperti halnya ulama dulu.
Mengenai pewarisan keilmuan kaum tua sendiri yaitu kitab kuning. Secara harfiah kita kuning kita pahami sebagai kitab kuno yang memakai kertas kuning, tanpa jilidan, tidak mengenal harkat, tanda titik maupun koma. Namun lebih dari itu, pengertian kitab kuning lebih kompleks lagi, disamping ciri-ciri fisik berupa kertas kuning, tanpa harkat (gundul-pen), tidak dijilid, dan tak mengenal titik dan koma, kitab kuning juga merupakan istilah kitab klasik yang merupakan buah karya ulama-ulama besar terdahulu dalam bidang Fiqih, Tauhid dan Tasawwuf, dengan cakupan isi yang cukup dalam, ditulis dalam suatu wujud aliran atau mazhab tertentu. Dalam hal mazhab dan aliran kitab kuning kaum Tua Nusantara dan Luak Lima Puluh khususnya sangat besar perhatian terhadap kitab-kitab mazhab Syafi’i, dengan ahl Sunnah-nya.
Sebagai kitab standard keilmuan kaum tua, kitab kuning memang terasa lebih dalam pada soal bahasannya. Ini kita lihat dari pembacanya yang tidak bisa orang sembarangan, bagi siapa yang ingin mendalami kitab tersebut mestilah dulu paham dan mengerti bahasa Arab dengan segala gramatikalnya. Dengan demikian, sebelum membaca kitab saja seorang calon ulama (pelanjut kaum tua) termotivasi untuk belajar bahasa Arab terlebih dahulu, bahasa al-Qur’an sendiri. Setelah itu si-siak mesti tahu makna kata sesuai dengan keadaannya (dilalah), berarti si calon ulama telah diajar menganalisa sebelum terjun dalam soal-soal aktual nantinya. Kemudian kita lihat bahwa keorisinilan ajarannya melekat kuat pada jiwa si-pengkajinya, ini disebabkan karena adanya metode Syarh dan Hasyiyah dari kitab kuning tersebut, tanpa sengaja simurid diajar untuk mengulang materi yang sama pada kitab-kitab yang lebih besar.
Kitab kuning memang menjadi prioritas keilmuan yang utama bagi kaum tua, sebab dengan kitab kuning akan terwarisi segala ajaran yang mencakup Fiqih Syafi’i, Ahl Sunnah dan Tasawwuf secara utuh, sehingga hasil yang lahirpun ialah sosok agamis yang juga utuh (kamil). Begitupun bagi lembaga pendidikan kaum tua di Luak Lima Puluh Kota. Diantara kita-kita yang dikaji di sentra kaum tua sendiri ialah : (1) Bidang Fiqih, yaitu Matan Ghayah wat Taghrib, Fathul Qarib Mujib, Al-Bajuri, I’anatut Tahlibin dan Mahalli; (2) Bidang Tauhid, yaitu Jawahirut Tauhid, Al-Aqwal al-Mardiyah, Fathul Majid, Umm Burhain; (3) Bidang Tasawwuf, yaitu Minhajul ‘Abidin, Mau’izatul Mukminin dan Hikam; (4) Nahwu dan Sharaf (gramatikal Arab), yaitu Matan al-Jurumiyah, Matan Bina wal Asas, Mukhtashar Jiddan, Kaelani, Kawakib ad Durriyyah, Qatrun Nida, Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah; (5) Bidang Ushul Fiqih, yaitu Waraqat, Jami’ul Jawami’, Asybah wa an-nazhair; (6) Bidang Tarekh (sejarah Islam), yaitu Khulasah Tarekh Islami, Nurul Yaqin, Itfamul Wafa; (7) Manthiq (logika), yaitu Idhohul Mubham, Sullamulwi; (8) Tafsir, yaitu Jalalain; (9) Balaghah, yaitu Jauharatul Maknun; dan (10) Bidang Hadist dan Musthalah, yaitu Kitab as-Sanawani dan al-Baiquniyah.
Selanjutnya mengenai bidang Tarekat. Tarekat sendiri tidak dapat dipisah dari amalan kaum Tua. Walau ada disebahagian tempat ada golongan kaum tua yang tidak bertarikat, mereka ini hanya dikenal dengan malin kitab (mahir kitab), tidak dipanggil dengan Syekh. Tarekat sendiri merupakan aspek dari Tasawwuf, yang merupakan amalan-amalan ibadah dengan bimbingan seorang mursyid atau Syekh. Di Luak Lima Puluh Kota sendiri tarekat yang berkembang pesat diamalkan kaum tua ialah Tarekat Naqsyabandiyah. Dapat dikatakan bahwa luak nan Bungsu merupakan salah satu sentra Tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau. Uniknya di daerah ini juga terdapat penggabungan antara Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Samaniyah yang datang dari Kumango, yang dipopulerkan oleh Maulana Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh. Ada Tarekat Samaniyah saja yang di beberapa surau di ajarkan kepada anak-anak kecil, sehingga jiwa dan perasaan mereka telah dibentuk dalam tarikat yang akhirnya mewarnai hidup mereka.
Di antara pusat-pusat tarekat Naqsyabandiyah yang dapat penulis sebutkan di sini ialah (1). Surau Syekh Abdurrahman Batu Hampar, (2) Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih, (3) Surau Suluk Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh, (4) Surau Jirek di Taeh Baruah, didirikan oleh Datuak Haji Jamin, (5) Surau Suluk Datuak Jamin Taeh Bukik, (6) Surau Rambai Taeh Bukik, didirikan oleh Syekh Abu Bakar Datuak Gaek, (7) Surau Engku Labuah Taeh Baruah, (8) Surau Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, (9) Surau Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai, (10) Mesjid Jami’atul Muslimin Batu Labi, (11) Surau Muthmainnah di Halaban, oleh Syekh Sa’in bin Yusuf Datuak Kando, (12) Surau Datuak Gayuah Suayan, (13) Surau Taram, (14) Surau Suluk Khalifah Qadim Batu Keramat Pangkalan, (15) Surau Suluk Datuak Angso Tanjuang Pati, dan lain-lain banyak lagi. Tentang tradisi-tradisi kaum tua lainnya di daerah Luak nan Bungsu dapat disebutkan di sini seperti membilang hari kematian ( 40, 100 hari), Yasinan yang diikuti oleh ribuan orang, bershalawat (memakai kitab Dalail Khairat), Debus (badabuih), Silek Tarikat (silek Tuo Kumango), mangaji Sifat dua puluh dan lain-lainnya. Seperti halnya ulama-ulama Tua lainnya, mereka mempunyai hubungan intelektual yang erat sesama mereka. Hal itu terbentuk setelah terjadinya hubungan guru-murid yang intens sebagai sebuah koneksi intelektual, seperti halnya silsilah dalam sebuah tarikat. Begitupun ulama-ulama Tua di Luak nan Bungsu. Hampir semua ulama-ulama periode awal belajar di Mekah, dalam artian mereka mempunyai jaringan intelektual di Hejaz, yang menjadi pusat ilmu agama islam sampai pertengahan abad ke-20. sehingga diantara mereka terbentuk hubungan keilmuan yang kokoh dan menjadi faktor kuatnya kaum tua di daerah ini.
(lebih lanjut bisa dihubungi : www.ilhamfadli@yahoo.com/lihat di Jurnal Tsaqafi)
(c) Apria Putra, tulisan ini telah di edit ulang dan hanya sebagian dari keseluruhan dari artikel utuh. Artikel utuh telah dipublish di Jurnal Tsaqafi edisi 01/2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar