Rabu, 13 Januari 2010

Radikalisme Ulama Paderi

Oleh : Rusydi Ramli & Muhammad Ilham

Sejak akhir abad ke sembilan belas, daerah Agam telah memulai usaha gerakan kembali kembali ke syari’at yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo agaknya menjadi tempat yang cocok bagi Haji Miskin dalam menyalurkan ide-ide pembaharuannya. Pelindung Haji Miskin di sini adalah rekan seperguruannya, yakni Tuanku Nan Renceh. Kedua toko Padri ini adalah murid Tuanku Nan Tuo dan keduanya juga ikut terlibat dalam gerkan pembaharuan awal yang dipelopori oleh gurunya pada akhir abad ke delapan belas. Bagi Tuanku Nan Renceh pertemuan dengan Haji Miskin menjadi pemicu keinginannya untuk kembali melakukan gerakan ke syari’at setalah vakum cukup lama. Kekecewaan Tuanku Nan Renceh atas sikap lunak gurunya dalam melancarkan gerakan kembali kepada syari’at menjadi faktor utama mudahnya Haji Miskin mendapat dukungan dan simpati dari tokoh yang dikenal sangat garang ini. Sebelum bertemu dengan Haji Miskin, gerakan pembaharuan Tuanku Nan Renceh masih belum mempunyai tujuan dan wujud yang jelas.

Maka ketika Haji Miskin menyampaikan ide-ide pembaharuannya, Tuanku Nan Renceh segera menyatakan dukungannya. Tujuan perjuangannya pun lebih jelas dan tampak lebih radikal. Setelah mendapat petunjuk dan nasehat dari Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh semakin yakin bahwa usaha pembaharuannya akan mendapat dukungan dari elit-elit agama lainnya di Agam. Bahkan, Tuanku Nan Renceh juga berambisi untuk meluaskan gerakannya hingga ke seluruh wilayah di Pulau Sumatera.
Pertemuan kedua tokoh ini pada gilirannya menjadi ide-ide pembaharuan kaum Padri dapat dijalankan secara intensif. Akan tetapi dalam perkembangannya, yang paling menonjol adalah Tuanku Nan Renceh yang memulai pekerjaan dari daerah Agam. Sementara ini, Haji Miskin, meskipun tidak mendapat kesempatan untuk berperan lebih jauh ia selalu berusaha untuk memainkan peranan yang tersedia baginya. Dalam hal ini ia lebih berperan sebagai juru dakwah yang mengajak orang-orang untuk menerima ajaran-ajaran Padri. Tuanku Nan Renceh memulai usahanya dengan melobi ulama-ulama yang mempunyai pengaruh besar untuk mendukung gerakannya. Dalam waktu yang tidak lama, tujuh Tuanku dari Candung, Sungai Puar, dan Banuhampu menyatakan dukungannya. Untuk mengorganisir gerakan mereka, Tuanku Nan Renceh membentuk persekutuan dengan Tuanku-Tuanku tersebut.

Persekutuan inilah yang dalam sejarah Minankabau dikenal sebagai Harimau Nan Salapan, mereka itu adalah: Tuanku Lubuk Aur (Candung), Tuanku Berapi di Bukit (Candung), Tuanku Galong (Sungai Puar), Tuanku Padang Laweh (Banuhampu), Tuanku Banesa (Agam), Tuanku Kapau (Agam), dan Tuanku Nan Renceh sendiri (Kamang). Keberadaan Harimau Salapan pada gilirannya menjadi ide-ide pembaharuan kaum Padri dapat dijalankan secara intensif. Sebelum memulai gerakannya, Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan mendatangi Tuanku Nan Tuo untuk memohon restu dari ulama kharismatik ini. Dihadapan guru yang telah membawanya untuk mengenal Islam lebih mendalam lagi, Tuanku Nan Renceh menjabarkan ide-ide pembaharuannya yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis dan menentang segala praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran Islam. Cara-cara yang akan dipakai untuk mencapai tujuan itu, yakni tindakan kekerasan bagi yang menentang, juga dipaparkan secara panjang lebar. Tanpa diduga ternyata pertemuan elit-elit agama itu justru menimbulkan perdebatan yang sengit. Tuanku Nan Tuo yang merupakan guru dari beberapa anggota Harimau Nan Salapan pada dasarnya menyetujui ide-ide pembaharuan Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan tetapi menolak keras cara-cara kekerasan dalam pelaksanaannya. Bagi Tuanku Nan Tuo, dakwah yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan selain tidak bijaksana juga bertentangan dengan ajaran Islam. Tuanku Nan Tuo mengajukan argumentasi bahwa ”....Nabi berjiwa suka damai dan suka mengampuni, yang menekankan bahwa orang patut dihukum mati adalah orang yang dengan sadar mengingkari Islam, dan bahwa desa yang mempunyai seorang mu’min (orang beriman) pun tidak boleh diserang". Oleh karenanya Tuanku Nan Tuo tidak bersedia untuk bergabung dengan mantan muridnya itu. Akan tetapi Tuanku Nan Renceh tetap pada pendiriannya. Bagi Kaum Padri, membunuh orang yang tidak mematuhi aturan-aturan agama bukanlah perbuatan dosa.

Menyadari bahwa sulit untuk mendapat restu dari ulama besar Agam itu, Haji Miskin mengajak Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan pergi ke Koto Laweh untuk menemui Tuanku Mansiangan. Kepada ulama ini kelompok Harimau Nan Salapan memintanya sebagai pelindung dan pemimpin gerakan. Ulama yang terkenal karena pengetahuannya yang luas dan cukup berpengaruh di Koto Laweh ini menyatakan kesediaannya. Kesediaan Tuanku Mansiangan bersedia untuk bergabung dengan kaum Padri agaknya lebih didasarkan atas pertimbangan bahwa ia telah mengenal secara baik Haji Miskin dan pernah menjadi pelindungnya sehingga ia tidak merasa asing dengan ide-ide pembaharuan Islam yang diusung Kaum Paderi. Kecuali itu, Tuanku Mansiangan adalah orang yang gila hormat, sementara popularitasnya tidak seluas Tuanku Nan Tuo yang juga adalah murid dari ayahnya. Popularitasnya hanya sebatas Koto Laweh, sedangkan Tuanku Nan Tuo tidak hanya di seluruh Agam tetapi juga ke wilayah lain di luar Agam. Keputusannya untuk bergabung dan menjadi pemimpin Kaum Padri diharapkan dapat mendongkrak popularitas dan dapat menaikkan gengsinya di kapangan ulama khususnya di Agam. Sebagai tanda terima kasih atas kesediaannya bergabung dengan Kaum Padri, Tuanku Nan Renceh memberinya gelar Imam Besar. Meskipun pimpinan kaum Padri berada di tangan Tuanku Mansiangan namun aktor sesungguhnya adalah Tuanku Nan Renceh. Orang yang disebut kemudian inilah yang lebih menonjol dalam menentukan arah perjalanan gerakan Kaum Padri.

Dalam suatu pertemuan dengan masyarakat di Kamang Tuanku Nan Renceh menagajak masyarakat untuk ikut mendukung gerakan pembaharuannya. Kepada masyarakat diperintahkan untuk menjalankan syari’at Islam dan sholah 5 waktu harus dijalankan. Makan sirih, merokok, minum minuman keras, dan madat diharamkan. Kepada kaum laki-laki dianjurkan untuk memakai pakaian putih dan memelihara jenggot. Memakai pakaian dari sutera dan perhiasan emas hanya dibolehkan kepada kaum perempuan. Kaum ibu juga diharuskan memakai cadar. Bagi yang bersalah atau melanggar sebuah dari aturan-aturan tersebut akan dikenakan hukuman mati dan harta bendanya dirampas. Keseriusan Tuanku Nan Renceh memberikan hukuman mati bagi yang melanggar aturan-aturan yang dibuatnya dicontohkan dengan membunuh bibinya lantaran adik kandung ibunya itu kedapatan sedang mengunyah sirih.

Peristiwa pembunuhan tersebut ternyata mengundang banyak ulama dari berbagai tempat untuk menggabungkan diri dengan Tuanku Nan Renceh. Tindakan kekerasan Tuanku Nan Renceh dianggap sebagai wujud dari keseriusan dalam menjalankan syari’at Islam. Siapapun yang bersalah harus dihukum meski itu keluarga sendiri. Dukungan terhadap Kaum Padri juga semakin luas. Pada saat inilah kaum Padari mulai berusaha merombak masyarakat Padang darat, sementara Tuanku Nan Renceh memperoleh dukungan masyarakat yang makin besar sehingga tampaklah saat yang baik bagi dia untuk melanjutkan pelaksanaan maksudnya. Desanya sendiri sudah diletakkannya di bawah kekuasaan alim ulama. Dalam hitungan hari banyak nagari-nagari yang mengakui kekuasaan Kaum Padri dan mengikuti ajaran-ajarannya. Seluruh kekuatan wilayah Agam menjadi daerah kekuasaan Padri. Kaum Paderi muncul sebagai kekuatan politik baru di pedalaman Minangkabau. Keberhasilan kaum Paderi menguasai wilayah Agam merupakan point history dimulainya penyusunan pemerintahan nagari yang bercorak agama (nagari a-la Paderi/pemerintahan a-la Paderi) dan menitikberatkan pada ajaran Islam sebagaimana yang dipahami oleh kaum Paderi. Pada setiap nagari yang telah dikuasai oleh kaum Paderi, diangkat dua orang ulama sebagai pimpinan (kepala) dengan panggilan Tuanku Imam (Imam) dan Tuanku Qadhi (Qadhi). Bila dihubungkan dengan berbagai teori politik maupun teori sosiologi, terlihat secara gamblang bahwa pemegang otoritas agama, pada umumnya tidak bisa melepaskan diri mereka dengan politik.

Dalam kasus gerakan Paderi, keterpinggiran pengaruh dalam realitas sosial membuat kalangan agamawan merasa tidak bisa berimprovisasi secara luas dalam realitas sosial. Maka jalan yang paling baik adalah merebut atau menciptakan sistem otoritas politik sendiri. Kasus Gerakan Wahabi di tanah Hejaz juga bisa dilihat dari perspektif ini. Walaupun, untuk kasus Paderi, kalangan elit agama ini hanya ingin mengembalikan posisi dan peran sosial mereka dalam entitas sosial masyarakat Minangkabau yang sejajar dengan elit adat. Namun dalam sistem kepemimpinan, kesejajaran dalam struktur kepemimpinan tersebut sangat sulit terwujud, pasti ada yang berada dalam posisi hegemoni. Dalam kasus kaum Paderi ini, elit agama yang selama ini terpinggirkan, ingin mengembalikan peranannya sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang agama, sejajar dengan kekuasaan penghulu sebagai pemegang pucuk pemerintahan nagari. Namun bila kita lihat secara teoritik, dalam sejarah pemikiran intelektual Minangkabau, pemegang otoritas agama sejak Islam sudah eksis di Minangkabau, tidak pernah lepas dari elit agama, dan tidak pernah diambil alih oleh elit adat misalnya, karena elit adat merasa tidak memiliki otoritas dan kapabilitas keilmuan. Akan tetapi reduksi pengaruh bisa terjadi. Setiap elit memiliki domain keilmuan atau otoritas sendiri, akan tetapi otoritas pengaruh bisa melintasi domain otoritas lain. Misalnya, elit adat yang memiliki otoritas dalam bidang adat dan elit agama dalam bidang agama. Itu domain mereka masing-masing.

Tapi bisa saja terjadi, elit adat tidak saja memiliki pengaruh dalam domain mereka masing-masing, namun pengaruh mereka bisa saja hingga ke domain elit lain, bahkan terkadang pengaruh mereka itu jauh lebih besar dibandingkan pemegang otoritas keilmuan dalam domain bersangkutan. Hal inilah yang terjadi sebelum gerakan Paderi muncul. Masing-masing elit memiliki domain sendiri-sendiri. Akan tetapi, dalam seluruh aspek kehidupan, justru domain elit adat jauh lebih besar. Bahkan dalam domain agama yang seharusnya pengaruh elit agama jauh lebih besar, bisa direduksi oleh elit adat. Kaum Paderi menyadari hal ini. Menguasai masyarakat bukanlah menguasai wilayah, akan tetapi yang paling penting adalah menguasai pengaruh. Peran mereka sebagai elit agama yang selama ini tereduksi oleh elit adat ingin mereka kembalikan. Dan mereka juga ingin membentuk sistem kepemimpinan a-la mereka sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa mereka ingin mereproduksi kondisi sosial yang lama, ingin mereduksi pengaruh elit adat.

Dengan membentuk tata nilai yang termanifestasi dalam tata politik yang dibentuk a-la Paderi maka kaum Paderi akan memiliki fleksibelitas dan keleluasaan dalam menjalankan misi dan motivasi dari gerakan mereka sendiri. Dalam arti kata, tata nilai yang dibentuk atau dicita-citakan hanya akan berjalan secara efektif bila tata politik dibentuk atau direbut. Tata politik berkorelasi dengan pengaruh (minimal pengaruh legal-formal). Jadi, merubah masyarakat akan efektif dan memiliki daya pressure and endorse apabila kekuasaan (bahkan lebih efektif bila kekuasaan yang hegemonik) dipegang. Selanjutnya nilai-nilai akan dibentuk sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi anutan si pemegang kekuasaan. Dalam konteks inilah, diasumsikan gerakan Paderi menyusun atau membuat pola kepemimpinan sendiri yang berbasiskan agama (Islam).

Tata nilai yang terbentuk tersebut, secara teoritis, akan didukung secara maksimal oleh pembuat dan individu yang simpati serta memiliki kepentingan dengan tata nilai tersebut. Namun, akan diterima secara minimal bahkan ditentang secara maksimal oleh kelompok yang merasa dirugikan akan kehadiran tata nilai baru tersebut. Daya tolak ini bisa saja disebabkan oleh dua hal, yaitu karena kehadiran tata nilai baru tersebut mereduksi tata nilai yang mereka miliki selama ini dan ini berkorelasi dengan eksistensi serta harga diri mereka. Kemudian kehadiran tata nilai baru itu akan ditolak apabila membuat mereka tidak bisa lagi menjalankan aktifitas sesuai dengan nilai yang selama ini mereka anut atau diperbolehkan oleh tata nilai dimana mereka hidup dan beraktifitas.

Rakyat awam yang selama ini mendapat kebebasan dalam bertindak dan beraktifitas sesuai dengan kehendak hati mereka masing-masing, karena kehadiran tata nilai baru yang berpotensi mengekang ”kondisi aman dan nyaman” yang selama ini telah mereka rasakan, tidak dapat menerima aturan-aturan yang telah ditetapkan (baca: dipaksakan) oleh kaum Paderi. Terjadi reaksi, atau dalam bahasa sosiologisnya, resistensi sosial. Dalam keadaan seperti ini, maka elit-elit adat akan menjadi tempat yang paling tepat untuk berlindung bagi rakyat awam. Dalam teori kepemimpinan politik dikatakan bahwa suatu kelompok sosial yang (merasa) dikalahkan akan berafiliasi kepada kelompok sosial yang mereka yakini juga dikalahkan, walaupun pra-kondisi sebelumnya, kelompok sosial tersebut awalnya bertentangan dengan kelompok sosial tempat mereka berafiliasi itu.

Sebagai orang yang memiliki otoritas tertinggi dalam nagari dan pemimpin suku dalam kaum, tentu saja elit-elit adat tidak menginginkan kondisi yang demikian tersebut. Ditambah lagi dengan kehadiran tata kepemimpinan (Imam dan Qadhi) yang diperkenalkan oleh kaum Paderi tentu elit-elit adat merasa akan tereduksi pengaruh mereka yang selama ini dominan bahkan hegemonik. Sebagai petinggi adat yang bertugas memelihara anak kemenakan serta seluruh warga sukunya tidak akan membiarkan anak kemenakan serta seluruh warga sukunya menjadi korban kekerasan kaum Paderi. Untuk itu, para penghulu sepakat untuk mempertahankan hegemoni mereka, mempertahankan kekuasaan mereka yang telah ”direbut” oleh kaum Paderi. Akhirnya mereka mencari momentum untuk ”meledakkan” kemarahan mereka terhadap kaum Paderi.

Setelah berhasil menanamkan pengaruh mereka di daerah Agam, dan meletakkan tata pemerintahan a-la Paderi (memfungsikan secara maksimal peran Imam dan Qadhi), maka usaha kaum Paderi berikutnya adalah mengikis habis feodalisme yang dipersonifikasikan pada pengaruh Kerajaan Pagaruyung yang mereka anggap memiliki potensi besar dalam menghalangi pembaharuan Islam yang mereka lakukan. Penyerangan-penyerangan terhadap beberapa nagari-pun mulai dilakukan. Pendekatan anarkis-radikal-destruktif dianggap pola terbaik dan efektif yang harus dilakukan. Maka banyak kalangan adat yang menyerahkan diri atau melarikan diri ke daerah-daerah lain. Bahkan Tuanku Nan Tuo, ”sang guru ideologis” yang selama ini cenderung persuasif, tidak luput dari penyerangan ”murid-murid ideologisnya”. Surau tempat ia mengajar dibakar. Balairung-balairung adat pun banyak yang menjadi puing-puing. Dibakar oleh kaum Paderi. Dalam setiap penalukkan, kaum Paderi otomatis meletakkan dasar kepemimpinan a-la mereka, disamping tentunya pendekatan Islam yang primordial kepada masyarakat.

Beberapa pimpinan kaum Paderi, seperti Haji Sumanik juga bergerak radikal di wilayahnya, Tanah Datar. Akan tetapi, di daerah pusat kerajaan Minangkabau ini, Haji Sumanik tidak mendapat hasil yang maksimal, bahkan bisa dikatakan gagal. Hal ini dikarenakan, kalangan adat (dalam hal ini penghulu) bersatu menghambat pengaruh yang disebarkan Haji Sumanik. Di daerah kultural Minangkabau ini, penghulu yang primus interpares tersebut, masih memiliki pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat. Keberhasilan kaum Paderi menanamkan pengaruh mereka di daerah-daerah Agam, telah menyadarkan kaum adat di Tanah Datar bahwa kaum Paderi pada prinsipnya berambisi untuk merebut kekuasaan dari penghulu. Karena kondisi sosial yang berbeda dengan daerah-daerah di Agam, maka akhirnya Haji Sumanik terpaksa hijrah ke daerah Lintau.

Sementara itu, di daerah-daerah lain seperti di Lintau, Tuanku Pasaman mampu mensosialisasikan misi gerakan Paderi kepada masyarakat. Penerimaan masyarakat cukup baik, karena fokus Tuanku Pasaman hanya kepada perbaikan moralitas masyarakat dan pola sosialisasinya lebih persuasif, bukan radikal-destruktif sebagaimana yang terjadi di daerah Agam. Atas inisiatif beliau pulalah akhirnya pada tahun 1815, diadakan perundingan antara kaum Paderi dengan keluarga dan pembesar-pembesar kerajaan Minangkabau. Dalam perundingan tersebut, terjadi perbedaan pendapat yang pada akhirnya terjadi perkelahian antara keluarga dan pembesar kerajaan Minangkabau dengan tokoh-tokoh Paderi. Seluruh keluarga dan pembesar kerajaan Minangkabau tewas, kecuali raja beserta cucunya yang dapat meloloskan diri ke Kuantan di Lubuk jambi. Peristiwa ini mengakhiri kekuasaan raja alam Minangkabau. Sentral politik-kultural Minangkabau diruntuhkan oleh kaum Paderi. Nagari-nagari lain secara berangsur-angsur banyak yang menyerahkan diri. Beberapa penghulu yang tidak mau tunduk dengan kaum Paderi, banyak yang lari ke Batipuh, sebuah nagari yang tidak mau tunduk dengan kaum Paderi. Meskipun kaum Paderi berhasil menyingkirkan kekuasaan Minangkabau, mereka tidak segera mengambil alih sentral kekuasaan kultural tersebut. Tampak disini, keinginan kaum Paderi pada prinsipnya adalah ingin menaikkan daya tawar politik mereka di tengah-tengah masyarakat dan tidak murni meraih kekuasaan an-sich.

Praktis di Minangkabau pada waktu ini, otoritas hegemonik berada di tangan elit agama (baca: kaum Paderi). Elit adat yang selama ini merasa bahwa otoritas sosial berada di tangan mereka, merasa tidak senang dengan kondisi ini. Apalagi setelah kejatuhan kerajaan alam Minangkabau, sebuah institusi supra yang secara kultural melindungi eksistensi mereka. Akhirnya, ”matahari” lain dari kalangan out-group mereka datangkan, kolonial Belanda. Mereka meminta bantuan kepada Belanda untuk memulihkan kembali kekuasaan mereka yang dirampas oleh Paderi. Permintaan tersebut langsung diterima oleh De Puy dan kemudian melanjutkan atau merekomendasikannya ke Batavia. Permintaan pertama ditolak karena mengingat jumlah kekuatan militer Belanda di Minangkabau tidak begitu besar. Kemudian, pada tahun 1821, dibuatlah perjanjian antara kaum adat dengan Belanda. Dari pihak Belanda ditandatangani oleh De Puy, sementara di pihak adat ditandatangani oleh Sutan Bagagarsyah, Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam serta berbagai penghulu dari berbagai daerah di Luhak Tanah Datar.

Permohonan bantuan ini nampaknya dilakukan secara total. Hal ini terlihat dari siapa-siapa saja yang ikut dalam rombongan penandatangan perjanjian tersebut. Menurut data sejarah, rombongan secara keseluruhan berjumlah 20 orang yang mengatasnamakan 103 penghulu di Luhak Tanah Datar, diluar keluarga dan kerabat kerajaan Alam Minangkabau. Pemerintah Hindia Belanda yang waktu itu baru saja menerima sebagian kecil wilayah pantai barat Sumatera dari pemerintah sementara Inggris dengan segera menyetujui permintaan bantuan tersebut. Apalagi rombongan tersebut menjanjikan imbalan kepada Belanda. Perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian 10 Februari 1821 tersebut kemudian dikukuhkan. Beberapa point-point penting dari perjanjian tersebut antara lain : (1). Kepala-kepala pemerintahan (penghulu) dari kerajaan Minangkabau, secara formal dan mutlak menyerahkan Pagaruyung, Sungai Tarab dan Saruaso begitu juga daerah-daerah sekeliling Kerajaan Minangkabau kepada pemerintah Hindia Belanda. (2). Penghulu-penghulu tersebut berjanji untuk patuh dan tidak menentang perintah apapun dari Belanda. (3). Dalam rangka menguasai daerah-daerah yang telah diserahkan kepada Belanda, untuk melindungi rakyat dari kaum Paderi, untuk menghancurkan kaum Paderi dan menciptakan perdamaian di Minangkabau, pemerintah Hindia Belanda menyediakan satuan tentara sebanyak 100 orang dan dua pucuk meriam. (4). Para penghulu diharuskan menyediakan kuli-kuli dalam jumlah yang dibutuhkan dan mengurus makanan tentara sebaik-baiknya. (5). Adat dan kebiasaan lama dan hubungan penghulu dengan penduduk akan dipertahankan dan tidak akan dilanggar selama tidak bertentangan dengan pasal-pasal dalam perjanjian.

Selanjutnya, kaum Paderi berhadapan vis a vis melawan Belanda. Perang Paderi pun mulai dicatat dalam sejarah. Gerakan ini kemudian pada tahun 1838 dikalahkan oleh Belanda. Sementara itu, tujuan penghulu meminta bantuan kepada Belanda agar posisi mereka sebagai elit adat dan mengembalikan pengaruh mereka kembali yang telah diambil oleh elit agama, justru kontraproduktif akibat Perjanjian yang telah mereka tanda tangani dengan Belanda. Mereka menjadi ”lebur” dalam mesin kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dan semakin aktif dalam menyukseskan eksploitasi ekonomi Belanda. Akibatnya, kekalahan Paderi tidak serta merta menghilangkan pengaruh mereka. Justru yang terjadi adalah kemenangan elit adat membuat mereka tercatat dalam sejarah sebagai ”penjilat” dan merendahkan martabat orang Minangkabau. Politik balas dendam elit adat terhadap bekas pengikut kaum Paderi justru membuat banyak kalangan masyarakat Minangkabau merasa muak dengan tingkah polah mereka, apalagi pemerintah Belanda tidak berupaya menjauhkan diri dari elit agama, bahkan mereka berusaha untuk selalu mendekatinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar